• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Upah Layak”: Upah Minimum Australia dan Indonesia

Oleh Nicholas Bugeja* (Mahasiswa Monash University Australia)

D

alam sistem kapitalisme, keberadaan upah minimum amat penting bagi martabat pekerja.

Sebelum pembentukan sistem ini, perbudakan marak di seluruh dunia – dari Australia, sampai Amerika Serikat, sampai Brasil, sampai Barbados. Bahkan, para pekerja yang dibayar mendapat upah yang tidak berarti atas kerja-kerja yang seringkali amat berat. Namun, upah minimum nyaris tidak dapat mengatasi sifat kapitalisme yang berakar dengan dalam dan tidak adil. Meskipun upah minimum telah terbukti sebagai mekanisme pent-ing untuk memastikan bahwa pekerja menerima – palpent-ing tidak – upah yang lebih baik dibandingkan dengan yang akan mereka dapatkan apabila tidak ada ketentuan hukum ini.

Konsep dasar upah minimum sangatlah sederhana:

pekerja tidak boleh dibayar di bawah jumlah tertentu untuk suatu pekerjaan tertentu. Upah minimum haruslah, secara teori, memberikan sebuah dasar yang tidak boleh diturunkan lagi oleh para majikan. Selain itu, upah mini-mum sering dipahami sebagai cara pemerintah dapat melakukan intervensi secara positif di pasar tenaga kerja untuk memastikan bahwa “setiap pekerja memiliki hak atas upah yang layak” (sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia).1

Namun, masih ada yang harus dilakukan untuk memas-tikan bahwa upah minimum memenuhi kebutuhan sah para pekerja. Australia memenuhi kewajibannya kepada pekerja kelas bawah dengan cukup baik. Meskipun, tentu saja, seperti negara kapitalis lainnya, negara ini dapat menaikkan upah minimum yang berlaku saat ini.

[1] UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, Pasal 88.

Sementara, Indonesia harus terus memperkuat per-lindungannya terhadap masyarakat kelas pekerja, serta menegakkannya dengan kuat.

Negara Australialah yang melahirkan upah minimum.

Meskipun tidak diundangkan oleh Parlemen, namun upah minimum dilaksanakan melalui keputusan pengadilan, yang sekarang dikenal sebagai Kasus Harvester2 pada tahun 1907. Kasus ini mempertimbangkan jumlah yang sah untuk membayar seorang pekerja tidak terampil di dunia industri Australia. Hakim Higgins memutuskan bahwa “upah layak atau upah untuk memenuhi kebutu-han keluarga” harus ada di Australia, untuk memastikan bahwa “kebutuhan normal rata-rata karyawan, yang dianggap sebagai manusia yang tinggal di masyarakat yang beradab”3 terpenuhi.

Saat ini, upah minimum di Australia diatur oleh undang-undang hubungan industrial negara tersebut.

Undang-undang ini disebut Undang-Undang Pekerjaan yang Adil,4 yang dibuat oleh Partai Buruh pada tahun 2009. Upah minimum di Australia – seperti halnya di kebanyakan negara – didasarkan pada aspirasi. Partai ini berupaya untuk “menetapkan dan memelihara jaring pengaman dari upah minimum yang adil”, yang men-cakup berbagai pertimbangan seperti inklusi sosial untuk semua, standar hidup yang baik dan perlindungan ter-hadap pekerja bergaji rendah, dan prinsip renumerasi yang setara.

[2] Ex Parte H.V. McKay (1907) 2 CAR 1.

[3] https://www.fwc.gov.au/waltzing-matilda-and-the-sunshine-harvester-factory/historical-material/harvester-case.

[4] Fair Work Act (UU Pekerjaan yang Adil) 2009 (Cth).

OPINI

Karena diberlakukan oleh Parlemen Federal – bukan Parlemen Negara Bagian – UU perburuhan ini ditera-pkan di seluruh Australia tanpa perbedaan. Hal yang sama berlaku untuk upah minimum. Hanya ada satu upah minimum dasar di Australia. Tidak masalah apakah seseorang tinggal di Melbourne, Darwin, Sydney atau daerah lainnya. Hal ini memberikan tingkat konsistensi yang besar dalam perlindungan hukum perburuhan, karena semua pekerja Australia memiliki hak hukum yang sama persis. Ini menjamin bahwa pekerja tidak akan diperlakukan lebih buruk berdasarkan tempat tinggal dan tempat kerja.

Namun, ada beberapa pengecualian. Upah minimum nasional tidak berlaku untuk pekerja junior (yang berusia di bawah 18 tahun), karyawan yang mengikuti pelatihan, dan karyawan dengan kebutuhan khusus. Untuk semua karyawan lainnya, upah minimum berlaku.

Sebaliknya, Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia secara jelas menyatakan bahwa upah minimum berva-riasi di seluruh Indonesia. Upah minimum diatur oleh gubernur atau walikota atau kepala daerah. Akibatnya, terdapat disparitas (perbedaan) ekonomi yang luas dalam upah minimum di Indonesia. Di tempat-tempat seperti Karawang, Bekasi dan Jakarta, upah minimum jauh lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi seperti Yogyakarta, Jawa Barat, dan Kendal.5

Pemerintah membenarkan pembedaan ini dengan menyebutkan bahwa kegiatan ekonomi dan nilai moneter sangat bervariasi di seluruh Indonesia. Namun, perny-ataan ini tidak menceritakan seluruh permasalahannya.

Kebijakan upah minimum menciptakan ketimpangan di antara para pekerja di Indonesia. Oleh karena itu, pekerja di Jakarta umumnya akan memiliki standar hidup yang lebih baik daripada pekerja di Yogyakarta, sehingga lebih mempemudah dan lebih memampukan pekerja di Jakarta untuk pindah, misalnya. Kebijakan ini juga menurunkan pengawasan pemerintah. Dengan melokalisasi kebijakan upah minimum, terdapat potensi lebih besar bagi seba-gian gubernur untuk mempertahankan upah minimum di tingkat yang tidak layak. Akibatnya, semakin sulit bagi serikat buruh untuk menjalankan kampanye nasional yang bersatu untuk meningkatkan upah minimum. Ini dikarenakan setiap provinsi dan kota, kemungkinan besar, memiliki keluhan dan tuntutan upah yang berbeda.

Upah minimum di Australia disesuaikan setahun sekali.

Proses ini disebut “Tinjauan Upah Tahunan”,6 yang dilakukan oleh Komisi Pekerjaan yang Adil, yaitu sebuah pengadilan spesialis independen. Panel pakar berang-gotakan tujuh orang bertanggung jawab untuk meninjau upah minimum yang berlaku. Sebagai bagian dari proses ini, semua pihak yang berkepentingan dapat mengajukan rancangan tertulis untuk dipertimbangkan oleh panel.

[5] https://www.indonesia-investments.com/id/news/todays-headlines/what-are-the-minimum-wages-in-indonesia-in-2018/item8347?.

[6] Fair Work Act (UU Pekerjaan yang Adil) (Cth), s 285.

Biasanya, kalangan usaha, asosiasi, pemerintah, serikat buruh dan organisasi non-pemerintahlah yang mem-berikan pengaruh terbesar melalui pengajuan mereka.

Secara umum, panel diberi wewenang untuk:

• Meningkatkan upah minimum, atau;

• Tidak mengubahnya, atau;

• Menurunkannya.

Sejak awal pembentukannya, panel ini selalu menaikkan upah minimum setiap tahunnya.

Di Indonesia, pemerintah juga menetapkan upah mini-mum. Lebih khusus lagi, kepala daerah (Walikota atau Gubernur) memutuskan besaran upah minimum, dengan mempertimbangkan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan Bupati dan Walikota.7 Sebelumnya, dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan8 menyatakan bahwa serikat buruh dapat memberikan masukan dalam proses penetapan upah minimum. Namun, ini telah diha-pus oleh Presiden Joko Widodo.9 Peraturan tersebut menetapkan bahwa upah minimum, seperti di Australia, ditentukan setiap tahun.10 Faktor-faktor utama yang harus dipertimbangkan kepala daerah adalah persyaratan untuk standar kehidupan yang layak, produktivitas pekerja dan pertumbuhan ekonomi. Dalam peraturan tersebut, ada juga formula untuk menetapkan upah minimum: UMn = UMt + {UMt x (Inflasit +% Δ PDBt)}.11 Namun, kenaikan upah minimum tidak selalu memen-uhi tuntutan gerakan serikat buruh Australia. Sebelum peninjauan upah tahun 2018, serikat buruh berupaya mendapatkan kenaikan upah minimum sebesar 7,2%, setara dengan $ 50 lebih tinggi dalam per minggunya.

Pejabat serikat tertinggi di negara itu, Sally McManus, mengatakan: “Itu akan menjadi jumlah yang signifikan untuk membantu orang menghadapi peningkatan biaya hidup karena saat ini keluarga yang bekerja tengah ber-juang untuk membayar tagihan-tagihan mereka.”12 Namun, Panel malah memprakarsai kenaikan sebesar 3,5%, naik dari $ 18,29 per jam menjadi $ 18,93, kenaikan sebesar $ 24,30 per minggunya. Oleh karena itu, para pekerja yang menerima upah minimum saat ini di sana mendapatkan upah sebesar $ 719,20 per minggu (Rp.

7.117.165,34).

Gerakan serikat buruh Indonesia seringkali merasa tidak puas dengan upah minimum yang beragam di seluruh Indonesia. Pada tahun 2018, serikat buruh mengingin-kan kenaimengingin-kan upah minimum di Jakarta sebesar 20%.

[7] Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, Pasal 89(3).

[8] UU No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

[9] https://www.thejakartapost.com/news/2015/10/27/new-minimum-wage-formula-comes-effect.html.

[10] Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Pasal 43(1).

[11] Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Pasal 44(2).

[12] https://www.abc.net.au/news/2018-03-13/actu-wants-50-dollar-a-week-minimum-wage-increase/9540986

Namun, pemerintah hanya menetapkan kenaikan upah minimum sebesar 8,03%, menjadi Rp. 3,9 juta per bulan ($ 394,23 dolar Australia).

Jika karyawan dibayar di bawah upah minimum di Australia, majikan mereka akan menghadapi sanksi hukum. Sanksi ini sifatnya perdata, bukan pidana.

Akibatnya, bukan negara yang mengajukan kasus terha-dap perusahaan atau orang yang melanggar hukum, dan para pelanggar itu juga tidak akan dinyatakan bersalah atas tindak pidana. Sebaliknya, perusahaan dan orang-orang tersebut dapat dikenakan denda oleh pengadilan.

Tidak ada ketentuan umum tentang jumlah denda yang harus dibayar seseorang atau perusahaan, meskipun perusahaan biasanya dikenai denda lebih besar dari-pada perorangan.

Jika perusahaan atau orang tersebut melakukan pelang-garan berat terhadap undang-undang upah minimum, mereka harus membayar sekitar $ 126.000. Jika pelang-garannya tidak terlalu berat, maka mereka akan didenda sekitar $ 12.600.13 Seperti di Indonesia, Australia memiliki masalahnya sendiri dengan penerapan ketetapan UU ini. Perusahaan dan individu yang memiliki kuasa besar kadang-kadang akan mengintimidasi atau mencegah pekerja berserikat, yang berarti bahwa perilaku ilegal mereka untuk tidak membayarkan upah minimum mung-kin lolos dari hukum.

Ini adalah masalah yang sangat mendesak bagi pekerja migran di Australia, yang rentan terhadap eksploitasi upah. Mereka seringkali kekurangan pengetahuan

[13] Fair Work Act (UU Pekerjaan yang Adil) 2009 (Cth), s 293.

konkret tentang perlindungan hukum dan upah mini-mum di Australia, memiliki pekerjaan yang tidak aman dan tidak pasti, dan dapat menjadi sasaran pengusaha yang bertujuan untuk mengeksploitasi mereka. Di bidang perhotelan, pertanian, dan industri perkebunan (pemeti-kan buah), masalah-masalah ini sangat endemis. Namun, secara keseluruhan, pemerintah Australia dan Komisi Pekerjaan yang Adil relatif efektif dalam memerangi per-ilaku ilegal korporasi dan kalangan usaha.

Pada 2015, misalnya, sebuah perusahaan bernama Grandcity Travel & Tour didenda sebesar $ 192.840 – dan pemiliknya sebesar $ 35.496 – karena dengan sengaja membayar seorang pekerja migran di bawah upah mini-mum.14 Selama delapan bulan, pekerja migran tersebut dibayar kurang dari $ 19.567. Dalam kasus ini, pengadi-lan mengeluarkan putusan yang keras, dan mengutuk perlakuan perusahaan yang tidak menghormati pekerja.

Di Indonesia, jika seseorang atau perusahaan gagal mem-bayar upah minimum yang berlaku, maka mereka akan dikenai sanksi pidana. Pelanggaran terhadap Pasal 90 Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan15 merupakan tindak pidana, yang dapat berujung pada pidana penjara antara satu sampai empat tahun, dan/atau denda antara 100 juta sampai 400 juta rupiah. Sayangnya, seperti yang diketahui oleh serikat buruh, ada masalah-masalah sig-nifikan dengan penerapan hukum perburuhan Indonesia, termasuk hukuman yang sangat penting ini.

[14] https://www.fairwork.gov.au/about-us/news-and-media-releases/2015-media-releases/

june-2015/20150630-grandcity-penalty-w.

[15] UU tentang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, Pasal 185(1).

Penulis adalah mahasiswa hukum Monash University-Australia, yang mengikuti program studi ‘ACICIS Law Practicum Program (periode Jan-Feb 2019)’ di TURC.

Era #MeToo: Berbagi Pengalaman

Dokumen terkait