• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN KONFLIK KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI THAILAND SELATAN

Mengenai upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik Thailand Selatan yang berisikan Konflik Pattani ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma, dan perbuatan-perbuatan dalam konflik Thailand Selatan yang dapat dibawa ke Pengadilan HAM Internasional.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan daripada masing-masing bab Pembahasan, serta dilengkapi dengan saran-saran.

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM

PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN

A. Pengertian HAM

Dewasa ini, pembahasan mengenai HAM sangat gencar disuarakan dimana-mana. HAM tidak hanya diatur dalam perarturan nasional suatu negara, melainkan juga diatur dalam instrumen hukum internasional. Masalah penahanan (detention) serta masalah penyiksaan (torture) adalah dua diantara beberapa masalah HAM yang sering dikaji. Terutamanya pada masalah penyiksaan, dimana manusia mempunyai hak untuk tidak disiksa. Bahkan hak untuk tidak disiksa tersebut mempunyai dua karakter sekaligus, yaitu sebagai non-derogable rights

dan jus cogens. Hak untuk disiksa tersebut sangat aktual untuk dibahas dalam permasalahan HAM karena hak tersebut bersinggungan langsung dengan HAM, khususnya hak sipil dari setiap individu. Masalah penahanan dan penyiksaan tersebut secara jelas telah diatur dalam Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights.12

HAM pada saat ini telah menjadi topic pembicaraan utama di berbagai belahan dunia. HAM bukan saja menjadi isu dan masalah nasional bagi negara tetapi juga menjadi isu dan masalah internasional. Dalam kenyataannya, kasus HAM yang menjadi isu dan masalah internasional dapat dilihat dari beberapa kasus misalnya kasus diskriminasi kulit hitam (apartheid) di Afrika Selatan; pembunuhan massal terhadap suku Kurdi pada era Saddam Husien di Irak;

      

  12

Dikutip dari sekartrisakti.wordpress.com/tag/penahanan pada tanggal 12 Maret 2014 pukul 15.40 WIB

pembasmian terhadap etnis Muslim Bosnia oleh Serbia; penyiksaan tawanan perak Irak di Kamp Guantanamo; Penyiksaan etnis Rohingnya di Myanmar dan termasuk kasus kejahatan manusia pada etnis Pattani di Thailand bagian selatan yang akan menjadi pembahasan dalam skripsi ini.

Dan adapun pengertian HAM yang bersifat baku belum ada hingga saat ini. Beberapa definisi HAM yang dikenal antara lain:13

a. Jhon Locke:

“ Hak asasi manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (mutlak)”

b. Prof. Koentjoro Poerbo Pranoto (1976)

“HAM adalah hak yang bersifat asasi, artinya, hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci.

c. Jan Materson (Anggota Komisi HAM PBB)

Human rights could be generally defines as those right which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beingi

d. Prof. Darji Darmodoharjo, S.H:

Hak-hak asasi manusia adalah dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak asasi itu menjadi dasar dari hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.

Berdasarkan beberapa definisi yang terdapat diatas maka dapat lah disimpulkan bahwa HAM adalah sesuatu yang bersifat melekat (inherent) pada

      

13

Dikutip dari disini-tempat-pr-ku.blogspot.com/2012/10/pengertian-ham-menurut-para-ahli.html?m=1 diakses pada tanggal 21 Februari 2014 pukul 14.11 WIB

diri setiap manusia, yang mana berarti HAM adalah karunia dari Tuhan dan bukan pemeberian dari manusia ataupun pemberian dari penguasa negara.

HAM merupakan hak hukum (legal rights) serta substansinya bersifat universal. Hak hukum yang dimaksud berarti HAM dapat dituntut di Pengadilan, sedangkan sifat universal berarti eksistensi HAM berlaku secara keseluruhan dan tidak dibatasi oleh batas-batas geografis.

HAM secara hukum selain telah diatur dalam instrument hukum nasional suatu negara, juga telah diatur dalam instrument hukum internasional, seperti yang telah dituangkan dalam Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights/UDHR) tahun 1948, Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) tahun 1966, dan Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomo, sosial, dan budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/ICESCR) tahun 1966.

Lebih lanjut, Hector Gros Espiel menyatakan bahwa, isu HAM tidak lagi menjadi suatu masalah yang secara eksklusif merupakan kewenangan dalam negeri dari negara, namun yang sekarang diakui, HAM telah menjadi masalah yang diatur baik oleh hukum nasional maupun hukum internasional dan tidak dapat lagi digunakan dalih bahwa HAM merupakan masalah kewenangan atau menjadi yurisdikisi dalam suatu negara14.

      

14

Hector Gros Espiel, La Convention Americaine et la convention Eropeenne des droits de l’homme, Analyse Comparative, (RCADI), 1989/VI, Vol 218. hal

B. Kejahatan Kemanusiaan dan Faktor-Faktor Penyebabnya

Di dalam hukum internasional, istilah kejahatan terhadap kemanusiaan mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan fisik. Biasanya kejahatan kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler dan yang terjadi di Rwanda ataupun Yugoslavia.

Definisi dari kejahatan kemanusiaan telah tercantum dalam pasal 7 Statuta Roma. Berikut isi terjemahan dari Pasal 7 Statuta Roma tersebut:15

Pasal 7, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

1. Untuk tujuan statute ini, “Kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti setiap perbuatan-perbuatan berikut ini apabla dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan (me)luas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok populasi sipil secara disengaja:

a) Pembunuhan b) Pemusnahan; c) Perbudakan;

d) Deportasi atau pemindahan paksa populasi;

e) Pemenjaraan atau permapasan berat atas kebebasan fisik yang melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;

f) Penyiksaan;

      

15

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemkasaan sterilisasi, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang beratnya sebanding;

h) Persekusi terhadap suatu kelompok atau perkumpulan yang dapat diidentifikasi atas dasar-dasar politik, ras, kebangsaan, suku, budaya, agama, jender yang sebagaimana diidentifikasikan di dalam ayat 3, atau dasar-dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diperbolehkan dalam hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap tindakan yang dimaksud di dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada di dalam Yurisdiksi Mahkamah

i) Penghilangan paksa orang-orang; j) Kejahatan apartheid;

k) Perbuatan-perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik.

Dari definisi diatas maka dapat dilihat bahwa yang menjadi tindak pidana pada kejahatan kemanusiaan adalah adanya serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan langsung pada penduduk sipil, yang berarti bahwa suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil.

Dari faktor penyebab terjadinya kejahatan terhadap kejahatan kemanusiaan tersebut ada banyak faktor yang mempengaruhuinya. Keinginan untuk menguasai suatu daerah atau kelompok dengan tujuan menjadi pemimpin adalah alasan yang mendasar penyebab terjadinya kejahatan kemanusiaan tersebut.

Lebih lanjut menurut Bassiouni, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari “aksi atau kebijakan negara”, bila berkaitan dengan pelaku-pelaku yang memiliki hubungan dengan negara (state actors), dan sebagai bagian dari suatu “kebijakan”,bila berkaitan dengan para pelaku yang tidak memiliki hubungan dengan negara namun memiliki karakteristik negara berkenan dengan kemampuannya menggunakan dominasi dan kontrol atas wilayah dan rakyat (non-state actors).16

Selain faktor dari kebijakan dan aksi dari suatu negara, faktor kejahatan manusia menurut Statuta Roma mungkin juga terjadi dari suatu kebijakan suatu organisasi. Hal tersebut dapat terlihat dari terjadinya perang-perang saudara dan disintegrasi seperti kasus bekas negara Yugoslavia.

Di dalam Putusan Tadic, Majelis Pengadilannya telah memandang bahwa entitas di balik kebijakan tersebut bisa saja suatu organisasi dengan kekuasaan de facto atas wilayah, dan membuka kemnungkinan bahwa organisasi-organisasi lain mungkin memenuhi juga syarat tersebut.17

Dengan mencantumkan kata ‘kebijakan” yang memang lebih luas cakupan dan maknanya, tampaklah kalau Statuta Roma bermaksud untuk tidak hanya mencakup dan menjangkau perbuatan aktif bagi terjadinya kejahatan terhadap kemnausiaan, tapi pula perbuatan-perbuatan pasif oleh piak berwenang yang mengetahui tentang terjadinya kejahatan-kejahatan internasional tersebut. Perbuatan pasif demikian dalam hal ini dianggap sebagai bagian dari terjadinya

      

16

M.Cherif Bassiouni, CRIMES AGAINST HUMANITY IN INTERNATIONAL CRIMMINAL LAW, Hague, Kluwer Law International 1999, hal 85-86

17

tindakan-tindakan kejahatan tersebut, lebih tepatnya ia merupakan bagian dari rangkaian, bangunan, atau sistem terjadinya tindakan-tindakan kejahatan tersebut.

Jadi pada intinya bila suatu tindak kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi dan pihak berwenang mengetahuinya, maka pihak terakhir ini harus segera mengambil tindakan-tindakan pencegahan dan penghukuman yang diperlukan. Bila tidak, maka mereka tersebut dapat dihukum berdasarkan Pasal 7 Statuta Roma.18

C.

Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat dan Kejahatan Kemanusiaan di

Berbagai Negara19

Pada tahun 1960 di Kongo, tentara nasional Kongo telah membantai ratusan orang Baluba di Propinsi Kasai Selatan ,ketika terjadinya suatu krisis politik dalam negeri yang serius. Tahun 1965 dan 1972 di Burundi, Tutsi, kelompok yang minoritas namun dominan secara politis di daerah tersebut telah menghancurkan kelompok Hutu, suatu kelompok etnis mayoritas dalam kalangan penduduk: tahun 1965 para pemimpinnya telah dihancurkan dan dan tahun 1972 antara 100.000 dan 300.000 orang Hutu telah dibunuh.

Berlanjut ke Pakistan Timur pada tahun 1971, dimana tentara Pakistan telah membantai penduduk daerah yang sekarang ini menjadi Bangladesh. Tahun 1970-1974 di Paraguay ribuan orang Indian Ache dibunuh ketika bertentangan dengan pihak yang berwenang di Pemerintahan. Tahun 1971-1978, rezim Idi

      

18

Erikson Hasiholan Gultom, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, PT Tatanusa, Jakarta. 2006 Hal 43

19

Antonio Cassese, Hak Asasi Manusia Di Dunia Yang Berubah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.2005 Hal 113

Amin di Uganda telah membunuh ribuan orang sipil, termasuk banyak musuh politik, akan tetapi juga anggota kelompok etnis (Acholi dan Lango).

Di kawasan Asia Tenggara sendiri antara pada tahun 1975 dan 1978 di Kamboja Khmer Merah Pol Pot telah menghancurkan kira-kira dua juta orang, diantaranya beberapa kelompok etnis atau agama seperti Champs (suatu minoritas Islam) dan para biksu Buddha.

Pada tahun yang sama dengan kejadian di Kamboja, di Iran terjadi penindasan dan pembunuhan terhadap anggota kepercayaan Bahai. Di tahun 1960-an dan 1970-an di Brasil telah terjadi pengahncuran terhadap suku Indian yang mendiami wilayahnya. Pada tahun 1982 pembunuhan massal terjadi terhadap orang-orang Palestina oleh pasukan-pasukan Kristen Falangis di kamp-kamp Palestina di Sabra dan Shatila, dengan persetujuan dan tanpa tindakan pencegahan dari angkatan bersenjata Israel. Di tahun 1986-1987 di Sri Lanka tindakan kekerasan telah dilakukan terhadap orang-orang Tamil oleh mayoritas Singhala (yang berikutnya menjadi korban pembunuhan orang Tamil, sampai diadakan perjanjian di bawah pengawasan India tahun 1987 (yang bagaimana pun hanya mengurangi konflik rasial itu).

BAB III

PELANGGARAN HAM DALAM KONFLIK

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI THAILAND SELATAN

A. Sejarah Thailand Selatan dan Faktor-Faktor Utama Terjadinya Konflik

di Thailand Selatan

1

.Sejarah Thailand Selatan (Pattani, Yala, Narathiwat)

Jika menelusuri sejarahnya, Pattani merupakan kesultanan yang cukup penting dalam pertumbuhan daerah perdagangan dan penyebaran Islam di wilayah melayu. Dalam sejarah Islamisasi, Pattani menjadi sangat penting karena merupakan satu-satunya kota pelabuhan dan pusat perdagangan Islam yang paling berpengaruh yang pernah muncul di perairan laut Cina Selatan20.

Sedangkan Yala, bersama dengan Narathiwat adalah sebagian dari Kesultanan Melayu Pattani yang berada dibawah pengaruh kerajaan Siam Sukhothai dan Ayutthaya. Setelah Ayutthaya jatuh pada tahun 1767 Pattani menjadi merdeka tetapi kembali kepada Siam sewaktu pemerintahan Raja Rama I. Pada 1909, Siam menaklukkan Pattani akibat perjanjian mereka dengan Kekaisaran Britania. Narathiwat dan Yala diatur secara terpisah.21

Luas tiga daerah (provinces, Ind. = kabupaten) yang merupakan area konflik dan kekerasan politik di Thailand Selatan adalah 10.936,5 km. Tiga daerah tersebut, yaitu Pattani, Naratiwat, dan Yala, terletak di perbatasan antara Thailand dengan Malaysia. Adapun jarak terjauh dari ibukota Thailand. adalah

      

20

Auni bin Haji Abdullah. 2001. Islam dan Perdagangan dalam Sejarah Alam Melayu. Malaysia. Darulfikir SDN BHO. Hal. 298

21

Dikutip dari Wikipedia.org/wiki/Narathiwat diakses pada tanggal 16 Februari 2014 pukul 21.39 WIB

Narathiwat, yaitu 1.149 km. Yala adalah daerah yang paling luas wilayahnya (41%) di antara tiga daerah di perbatasan Thailand Selatan. Jumlah penduduk ketiga daerah pada tahun 2004 adalah 1.783.504 jiwa di mana proporsi paling besar terdapat di Narathiwat (39%). Pattani, yang merupakan daerah paling makmur di kawasan ini, memiliki 26% dari total penduduk di ketiga daerah. Ketiga daerah ini bergantung pada sektor pertanian, termasuk perikanan, karena kontribusi sektor ini rata-rata mencapai 46% pada tahun 200422.

Umat Islam di Thailand adalah kelompok minoritas yang jumlahnya 4% dari seluruh penduduk nasional, tetapi merupakan kelompok mayoritas pada lima provinsi di perbatasan selatan, yaitu Pattani, Narathiwat, Yala, Songkhla, dan Satun. Sebelum 1786, kelima provinsi ini merupakan wilayah Kerajaan Islam Pattani yang terpisah dari Kerajaan Siam (Thailand). A. Teeuw dan Wyatt (1970:3) mengatakan bahwa Kerajaan Pattani telah berdiri sejak pertengahan abad ke-15 seiring dengan masuknya agama Islam di Semenanjung Melayu. Setelah Raja Pattani (Phya Tu Antara) memeluk agama Islampada tahun 1457, kemudian Kerajaan Pattani dideklarasikan sebagai kerajaan Islam (Abdullah, 2001)23.

Perkembangan Pattani dimulai pada kurun waktu abad ke-14 dan 15 sejalan dengan pesatnya bidang perdagangan dan penyebaran agama Islam. Pattani yang secara geografis berada di pertengahan jalur lalu lintas perdagangan antar negeri Melayu dan negeri Asia Timur dan diantara perairan Selat Malaka serta Laut Sulu dengan perairan Laut Cina Selatan. Jalur tersebut merupakan jalur perkapalan yang menghubungkan tanah Arab dan India bahkan dengan benua

      

22

Cahyo Pamungkas, Mengurai Konflik Filipina Selatan dan Thailand Selatan, GRE Publishing, Jakarta, 2010. Hal. 156

23

Cina. Pattani dipandang sebagai pusat komersial yang penting untuk melayani pedagang-pedagang Islam Arab, India, Eropa maupun Cina, sehingga menjadikan Pattani sebagai kerajaan dengan cakupan daerah cukup luas dan padat di semenanjung Laut Cina Selatan24.

Zaman keemasan ini berlangsung ketika diperintah oleh empat orang Raja perempuan yaitu Raja Hijau (1584-1616), Raja Biru (1616-1624), Raja Ungu (1624-1635), dan Raja Kuning (1635-1651)25. Namun pada akhir pemerintahan Raja Kuning (1635-1688), Pattani mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduruan. Hal ini disebabkan karena Raja Kuning meninggalkan kerajaan tanpa pengganti yang berwibawa. Dalam hikayat Patani disebutkan setelah kematian raja terjadi pemberontakan diantara pembesar-pembesar negeri yang bergelar datuk yang berebut kuasa untuk menjadi Bendahara (Perdana Menteri) dan menjadikan Raja Pattani sebagai boneka saja26.

Perselisihan dalam perebutan kekuasaan tersebut menimbulkan perang saudara yang berakibat kekacauan dalam pemerintahan dan keresahan di kalangan penduduk Pattani. Keadaan tersebut berlangusng sangat lama hingga pada awal tahun 1900.

Berikut adalah periodesasi Integrasi Melayu Pattani mulai dari pasca berakhirnya pemerintahan Raja Kuning hingga Perjanjian Anglo-Siam di tahun 1902:

      

24

Auni bin Haji Abdullah. Op.cit. hal.300

25

P. Rudolf Yuniarto. Integrasi Muslim Patani: Reidentitas Sosial atas Dominasi “Nasional” Thailand. Hal 5

26

Haji Salleh, Siti Hawa. 1992. Hikayat Patani . Malaysia. Dewan Bahasa dan Pustaka Kemntrian Pendidikan. Hal. xvii

Periodisasi Konteks Sejarah Pelaku 1785 Pattani diserang

kerajaan Chakri

Selepas Phya Taksin Berjaya mengalahkan Burma di Ayuthia dalam tahun 1776, Siam kemudian mengalihkan perhatiannya ke daerah negeri-negeri di Selatan Semenanjung yaitu Ligor, Songkhla dan Pattalung.

Kerajaan Melayu Pattani berhasil dikuasai oleh kerajaan Chakri (Siam) pada tahun 1978

Phrya Chakri memerintah adiknya, Putera Surasi, dengan dibantu Phraya Senaphutan, Gabenor Pattalung, Palatcana dan

Songkhla supaya menyerang Pattani pada

tahun 1785. Raja Pattani berusaha menahan serangan namun gagal menahan serangan Siam

1808 Kerajaan Melayu Pattani dipecah menjadi 7 wilayah Pemeberontakan dari tokoh-tokoh Melayu Pattani dapat dipatahkann oleh Siam dengan mendapat bantuan kerajaan pusat di Bangkok, kemudian Kerajaan Melayu Pattani dipecahkan kepada 7 buah negeri atau Hua

Muang untuk

melemahkan orang Melayu.

7 buah wilayah yang dipisah:

Sultan Mahmud klah dalam pertenpuran dengan pihak Siam. Akibat kekalahan itu 4.000 orang Melayu Pattani telah dijadikan tawanan dan dibawa ke

Bangkok sebagai tawanan.

Tengku Lamidin telah bersatu dengan Raja Annam yang beragama Islam, Okphaya Cho So, dan memberontak serta menyerang kedudukan

1. Patani Tuan Sulunng

2. Teluban Nik Dir 3. Nongchik Tuan

Nik

4. Jalor Tuan Yalor 5. Jambu Nai Pai 6. Rangae Nik Dah

7. Reman Tuan

Mansur

tentara Siam di Tiba, Chanak, Songkhla dan

Saiburi. Dalam kebangkitan itu, Tengku

Lamidin telah dibantu oleh Sheikh Abdul Kamal, seorang ulama besar asal Mekkah, tapi gagal.

Pada tahun 1808 Datuk Pangkalan juga bangkit menentang Siam. Walau bagaimanapun, semua pemberontakan yang dilakukan tokoh-tokoh Pattani dapat dipatahkan oleh Siam

1838 Kebangkitan anti-siam

Kejadian dipicu oleh keadaan yang tidak mendukung

kesejahteraan rakyat Pattani. Usaha ini dilakukan untuk mengembalikan

kekuasaan raja dan kedaulatan Pattani yang diambil alih oleh Siam

Kekecewaan tokoh-tokoh Pattani terhadap Raja Rama III yang melakukan pelantikan Gubernur kepala tujuh wilayah Pattani agar menyokong

pemerintahan Siam agar menjadi kokoh. 1896 Perubahan Kebijakan pemerintahan Rancangan pembagian wilayah berdasarkan sistem Thesaphiban. Raja Chulalongkorn memberlakukan sistem Thesaphiban sebagai

daerah dalam upaya mendapatkan dukungan material dengan meminta upeti lebih yang diberlakukan oleh Raja Chulalongkorn

Dibawah peraturan ini, kerajaan negeri Melayu tidak lagi mempunyai kuasa otonomi dan dengan itu juga Raja-Raja Melayu akan kehilangan kedaulatan mereka. Sistem Thesaphiban, pembagian

wilayah yang disusun dalam satu unit yang dikenali sebagai daerah-daerah.

akibat penolakan yang terjadi di Asia Tenggara tahun 1890 dimana mulai berkuasanya penjajah Inggris dan Perancis yang mengancam wilayah integritas Siam.

1901 Kerajaan Melayu Pattani melakukan upaya pemberontakan terhadap Siam

Raja dan para petinggi

Pattani menolak kehadiran pegawai kerajaan Siam dan pegawai-pegawainya

karena dianggap ikut campur tangan terlalu dalam mengenai urusan pembagian wilayah di negeri-negeri Pattani. Diberlakukannya

peraturan pembagian wilayah nomor 120 yang bertujuan memperkokoh penguasaan Kerajaan Siam atas wilayah Pattani

yang berbuntut penangkapan raja-raja

Tengku Abdul Kadir merancang untuk memberontak pada akhir

bulan Oktober, 1901 selepas perbekalan senjata dan peluru tiba dari Singapura. Upaya pemberontakan ini didukung oleh negeri Islam lain.

Melayu termasuk diantaranya Tengku Abdul Kadir taun 1902

1902 Perjanjian Anglo-Siam

Terjadinya pemisahan wilayah Melayu Pattani menjadi provinsi melalui

perjanjian antara pemerintah Inggris dan

pemerintah Kerajaan Siam

Dilakukan antara utusan kerajaan Inggris untuk wilayah Asia Frank Swettenham dengan Raja Siam Chulalongkorn, dimana wilayah Kedah, Trengganu, Kelantan, Perlis masuk menjadi wilayah Kerajaan Inggris, dan Pattani menjadi bagian wilayah Siam

Sumber : Rudolf. P.Yuniarto. Integrasi Muslim Patani : Reidentitas Sosial

atas Dominasi “Nasional” Thailand. PSDR LIPI27

Akibat dari penandatanganan perjanjian Inggris-Siam 1902, maka wilayah Pattani dianggap bukan sebuah kerajaan melayu lagi, tetapi merupakan wilayah hasil penaklukan bangsa Thai. Daripada itupula, sebagai kelompok minoritas, Muslim Pattani dihadapkan pada keharusan mengikuti pola integrasi nasional agar menjadi satu wilayah kesatuan yang utuh dengan wilayah Thailand lainnya. Usaha-usaha integrasi nasional dilakukan pemerintah kerajaan melalui asimilasi bangsa Melayu Islam ke dalam sistem pendidikan bangsa Thai. Diantaranya dengan mengharuskan penduduk untuk menyekolahkan pemuda-pemudi Pattani

      

27

ke sekolah-sekolah Thai dengan menggunakan bahasa Thai sebagai bahasa pengantar28.

Selain dalam penggunaan bahasa, pihak kerajaan Siam juga menerapkan identitas nasional dengan semboyan trinitas (lak thai) yang hanya mengakui satu kebangsaan bangsa Thai, satu agama Buddha, dan tunduk pada kekuasaan Raja29.

Gerakan perlawanan bangsa Melayu Pattani pertama kali muncul sebagai sebuah gerakan damai yang memperjuangkan otonomi bagi Pattani. Misalnya gerakan Haji Sulong melalui Dewan Keagamaan Islam yang mengajukan petisi kepada Pemerintah Kerajaan dengan tuntutan otonomi. Pattani hendaknya dipimpin oleh putra daerah pilihan rakyat, 80% aparat Pattani hendaknya muslim, bahasa Melayu dan Thai hendaknya sama-sama digunakan sebagai bahasa pengantar di pondok/madrasah, hukum Islam diterapkan bagi kaum Muslim, kemudian pendapatan daerah dimanfaatkan untuk masyrakat Pattani, dan hendaknya dibentuk suatu lembaga muslim30.

Pada tahun 1959 pasca kematian Haji Sulong, perjuangan generasi Pattani dilanjutkan oleh Tengku Abdul Jalil yang mendirikan front perlawanan bawah tanah, yaitu Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP). Genarasi muda Pattani ini mengambil inisiatif perlawanan dengan mendirikan Barisan Revolusi Nasional (BRN) yang bertujuan mendirikan Republik Islam Pattani31.

Sementara itu golongan sekuler yang berbeda ideologi juga mendirikan front perlawanan Pattani Union Liberation Organization (PULO). Walaupun

      

28

Problema minoritas Muslim di Asia Tenggara Kasus Moro, Pattani, dan Rohingnya, Seri Penelitian PPW-LIPI No.6/2000. Hal 45

29 Ibid 30 Ibid 31 Ibid

berbeda secara ideologi, kedua front perlawanan tersebut memiliki kesamaan dalam melihat posisi Pemerintah Thailand sebagai internal colonization yang tidak mungkin untuk diajak kompromi32.

Konflik Pattani yang tidak kunjung mereda membuat kerajaan dari Pemerintah Siam berusaha memberikan konsesi-konsesi secara nyata kepada gerakan Separatis Melayu. Antara lain dengan mengembangkan toleransi dalam pluralisme beragama, perbaikan pendidikan, dan pemberian paket pembangunan sosial ekonomi disertai rekruitmen terhadap Muslim di sector administrasi.

Dokumen terkait