• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Buruh Daerah: Semangat yang Tak Pernah Padam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Gerakan Buruh Daerah: Semangat yang Tak Pernah Padam"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

48 | FEBRUARI 2019

Gerakan Buruh di Makassar

Oleh Akbar Rewoko (Kepala Divisi Pendidikan SGBN)

Gerakan Serikat Buruh Sawit Kotabaru (Perjuangan UMSK 2019 yang Belum Selesai)

Oleh Harwanto Harry (Staf Lokal TURC – Kalimantan Selatan) Gerakan Ekonomi Alternatif Serikat Pekerja

Oleh Muchamad Ibnu Mas’ud (Team Media SPN Pekalongan) LKS Bipartit, Serikat Buruh & Dialog Sosial

Oleh Endang Rokhani (Peneliti LabSosio Universitas Indonesia) Kondisi Buruh Migran Indonesia di Industri Perikanan Korea Oleh Henrikus Setiadi Pratama (Bidang Riset dan Advokasi DPP KNTI) Save Our Indo Ports

Oleh RB. Gratio (Mahasiswa Hukum Universitas Indonesia)

Masa Depan Serikat Pekerja, Generasi Y dan Revolusi Industri Oleh Rastra Sewakitiara

‘Reserved Army of Labour’: Mengurai Spektrum Pelecehan Seksual Buruh Perempuan di Tempat Kerja

Oleh Alvin Nicola (Koordinator Never Okay Project)

“Upah Layak”: Upah Minimum Australia dan Indonesia Oleh Nicholas Bugeja (Mahasiswa Monash University Australia)

Era #MeToo: Berbagi Pengalaman Para Perempuan di Dunia Kerja Oleh Alina Rivzi* (Mahasiswi Australian National University)

Buruh Alfamart Berhutang Pada Perusahaan Tanpa Merasakan Apa Yang Dihutanginya

Oleh Zaenal Rusli (FSBKU KSN) Mutasi: Taktik Memecat Buruh Oleh Lia (PEPSI-KSN)

SPDL Politik Busuk Kapital

Oleh Nanang Wahidin (Garteks – KSBSI) Dilema Buruh

Oleh Imas Mulyati (Garteks)

Sampai Kapan Aku Menjadi PKWT Oleh Jurotul Khayati (SP TSK SPSI) BPJS Ketenagakerjaan Oleh Ruswati (SPSI)

Upah Adalah Urat Nadi Buruh Oleh Maruloh

Gerakan Buruh Daerah:

Semangat yang Tak

Pernah Padam

(2)

Sepinya gerakan serikat buruh tingkat nasional dalam mewacanakan agenda perjuangan sangat terasa pada waktu belakangan ini. Agenda-agenda aliansi gerakan nasional hanya sebatas obrolan warung kopi dan ke- mandeg-an pemberitaan mengenai gerakan buruh tingkat nasional pun menjadi tanda bahwa gerakan buruh mengalami kejenuhan. Gerakan buruh justru disibukkan dengan agenda-agenda politik praktis yang tidak jarang mengesampingkan isu-isu perburuhan itu sendiri.

Jika dilihat dari sejarahnya, 3 Oktober 2012 merupakan tanggal monumental yang menandai sejarah gerakan buruh Indonesia pasca kediktatoran rezim orde baru.

Saat itu, tiga konfederasi besar serikat buruh yang ter- gabung dalam MPBI (Majelis Pekerja Buruh Indonesia), didukung beberapa federasi serikat buruh di luar MPBI, menjalankan mogok nasional. Dengan jumlah massa ratu- san ribu, yang berasal dari 754 perusahaan di 12 provinsi, 37 kabupaten/kota yang tersebar di pulau-pulau besar Indonesia1, gerakan ini menuntut penghapusan sistem outsourcing, penolakan upah murah, dan pelaksanaan jaminan sosial. Gerakan ini juga menjadi gerakan buruh mogok nasional pertama kali dalam sejarah gerakan buruh pasca-Soeharto.

Gerakan buruh ini juga memberi dampak positif di ber- bagai daerah seperti Sukabumi, Pekalongan, Semarang dan lainnya dalam memotori pergerakan serikat buruh

[1]  . Abu Mutakhir “https://indoprogress.com/2012/11/hukum-yang-retak-dan-grebek-pabrik-1/” . Diakses pada tanggal 12 Desember 2018.

di tingkat basis. Dadeng Nazarudin2 mengatakan bahwa, adanya mogok nasional ini berdampak pada aktivitas gerakan buruh di Sukabumi, melahirkan aliansi buruh Sukabumi dengan nama Koalisi Buruh Sukabumi (KBS) yang bertujuan memperjuangkan kenaikan upah mini- mum di Sukabumi.

Gerakan buruh tingkat nasional tersebut telah men- dongkrak gerakan buruh tingkat daerah yang lama tidak terdengar. Namun demikian, kondisi ini dipertahankan oleh aktivis buruh di nasional sebagai representasi gera- kan buruh. Hari ini gerakan buruh di tingkat nasional justru mengalami ke-mandeg-an. Namun, ini bukan men- jadi sebuah penghalang bagi buruh di tingkat daerah. Hal ini terbukti dari berbagai cerita gerakan buruh di daerah atau tingkat basis yang masih eksis memperjuangkan hak-hak buruh untuk memperoleh kesejahteraan. Oleh karena itu, edisi Lembur #48 kali ini, mengangkat tema

“Gerakan Buruh Daerah: Semangat yang Tak Pernah Padam”. Tema tersebut diangkat sebagai bentuk doku- mentasi berbagai perlawanan gerakan buruh tingkat basis atau daerah yang masih aktif memperjuangkan hak-hak buruh dan juga sebagai bahan pembelajaran, bahwasanya semangat gerakan buruh tingkat daerah tidak pernah mati.

[2]  . Wawancara dengan Dadeng Nazarudin (Ketua DPC GSBI Sukabumi).

Diterbitkan atas hasil kerja sama TURC (Trade Union Rights Centre) dan DGB BW (Deutsche Gewerkschaftsbund Bildungswerk).

Pimpinan Redaksi : Andriko Otang

Koordinator Pelaksana : Mohammad Setiawan

Dewan Redaksi : Eci Ernawati, Hafidz Arfandi, Ahmad Vauzi, Andy Akbar, Evania Putri, Mohammad Setiawan, Sunaryo Aritonang, Harwanto, Dede Rina Editor : Aditya Warman

Tata Letak : Pesawat Sederhana

Kesekretariatan : Tuti Nurhayati, Denissa Kartika, Siti Munawaroh

Alamat Redaksi : Jalan Mesjid II. No. 28, Pejompongan, Bendungan Hilir, Jakarta 10210 Telp / Fax : +62 21 5744655

Email : [email protected]

SUSUNAN REDAKSI Pengantar Redaksi

DGB BW TIDAK BERTANGGUNG JAWAB ATAS ISI TABLOID

(3)

Daftar isi

‘Tersedia buku-buku tentang perburuhan’

Kunjungi website kami di www.turc.or.id untuk melihat katalog buku dan dapat melakukan pemesanan melalui :

Siti Munawaroh (Telp : 021-5744655) atau email ke [email protected] (dengan subject : PEMESANAN BUKU TURC).

Pembayaran dapat dilakukan via transfer ke : Bank CIMB Niaga 473.01.00088.000 a/n Trade Union Rights Centre

LAPORAN UTAMA

Gerakan Buruh di Makassar 1

Oleh Akbar Rewoko (Kepala Divisi Pendidikan SGBN)

Gerakan Serikat Buruh Sawit Kotabaru (Perjuangan UMSK 2019 yang Belum Selesai) 4

Oleh Harwanto Harry (Staf Lokal TURC – Kalimantan Selatan)

Gerakan Ekonomi Alternatif Serikat Pekerja 7

Oleh Muchamad Ibnu Mas’ud (Team Media SPN Pekalongan) LAPORAN KHUSUS

LKS Bipartit, Serikat Buruh & Dialog Sosial 9

Oleh Endang Rokhani (Peneliti LabSosio Universitas Indonesia)

Kondisi Buruh Migran Indonesia di Industri Perikanan Korea 12

Oleh Henrikus Setiadi Pratama (Bidang Riset dan Advokasi DPP KNTI)

Save Our Indo Ports 14

Oleh RB. Gratio (Mahasiswa Hukum Universitas Indonesia) OPINI

Masa Depan Serikat Pekerja, Generasi Y dan Revolusi Industri 16

Oleh Rastra Sewakitiara

‘Reserved Army of Labour’: Mengurai Spektrum Pelecehan Seksual Buruh Perempuan di Tempat Kerja 17

Oleh Alvin Nicola (Koordinator Never Okay Project)

“Upah Layak”: Upah Minimum Australia dan Indonesia 21

Oleh Nicholas Bugeja (Mahasiswa Monash University Australia)

Era #MeToo: Berbagi Pengalaman Para Perempuan di Dunia Kerja 24

Oleh Alina Rivzi* (Mahasiswi Australian National University) BURUH BERCERITA

Buruh Alfamart Berhutang Pada Perusahaan Tanpa Merasakan Apa Yang Dihutanginya 26

Oleh Zaenal Rusli (FSBKU KSN) SUARA BURUH

Mutasi: Taktik Memecat Buruh 28

Oleh Lia (PEPSI-KSN)

SPDL Politik Busuk Kapital 28

Oleh Nanang Wahidin (Garteks – KSBSI)

Dilema Buruh 28

Oleh Imas Mulyati (Garteks)

Sampai Kapan Aku Menjadi PKWT 28

Oleh Jurotul Khayati (SP TSK SPSI)

BPJS Ketenagakerjaan 29

Oleh Ruswati (SPSI)

Upah Adalah Urat Nadi Buruh 29

Oleh Maruloh NAPAK TILAS

Konsinyering II Permenaker Perlindungan Pekerja Rumahan 30

Pelatihan Perjanjian Kerja Bersama Ditinjau dari Pemahaman, Hukum, Aturan bagi Buruh 31

FGD: Efektivitas Aksesibilitas Serikat Buruh/Serikat Pekerja Terhadap Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung 32

Women Home Workers Festival II “Buruh (Tanpa) Pabrik” 33

TIPS

Tips Menghindari 34

Berita Hoax 34

Dr. Love 35

Perpustakaan TURC

(4)

Kondisi Perburuhan di Makassar

K

ondisi buruh di Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Meskipun Sulawesi Selatan bukan kota industri manu- faktur namun jumlah tenaga kerja cukup banyak. Data BPS tahun 2017 menunjukkan bahwa seban- yak 2.128.477 orang. Kebanyakan buruh bekerja pada sektor industri

kecil menengah. Sebanyak 85,53 persen atau 1.820.387 orang bekerja di usaha mikro kecil. Sedang untuk usaha menengah besar terdapat 14,47 persen atau 308.090 pekerja1. Sebagai daerah berjuluk “Gerbang Indonesia Timur”, Makassar menjadi pintu bagi masuknya barang dan jasa Indonesia bagian tengah dan

[1] http://makassar.tribunnews.com/2017/05/24/ada- 21-juta-tenaga-kerja-di-sulsel-sektor-perdagangan-besar-dan-eceran- mendominasi. Diunggah pada tanggal 13 November 2018, pukul 21.23

timur. Arus distribusi barang dan jasa melahirkan buruh yang bekerja pada sektor jasa dan perdagangan. Untuk perdagangan besar dan eceran sep- erti reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor jumlah tenaga kerja mencapai 832.930 pekerja atau 39,13 persen dari tenaga kerja yang ada di Sulsel. Kemudian diikuti indus- tri pengolahan sebesar 15,22 persen, pendidikan 11,85 persen, penyediaan akomodasi dan penyediaan makan

Gerakan Buruh di Makassar

Oleh Akbar Rewoko (Kepala Divisi Pendidikan SGBN)

LAPORAN UTAMA

Aksi Damai Gerak Buruh di Makassar - Sumber solidaritasperempuan.org

Unjuk rasa buruh di Makassar tuntut upah nasional - Sumber IndotimNews.

(5)

minum sebesar 8.06 persen, dan selebihnya sebesar 25,73 persen merupakan usaha lainnya2.

Jumlah buruh yang sebagian besar bekerja pada sektor indus- tri menengah kecil sangat rentan tidak mendapatkan hak normatif.

Pengawasan ketenagakerjaan ter- hadap usaha kesil seperti warung makanan dan minuman. Café, distributor makanan dan minu- man, dan lainnya masih belum banyak. Pemenuhan hak normatif seperti upah, status kerja, jam kerja, Tunjangan Hari Raya, upah lembur di beberapa bidang usaha masih melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Salah satu contoh kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan terjadi di perusa- haan Tirta Mulia Abadi (PT. TMA). Tirta Mulia Abadi merupakan Perusahaan yang bergerak di bidang Pengemasan Air Mineral merk “JS” yang sejak Juni 2011 mulai beroperasi. Perusahaan ini berlokasi di Kab. Takalar Provinsi Sulawesi Selatan dan memiliki kar- yawan di sektor takalar sebanyak 200 lebih karyawan. Pengusaha diduga membayar upah buruh dibawah Upah Minimum Provinsi, jaminan kesehatan, dan pemberlakukan sistem kerja kontrak3.

Indikasi pelanggaran aturan ketenagakerjaan yang dilakukan pemilik perusahaan adalah aksi massa (demonstrasi) yang dilaku- kan oleh buruh ke kantor Dinas Ketenagakerjaan, laporan kasus di Dinas Tenaga Kerja, Lembaga Bantuan Hukum dan serikat buruh.

Tahun 2016, misalnya, 17 perusahaan belum membayarkan Tunjangan Hari Raya bagi buruhnya4. Sementara itu, menurut data dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar, tercatat ada 24 kasus yang ditangani sepanjang tahu

[2] ibid

[3] http://sgbn.or.id/2017/03/pt-tma-takalar-melanggar- aturan-dan-melakukan-praktek-pemberangusan-serikat/#respond.

Diunggah pada tanggal 13 November 2018, pukul 21.26

[4] http://news.rakyatku.com/read/14447/2016/07/26/

disnaker-sulsel-rilis-17-perusahaan-yang-belum-bayar-thr-karyawan.

Diunggah pada tanggal 13 November 2018, pukul 22.08

2016. Pendampingan kasus terkait perselisihan hak dan pemutusan hak kerja para buruh5.

Laporan dari serikat pekerja seperti Gabungan Serikat Buruh Nusantara (GSBN) menyebutkan ada 4 kasus perburuhan yang ditangani sepan- jang tahun 2017-20186. Federasi Perjuangan Buruh Nusantara (FPBN) mendampingi 5 kasus perburuhan7. Sementara itu, Serikat Pekerja Nasional mencatat, 16 kasus perbu- ruhan yang tangani sepanjang tahun 2017-20188.

Dari laporan kasus di atas men- unjukkan bahwa kondisi buruh di Makassar masih memprihatinkan.

Perusahan masih banyak melang- gar aturan ketenakerjaan ditambah lemahnya pengawasan ketenagak- erjaan. Hal ini tentunya melahirkan protes dari buruh terutama serikat buruhnya. Protes dilakukan baik di perusahaan maupun di instansi pemerintah (Eksekutif dan Legislatif) dengan berbagai macam metode seperti demonstrasi, mogok kerja, pelaporan kasus ke Dinas Tenaga Kerja dan sebagainya.

Situasi Gerakan Buruh di Makassar

Paska reformasi, gerakan buruh di Indonesia menemukan kembali

“fitrahnya”. Seperti ‘jamur di musim hujan’, serikat buruh bermunculan.

Tidak hanya kuantitas, secara kuali- tas bertambah kuat. Metode aksi massa, mogok, sweeping pabrik, tutup tol, tidak menjadi “haram”

lagi bagi serikat buruh. Mobilisasi massa yang tidak boleh di lakukan buruh pada zaman pemerintahan Orde Baru, dianggap cara ampuh untuk mempengaruhi kebijakan baik pada tingkat perusahaan maupun pemerintah.

[5] http://www.tribunnews.com/regional/2016/12/28/

sepanjang-2016-lbh-makassar-paling-banyak-tangani-kasus-buruh. Di- unggah pada tanggal 14 November 2018, pukul 00.23

[6] Keterangan dari Ketua Umum GSBN, Asniati. Keteran- gan diperoleh pada tanggal 14 November 2018 komunikasi melalui Whatshaap

[7] Keterangan dari Pengurus FPBN, Muhammad Hatta.

Keterangan diperoleh pada tanggal 14 November 2018 komunikasi melalui Whatshaap

[8] Keterangan dari Pengurus SPN, Salim Samsur. Ket- erangan diperoleh pada tanggal 15 November 2018 komunikasi melalui Whatshaap

Perubahan situasi gerakan buruh setelah Soeharto lengser, mem- bawa angin segar bagi kondisi sosial ekonomi kaum buruh. Kaum buruh tidak lagi perlu takut melakukan protes kepada perusahaan atau ke pemerintah jika ada kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentin- gan buruh. Dari segi luasan arena perjuangan, gerakan buruh tidak terkungkung pada perjuangan legal formal saja tetapi juga terlibat dalam perubahan rakyat secara keseluruhan. Buruh tidak hanya bergerak pada isu perburuhan namun sudah terlibat dalam per- soalan rakyat umumnya seperti terlibat dalam penolakan kenaikan BBM, perjuangan jaminan kesehatan, isu pendidikan, dan lain sebagainya.

Situasi gerakan di atas berlaku secara umum di serikat buruh di seluruh Indonesia termasuk di daerah Makassar. Makassar, sebagai salah satu kota besar di Indonesia mempu- nyai sejarah pergerakan buruh. Sejak zaman Kolonialisme Belanda, seri- kat sudah terbentuk. Serikat buruh yang terbentuk biasanya terintegrasi dengan serikat buruh yang ada di Pulau Jawa. Misalnya Club Celebes Selatan. Organisasi ini mengajak para buruh di Makassar membangun per- serikatan yang lebih modern. Club ini bertujuan memperjuangkan per- samaan hak bagi penduduk Sulawesi Selatan melalui kerjasama berba- gai Organisasi politik. Menurutnya semua kelompok dalam masyarakat, baik pekerja, agama, ras, diharapkan dapat memberikan bantuan untuk memajukan pendidikan khususnya di kalangan penduduk pribumi. Club ini sesungguhnya juga mendapat dukungan dari Club Surabaya yang di ketuai oleh dokter Soetomo. Club tersebut menggalang persatuan di kalangan masyarakat tertindas. Ia mempelopori adanya serikat buruh pembantu rumah tangga, serikat buruh percetakan, penjahit, pen- ganggur dan buruh yang belum memiliki organisasi. Mereka mem- buka berbagai cabang di berbagai daerah seperti Perserikatan Buruh Modjokerto, Jombang Madiun dan

(6)

Makassar. Gabungan dari berbagai cabang tersebut di bawah payung Persatuan Serikat Kerja Indonesia9. Seperti daerah-daerah lainnya, gera- kan buruh di Makassar mengalami fluktuasi gerak. Kondisi gerakan buruhnya secara umum tidak bisa dilepaskan gerakan buruh secara keseluruhan di Indonesia. Hal ini dis- ebabkan serikat buruh di Makassar terkoordinasi atau berafiliasi secara nasional. Sehingga aksi-aksi yang dilakukan di Jakarta berpengaruh ter- hadap serikat buruh di daerah lain.

Gerakan buruh di Makassar menggeliat saat pemerintah meren- canakan merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Gelombang penolakan revisi UUK yang terjadi di Pulau Jawa terutama Jakarta ber- pengaruh terhadap gerakan buruh di Makassar. Hampir semua serikat buruh melakukan aksi protes dan penolakan terhadap rencana pemer- intah tersebut. Untuk menguatkan gerakan buruh, serikat-serikat buruh mengambil inisiatif membentuk

[9] A. Rasyid Asba, Buruh Pelabuhan Makassar: Peran Mandor dan Munculnya Organisasi Buruh. (Sebuah arikel yang disam- paikan dalam Workshop Buruh Perkotaan: Kontinuitas dan Perubahan di Indonesia, 1930-1965, diselenggarakan oleh NIOD – LIPI). Tanpa Tahun dan Penerbit

suatu persatuan yang lebih kuat dan solid . Upaya serikat buruh memben- tuk koalisi persatuan bernama Buruh Aliansi Buruh Menggugat. Koalisi tersebut juga menjalar ke Makassar.

Paska bubarnya Aliansi Gerakan Buruh Menggugat, gerakan buruh tidak berhenti. Berbagai aliansi seri- kat buruh terbentuk di Makassar baik merespon isu perburuhan maupun respon momentum Hari Buruh Internasional. Aliansi yang terben- tuk tidak hanya dari kalangan serikat buruh saja tetapi juga melibatkan kelompok dan sector lainnya seperti Mahasiswa, kelompok perempuan, LSM, lembaga bantuan hukum.

Beberapa aliansi yang pernah ter- bentuk di Makassar seperti:

1. SAMURAI (Solidaritas Masyarakat Untuk Rakyat Indonesia) > Multi Sektor

2. GBS (Gerakan Buruh Sulsel) àMulti Sektor

3. GERAK BURUH (Gerakan Rakyat Untuk Buruh) > Multi Sektor 4. GEPORAK (Gerakan Politik Rakyat

Pekerja) > Serikat Buruh ditam- bah 1 organisasi Mahasiswa/

Pemuda

Selain koalisi serikat buruh yang disebutkan di atas, terdapat juga aliansi buruh yang terbentuk untuk merespon kasus-kasus perburu- han di tingkat pabrik atau tempat kerja. Misalnya, Komite Keadilan Untuk Sopir Taksi Bandara Sultan Hasanuddin. Koalisi ini muncul seba- gai bentuk solidaritas terhadap sopir taksi bandara. Aliansi Perjuangan Buruh untuk menyikapi kasus PHK di salah satu perusahaan. Aliansi Masyarakat Transportasi Sulsel untuk solidaritas perjuangan angkutan umum konvensional10.

Banyaknya aliansi dan komite aksi yang melibatkan serikat buruh men- unjukkan gerakan buruh di Makassar masih menunjukkan eksistensinya.

Serikat buruh terus melakukan perlu- asan perjuangan dan meningkatkan kapasitas organisasi baik melalui aksi-aksi yang melibatkan anggota maupun memberikan kesadaran pemahaman melalui pendidikan/

pelatihan bagi anggota.

[10] Wawancara dengan Pengurus SPN Sulsel, Salim Sam- sur. Keterangan diperoleh pada tanggal 16 November 2018 komunikasi melalui Whatshaap

(7)

Gerakan Serikat Buruh Sawit Kotabaru

(Perjuangan UMSK 2019 yang Belum Selesai)

Oleh Harwanto Harry (Staf Lokal TURC – Kalimantan Selatan)

K

otabaru adalah salah satu kabupaten di bagian timur Provinsi Kalimantan Selatan yang kini hampir 40% luas wilayahnya menjadi perkebunan kelapa sawit. Sejak tahun delapan puluhan terus terjadi ekspansi hingga saat ini. Untuk sampai Kotabaru dibutuhkan kurang lebih 8 jam perjalanan darat dari ibu kota provinsi Banjarmasin. Namun, kini akses ke Kotabaru dapat juga ditempuh dengan sarana angkutan udara, baik langsung ke Kotabaru atau transit di Batulicin dan melanjutkan dengan perjalanan darat selama kurang lebih 2 jam.

Kabupaten ini memiliki luas wilayah ±9.442,46 km² yang merupakan 1/3 (sepertiga) dari luas Provinsi Kalimantan Selatan secara keseluruhan. Dengan kondisi geografis ini, Kotabaru memiliki potensi bentang alam dan sumber daya yang luar biasa, yang membuat Kotabaru dilirik investor dan mengembangkan perkebunan kelapa sawit berskala nasional. Pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotabaru tidak terlepas dari peran investasi 3 (tiga) perusahaan korporasi besar skala nasional, yaitu Minamas Group, Sinarmas Group dan Eagle High Plantations (EHP) Group.

Secara umum, investasi perkebunan kelapa sawit terse- but memang telah mengubah wajah Kotabaru yang dulu agraris menjadi sentra industri kelapa sawit terkemuka di Kalimantan Selatan. Tidak hanya luasnya lahan perke- bunan yang terus berkembang, sarana pendukung

industri seperti Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PKS) yang menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) dan pabrik peny- ulingan (refinery) untuk pengolahan lanjutan produk CPO juga banyak dibangun. Hal ini tentu saja sangat positif karena secara tidak langsung swasta telah berperan aktif dalam menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa manisnya geliat industri sawit di Kotabaru juga telah menimbulkan per- masalahan lain, yaitu konflik pengadaan tanah dan, yang tidak kalah penting, permasalahan perburuhan dalam perkebunan kelapa sawit itu sendiri. Buruh sawit atau buruh perkebunan kelapa sawit mungkin tidak setenar buruh pabrikan atau buruh industri manufaktur. Istilah buruh perkebunan kelapa sawit juga sangat asing dan tidak pernah menjadi topik utama di media. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan karena eksistensi dan permasalahan yang dialami buruh sawit tidak pernah didengar dunia atau malah dianggap tidak ada.

Hingga saat ini, belum ada data resmi keberadaan buruh sawit di Kotabaru yang dipublikasi. Namun, diperkirakan ada sekitar 10–15 ribu buruh, yang artinya ada sekitar 30-45 ribu jiwa yang kelangsungan nasib dan hidupnya bergantung pada industri kelapa sawit. Perkiraan jumlah buruh sawit tersebut adalah dari estimasi keberadaan 3 (tiga) korporasi yang rata-rata memiliki 5 (lima) anak perusahaan, yang masing-masing memiliki minimal 3 LAPORAN UTAMA

Rapat dengar pendapat antara SP, Disnaker dan DPRD terkait UMSK 2019 Kalimantan Selatan - Doc. TURC.

(8)

(tiga) estate (afdeling) dengan setiap estate memiliki 3 (tiga) divisi. Bila setiap divisi memiliki 80-100 orang buruh saja, maka 10-15 ribu buruh adalah angka buruh yang real dari 3 (tiga) korporasi yang ada di Kotabaru.

Permasalahan umum buruh sawit sungguh sangat kom- pleks. Status kerja, syarat kerja, target kerja, upah, sarana kesehatan, sarana pendidikan anak, jaminan sosial dan kesejahteraan adalah harga mahal bagi buruh sawit.

Geografis lokasi kebun yang sulit, akses informasi yang terbatas serta rendahnya kualifikasi pendidikan SDM buruh menjadi faktor utama mengapa buruh-buruh sawit menjadi sangat tidak berdaya untuk memerjuangkan hak-hak normatifnya.

Buruh sawit memiliki karakteristik yang berbeda dengan buruh manufaktur. Perbedaannya adalah lokasi tempat tinggal, jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan. Pada umumnya, lokasi kebun sawit adalah di pedalaman (hutan), sehingga terisolasi dan jauh dari akses publik.

Selain itu, komponen upah penunjang berupa beras, air, listrik, dan perumahan yang notabene adalah tun- jangan wajib perusahaan, tidak didapatkan oleh buruh.

Dari sisi jenis pekerjaan, buruh sawit mengalami beban kerja dan resiko kecelakaan yang sangat tinggi. Selain racun berbahaya dari duri sawit, serta ancaman binatang buas dan hewan melata bera- cun (ular, kalajengking, dll.), risiko iritasi akibat efek kimia pupuk dan racun rumput selalu ada setiap waktu. Ilustrasi sederhana bagi buruh sawit adalah “Berangkat saat matahari belum datang dengan bau harum parfum dengan mata ngantuk , Pulang saat matahari tenggelam dengan bau keringat bercampur buah sawit busuk dan badan lemah lunglai”.

Keprihatinan atas kesamaan nasib tersebut kini telah menjadi kekuatan buruh sawit Kotabaru untuk bersatu dan bergerak bersama, menyampaikan aspirasi dan tuntutan kepada pemerintah daerah untuk perbaikan dan perlindungan serta kesejahteraan buruh sawit.

Perjuangan UMK Kotabaru pada tahun 2015 adalah awal gerakan bersama buruh sawit Kotabaru yang diini- siasi sejak tahun 2013. Inisiator utama gerakan buruh sawit ini adalah Roby Rabiansyah (Ketua FSP Minamas Sungai Durian), Ruki (Ketua FSP Minamas Pamukan) dan Supianor (SPM Sinarmas BAMME) serta para pengu- rus serikat independen lainnya. Sungguh sangat tidak mudah perjuangan tersebut karena buruh sawit saat itu harus turun ke jalan dan menekan pemerintah daerah.

Perjuangan UMK tersebut meraih keberhasilan dan telah menjadi buah inspirasi bagi para inisiator untuk mel- akukan gerakan baru, yaitu Perjuangan UMSK Kotabaru Tahun 2017. Kini, kekuatan gerakan buruh bertambah dengan masuknya Serikat Pekerja Perkebunan (SP-BUN) Eagle High Plantations (EHP) Group melalui Federasinya FSP-BUN Rajawali.

UMSK menjadi penting bagi buruh sawit karena disadari sekarang komoditas sawit adalah produk unggulan sebagai penghasil devisa negara yang utama. Konsekuensi dari hal ini adalah buruh sawit sebagai garda terdepan penentu produksi sawit seharusnya mendapat perlindungan bagi kesejahteraannya, khususnya upah dasar dengan standar yang baku. Status kerja buruh sawit yang masih variatif dan masuk kategori informal sangat mem- butuhkan perlindungan kebijakan regulasi upah khusus.

Hal ini menjadi perhatian tersendiri tatkala kebijakan struktur dan skala upah belum dapat diterapkan secara benar di lapangan. Maka dari itu, UMSK bagi buruh sawit adalah alternatif terbaik yang harus menjadi kebijakan untuk perlindungan upah agar pemerintah terlibat aktif memperhatikan peningkatan kesejahteraan buruh di perkebunan sawit.

Langkah gerakan bersama ini dimulai dengan memben- tuk Tim 9 UMSK Kotabaru pada tahun 2016. Bersama para ketua serikat dan federasi lainnya, beberapa kali telah dilaksanakan rapat koordinasi dan konsolidasi terpadu. Periode tahun 2016–2017, lobi dan negosiasi dilakukan secara maraton dalam pertemuan dengan Disnaker Kotabaru, Apindo Kotabaru, GAPKI Kalsel dan DPRD Kotabaru. Namun, segala daya upaya perjuangan tersebut harus pupus pada bulan November 2017. Alasan yang disampaikan Disnaker Kotabaru terkait mengapa penetapan UMSK Kotabaru Tahun 2017 tidak dapat dilakukan adalah karena Dewan Pengupahan belum melakukan riset dan budget anggaran untuk riset terse- but belum direalisasikan DPRD.

Perjuangan UMSK Jilid I tahun 2016 dan Jilid II tahun 2017 belum berakhir. Pada April 2018 kembali para inisiator dari 3 (tiga) Federasi Serikat Buruh/Pekerja (Minamas, Sinarmas dan EHP) bertemu secara terbatas untuk meng- gagas Perjuangan Jilid III UMSK Kotabaru Tahun 2019 dan menjadwal untuk pertemuan konsolidasi tepadu Serikat Buruh/Pekerja Sawit.

Kondisi kerja buruh sawit Kalimantan Selatan - Doc. TURC

(9)

Pada tanggal 16 September 2018, dengan dukungan Trade Union Rights Centre (TURC) terlaksana perte- muan konsolidasi terpadu Pengurus Federasi dan Serikat Buruh Sawit se-Kotabaru di Bakau, Kecamatan Pamukan Selatan. Seluruh peserta sebagai representasi pengurus Federasi dan Serikat Buruh Sawit, sepakat melanjutkan Perjuangan Jilid III, dengan membentuk Tim 5 UMSK Kotabaru, yang diketuai Roby Rabiansyah, sebagai delegasi untuk melakukan lobi dan negosiasi kepada Pemerintah Daerah Kotabaru, DPRD dan GAPKI Kalsel pada tanggal 26 September 2018.

Kegiatan Tim 5 UMSK Kotabaru dalam melakukan lobi dan negosiasi tidak berjalan sebagaimana mestinya, hingga pada bulan Oktober 2018 Tim 5 UMSK Kotabaru dengan dikawal puluhan buruh sawit, yang merupakan perwaki- lan buruh sawit dari Korporasi Perkebunan Sinarmas, Minamas dan Eagle High, turut serta (menjadi delegasi) dalam rapat dengar pendapat (hearing) di DPRD Kotabaru.

Suasana hearing berlangsung sangat panas karena forum tersebut justru menjadi ajang lempar tanggung jawab antara Disnaker dan Komisi III DPRD, terkait budget ang- garan kerja untuk riset Dewan Pengupahan untuk riset UMSK di Kabupaten Kotabaru yang belum ada.

Dengan letih lesu akhirnya Tim 5 UMSK Buruh Sawit harus pasrah dan menerima bahwa UMSK Kotabaru belum bisa ditetapkan untuk Tahun 2019. Namun, Kadisnaker dan Ketua Komisi di DPRD berjanji bahwa UMSK Kotabaru akan ditindaklanjuti tahun 2019 dan bisa ditetapkan untuk tahun 2020. Dalam konteks ini, bisa dicermati bahwa komunikasi, koordinasi dan sinergitas antara seri- kat buruh dengan pemangku kepentingan industri sawit memang belum terjalin dengan baik. Menjadi pekerjaan rumah yang besar agar ke depan hal ini menjadi agenda perjuangan bersama. Gerakan buruh harus melakukan evaluasi ke dalam dan mencari kesamaan yang meny- atukan untuk berproses agar gerak langkah bersama menjadi pilar pijakan dan kekuatan gagasan dan ide-ide besar perjuangan buruh sawit.

Mengingat industri sawit merupakan industri lintas sektor dan kepentingan, yang tentu saja melibatkan pengusaha, perusahaan dan peran pemerintah maka kekuatan buruh harus benar-benar solid, baik dari sisi organisasi maupun strategi perjuangannya. Untuk ini maka konsolidasi internal baik di masing-masing serikat atau federasi tingkat korporasi harus segera dilakukan, khususnya dalam hal administrasi, organisasi dan keang- gotaan sehingga menjadi sumber data yang akurat untuk

nilai tawar dengan kepentingan manajemen perusahaan.

Dengan memiliki data dan organisasi yang solid dan valid tentu akan memudahkan bagi kekuatan buruh dalam perjuangan dan bernegosiasi untuk mempengaruhi kebi- jakan pemerintah dan perusahaan agar tidak merugikan kepentingan buruh di masa depan. Forum komunikasi harus dibangun antar organisasi serikat lintas korporasi dan membangun jejaring dengan siapa saja yang dapat mendukung perjuangan buruh sawit.

Keberhasilan yang tertunda dalam perjuangan gera- kan buruh sawit untuk UMSK Kotabaru Tahun 2019 kini menjadi catatan tersendiri bagi para pengurus organ- isasi serikat dan federasi buruh sawit di Kotabaru dan Kalimantan Selatan pada umumnya agar belajar untuk segera berbenah diri dengan memperhatikan hal-hal antara lain:

1. Buruh Sawit yang ada harus terus diberdayakan agar memahami hak-hak normatifnya sebagai buruh;

2. Organisasi Serikat Buruh/Pekerja Sawit harus terus mengambil peran untuk membela dan memerjuang- kan hak-hak buruh;

3. Konsolidasi berkala antarpengurus organisasi serikat/federasi harus diwujudkan agar terjalin komunikasi dan sinergi perjuangan untuk isu-isu dan permasalahan yang sama;

4. Perlunya gagasan untuk membentuk sebuah wadah atau lembaga buruh sawit yang permanen dan lintas korporasi agar bisa berperan lebih maksimal dan efektif dalam advokasi hak-hak buruh dan kebijakan regulasi pemerintah serta berjejaring dengan pihak lain untuk sinergi kepentingan dalam menyuarakan dan memperjuangkan hak buruh di perkebunan sawit;

Terbentuknya media buruh sawit baik daring (online) maupun luring (offline) sebagai sarana informasi dan forum bersama bagi perjuangan buruh sawit.

Dengan hal ini, harapannya dapat menjadi langkah strat- egis dengan melibatkan segala potensi yang dimiliki buruh dan organisasi-organisasi buruh sawit di Kotabaru dan Kalimantan Selatan, untuk melangkah bersama mem- perkuat strategi perjuangan buruh sawit.

Kotabaru, 13 Desember 2018

(10)

Gerakan Ekonomi Alternatif Serikat Pekerja

Oleh Muchamad Ibnu Mas’ud (Team Media SPN Pekalongan)

I

ni berawal dari kebutuhan opera- sional organisasi Serikat Pekerja Nasional (SPN) yang dihadapkan pada mogok kerja, yang memang merupakan hak setiap pekerja seba- gai bentuk protes terhadap pabrik.

Mogok kerja tersebut tentunya mem- butuhkan logistik yang kuat supaya pekerja mampu bertahan selama mogok dilakukan. Mogok kerja ini terjadi pada tahun 2013 , akibat perselisihan hubungan industrial yang awalnya menuntut kenaikan uang makan, namun kemudian berujung Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap ketua Akhir Prasetyo dan lima pengurus PSP SPN PT S Dupantex. Menanggapi di-PHK- nya ketua dan lima pengurus PSP SPN PT Dupantex, para buruh mel- akukan berbagai bentuk perlawanan seperti aksi, mediasi, dan bipartit, yang semuanya belum membuahkan hasil. Hal ini kemudian menimbulkan adanya mogok kerja selama 10 hari dengan tuntutan supaya buruh yang di-PHK dipekerjakan kembali.

Pada awalnya mogok berjalan lancar, namun waktu yang dibutuhkan saat mogok terbilang lama sehingga

membutuhkan logistik yang tidak sedikit, terlebih adanya intimidasi dari pihak pabrik yang menggan- tungkan gaji para pekerja yang ikut serta dalam aksi mogok kerja. Kondisi ini memaksa serikat untuk segera menyelesaikan perkara tersebut, maka diadakan konsolidasi ang- gota dan dukungan Dewan Pengurus Cabang Serikat Pekerja Nasional (DPC SPN) Kabupaten Pekalongan untuk mengakomodir persatuan semua PSP SPN Kabupaten Pekalongan.

Hasil dari konsolidasi tersebut, disepakati adanya pembentukan koperasi simpan pinjam yang didasari inisiatif dari anggota. Semangat awal dibentuknya koperasi simpan pinjam adalah menjawab masalah yang terjadi pada saat mogok kerja yang dilakukan oleh PSP SPN PT S Dupantex karena mempertimbangkan kebutu- han logistik anggota saat mogok kerja. Namun, koperasi ini kemu- dian berlanjut sebagai celah ekonomi SPN PT S Dupantek dengan model koperasi simpan pinjam.

Satu tahun setelah mogok kerja di perusahaan PT S Dupantex, koperasi terus berkembang. Koperasi mem- bentuk struktur kepengurusan yang diketuai oleh Heri dan sebagai pen- anggung jawab serta Akhir Prasetyo sebagai pengawas. Kemudian, untuk memperkuat pondasi serikat melalui koperasi, disepakati iuaran simpan pokok setiap anggota dengan besaran Rp 100.000, selanjutnya sim- panan wajib Rp 10.000 setiap bulan dengan jumlah anggota 500 buruh.

Mekanisme pengajuan pinjaman di koperasi pekerja ini pertama hanya meminjam Rp 500.000 dengan waktu pelunasan yang pendek. Skema ini berjalan sampai pada tahun 2018 dan pada tahun 2018 koperasi mampu meminjamkan uang sebesar dua juta untuk pengajuan pinjaman dan bisa dicicil selama sepuluh bulan dengan bunga 1,5 % setiap bulan.

Besaran uang tersebut tentunya sangat membantu anggota ketika terdesak secara finansial.

Adapun skema peminjaman, ang- gota mengisi formulir yang berisikan nama, alamat, posisi bagian dalam LAPORAN UTAMA

Rapat Anggota Tahunan Koperasi Simpan Pinjam PSP SPN PT S Dupantex Kabupaten Pekalongan

(11)

pabrik, serta jumlah pengajuan pinja- man dan keperluannya serta berapa kali angsuran yang akan diajukan – disesuaikan dengan kemampuan anggota. Sebagai contoh, anggota dengan nama Mawar Pertiwi, alamat Jl. Irian Gank 21 No. 69, bagian opera- tor weaving shift B, jumlah pinjaman Rp 1.500.000 untuk keperluan bayar sekolah anak, jumlah angsuran 10 kali. Maka pokok angsuran setiap bulan Rp 150.000, dengan bunga 1,5% atau Rp 22.500, sehingga setiap bulannya Ibu Mawar Pertiwi memba- yar angsuran Rp 172.500 per bulan selama 10 bulan. Setelah itu, berkas disampaikan ke kordinator departe- men weaving yang ditunjuk sebagai pengurus Koperasi Simpan Pinjam dan diserahkan kepada sekertaris koperasi Simpan Pinjam. Sementara itu, sekertaris dan pengurus Koperasi Simpan Pinjam menimbang kondisi peminjam berdasarkan skala pri- oritas, misalnya biaya pengobatan, sekolah dan lain sebagainya.

Dalam koperasi, yang menarik adalah sistem penarikan tagihan kepada anggota yang meminjam.

Penarikan dilakukan dengan cara

manual: dengan kesadarannya para anggota setiap bulan pergi ke sek- ertariat koperasi untuk membayar tagihan bulanan tanpa diminta oleh pengurus koperasi. Sistem manual ini juga diperuntukan sebagai upaya dalam memperbarui kasus-kasus yang terjadi di dalam pabrik, dan sebagai upaya membangun ikatan emosional antara pengurus dan ang- gota serikat agar anggota lebih dekat dengan serikat. Untuk membangun kesadaran ini tidaklah mudah, ten- tunya butuh proses yang panjang melalui pendidikan organisasi yang kuat; selain itu, juga perlu adanya transparansi laporan keuangan kepada anggota.

Empat tahun berjalannya Koperasi Simpan Pinjam, dampaknya terasa oleh anggota. Keuntungan lain dari adanya koperasi, anggota juga mendapatkan sisa hasil usaha yang dibagikan setiap tahun. Bahkan kope- rasi ini sudah memiliki aset keuangan lebih dari 400 juta, sebagai aset serikat dalam menjawab kebutuhan anggota ketika terhimpit ekonomi.

Perkembangan koperasi simpan pinjam PT S Dupantex menjadi tolak

ukur dan program kerja buat SPN Pekalongan untuk mengembangkan serikat ke arah gerakan ekonomi.

Keberhasilan koperasi ini mendorong PSP SPN lain untuk ikut mencoba merealisasikan gerakan ekonomi, misalnya PSP SPN PT Panamtex dengan mendirikan Koperasi Pekerja Mandiri (KPM), dan PSP SPN PT Dutatex dengan mendiri- kan Koperasi Simpanan Awal Puasa (SIAP). Mereka mengadopsi sistem penarikan iuran dan tagihan yang sama, mengingat manfaat dari sistem ini sebagai sarana mendidik anggota agar menyadari bahwa organisasi adalah milik kita dan kembali untuk kita dan agar anggota mampu mema- hami bahwa laju gerakan organisasi tertumpu bukan pada pengurusnya tetapi pada kesinambungan antara pengurus dan anggota. Ini juga men- jadi sarana dalam mengembangkan dan memperbesar organisasi SPN melalui gerakan ekonomi. Dengan berkoperasi, serikat mampu berkem- bang mendirikan koperasi konsumsi seperti mini market, yang diawali dengan koperasi simpan pinjam.

(12)

P

engantar Tanggal 26 November 2018 saya berkesempatan hadir dalam diskusi “Pembelajaran dari Works Council Jerman untuk Penguatan Dialog Sosial Perburuhan di Tingkat Perusahaan/Tempat Kerja” yang diselenggarakan oleh TURC. Dalam diskusi ini dihadirkan narasumber dari dalam negeri dan juga anggota Works Council Jerman.

Saya membaca TOR Diskusi yang dibagikan oleh penyelenggara dan mendengarkan pengalaman dua orang tamu dari Jerman, yang tidak hanya merupakan anggota Works Council Jerman tetapi juga anggota sekaligus pengurus DGB (salah satu serikat terbesar Jerman), serta seorang pengurus DGB. Pemaparan para narasumber menjadi terusik lagi dengan salah satu lembaga yang

oleh Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) ditetapkan sebagai salah satu sarana penyelenggaraan hubungan indus- trial1 (Pasal 103) di antara berbagai sarana lainnya, yaitu Lembaga Kerja Sama Bipartit (LKS Bipartit).

Mendengarkan pemaparan dan membaca bahan yang disediakan oleh para narasumber,2 saya men- dapatkan kesan bahwa LKS Bipartit disamakan dengan dialog sosial.

Penulis sendiri, menolak keberadaan LKS Bipartit sejak masih dalam ran- cangan undang-undang dan hingga sekarang pandangan itu tidak beru- bah. Oleh karenanya, lewat tulisan ini sekiranya saya dapat membagikan pemikiran tersebut. Untuk mema- hami keberadaan LKS Bipartit, kita

[1] Baca Pasal 103 Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

[2] Khususnya kertas Diskusi dari Yasinta Sonia (TURC), Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak dan BetterWork Indonesia (BWI).

perlu membandingkannya dengan sarana lain yang ada dalam UUK yaitu Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) baik dalam peraturan perundangan maupun dalam praktik.

LKS Bipartit vs Serikat

Pekerja/Serikat Buruh Dalam Perundangan

LKS Bipartit dan SP/SB diperlakukan sangat berbeda dalam UUK meski- pun mereka sama-sama hanya mendapatkan porsi satu pasal saja.

Namun, secara substansi kedu- anya sangat berbeda. LKS Bipartit wajib hukumnya ada di perusahaan yang minimal mempekerjakan 50 orang;3 kata ‘wajib’ tersebut tentu menandakan adanya sanksi jika tidak dilaksanakan.4 Sementara Serikat Pekerja/Serikat Buruh tidak wajib ada dalam perusahaan – lembaga tersebut “hanya” meru- pakan hak para pekerja/buruhnya.5 Orang bisa saja memperdebatkan bahwa memang sudah seharusnya begitu. Keputusan untuk memben- tuk atau tidak membentuk SP/SB memang harus diserahkan kepada para pekerja/buruhnya. Memang Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU SP/SB) mengatur sanksi bagi pihak-pihak yang menghalangi terbentuk atau tidak terbentuknya SP/SB di suatu perusahaan (Pasal 28), akan tetapi pasal ini lebih seperti macan ompong saja, artinya tidak ada kekuatannya sama sekali dika- renakan adanya berbagai kendala yang dihadapi untuk penegakannya.6

[3] Lihat Pasal 106 UUK.

[4] Lihat Pasal 190 Ayat 1 dan 2 UUK [5] Lihat Pasal 104 Ayat 1 UUK

[6] Ini merupakan tema tersendiri yang perlu panjang lebar pembahasannya terkait dengan prosedur hukum pidana yang harus digunakan dalam penegakannya.

LKS Bipartit, Serikat Buruh & Dialog Sosial

Oleh Endang Rokhani (Peneliti LabSosio Universitas Indonesia) LAPORAN KHUSUS

(13)

Pemberian nama LKS Bipartit dalam susunan sarana Hubungan Industrial sendiri sering menimbulkan kebin- gungan di dalam praktiknya sebab dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juga ada penyelesaian secara Bipartit, yang merupakan prosedur wajib,7 yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan LKS Bipartit sebagai lembaga.

Untuk menindaklanjuti Pasal 106 UUK, telah diterbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.

PER.32/MEN/XII/2008 Tentang Tata Cara Pembentukan Dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit (LKS Bipartit). Membaca keseluruhan Permenaker ini, saya mendapatkan kesan bahwa LKS Bipartit ini hanya untuk menandingi keberadaan SP/SB.

Pertama, LKS Bipartit sendiri diar- tikan sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan, yang anggotanya terdiri dari pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketena- gakerjaan.8 Dalam konteks ini saja, sudah terlihat adanya tumpang tindih (overlapping) kelembagaan antara SP/SB sebagai bagian dari sarana Hubungan industrial dengan LKS Bipartit yang sama-sama menjadi sarana hubungan industrial yang datang dari unsur yang sama.

Kedua, dijelaskan bahwa tujuan pembentukan LKS Bipartit adalah untuk menciptakan hubungan indus- trial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan di perusahaan.9 Dari pasal ini kembali lagi terjadi adanya overlapping antara SP/SB seba- gai bagian dari sarana Hubungan Industrial dengan keberadaan LKS Bipartit. Berdasarkan Pasal 4 Ayat 2 huruf c Undang-Undang No. 21

[7] Lihat Bab II Bagian ke satu UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

[8] Lihat Pasal 1 Ayat 18 UUK jo Pasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. PER.32/MEN/XII/2008 Tentang Tata Cara Pembentukan Dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit.

[9] Lihat Pasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. PER.32/MEN/XII/2008 Tentang Tata Cara Pembentu- kan Dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit.

Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/

Serikat Buruh, dalam melaksa- kan fungsinya SP/SB juga haruslah menciptakan hubungan indus- trial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan di perusahaan.

Jadi, tanpa adanya LKS Bipartit pun, SP/SB juga mempunyai tang- gung jawab untuk bersama-sama dengan pengusaha menciptakan hubungan industrial yang har- monis, dinamis dan berkeadilan.

Ketiga, LKS Bipartit berfungsi seba- gai forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha dengan wakil seri- kat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh dalam rangka pengembangan hubungan indus- trial untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan perusahaan, termasuk kesejahteraan pekerja/buruh. Untuk menjalankan fungsinya, LKS Bipartit melakukan pertemuan periodik atau sesuai kebutuhan, mengkomunikasikan kebijakan pengusaha dan aspi- rasi pekerja/buruh dalam rangka mencegah terjadinya permasalah hubungan industrial, dan meny- ampaikan saran pertimbangan dan pendapat kepada pengusaha, pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh dalam rangka penetapan dan pelaksanaan kebi- jakan perusahaan.10 Dapat dilihat bahwa fungsi dari LKS Bipartit adalah juga hal-hal yang harus juga dilakukan oleh SP/SB jika SP/SB terse- but akan memperoleh hasil yang maksimal dari keberadaannya.

Keempat, bahwa komposisi pengu- saha, pekerja/buruh, serikat pekerja/

serikat buruh adalah 1:1 dan biaya dibebankan kepada pengusaha.

Meskipun sepertinya komposisi 1:1 ini berimbang, pada praktiknya sama sekali tidak berimbang karena yang sebenarnya akan terjadi kemung- kinan besar adalah 2:1. Karena pekerja/buruh yang tidak tergabung dalam SP/SB pada umumnya adalah oposan bagi SP/SB, dalam situasi tertentu pekerja/buruh dengan SP/

SB tidak berada dalam satu kubu.

[10] Lihat Pasal 3 dan 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. PER.32/MEN/XII/2008 Tentang Tata Cara Pembentukan Dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit

Kelima, Pasal 11 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.

PER.32/MEN/XII/2008 Tentang Tata Cara Pembentukan Dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit menyebutkan bahwa jabatan ketua dapat dijabat secara bergan- tian antara unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh. Dalam kom- posisi kepengurusan, SP/SB hanya akan menjadi anggota biasa, tidak akan pernah memimpin karena, jika mengacu pada pasal ini, yang dapat menjadi ketua hanyalah unsur pengusaha dan pekerja/buruh, tidak ada unsur serikat pekerja/serikat buruh. Artinya, keberadaan SP/SB yang pembentukannya dimandat- kan dalam undang-undang tersendiri tidak memiliki posisi yang memadai dalam LKS Bipartit ini. Sama halnya, pelaporan kepada instansi yang bertanggung jawab pada ketena- gakerjaan hanya dibebankan kepada pengusaha, tanpa melibatkan unsur lain dalam LKS Bipartit.

Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Dialog Sosial

Sebagai sarana dalam pelaksanaan hubungan industrial, SP/SB mem- punyai cara yang berbeda dalam tata cara pembentukannya, yang sekaligus juga berimplikasi pada tujuan serta fungsinya. Dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2000 Tentang SP/SB, dinyatakan bahwa serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar peru- sahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertang- gung jawab guna memerjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja dan buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Melihat definisi yang sekaligus men- gandung tujuan dari keberadaan SP/

SB ini, tidaklah mudah untuk dapat mencapai tujuannya itu.

Kita tidak mendapatkan gambaran, apa sebenarnya pemaknaan SP/SB oleh para pembuat undang-undang sehingga diperlukan adanya LKS Bipartit sehingga kemudian BWI

(14)

menyatakan (kesan yang saya tangkap dalam pemaparan dis- kusi) bahwa apabila perusahaan telah memiliki LKS Bipartit berarti telah melaksanakan dialog sosial.

Sedemikan besar dorongan BWI untuk mendorong didirikannya LKS Bipartit sehingga seperti mengambil alih tugas yang dibebankan kepada Dinas Tenaga Kerja. Pada praktiknya, keberadaan LKS Bipartit sering kali mengebiri keberadaan SP/SB. Hal ini sangat dapat dipahami karena LKS Bipartit mendapat gambaran situasi di mana semua pihak berbicara baik- baik, saling memahami kondisinya, sebagaimana yang dimaknai seba- gai dialog sosial. Sementara dengan SP/SB, terdapat situasi yang terus menerus konflik, situasi yang selalu tegang, bermusuhan. Gambaran seperti ini tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar. Situasi konflik sebenarnya memang diban- gun oleh perusahaan-perusahaan yang tidak menginginkan keberadaan SP/SB sehingga menjadikan SP/SB sebagai momok yang menakutkan.

Mereka karenanya sering berusaha dengan berbagai cara agar tidak ada SP/SB di perusahaannya.

Pada kenyataannya, berdasarkan pengalaman berinteraksi dan men- dampingi SP/SB tingkat perusahaan, tidak ada satupun SP/SB yang akan mencapai hasil yang maksimal, baik dalam penanganan perkara maupun dalam peningkatan kese- jahteraaan anggota dan keluarganya melalui penyusunan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), tanpa adanya dialog yang berlandaskan pemahaman seluruh pihak atau yang lebih dike- nal dengan dialog sosial. Artinya SP/

SB pun memang harus melakukan langkah-langkah yang dapat mem- bangun dialog yang positif, yaitu mengadakan pertemuan rutin, ada atau tidak ada masalah yang harus diselesaikan, ikut memikirkan ten- tang produktifitas perusahaan melalui pengawasan yang maksimal kepada anggotanya dan lain-lain hal

yang dapat menunjang tercapainya situasi yang harmonis, dinamis dan berkeadilan.

Di beberapa perusahaan keberadaan LKS Bipartit dianggap sebagai penyelesaian, sehingga buruh enggan membentuk SP/SB dan peru- sahaan pun akan menolak keras jika ada yang akan membentuk serikat.

Jika hal ini terjadi, buruh sendiri yang sangat dirugikan. Hal ini dikarenakan LKS Bipartit tidak dapat membantu buruh yang harus berperkara dalam menyelesaikan perselisihan hubun- gan industrial yang terjadi antara buruh dan pengusaha. Jika tidak ada lembaga (organisasi) yang membantu buruh yang bermasalah dengan pengusaha, sudah dapat dipastikan buruh sulit untuk dapat membela dirinya secara maksimal.

Dialog sosial harusnya bukan- lah sesuatu yang tabu bagi SP/

SB. Karena dialog memang adalah kunci dari penyelesaian berbagai masalah sosial, maka dialog haruslah dikembangkan sebagai metode penyelesaian masalah termasuk masalah hubungan industrial. Hanya saja hingga saat ini di Indonesia, menurut saya, masih banyak kendala yang dihadapi jika membayangkan membentuk lembaga seperti Works Council di Jerman. Beberapa hal akan sangat menjadi kendala, terutama soal kepercayaan (trust) kepada para pihak, baik dari sisi buruh maupun dari sisi pengusaha. Sepanjang soal kepercayaan kepada para pihak masih menjadi masalah maka akan sulit terbangun dialog sosial yang berkeadilan. Akan tetapi memang harus dilakukan usaha yang terus menerus untuk dapat terbangun dialog dalam menyelesaikan ber- bagai persoalan hubungn industrial.

Penutup

Ke depan, harapannya LKS Bipartit dapat menjadi pengantar agar ter- bentuk SP/SB di perusahaan yang dapat turut serta memerjuangkan

hak pekerja secara independen.

Keberadaan LKS Bipartit bukan- lah alasan bagi perusahaan untuk tidak menerima keberadaan SP/SB.

Perlu diingat oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang ketenagakerjaan bahwa LKS Bipartit bukanlah tujuan akhir untuk mewu- jukan hubungan industrial yang berkeadilan, melainkan hanya seba- gai salah satu alat untuk mencapai tujuan tersebut, yang tetap perlu didukung dengan keberadaan SP/

SB di dalam perusahaan. Jika LKS Bipartit dianggap sebagai tujuan akhir, maka hal ini akan merugikan kaum pekerja/buruh, karena kemu- dian LKS Bipartit berpotensi hanya dijadikan pemenuhan syarat formali- tas semata, dan melupakan aspek substansi dan kualitas dari hubungan industrial yang akan dibangun.

Sebagaimana dimandatkan dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang SP/

SB, melalui SP/SB yang terdaftar maka kepentingan dan agenda per- juangan kaum buruh dapat terwakili dalam lembaga-lembaga perburu- han. Keterlibatan SP/SB di dalam lembaga tersebut dapat mempen- garuhi arah kebijakan strategis di bidang Perburuhan seperti Dewan Pengupahan tingkat di kabupaten/

kota, provinsi dan nasional; LKS Tripartit baik tingkat kabupaten/kota/

provinsi dan nasional; demikian juga di lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hanya SP/SB yang dapat mewakili kepentingan anggotanya serta dapat juga ber- fungsi sebagai hakim ad hoc baik di pengadilan tingkat pertama maupun pada Mahamah Agung.

Dialog sosial harus dijadikan metode yang dikembangkan dalam penyele- saian persoalan hubungan industrial, akan tetapi bukan dijadikan lembaga yang akan bisa menjadi tidak efektif untuk memenuhi kepentingan buruh.

(15)

Kondisi Buruh Migran Indonesia di Industri Perikanan Korea

Oleh Henrikus Setiadi Pratama (Bidang Riset dan Advokasi DPP KNTI)

P

ekerjaan merupakan kebutuhan yang penting bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Di Indonesia, Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ayat ini memuat pengakuan dan jaminan bagi semua orang untuk mendapatkan pekerjaan dan mencapai tingkat kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Namun, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak lebih sering sulit dipenuhi oleh negara. Bahkan, dalam sektor-sektor penting yang menyangkut kedaulatan pangan, negara kerap kali abai memenuhi tanggung jawabnya. Sebagai contoh adalah pekerjaan nelayan.

Sektor ini bukan hanya penting dalam penyediaan lapa- ngan pekerjaan, tetapi juga menjadi sumber pangan utama bagi masyarakat. Tetapi, berulang kali juga negara justru menempatkan nelayan dalam posisi yang tidak menguntungkan. Alih-alih mendorong pembangunan ekonomi dalam bidang kelautan dan perikanan, negara lebih memilih membangun pelabuhan, tambang, tambak skala besar maupun industri yang bersifat ekstraksi lainnya. Bukannya menjadi aktor utama dalam pem- bangunan melalui kebijakan yang lebih partisipatif terhadap masyarakat, nelayan malah makin terdesak dengan adanya praktik ekonomi tidak berkeadilan seperti tengkulak yang memainkan harga ikan hingga kebijakan impor yang tidak berpihak kepada mereka. Nelayan terus jatuh dan terbelenggu dalam lingkaran setan kemiski- nan tanpa mampu menciptakan alternatif lain karena keterbatasan yang dimiliki.

Terkait kemiskinan, hal ini dipertegas oleh laporan UNDP bersama ASEAN dan China mengenai Pembiayaan Pembangunan Berkelanjutan. Diperkirakan 36 juta orang di Asia Tenggara masih hidup di bawah garis kemiskinan dan 90 persen di antaranya tinggal di

Indonesia dan Filipina. Di antara ke-36 juta orang itu, 76% berasal dari masyarakat pesisir (nelayan) dan pekerja industri perikanan. Menurut laporan itu, kemiskinan ekstrem di Asia Tenggara turun dari 17 persen pada 2005 menjadi 7 persen tahun 2013. Pada 2018 ini masih stagnan, hanya turun sekitar 2 %, namun banyak kaum miskin nelayan (masyarakat pesisir) yang bekerja tetap rentan di garis kemiskinan.

ILO Asia Tenggara merilis data pekerja di sektor indus- tri Perikanan. Hingga 2014 lalu, jumlah nelayan Asia mencapai 84,3 persen, dan sebanyak 11 persen dari jumlah tersebut berasal dari Asia Tenggara. Indonesia merupakan yang terbanyak, sekitar 2,2 juta, sedangkan Myanmar di urutan kedua dengan 1,4 juta nelayan. Itu pada 2014 lalu, sekarang tahun 2018 jumlah nelayan pekerja bertambah menjadi 3,1 Juta. Penambahan jumlah itu seiring tumbuhnya industri baru di berbagai sektor kelautan dan perikanan. Data 2018 dihitung berdasarkan jumlah pendapatan, keluarga, dan industri yang tumbuh.

Data tersebut menjelaskan bahwa kondisi masyarakat pesisir dan nelayan memang sangat rentan terkait sumber dan perlindungan lapangan pekerjaan mereka. Himpitan tersebut menjadikan pekerjaan nelayan dianggap tidak layak lagi dijadikan sebagai sumber mata pencaharian.

Sebagian orang menyekolahkan anaknya dengan harapan mampu mengangkat ekonomi keluarga dengan pekerjaan yang lebih layak. Sebagian lainnya memilih bertahan karena tidak memiliki alternatif maupun kemampuan lain dalam pekerjaan. Ada yang memilih melanjutkan pekerjaan yang sama dengan mencari sumber-sumber pendapatan yang lebih besar sebagai buruh migran.

Pada tahun 2018 terdapat sekitar 960.000 buruh migran Indonesia yang bekerja di pelayaran, baik sebagai pelaut maupun anak buah kapal dan separuh bekerja di industri

Pekerja migran asal Indonesia, di kapal ikan milik Korea Selatan (Dok. apil - Villagerspost)

LAPORAN KHUSUS

(16)

perikanan. Dengan asumsi gaji Rp.10 juta per bulan, setiap bulannya mereka menghasilkan devisa sekitar Rp.

4,5 triliun. Kondisi kemiskinan mendesak mereka untuk memilih pergi meninggalkan keluarga sebagai buruh migran agar dapat meningkatkan kualitas hidup. Maka itu, mereka kerap disebut sebagai pahlawan, pergi ber- perang ke daerah antah berantah namun tetap memberi kontribusi terhadap negaranya melalui devisa.

Namun, sebagai buruh migran kondisi mereka juga tidak selalu baik-baik saja. Banyak ancaman yang dihadapi. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya praktik perdagangan manusia (human trafficking), terutama yang menimpa anak buah kapal (ABK). Kondisi itu terjadi karena ABK kapal perikanan saat ini masih belum memenuhi standar kelayakan kesejahteraan. Seperti terlihat dari segi upah, jam kerja, dan ancaman kekerasan fisik maupun verbal.

Sebagai contoh kasus, laporan penelitian Advocates for Public Interest Law (APIL) dan the International Organization for Migration (IOM) Republic of Korea ber- tajuk Tied at Sea: Human Rights Violations Against Migrant Fishers on Korean Fishing Vessels, yang merupakan rangku- man peristiwa tahun 2014-2016, menyebutkan banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang dialami pekerja migran Indonesia dan Vietnam di sektor peri- kanan Republik Korea. Banyak nelayan migran rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi, yang bahkan terjadi sebelum mereka memulai proses rekrutmen. Sebagian besar dari nelayan ini berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah dengan pendidikan rendah.

Selama hampir tiga dasawarsa, banyak nelayan migran telah dipekerjakan di kapal-kapal Korea, tetapi media maupun akademisi tidak terlalu memperhatikan masalah yang dihadapi para pekerja ini.1 Ini berubah pada Juni 2011 ketika 32 nelayan Indonesia melarikan diri dari kapal penangkap ikan mereka, Sajo Oyang 75, yang sedang beroperasi di perairan Selandia Baru, dan meminta per- lindungan dari Pemerintah Selandia Baru. Para nelayan mengklaim bahwa mereka telah dilecehkan secara verbal dan fisik, dan seksual, dan bahwa upah mereka belum dibayarkan. Laporan NHRCK (National Human Rights Commission of Korea) 2012 menjelaskan situasi serupa yang terjadi pada kapal CWF Korea.

Kerentanan yang sering terjadi sebelum rekrutmen nelayan migran didasari oleh beberapa faktor seperti kemiskinan, tingkat pendidikan rendah serta ketidakstabi- lan ketenagakerjaan di negara asal dan juga keterlibatan berbagai lembaga perantara tidak berlisensi di negara asal selama rekrutmen. Nelayan migran membayar berbagai biaya yang tinggi selama proses rekrutmen, ter- masuk uang jaminan yang memaksa mereka untuk tetap berada di kapal penangkap ikan sampai akhir kontrak

[1] The sole exception is the 1996 case of Chinese fishers murdering Korean and Indonesian crew after they suffered physical violence from the Koreans for being clumsy (Pescamar No. 15, a Panamanian ship).

mereka. Dalam proses rekrutmen, setiap pemilik kapal harus melaporkan perekrutan orang asing ke Kantor Regional Kelautan dan Perikanan KOREA, yang diperlukan untuk mendapatkan visa untuk memasuki Korea. Kontrak kerja untuk kapal DWF harus ditandatangani sebelum nelayan migran meninggalkan negara asalnya untuk mulai bekerja. Namun, tidak ada nelayan migran yang diwawancarai untuk laporan ini yang mengatakan bahwa mereka telah menandatangani kontrak kerja sebelum berangkat ke Korea.

Eksploitasi juga terjadi selama pekerjaan seperti jam kerja panjang. Beberapa nelayan melaporkan bekerja 12 jam sehari, tetapi kebanyakan dari mereka yang diwawancarai untuk laporan ini menyatakan mereka bekerja rata-rata 18 hingga 20 jam sehari, dan kadang-kadang bahkan 22 jam sehari selama masa sibuk. Upah minimum ILO terlalu rendah mengingat jam kerja yang berlebihan dari para nelayan migran2. Selain itu, agen perekrutan di Filipina dan Indonesia melakukan pemotongan untuk biaya manajemen bulanan sekitar 5 USD dari upah3. Kondisi ini diperparah dengan pembayaran lembur yang jarang disebutkan dalam rekrutmen dan kontrak kerja.

Pelecehan dan diskriminasi juga dihadapi nelayan migran di kapal DWF dan CWF; mereka mengalami penghinaan verbal dari kru Korea setiap hari. Laporan NHRCK 2012 menyoroti bahwa dari 169 responden yang bekerja di kapal CWF dengan berat 20 ton atau lebih, 158 menden- gar ucapan yang menghina hampir setiap hari. Tidak hanya kekerasan verbal tetapi kekerasan fisik juga sering terjadi pada kapal-kapal DWF dan CWF. Laporan NHRCK 2012 menyoroti bahwa 46 persen nelayan migran di kapal CWF dengan berat 20 ton atau lebih mengalami setidaknya satu contoh kekerasan fisik.

Untuk itu, sangat penting agar negara-negara kawasan Asia mulai bekerja untuk melindungi pekerja industri perikanan. Perbudakan modern telah menjadi tren yang sangat massif dilakukan sebagai penetrasi industri di sektor perikanan. Indonesia harus lebih maju mendorong pemberlakukan undang-undang tentang perbudakan modern serta mendorong diplomasi regional, bilateral dan multilateral untuk membentuk platform bersama dalam memerangi praktik perbudakan ini.

Penting juga untuk melakukan penjaminan ketersedi- aan akuntabilitas ke seluruh nilai rantai, serta perhatian khusus terhadap pekerja industri perikanan. Selain itu juga, harus menetapkan batas penggunaan buruh kon- trak, outsourcing, dan pekerja mandiri demi perlindungan kerja.

[2] The actual wage of migrant fishers on DWF vessels is equal to or lower than the minimum wage. However, the average monthly salary of a Korean fisher is USD 5,833 (or USD 3,433 for deckhands).

[3] Such illegal deduction may be a part of the recruitment costs, even though it may not have been paid prior to departure

(17)

Save Our Indo Ports

Oleh RB. Gratio(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

P

ada awal tahun 2019, tepatnya hari Senin, 7 Januari 2019, Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (SP JICT) dan segenap pekerja pelabuhan Indonesia menggelar aksi lanjutan

“Gerakan Pengembalian Aset Bangsa JICT” dan “Keadilan bagi Pekerja” di depan Gedung DPR, Jakarta. Selain masalah nasionalisasi, mereka juga sempat menghadapi masalah lain.

Sebanyak 400 pekerja outsourc- ing Jakarta International Container Terminal (JICT) yang tergabung dalam Serikat Pekerja Container (SPC) telah diputus kontrak secara sepihak oleh manajemen pada 31 Desember 2017. Selama sembilan bulan lebih, ratusan anggota SPC berjuang demi mendapatkan keadilan untuk dapat bekerja kembali. Untuk bisa memperjuangkan isu tersebut, SP JICT membentuk aliansi masyarakat sipil yang bernama Save Our Indo Ports, dan juga beraliansi dengan para pekerja dalam Federasi Pekerja

Pelabuhan Indonesia Berikut wawan- cara dengan Suria selaku bagian Humas Serikat Pekerja JICT :

Bagaimana gambaran umum tentang kasus yang dihadapi?

JICT telah diprivatisasi sejak tahun 1999. Hal tersebut membuat pem-Hal tersebut membuat pem-al tersebut membuat pem- bagian bonus produksi menjadi tidak merata dan sering terjadi pen- gurangan karyawan dengan alasan efisiensi. Kami berjuang untuk hak- hak pekerja dan remunerasi. Ke depan, kami ingin JICT dinasional-n JICT dinasional- JICT dinasional- isasi oleh pemerintah agar mampu menguntungkan rakyat.

Bagaimana bentuk ketidakadi- lan yang dilakukan perusahaan itu sendiri?

Keuntungan produksi JICT Hutchinson antara 3-4 trilun rupiah per tahun, tetapi gaji pegawai paling tinggi mencapai Rp 15 juta sedangkan masih ada sekitar 400 karyawan yang belum diangkat menjadi pegawai

tetap (menyandang status outsourc- ing) tetapi diputus kontraknya secara sepihak. Beberapa kali kecelakaan kerja mulai dari yang ringan sampai menyebabkan kematian sempat ter- jadi tetapi belum ada penanganan khusus dari pihak perusahaan.

Apa saja bentuk perjuangan yang dilakukan Serikat Pekerja JICT?

Selain mengadakan rapat dan advokasi secara legal, kami juga pernah melakukan demonstrasi dan mogok kerja untuk menekan pemilik perusahaan. Kami juga pernah men- duduki Dinas Tenaga Kerja selama kurang lebih 1,5 bulan. Beberapa per- juangan membuahkan hasil seperti dibuatnya perjanjian kerja bersama, kenaikan upah, dan pengangkatan beberapa karyawan menjadi pegawai tetap. Untuk saat ini, kami masih melakukan aksi secara rutin untuk memerjuangkan 400 pegawai yang terkena PHK sepihak.

Photo by Tino Oktaviano (Aktual.com)

PROFIL

(18)

Apakah sudah beraliansi dalam memerjuangkan kasus tersebut?

Pembangunan aliansi telah dimu- lai sejak tahun 1999. Kami kerap beraliansi dengan Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI), Serikat Karyawan Garuda (Sekarga), Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI), Serikat Pekerja Kereta Api, SP TPK Koja, dan Serikat Awak Kabin.

Serikat Pekerja JICT sendiri telah tergabung dalam Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI) sejak tahun 2009. Untuk aliansi interna- sional, kami telah tergabung dalam International Transportworkers Federation (ITF), Hutchinsons Port Client International, dan Regional Safety Comitee.

Seberapa pentingkah pem- bangunan aliansi ini dalam memerjuangkan masalah yang dihadapi?

Pembangunan aliansi ini sangat- lah penting untuk memerjuangkan permasalahan yang dihadapi dan mencapai target penyelesaian. Pada tahun 2003 misalnya, kami berhasil membuat perjanjian kerja bersama

yang membuat upah para pekerja naik secara signifikan. Dalam bentuk aksi massa, kami juga mendapatkan bantuan dukungan ketika menduduki kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dalam menuntut kepastian tenaga kerja sekitar pada tahun 2013, yang berujung pada dikabulkannya tun-tun- tutan tersebut.

Bagaimana kesulitan dan ham- batan yang ditempuh ketika berjuang dalam aliansi?

Aliansi yang dibuat bersifat tidak mengikat (hanya taktis saja) dan dapat berganti ketika suatu isu berakhir. SP JICT sendiri mengakui pula bahwa terkadang ada beberapa penyelesaian isu yang tidak terca- pai dengan adanya aliansi ini. Hanya saja yang menjadi persoalan, mem-mem-em- bangun aliansi antarserikat buruh tidaklah mudah. Terkadang per- bedaan kepentingan, ideologi, dan metode perjuangan antarserikat buruh membuat aliansi yang terban- gun sering terpecah sehingga aliansi strategis yang mempunyai kesamaan pandangan, berjumlah besar, dan bersifat permanen susah terbentuk.

Bahkan ada kalanya pula, sesama buruh mencibir anggota Serikat

Pekerja JICT yang sudah memiliki gaji cukup besar ketimbang gaji buruh lainnya tetapi tetap mengadakan unjuk rasa.

Harapan apa yang ingin dicapai ke depan terkait masalah yang dihadapi dan aliansi yang telah dibangun untuk membantu memerjuangkannya?

Tentu saja pertama-tama kami ingin target yang kami perjuangkan tercapai. Pertama, 400 karyawan outsourcing yang di-PHK diberi keadilan oleh pihak perusahaan.

Kedua, JICT Hutchinson dapat dina- sionalisasi oleh pemerintah supaya memberikan banyak keuntungan baik bagi kami selaku pekerja dan seluruh rakyat Indonesia. Untuk aliansi dalam serikat buruh sendiri, kami berharap aliansi yang kami bangun dapat terus berjalan dan kelak mampu menyelesaikan lebih banyak masalah perburuhan di pelabuhan. Sebagai kaum buruh yang berada dalam kelas yang sama, sudah semestinya kita saling bersoli- daritas dan bersatu memerjuangkan kehidupan yang layak.

Referensi

Dokumen terkait

Suaka Margasatwa Lamandau (Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten.. Bengkayang), Taman Nasional Gunung Palung (Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten.. Ketapang), Taman

Selanjutnya untuk memberikan gambaran arah dan sasaran yang jelas serta sebagaimana pedoman dan tolok ukur kinerja Pengadilan Negeri Yogyakarta diselaraskan dengan arah

Dengan kata lain dalam setiap proses komunikasi yang terjadi antara penutur dan lawan tutur terjadi juga apa yang disebut peristiwa tutur atau peristiwa bahasa (speech

Sehingga untuk menyelesaikan model tersebut harus menggunakan metode numerik yaitu metode Runge-Kutta-Fehlberg (RKF45), dikarenakan model tersebut berupa sistem

Lupiyoadi (2001:134) mendefinisikan Pelanggan adalah seorang individu yang secara continue dan berulang kali datang ke tempat yang sama untuk

Penelitian korelasional merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua variabel atau beberapa variabel.. Penelitian tidak menuntut

Jumlah penyedotan yang dilakukan (jumlah lumpur tinja yang dihasilkan) dari peralatan pengolahan on-site, seperti septic tank, dihitung dengan mengalikan unit kuantitas lumpur

Sumur yang akan dibor, perlu diperkirakan sifat fisik batuan dan fluida yang terkandung Sumur yang akan dibor, perlu diperkirakan sifat fisik batuan dan fluida yang terkandung di