• Tidak ada hasil yang ditemukan

Endé Tia sudah dibaptis Katolik, demikian juga anak-anaknya, dan demikian pula seluruh warga Kampung Mondo. Oleh karena itu, upacara kematian secara Katolik diselenggarakan untuk menghantar kepergiannya yang untuk selama-lamanya itu. Namun, Endé Tia juga adalah orang Manggarai, demikian juga anak-anaknya, dan semua orang Mondo. Itulah sebabnya, berbagai upacara adat Manggarai pun diadakan pula sebagai tanda penghormatan baginya.

Hari itu adalah hari Minggu, 29 November 2009. Jenazah Endé Tia sudah terbaring rapi di atas dipan dekat pintu masuk. Di bawah dipan ada banyak kain

songké yang dibawa oleh para anak rona. Dekat jenazah, keluarga

mempersiapkan meja untuk dijadikan altar. Siang hari, imam pun datang mempersembahkan Misa untuk menghantar kepergian Endé Tia menghadap Allah Bapa. Seluruh anggota keluarga besar dan warga kampung berpartisipasi dalam Misa ini. Unsur-unsur adat Manggarai masih terlihat kental dalam Misa. Semua lagu dinyanyikan dalam bahasa Manggarai. Selain itu, Doa Umat dilakukan oleh perwakilan anak rona, anak wina, dan keluarga yang berduka. Usai Misa, para anak perempuan, menantu perempuan, dan cucu perempuan mulai meratap dan menangis di sekeliling Endé Tia. Ratapan mereka begitu menyayat hati dan dilakukan dengan sekuat tenaga sehingga sempat

menimbulkan pertanyaan, “Ratapan seperti ini spontanitas atau memang harus begitu menurut adat?” Ternyata, perpaduan antara keduanya. Memang demikianlah seharusnya menurut adat, tetapi juga didorong oleh spontanitas kesedihan mereka yang merasa begitu kehilangan. Setidaknya, begitulah penjelasan Rm. Beny Jaya, Pr, kepala Paroki Borong.

Selanjutnya, diadakanlah upacara secara adat yang terdiri dari tiga tahapan. Dalam acara tersebut, semua orang duduk melingkar di atas tikar sebagaimana kebiasaan orang Manggarai pada umumnya. Tahap pertama adalah Haeng Nai. Untuk upacara ini dibutuhkan seekor hewan yang disembelih; yang biasanya dibawa oleh anak rona. Jika hewan yang dibawa adalah babi, disebut Ela141 Haeng Nai, jika yang dibawa adalah ayam, disebut Manuk142 Haeng Nai. Jenis binatang yang dibawa umumnya tergantung usia

dan status sosial orang yang meninggal. Selain itu, disesuaikan juga dengan kemampuan keluarga yang berduka. Pada hari itu, keluarga anak rona ulu dari

Niang143 Sita membawa seekor babi putih yang cukup besar, diikat dan

dibaringkan di depan pintu. Adapun jenazah Endé Tia dibaringkan di atas sebuah pembaringan sejajar dengan pintu, yang menyatakan ia sudah dipersiapkan untuk keluar dari rumah itu menuju ke alam yang lain. Di balik dinding rumah itulah kira-kira selurusan dengan Endé Tia, babi tersebut dibaringkan. Haeng Nai berarti hewan kurban yang menghembuskan nafas terakhirnya. Kanis Karjon, putera dari Tu’a Dalu Riwu yang terakhir menjelaskan144 bahwa seringkali kita tidak ada di tempat ketika orang yang kita kasihi itu meninggal, sehingga kita tidak dapat melepas keberangkatannya. Oleh karena itu, babi tersebut disembelih untuk menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan dilepas oleh keluarga yang berduka. Demikianlah kurang lebih maksud dari acara tersebut. Babi itu kemudian menjadi babi pertama yang dipotong selama hari-hari perkabungan. Sesudah itu, masih ada lima ekor babi lagi yang dipotong untuk disajikan sebagai hidangan bagi tamu-tamu yang berdatangan selama hari-hari berkabung.

Tahapan kedua dari upacara ini disebut Poé Woja Latung. Dalam kesempatan ini Stefanus atas nama seluruh keluarga memohon maaf kepada ibunya atas segala kesalahan dan kekurangan. Selain itu, yang terutama disampaikan dalam acara ini adalah permohonan agar Endé Tia pergi dengan

141

Ela dalam bahasa Manggarai berarti babi.

142

Manuk dalam bahasa Manggarai berarti ayam.

143

Niang Sita merupakan tempat tinggal dari keluarga besar Dalu Sita. Dari sanalah Endé Tia berasal karena beliau merupakan puteri dari Dalu Sita di zamannya.

144

tenang, dan tidak perlu membawa semua hasil kebun jagung maupun padi yang telah diwariskannya kepada anak cucu. Lebih-lebih Endé Tia termasuk anggota keluarga besar yang merintis berdirinya kampung Mondo. Garis keluarga inilah yang dianggap berjasa membawa kesejahteraan bagi tanah Mondo dengan membuahkan berbagai hasil kebun dan ternak. Oleh karena itu, wajarlah disampaikan permohonan tersebut.

Tahapan ketiga dari upacara ini disebut Ancem Peti. Tahapan ini merupakan acara perpisahan, karena setelah acara ini tidak boleh lagi ada yang membuka peti. Seluruh keluarga besar secara bergantian maju ke depan peti setelah namanya dipanggil oleh Stefanus. Mereka maju berdua dengan pasangan hidupnya masing-masing. Setelah sampai di depan peti, mereka memukulkan palu ke atas paku di tepian peti. Ini mengungkapkan tekad mereka untuk menutup semua yang sudah berlalu dan tidak mengungkit-ungkit lagi. Jika ada permasalahan, sakit hati, dendam, dan sebagainya, biarlah berakhir sampai di situ saja dengan dipukulnya paku peti tersebut. Setelah itu, peti pun diangkat ke kubur yang telah disiapkan, yaitu di samping rumah Stefanus Syukur. Endé Tia dimakamkan bersebelahan dengan suaminya Yoseph Majung, yang telah lebih dahulu menuju alam baka. Kembali, selama peti diangkat menuju kubur dan ketika mulai penguburan, para perempuan menangis sambil menjerit-jerit dan meratap, ramai sekali. Suasana perkabungan yang riuh ini mengingatkan peristiwa penguburan Yakub yang diratapi dengan riuhnya oleh anak-anak dan kaum keluarganya.

Setelah mereka sampai ke Goren-Haatad, yang di seberang sungai Yordan, maka mereka mengadakan di situ ratapan yang sangat sedih dan riuh; dan Yusuf mengadakan perkabungan tujuh hari lamanya karena ayahnya itu. Ketika penduduk negeri itu, orang-orang Kanaan, melihat perkabungan di Goren-Haatad itu, berkatalah mereka: "Inilah perkabungan orang Mesir yang amat riuh." Itulah sebabnya tempat itu dinamai Abel-Mizraim, yang letaknya di seberang Yordan. (Kej. 50:10-11)

Setelah peti diletakkan di dalam lubang kubur, ketua Dewan Stasi memimpin ibadat pemakaman secara Katolik. Kemudian, barulah warga mulai menutup lubang kubur seraya seluruh keluarga dan warga menaburkan bunga sebagai tanda penghormatan terakhir. Demikianlah upacara adat kematian tradisional di Mondo hari itu diawali dan diakhiri dengan upacara secara gerejawi.

Saung Ta’a

Saung Ta’a, demikianlah nama upacara adat yang dilakukan tiga atau

lima hari setelah kematian. Tiga atau lima harinya itu tergantung kesepakatan keluarga yang berduka. Pengertian harfiah dari Saung Ta’a adalah Daun Hijau. Maksudnya adalah bahwa setelah tiga atau lima hari tak melakukan apa-apa dalam suasana perkabungan, kini mereka sudah boleh kembali memetik daun hijau, artinya bisa kembali ke rutinitas sehari-hari, yaitu pulang ke rumah masing-masing dan bekerja kembali untuk mencari nafkah. Di hari-hari perkabungan, biasanya orang Manggarai memang meninggalkan seluruh rutinitasnya, meninggalkan rumahnya, semua berkumpul di rumah duka dan melewatkan hari-hari berkabung itu bersama-sama.

Upacara Saung Ta’a Ende Tia dilakukan pada tanggal 4 Desember 2009, yaitu setelah lima hari kematiannya. Acara dimulai sekitar pk. 10.30 dan berakhir sekitar pk. 12.00. Semua yang hadir duduk melingkar di rumah Stefanus, sesuai dengan statusnya sebagai anak rona, anak wina, aseka’é, atau

pa’ang ngaung olo musi. Sebelum dimulai acara pertama, dilakukan semacam

cek kehadiran secara adat untuk melihat kehadiran dari seluruh jajaran. Seluruh rangkaian acara dipimpin oleh Stefanus sendiri. Setelah itu, dimulailah acara pertama, yaitu Kepok Turat Cai, yang dimulai oleh jajaran asekaé. Sesuai dengan statusnya sebagai asekaé, wakil dari jajaran tersebut menyapa dengan, “Wahai leluhur kami…” Setelah itu dilanjutkan dengan jajaran anak rona yang diwakili oleh seorang bapak dari Sita. Mereka adalah para saudara dari Endé Tia, sehingga pada upacara ini berstatus sebagai anak rona ulu145. Mereka juga diistilahkan sebagai Sapo Agu Likan yang secara harfiah berarti tungku api. Di dalam rumah-rumah tradisional Manggarai yang sederhana tanpa listrik, tungku api yang biasanya berada di tengah rumah dianggap sebagai sumber kehidupan mereka. Demikianlah keluarga anak rona ulu dianggap sebagai tungku api karena memberikan saudarinya untuk menjadi sumber kehidupan bagi keluarga lain. Selain itu, dalam budaya tradisional Manggarai, jika ada pembangunan rumah biasa maupun mbaru gendang, anak ronalah yang menanamkan tungku api ini. Inti dari apa yang disampaikan oleh perwakilan anak rona ulu adalah bahwa mereka merestui berjalannya acara ini. Hal ini sesuai dengan kedudukan mereka sebagai yang dihormati. Acara adat akan dianggap tidak sah jika tidak mendapatkan restu dari anak rona ulu. Setelah itu, giliran perwakilan anak

wina. Doa-doa jajaran anak wina disampaikan oleh Gregorius Nahar, salah satu

anak wina Mondo yang sekaligus juga menjadi tokoh adat di Golonderu.146 Tak ketinggalan pula ketika itu perwakilan dari warga kampung Mondo menyampaikan doa-doa mereka sebagai pa’ang ngaung olo musi.

Setelah semua perwakilan menyampaikan doa dan ucapan-ucapannya, pemimpin upacara, yaitu Stefanus, mengucapkan terima kasih. Setelah itu, ia meminta kepada jajaran anak wina untuk menyokongnya dalam memenuhi tuntutan anak rona agar siri bongkok tidak goyah. Dalam hal ini, Stefanus sebagai anak rona menuntut sida kepada jajaran anak winanya. Uang itu selain untuk menutup biaya penguburan yang besar juga untuk memenuhi tuntutan

anak rona yang datang dari Sita. Dengan segera anak wina pun memberikan

sejumlah uang yang jumlahnya segera dicatat oleh petugas. Uang anak wina inilah yang menjadi tanda dukungan mereka.

Kemudian, Stefanus pun berdoa dengan cukup panjang dalam bahasa Manggarai. Doa-doa adat dalam bahasa Manggarai itu biasa disebut dengan

Torok. Torok yang dipimpin Stefanus saat itu diarahkan kepada Yesus Kristus

yang diawali dan diakhiri dengan tanda salib. Dalam doa itu Stefanus mendoakan setiap elemen yang hadir, yaitu anak rona, anak wina, aseka’é, dan

pa’ang ngaung olo musi. Biasanya, sesuai dengan tradisi Manggarai orang akan

melihat urat babi yang dipotong, apakah lurus atau tidak. Jika lurus, diyakini doa mereka dikabulkan. Mereka menyebutnya, di’a. Di’a sendiri dalam bahasa Manggarai berarti baik. Artinya, jika urat babi itu lurus, mereka percaya bahwa yang meninggal dan mereka semua yang mendoakan akan memperoleh keselamatan. Sebaliknya, jika ternyata tidak lurus, mereka harus menyembelih babi dan berdoa kembali sampai tercapai di’a. Akan tetapi, hal tersebut tidak dilakukan oleh Stefanus. Dengan imannya ia mengatakan bahwa doa mereka sudah dikabulkan, dan semua orang yang hadir di sana mendapatkan keselamatan dari Yesus Kristus.

“Kita sudah berdoa kepada Yesus Kristus, maka pasti kita semua selamat. Pasti

di’a,” ucap Stefanus.

Pernyataan ini disambut dengan penuh syukur oleh semua yang hadir. Anak

wina pun segera menyerahkan sejumlah uang sebagai ungkapan syukurnya

menanggapi pernyataan Stefanus, anak rona mereka.

Setelah itu acara ditutup dengan nyanyian tradisional bersahut-sahutan di antara mereka. Isi nyanyian itu kurang lebih mengajak untuk semakin mempererat persatuan antar saudara. Sehari-hari para kerabat itu tinggal di

146

tempat yang terpencar-pencar, ada yang dari Péot, Sita, Ruteng, dan sebagainya. Oleh karena itu, muncullah ajakan untuk mengintensifkan persatuan karena mereka diikat oleh sebuah ikatan emosional yang sama. Suasana sangat hangat dan gembira, baik laki-laki maupun perempuan mengambil bagian dalam nyanyian bersahut-sahutan tersebut. Usai segala nyanyian tersebut, tibalah saatnya makan siang. Rupanya untuk makan siang ini ada pengaturannya sendiri pula. Keluarga anak rona makan siang di rumah duka, keluarga anak

wina di sebuah rumah lain tak jauh dari rumah duka. Kebetulan, rumah itu

merupakan rumah dari salah satu anak wina orang Mondo. Awalnya saya berpikir supaya lebih praktis dan memudahkan pengaturan saja. Ternyata, ada alasan lain selain kemudahan praktis tersebut. Karena saya dianggap sebagai puteri pertama Stefanus147, saya pun diminta ikut makan bersama dengan keluarga anak wina. Di sanalah saya baru mengerti bahwa ternyata ada masalah penting yang perlu dibahas antara sesama anak rona sehingga diadakan pemisahan tempat makan antara anak rona dan anak wina.

Sesuai dengan Tradisi Manggarai, beberapa waktu setelah kematian perlu diadakan upacara kenduri atau yang biasa disebut dengan Kélas. Dalam Kélas inilah anak wina akan dikenakan bantang148 oleh anak rona, sehingga menjelang kenduri ini para anak wina harus menabung agar dapat membayar

bantang tersebut kepada anak rona. Dalam pembicaraan di tempat makan, para anak rona mencari kesepakatan kapan waktu yang tepat untuk Kélas dan

seberapa besar mereka harus menarik sida dari kaum anak wina. Dalam mencari kesepakatan ini, anak wina sama sekali tidak dilibatkan walau segala keputusan dari kesepakatan tersebut kelak harus ditanggung oleh anak wina.

Di rumah yang lain, para anak wina juga berbicara ramai. Masing-masing mengeluarkan pendapatnya kira-kira kapan waktu kélas yang cocok, walau mereka tahu keputusan akhir tetap di tangan para anak rona. Sedangkan mengenai jumlah uang yang mereka sanggup bayar tidak dibahas sama sekali waktu itu. Seorang adik perempuan Stefanus yang menikah dengan almarhum Kepala Desa Teber mengatakan bahwa masyarakat di Teber sebagai anak wina akan memenuhi apa saja tuntutan anak rona. Adapun waktu yang diusulkan untuk Kélas adalah bulan Maret 2010. Namun, usul ini segera ditolak oleh anak

wina dari Pau Ruteng, karena menurutnya bulan Maret adalah musim hujan

sehingga kendaraan tidak bisa sampai ke Mondo. Seorang anak wina

147

Dalam keluarga Stefanus saya diterima sebagai anaknya. Berhubung keempat anaknya lebih muda dari saya, maka saya dianggap sebagai anak sulung.

148

mengusulkan lagi bulan Agustus supaya anak-anak bisa ikut terlibat karena sedang libur sekolah. Namun, anak wina dari Golonderu menolak dengan alasan justru pada bulan tersebut pengeluaran keluarga sangat besar untuk membiayai sekolah anak-anak. Padahal, Endé Tia pernah berpesan bahwa semua keturunannya harus mempunyai pekerjaan. Akhirnya, disepakati bahwa yang penting setelah bulan Agustus, namun sebelum Hari Kopi, yaitu tanggal 15 September. Hari Kopi begitu terkenal di Manggarai, yaitu hari untuk memanen kopi. Begitu terkenalnya hari besar ini, sehingga walaupun tidak ada kopi yang dipanen mereka tetap enggan bepergian di Hari Kopi. Namun, walaupun mereka semua sudah memiliki kesepakatan bersama, tampak sekali bahwa bagaimanapun mereka akan menerima apapun yang diputuskan oleh

anak rona, baik masalah waktu penyelenggaraan Kélas maupun jumlah sida

yang harus mereka bayar.

Kélas

Kélas atau kenduri merupakan upacara kematian yang biasa

diselenggarakan oleh kebanyakan orang Manggarai. Ada juga yang menyebut upacara ini Pakadi’a. Cukup banyak yang menyelenggarakannya 40 hari setelah kematian. Namun, mereka yang sudah tua mengatakan sebetulnya tidak harus 40 hari, tetapi kapan saja sampai keluarga merasa sanggup untuk menyelenggarakan Pakadi’a, karena upacara ini membutuhkan pengeluaran yang besar. Tak jarang orang zaman dulu menyatukan saja beberapa orang yang meninggal sekaligus dalam satu Pakadi’a. Lalu, kapankah akhirnya Kélas untuk Endé Tia diselenggarakan? Setelah melalui pembicaraan yang panjang lebar, diputuskanlah oleh kaum anak rona bahwa Kélas akan diadakan pada bulan Mei, 2010, sekitar 6 bulan setelah wafatnya Endé Tia.

Dokumen terkait