• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upacara Perkawinan Batak Toba

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Upacara Perkawinan Batak Toba

Perkawinan adalah peristiwa yang sangat penting dalam hidup manusia. Perkawinan merupakan penyatuan dua keluarga yang diikat dalam tali pernikahan yang biasanya dilakukan dengan bentuk upacara adat perkawinan.

Adat-istiadat Batak merupakan aturan yang berlaku karena sudah menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun. Bila dilaksanakan dengan benar maka mendapat pujian, bila menyimpang menimbulkan amarah masyarakat lingkungan adat tersebut. Orang yang selalu berpegang pada ketentuan dan hukum adat disebut paradat tetapi orang yang tidak melaksanakan adat disebut naso maradat atau orang yang tidak tahu adat. Misalnya seseorang yang senang atau sering menjamu tamu disebut paradat.

Adat itu ada yang disebut adat penuh yang berarti tidak ada lagi sisa hutang adat. Sedangkan yang tidak penuh berarti masih terhutang adat yang harus dilunasi kelak pada waktu yang tepat. Maka bagi suku Batak, adat perkawinan yang penuh itu dilaksanakan di gedung setelah acara pemberkatan di gereja.

Dalam adat-istiadat dikenal adanya jambar. Kata jambar menunjuk kepada hak atau bagian yang ditentukan bagi seseorang (sekelompok orang). Kultur Batak menyebutkan ada 3 (tiga) jenis jambar, yaitu hak untuk mendapat bagian atas hewan sembelihan (jambar juhut), hak untuk berbicara (jambar hata) dan hak untuk mendapat peran atau tugas dalam pekerjaan publik atau komunitas (jambar ulaon). Tiap-tiap orang Batak atau kelompok dalam masyarakat Batak (hula-hula, dongan sabutuha, boru, dongan sahuta, dan sebagainya) sangat menghayati dirinya sebagai parjambar yaitu orang yang memiliki sedikit-dikitnya

3 (tiga) hak; hak bicara, hak mendapat bagian atas hewan yang disembelih dalam acara komunitas, dan hak berperan dalam pekerjaan publik atau pesta komunitas. Begitu pentingnya penghayatan akan jambar itu, sehingga bila ada orang Batak yang tidak mendapatkan atau merasa disepelekan soal jambarnya maka dia bisa marah besar.

Jambar hata (hak bicara) yaitu semacam hak dan kewajiban untuk mengucapkan sesuatu pada acara adat. Jika sampai misalnya giliran ini tidak diperolehnya, maka bisa menimbulkan perasaan tidak ada lagi saling menghormati, bahkan protokol diingatkan agar susunan acara dibetulkan lagi. Jambar hata tidak kalah pentingnya dengan jambar juhut atau hak memperoleh daging seperti yang disebut dengan osang-osang, soit, rusuk, dan sebagainya. Bahkan kadang-kadng, jika orang tidak kebagian bicara, maka orang tersebut akan mengembalikan jambar juhut yang diterimanya, dan ia pun pulang meninggalkan arena adat untuk melampiaskan rasa kesalnya. Sungguh ini merupakan bagian hak demokrasi adat. Tetapi hal-hal seperti ini pula yang membuat jalannya acara adat, misalnya pesta perkawinan.

Adat Batak itu sungguh khas dan unik. Dengan melihat kaum bapak dan ibu berpakaian ulos, orang dapat memastikan bahwa acara yang sedang berlangsung di hadapan mata itu adalah adat Batak. Ulos Batak itu sangat melekat pada acara adat. Dalam melaksanakan upacara adat, kelima suku Batak tersebut mengenakan ulos dengan coraknya masing-masing dan menggunakan bahasa daerah yang berbeda sesuai dengan sukunya.

Suku Batak adalah suatu suku yang tinggal di Propinsi Sumatera Utara. Secara geografis di propinsi Sumatera Utara, orang Batak terdiri dari 5 sub etnis, yaitu Batak Toba (Tapanuli), Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak. Secara administratif wilayah tempat tinggal suku bangsa Batak Toba meliputi 4 kabupaten : Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir.

Batak Toba disebut sebagai suku yang memiliki adat budaya sangat kuat, dan diakui sebagai tanah asal (leluhur) sub-etnis Batak lainnya. Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut Dalihan na Tolu (bahasa Toba) atau tolu sahundulan (bahasa Simalungun). Dalihan dapat diterjemahkan sebagai "tungku" dan sahundulan sebagai "posisi duduk". Keduanya mengandung arti yang sama, 3 posisi penting dalam kekerabatan orang Batak, yaitu :

1. Dongan Sabutuha/Dongan Tubu/Sanina yaitu kelompok orang-orang yang posisinya sejajar; teman/saudara semarga sehingga disebut manat mardongan tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Dongan Sabutuha ialah pihak keluarga yang semarga dengan ego di dalam hubungan patrilineal atau garis keturunan bapak (Silitonga, 1975:12); yang termasuk di dalamnya adalah ayah, saudara lai-laki ayah, dan semua anak laki-lakinya.

2. Hula-hula atau Tondong, yaitu kelompok orang orang yang posisinya di atas (keluarga marga pihak istri) yang memiliki fungsi dan kedudukan tertinggi dalam tata krama kehidupan masyarakat Batak Toba, yang harus

dihormati dan dalam upacara adat suaranya harus didengar, sehingga disebut Somba Marhula-hula yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan karena hula- hula merupakan mata ni ari binsar pangalapan ni pasu-pasu yang artinya bahwa hula-hula merupakan sumber terang dan kebahagiaan serta sumber berkat.

3. Boru, yaitu kelompok orang orang yang posisinya di bawah, yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Pihak boru merupakan pembantu utama bagi hula-hula, baik yang menyangkut materi maupun tenaga. Maksudnya bahwa boru berkewajiban membantu hula-hula membayar upacara adat. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut boru biasanya bersifat manja dan pihak hula-hula sedapat mungkin wajib melayaninya dan membujuknya (elek marboru). DNT bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi Boru. Dengan DNT, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Misalnya, dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa DNT merupakan Sistem Demokrasi Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang universal.

Upacara adat Batak Toba, selain dihadiri oleh unsur-unsur DNT, juga dihadiri oleh unsur lainnya seperti (1) raja-raja adat yaitu pengetua adat dari berbagai unsur suku di sekitar desa tempat upacara, (2) raja na ro/raja jinou yaitu pengetua yang hadir yang tidak tergolong dalam raja-raja adat, (3) raja pargomgom/raja ni dongan huta yaitu pengetua kampung yang ikut meluruskan jalannya upacara, dan (4) ale-ale yaitu teman sejawat dan teman akrab suhut yang diundang untuk menghadiri upacara tersebut.

Pesta perkawinan adalah upacara adat yang penting bagi orang Batak. Pesta perkawinan sepasang pengantin merupakan jembatan yang mempertemukan unsur DNT. Perkawinan orang Batak Toba haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat DNT. Perkawainan orang Batak dengan upacara agama serta catatan sipil hanyalah sebagai pelengkap bila dilihat dari sudut adat DNT.

2.4.1 Bentuk Upacara Adat Perkawinan Batak Toba

Acara adat perkawinan Batak Toba memiliki keragaman, misalnya marbagas „perkawinan yang sesuai dengan kebiasaan, mangalua „kawin lari‟, pagodanghon „perkawinan seorang janda dengan saudara almarhum suaminya‟, ganti rere „perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki yang isterinya telah meninggal dengan saudara perempuan isterinya, atau dengan perempuan yang berasal dari lingkungan keluarga isterinya yang telah meninggal tersebut‟, mangabia/manghampi ‟perkawinan dengan adik suami yang bukan kandung‟ marimbang „perkawinan seorang laki-laki dengan dua orang perempuan‟, dan sebagainya.

Fokus penelitian ini adalah salah satu dari ragam perkawinan tersebut, yaitu marbagas yang merupakan ragam perkawinan yang dianggap paling ideal oleh masyarakat Batak Toba. Ragam perkawinan marbagas mempunyai bentuk upacara adat. Prosesi (rentetan peristiwa) adat tersebut dimulai dari mangaririt/manjalo tanda/marhusip, marhata sinamot, martumpol, tonggo raja, dan marunjuk (manaruhon sibuha-buhai, manjalo pasu-pasu, mangan di alaman/gedung, marhata), paulak une, dan maningkir tangga. Prosesi adat upacara perkawinan dibagi dalam dua 2 (dua kegiatan pokok), yaitu upacara sebelum perkawinan (Pra Nikah) dan upacara pelaksanaan perkawinan.

Yang dimaksud dengan pra nikah adalah proses yang terjadi sebelum acara adat pernikahan. Sebelum pernikahan ada beberapa langkah atau upacara yang dilakukan dalam adat batak :

1. mangaririt/manjalo tanda/marhori-hori dinding/ marhusip

Mangaririt maksudnya seorang laki-laki meminang seorang perempuan dengan cara meminang langsung atau juga dengan memakai perantara. Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum. Kalau kesepakatan untuk melaksanakan perkawinan telah disepakati maka kedua belah pihak manjalo tanda (saling menukar tanda). Marhori-hori dinding maksudnya membicarakan secara tidak resmi oleh utusan kedua belah pihak menyangkut rencana pernikahan tersebut. Marhusip arti harafiahnya adalah berbisik. Maksudnya kelanjutan pembicaraan tetapi sudah oleh utusan resmi, bahkan ada kalanya sudah oleh kedua pihak langsung.

2. pudun saut/marhata sinamot

Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) datang kepada kerabat wanita secara resmi untuk melakukan marhata sinamot yaitu membicarakan masalah uang (mahar) atau besarnya uang perkawinan. Acara ini merupakan pengesahan atau penguatan hasil perundingan pada saat acara marhusip. Disini pihak paranak „pria‟ sudah membawa makanan namargoar „makanan adat‟. Namun sekarang, acara marhata sinamot sudah sering digabungkan dengan acara martumpol.

3. Martumpol

Penanda-tanganan persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja. Tata cara partumpolon dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan tingting (warta jemaat). Tingting ini harus dilakukan dua kali hari minggu berturut-turut. Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat dilanjutkan dengan pamasu-masuon (pemberkatan nikah).

4. Martonggo Raja/Maria Raja

Adalah suatu kegiatan pra pesta atau acara yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pesta atau penyelenggara acara yang bertujuan untuk a) mempersiapkan kepentingan pesta yang bersifat teknis dan non teknis, b) pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pesta/acara pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain

tidak mengadakan pesta atau acara dalam waktu yang bersamaan, c) memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan.

Setelah acara pra nikah selesai maka acara adat pernikahan penuh segera dilangsungkan. Adapun acara atau peristiwa pelaksanaan perkawinan itu terdiri dari :

1. marunjuk (Pemberkatan Pernikahan)

Pesta unjuk adalah suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan putra dan putri. Pihak laki-laki menyebut pesta pernikahan dengan istilah pesta marunjuk dan pihak perempuan menyebutnya dengan mangan tuhor, mangan boli, atau mangan juhut ni boru. Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar. Untuk kerabat parboru, jambar yang dibagi-bagikan adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (mahar perempuan) yang dibagi menurut peraturan. Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak (pihak laki-laki) adalah dengke (ikan mas) dan ulos. Marunjuk adalah peristiwa puncak dari seluruh rentetan peristiwa yang harus dilalui dalam pesta perkawinan. Rentetan acara tersebut adalah sebagai berikut :

1. manaruhon sibuha-buhai (penyerahan makanan serapan) 2. manjalo pasu-pasu (pemberkatan nikah di gereja) 3. mangan di alaman/gedung (makan siang bersama) 4. marhata (berbicara)

Secara umum, pelaksanaan akhir adat pernikahan Batak Toba dilakukan pada peristiwa marunjuk setelah melalui proses pemberkatan nikah di gereja.

Selesai pemberkatan, prosesi masuk ke tempat acara adat. Acara yang dilakukan sebelum marhata adalah :

1. Menyerahkan Tudu-tudu Ni Sipanaganon (tanda makanan adat) 2. Menyerahkan dengke (ikan)

3. Makan bersama

4. Membagi jambar (tanda makanan adat) 5. Menerima tumpak (sumbangan tanda kasih) 6. Acara adat (Mempersiapkan Percakapan) 7. Marhata (berbicara)

2. Paulak Une

Peristiwa ini merupakan acara kunjungan sang pengantin beserta keluarga laki-laki ke rumah pihak parboru (orang tua perempuan) sesudah seminggu acara marunjuk. Kunjungan ini mengandung arti bahwa sang pengantin diperlakukan dengan baik, tiada kurang suatu apapun. Biasanya rombongan ini membawa makanan dan dilanjutkan dengan acara marhata. Namun sekarang acara ini telah digabung pada saat akhir acara marunjuk.

3. Maningkir Tangga

Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung pihak parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga. Maksud tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru. Dalam kunjungan ini pihak parboru juga membawa makanan berupa nasi dan lauk pauk (dengke sitio tio dan dengke simudur-mudur). Dengan selesainya

kunjungan maningkir tangga ini maka selesailah rangkaian pernikahan adat na gok (adat penuh). Sama halnya dengan acara paulak une, acara ini telah digabung pada saat akhir acara marunjuk.

2.4.2 Marhata

Pada hakekatnya marhata selalu terintegrasi dalam upacara adat, dan merupakan bagian dalam setiap upacara adat. Marhata ialah membicarakan serta mewujudkan tujuan setiap upacara adat dengan menggunakan bahasa tutur parhataan, (Pardede, dkk., 1981:7). Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap upacara adat akan diakhiri dengan acara „marhata‟. Dalam upacara perkawinan Batak Toba, acara marhata‟bicara adat‟ merupakan bagian dari upacara inti yang harus dilakukan.

Acara marhata ialah dialog secara resmi di antara dua pihak yaitu pihak orangtua mempelai wanita dan pihak orangtua mempelai pria yang biasanya didahului dengan acara makan bersama. Setelah ada kesepakatan kedua belah pihak, maka acara marhata dapat dimulai.

Marhata dapat dikatakan sebuah percakapan sebab percakapan baru dapat disebut sebagai peristiwa tutur kalau memenuhi delapan komponen atau yang disingkat dengan SPEAKING yaitu S (Setting and Scene), P (Participants), E (Ends: Porpose and Goal), A (Act Sequences), K (Key: tone or Spirit of act), I (Instrumentalities), N (Norms of Interaction and Interpretation, dan G (Genre).

Setting (waktu dan tempat) marhata berlangsung dengan situasi formal di rumah dan ruangan (gedung). Situasi tutur marhusip berlangsung di rumah,

sedangkan situasi tutur marpudunsaut dan marunjuk berada di ruangan (gedung). Jarak waktu antara situasi tutur marhusip ke marpudunsaut dan marunjuk bervariasi sesuai dengan kesepakatan waktu keluarga kedua belah pihak. Acara marhusip ke marpudunsaut bisa berjarak satu, dua, atau tiga bulan, sedangkan acara marpudunsaut ke marunjuk biasanya berjarak dua minggu.

Partisipan yang terlibat dalam peristiwa marhata terdiri dari unsur-unsur DNT(hula-hula, dongan tubu,dan boru). Keterlibatan partisipan dalam marhata dimulai dari hula-hula, dongan tubu, dan juga boru. Dalam acara marhata selalu ada dua pihak, yaitu pihak suhut baik dari pihak laki-laki maupun perempuan dengan unsur DNT. Di samping itu, selalu ada juga raja panise (raja penanya) dan raja pangalusi (raja penjawab). Pelaksanaan acara adat baik di rumah maupun di gedung biasanya dikoordinir oleh Raja Parhata (Juru bicara adat) yang terdiri dari raja panise dan juga raja pangalusi. Seorang Raja Parhata yang dipilih oleh barisan semarganya harus memahami hukum adat serta penerapannya, segala seluk-beluk adat Batak pada umumnya dan adat yang berlaku bagi rumpunnya semarga pada khususnya.

Mengapa disebut sebagai Raja?. Dalam hal ini Raja bukanlah dimaksudkan sebagai penguasa tertinggi pada suatu kerajaan yang biasanya merupakan warisan turun-temurun, atau orang yang mengepalai dan memerintah suatu bangsa atau negara atau suatu daerah seperti sultan, melainkan hanyalah karena orang yang disebut “raja” dalam adat –istiadat Batak itu adalah “ pemuka” yang memiliki keistimewaan khusus termasuk kepandaiannya mengelola/ mengendalikan jalannya upacara adat, baik skala kecil, menengah maupun pesta

adat skala besar. Menurut kamus bahasa Batak Toba– Indonesia adalah siboto uhum siboto adat yang artinya paham mengenai hukum adat serta penerapannya dengan benar.

Dalam masyarakat Batak Toba ada beberapa kelompok atau perorangan yang panggilannya bergelar raja, yaitu :

1. Raja ni dongan tubu (pemuka-pemuka dari barisan semarga)

2. Raja ni Hula-hula (pemuka-pemuka dari barisan marga Hula-hula atau marga istri).

3. Raja ni boru (para pemuka dari barisan boru yang mengawini saudara perempuan)

4. Raja naginokhon (para pemuka dari kelompok undangan yang tidak termasuk (di luar) DNT).

5. Raja na ro/Raja Nijou (tamu yang tidak direncanakan datang)

6. Raja panungkun (seseorang yang ditugasi bersama (orang yang dirajakan) untuk menanyakan pihak paranak misalnya dalam pesta perkawinan yang disebut juga Raja panise.

7. Raja pangalusi (seseorang yang ditugasksan bersama atau dirajakan untuk menjawab atau memberikan penjelasan kepada yang bertanya (Raja panungkun).

Berikut ini contoh bahasa tutur marhata antara juru bicara raja panise dan raja pangalusi dalam upacara adat mangaririt/manjalo tanda/marhori-hori dinding/ marhusip .yang dikutip dari Pardede, dkk. (1981)

(penanya) alai asa umpos rohanami denggan do paboaonmu manang naung sian roham do naeng manopot borunami. Jala asa tangkas botoon nami laos paboa ma jolo hira ise ma nuaeng na tumubuhon hamu, sian huta dia jala anak paipiga ma ho anak ni lae i?

Terjemahan: Maka sekarang bere… kami percaya akan perkataan Bapak si A tadi. Agar kami lebih percaya, baiklah kau katakana, apakah memang engkau sungguh-sungguh ingin memperistri anak kami ini. Agar lebih jelas kami mengetahui, jelaskanlah siapa nama ayahmu, dari kampong mana, dan engkau anak ke berapa.

Pangoro: Ianggo ahu tulang, siahaan dope ahu anak ni damang Ama ni… (sang pria) sian huta ………….: 5 do hami marhaha-maranggi. Ia marga ni dainang pangintubu ima marga… Ba naung parbinoto do nasida

diparlangkanghon , jala las roha nasida gabe helamu ahu. Jala pos ma rohamu ndang adong bogashu manang didia na asing.

Terjemahan: Kalau saya, Paman, sayalah anak pertama, anak ayah Ama ni …..berasal dari kampong ….; kami adalah lima orang bersaudara Ibu kandung saya bermarga … Rencana ini adalah sepengetahuan mereka dan mereka sangat setuju apabila saya menjadi menantu Paman. Percayalah, saya tidak mempunyai hubungan dengan perempuan lain.

Berikut ini contoh bahasa tutur marhata antara juru bicara raja panise dan raja pangalusi dalam upacara adat marunjuk .yang dikutip dari Pardede, dkk. (1981)

Raja Panise:

Olo ba raja ni boru. Ba haroan ni panggabean dohot parhorasondo hape. Ba sitiptip ma sihompa godang palu-palu na, palu-palu nai to ho tu ogung oloan, manumpak ma Ompunta Debata godang pasu-pasuna, jala pasu-pasuna i ganup taon marharoan; gabe ma hamu na mangalehon sipanganon i gabe nang hami na manganhon. Bagot na ginjang ma na tubu di robean, gabe na mala, horas na nilean. Gabe ma hamu na hugabei hami, gabe nang hami na manggabei hamu, horas hita on saluhutna. Ba marangkup do na uli, mardongan na denggan, ba siangkupna songon na mardalan, sihombarna songon na hundul, ba dipaboa raja ni boru.

Baiklah raja ni boru. Ya, rupanya pesta kegembiraan dan keselamatan. Ya, sitiptip dan sihompa banyak pembunyinya. Pembunyinya itu tepat ke ogung oloan, mengasihilah Tuhan Debata banyaklah berkatnya, yang memungkinkan kita tiap tahun berpesta. Selamatlah kamu yang menyajikan makanan dan selamatlah kami yang menikmati. Semoga kamu beroleh gantinya; kami gemuk yang makan. Pohon enau yang tinggi tumbuh di tanah yang curam; kayalah yang bermurah hati; selamat yang menerima. Selamatlah kamu yang kami selamati; selamat kami yang memberi selamat, selamatlah kita semua. Berkawan yang baik, berteman yang bagus, ya, iringan bagai orang berjalan, bergandengan bagai orang duduk, hendaknyalah diterangkan raja ni boru.

Raja Pangalusi:

Olo ba raja nami, raja ni hula-hula. Di hata ni panggabean parhorasan naung nidokmu: Eme sitamba binahen baen boni, ima didok hatanta ima dioloi tondi, jujung ma i disambubu, tuak di abara, amou dohot diampuan, gabe ma hamuna manggabei hami, ganang hami na ginabeanmu. Sian na manungkun hamu disiangkupna songan na mardalan sihombar songanna hundul, paboan ma tutu: Ba ompu raja ijolo do martungkot siala gundi adat ni na dijolo diihuthon hita na dipudi, ba na martinopot do anak nami tu borumu, jadi dibahen na olo do hamu parsijangkit-jangkitan songon si hapor eme. Ba i do dalan rajanami umbahen na ro hami mangusung jual nami , ba na laho mangalap borumu do hami rajanami umbahen na ro. Baima di alusi raja i.

Terjemahan :

Baiklah tuan raja, raja ni hula-hula. Mengenai ucapan kegembiraan dan keselamatan yang telah disampaikan: Padi sitamba dipilih untuk benih. Apa yang kita katakan semogalah berterima oleh roh, terletak di atas kepala, di bawa di atas bahu, berterima di haribaan, selamatlah kamu yang memberi selamat kepada kami dan selamat kami yang menerimanya. Menjawab pertanyaan tentang iringan bagai orang berjalan, berbarengan bagai orang duduk, baiklah kami beritahukan: Ya, nenek raja yang dahulu bertongkat siala gundi. Adat yang dahulu diikuti orang belakangan, ya anak kami mendatangi putri tuan raja. Kami bersyukur, kami beroleh tempat berlindung. Kami datang membawa persembahan kami. Jadi, kami datang untuk menjemput putri tua. Demikian kami beritahukan tuan raja.

Ketika acara marhata pada situasi tutur marhusip dilaksanakan, partisipan yang ikut terlibat dalam marhata terdiri atas juru bicara pihak laki-laki dan juru bicara pihak perempuan, penatua kampung pihak laki-laki dan penatua kampung pihak perempuan, boru/mantu, pariban, dongan tubu (semarga) pihak perempuan, sedangkan pihak hula-hula (tulang dari kedua belah pihak) belum hadir dalam acara ini sebab acara marhusip dapat dikatakan acara yang masih belum resmi

Dokumen terkait