• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Hukum Internasional Dalam Penyelesaian Konflik Kejahatan Kemanusiaan Di Thailand Selatan (Studi Kasus Di Pattani, Yala, Narathiwat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Upaya Hukum Internasional Dalam Penyelesaian Konflik Kejahatan Kemanusiaan Di Thailand Selatan (Studi Kasus Di Pattani, Yala, Narathiwat)"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

Pada era globalisasi saat ini, masalah mengenai HAM adalah masalah yang paling gencar disuarakan terutama dalam isu internasional. Hal tersebut terlihat dengan munculnya organisasi-organisasi internasional dan regional yang meletakkan prinsip-prinsip pokok dan merumuskan berbagai langkah dan tindakan untuk melindungi hak-hak asasi manusia di seluruh dunia. Namun sayangnya dalam perjalanan untuk melindungi hak-hak asasi tersebut banyak masalah HAM khususnya kejahatan kemanusiaan yang tidak tersentuh dan bahkan sering tidak disuarakan, termasuk kasus kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan.

Permasalahan yang menjadi bahasan utama skripsi ini adalah apakah pemerintah Thailand dalam konflik kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan ini dapat dikatakan telah melanggar Statuta Roma khususnya yang ada dalam pasal 7 tentang kejahatan kemanusiaan, dan dapatkah kasus kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan tersebut dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional, dikarenakan Thailand sendiri belum meratifikasi Statuta Roma tersebut serta bagaiamana dengan halnya prinsip ne bis in idem, apakah dapat berlaku atau tidak dalam kasus ini.

Hasil pembahasan skripsi ini adalah bahwa pemerintah Thailand dapat dikatakan bertanggungjawab dalam konflik kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan, dan kasus kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan ini pun dapat dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional walaupun Thailand adalah Negara yang termasuk belum meratifkasi Statuta Roma. Pembiaran konflik, melindungi para tersangka, dan tidak adanya keseriusan pemerintah Thailand dalam mengatasi permasalahan konflik kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan tersebut menjadi alasan utama dapat diberlakukannya Statuta Roma dan pengenyampingan prinsip ne bis in idem atau double jeopardy.

      

*Mahasiswa Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

Keywords: Kejahatan Kemanusiaan, Thailand Selatan, menurut Hukum Internasional

(2)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

AHMAD ILHAMI

NIM : 100200015

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

AHMAD ILHAMI

NIM : 100200015

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Ketua Departemen

Arif, SH.MH

NIP : 196403301993031002

PEMBIMBING I : PEMBIMBING II :

Prof. Sulaiman, SH Dr. Chairul Bariah,SH.M.Hum

(4)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Upaya Hukum Internasional Dalam Penyelesaian Kejahatan Kemanusiaan di Thailand Selatan” tepat pada waktunya.

Skripsi merupakan karya ilmiah yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sekaligus merupakan pembelajaran bagi mahasiswa. Penulisan skripsi bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk berpikir kritis dan mampu menuangkan berbagai ide dan pemikirannya secara terstruktur. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan ilmu pengetahuan, meskipun penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Selama proses perkuliahan hingga penulisan skripsi ini berjalan, penulis banyak mendapatkan bantuan, dukungan dan bimbingan serta masukan dari berbagai pihak. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada:

(5)

terima kasih ananda kepadamu;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.M.H.DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak M. Husni, SH.M.H, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Arif, SH.M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Prof.Sulaiman, SH, selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan kepada penulis;

8. Bapak Dr. Chairul Bariah, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah memberikan petunjuk, bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam penulisan skripsi ini;

(6)

11.Kedua saudara kandung penulis abangda Ahmad Surury dan adinda Ahmad Hasburrahman yang saya cintai dan sayangi yang telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan penulis, yang menjadi motivasi penulis dalam menjalani sisa-sisa hidup yang fana ni;

12.Teman-teman penulis Ramadan, Aries Fadhillah, Sakafa Guraba, Maulana Hadeni, Ramadhan Syahputra, Fahry Ramadhan, Irfan Fajri Rambe, Ludfi Aristio, Tengku Juanda, Fauzi Habib, yang telah sudi berteman dengan penulis selama berada dalam masa-masa belajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan memberikan dukungan dan semangat kepada penulis;

13.Seluruh kawan-kawan grup C stambuk 2010 yang dari awal masuk kita selalu bersama, dan kawan-kawan ILSA stambuk 2010 yang ada di Departemen Hukum Internasional yang menambah wawasan pergaulan penulis selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum USU;

14.Rekan-rekan dan adik-adik di kepengurusan BTM Aladdinsyah, SH periode yang namanya tidak bisa penulis tuliskan satu persatu;

(7)

Medan, April 2014 Penulis

(8)

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN A. Pengertian HAM ... 13

B. Kejahatan Kemanusiaan dan Faktor-Faktor Penyebabnya ... 16

C. Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat dan Kejahatan Kemanusiaan di Berbagai Negara ... 19

(9)

Kejahatan Kemanusiaan di Thailand Selatan ... 35

C. Peristiwa-Peristiwa Dalam Konflik Kejahatan Kemanusiaan di Thailand Selatan ... 42

1. Pembantaian di Masjid Kerisik, Pattani, 2004 ... 42

2. Pembunuhan Seorang Imam, Narathiwat, 2005 ... 43

3. Pembantaian di Masjid Al-Furqon, Narathiwat, 2009 ... 45

4. Peristiwa Berdarah Tak-Bai, Pattani, 2004 ... 45

5. Penyanderaan Dua Orang Anggota Marinir di Desa Tanyonglimo, Narathiwat, 2005 ... 48

6. Pembunuhan di Kampung Ketong Mukim-Buanga, Distrik Legih, Narathiwat, 2006 ... 49

7. Serangan Umum terhadap Yala, 2005 ... 50

8. Peristiwa Serangan Militer Thailand di Yala, 2011 ... 51

9. Penembakan Anak-Anak Seusai Shalat di Narathiwat, 2014 ... 52

BAB IV UPAYA HUKUM INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN KONFLIK KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI THAILAND SELATAN A. Upaya-Upaya Yang Telah dilakukan Dalam Penyelesaian Konflik di Thailand Selatan ... 53

1. Pembentukan Komisi Rekonsiliasi Nasional (National Reconciliation Comission/NRC) 2004 ... 53

(10)

dan Statuta Roma ... 79 1. Kejahatan Kemanusiaan di Thailand Selatan Ditinjau dari

Konvensi Jenewa 1949 ... 79 2. Kejahatan Kemanusiaan di Thailand Selatan Ditinjau Dari Statuta

Roma ... 82 3. Pasal-pasal dalam Statuta Roma yang Berkenaan pada Kejahatan

Kemanusiaan di Thailand Selatan yang Dapat Dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional ... 92 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(11)

Pada era globalisasi saat ini, masalah mengenai HAM adalah masalah yang paling gencar disuarakan terutama dalam isu internasional. Hal tersebut terlihat dengan munculnya organisasi-organisasi internasional dan regional yang meletakkan prinsip-prinsip pokok dan merumuskan berbagai langkah dan tindakan untuk melindungi hak-hak asasi manusia di seluruh dunia. Namun sayangnya dalam perjalanan untuk melindungi hak-hak asasi tersebut banyak masalah HAM khususnya kejahatan kemanusiaan yang tidak tersentuh dan bahkan sering tidak disuarakan, termasuk kasus kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan.

Permasalahan yang menjadi bahasan utama skripsi ini adalah apakah pemerintah Thailand dalam konflik kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan ini dapat dikatakan telah melanggar Statuta Roma khususnya yang ada dalam pasal 7 tentang kejahatan kemanusiaan, dan dapatkah kasus kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan tersebut dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional, dikarenakan Thailand sendiri belum meratifikasi Statuta Roma tersebut serta bagaiamana dengan halnya prinsip ne bis in idem, apakah dapat berlaku atau tidak dalam kasus ini.

Hasil pembahasan skripsi ini adalah bahwa pemerintah Thailand dapat dikatakan bertanggungjawab dalam konflik kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan, dan kasus kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan ini pun dapat dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional walaupun Thailand adalah Negara yang termasuk belum meratifkasi Statuta Roma. Pembiaran konflik, melindungi para tersangka, dan tidak adanya keseriusan pemerintah Thailand dalam mengatasi permasalahan konflik kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan tersebut menjadi alasan utama dapat diberlakukannya Statuta Roma dan pengenyampingan prinsip ne bis in idem atau double jeopardy.

      

*Mahasiswa Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

Keywords: Kejahatan Kemanusiaan, Thailand Selatan, menurut Hukum Internasional

(12)

Dewasa ini hak-hak asasi manusia banyak dibicarakan orang. Hak-hak asasi manusia dibicarakan dalam organisasi-organisasi internasional seperti PBB, dalam parlemen nasional, pers, untuk menekankan kepentingannya atau untuk mengecam pemerintah-pemerintah yang tidak memperhatikannya. Tidak sedikit surat kabar yang setiap harinya dipenuhi oleh berita-berita tentang diskriminasi, pembunuhan massal, penyiksaan, dan penghilangan lawan-lawan politik secara kekerasan. Kekejaman dan kesewenang-wenangan tentu saja bukan merupakan hal yang baru dalam sejarah manusia.

Sehubungan dengan itu, secara gencar organisasi-organisasi internasional terutama PBB beserta organisasi-organisasi regional meletakkan prinsip-prinsip pokok, merumuskan berbagai kebijakan, langkah dan tindakan untuk memajukan dan melindungi hak-hak asasi di seluruh penjuru dunia dan untuk semua bangsa. Didorong oleh kesadaran yang mendalam tersebut, berbagai upaya telah dilakukan seperti dengan cara mengembangkan dan melindungi hak-hak asasi manusia dalam berbagai bentuk dan cara terutama melalui pembuatan pengaturan-pengaturan konvensional yang diterima oleh masyarakat internasional.

(13)

internasional dilindungi, oleh karena itu pengaturan internasional tersebut sering dinamakan sebagai Internasional Protection of Human Rights atau Internastional Human Rights Law.

Berbicara tentang Hukum internasional HAM, hukum HAM internasional memiliki latar belakang sejarah di beberapa dokumen hukum internasional.1 Dokumen penting tentang Hukum HAM Internasional ini antara lain adalah mengenai intervensi humaniter, tanggung jawab negara terhadap individu, perlindungan terhadap kelompok minoritas, dan hukum humaniter internaional.

Individu-individu dalam hal tertentu dapat menjadi subjek hukum internasional, tetapi hanya sebagai subjek hukum buatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Nguyen Quoc Din2. Disebut subjek hukum buatan karena kehendak negara-negara lah yang menjadikan individu-individu tersebut dalam hal-hal tertentu sebagai subjek hukum internasional yang dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan konvensional, sehingga menjadikan individu-individu dari golongan tertentu subjek hukum internasional.

Sejak tahun 1948, yaitu setelah dianutnya Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, semua Negara di dunia termasuk Negara-negara yang tidak mengalami proses kesejarahan dari pembentukan Negara demokrasi liberal modern yang panjang, memiliki sebuah kode internasional, untuk menentukan bagaimana akan bertindak dan bagaimana menilai yang lain. Kode ini tidak hanya memiliki sifat dilaksanakan secara universal, akan tetapi juga mencakup

prinsip-      

1

L. Henkin, The Ages of Rights, International Law, Cases and Materials, Third Edition, 1993, West Publishing Co. St. Paul, Minn. hal. 626-628

2

(14)

prinsip yang bernilai di bidang-bidang yang tadinya tidak tidak diperhatikan dalam konstitusi-konstitusi Negara-negara barat. Dahulu, sebuah Negara dituduh membantai seluruh penduduk, tetapi sekarang ini norma-norma internasional berbicara tentang pemusnahan suatu bangsa (genocide) sambil menggunakan isitilah ini dengan kesadaran penuh mengenai ruang lingkupnya. Dahulu dapat dikatakan bahwa sebuah Negara menyiksa warga negaranya, sekarang disamping penyiksaan, norma-norma internasional melarang setiap perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan.

Perubahan dua hal diatas adalah bukti akan adanya pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi berkembang dengan cepat bersamaan dengan perkembangan yang merajut hubungan antar bangsa dan organisasi-organisasi regional dan multilateral global. PBB sebagai organisasi multilateral global telah membagi kegiatan dalam mengembangkan perlindungan akan HAM dalam kerangka universal telah membagi kegiatan tersebut ke dalam beberapa periode sebagai berikut 3:

1. Periode pembentukan system, dari Piagam PBB ke Deklarasi Universal HAM (1945-1948)

2. Periode perbaikan sistem, yang menuju kepada pengesahan berbagai konvensi dan instrumen HAM internasional (1949-1966)

3. Periode pelaksanaan sistem, yang dimulai dari dari pengesahan instrumen hingga Konferensi Wina (1967-1993)

      

3

(15)

4. Periode Perluasan sistem, dari Konferensi Wina hingga pelaksanaan tindak lanjut (1993-1995)

5. Periode menuju perlindungan HAM baru (1996-2000).

Dalam masa perkembangan perlindungan HAM tersebut pula terdapat konflik kemanusian yang sebelum adanya PBB hingga beberapa tahun terakhir masih terjadi. Konflik tersebut terjadi di daerah Thailand bagian selatan. Sejarah mencatat, wilayah Thailand Selatan yang pernah dikenal dengan nama Pattani Darussalam pernah berdaulat selama 455 tahun (1947-1902), namun tiba-tiba dihapuskan dari peta dunia.

Pada tahun 1938, terjadi program asimilasi ke dalam budaya Buddha-Siam yang dipaksa oleh rezim Phibun Songgram atas etnis Pattani. Program asimilasi tersebut masih terjadi hingga sekarang sehingga mendapat perlawanan dari etnis Pattani4.

Dalam perjalanan konflik tersebut telah terjadi beberapa pelanggaran hak-hak asasi etnis Pattani antara lain :

1. Agama Islam sebagai agama yang dianut oleh etnis melayu-muslim di Thailand Selatan tidak diberi kebebasan untuk menjalankannya.

2. Harta benda dan segala peternakan dirampas dengan sewenang-wenang

3. Membunuh warga Melayu muslim dan berakhir dengan vonis bebas di Pengadilan

      

4

(16)

4. Sejak tahun 1948, telah menempatkan polisi dan militer bersenjata, dan melakukan pembunuhan hingga ratusan etnis melayu-muslim di Thailand Selatan

5. Anak-anak dan istri dari etnis melayu-muslim di Thailand Selatan diperkosa oleh polisi dan pembesar-pembesar rezim Thailand.

Namun sayangnya dalam perjalanan konflik Thailand Selatan tersebut hampir tidak mendapat tempat dan perhatian dari dunia internsional, seperti PBB dan lembaga dunia lainnya. Padahal jika telusuri lebih lanjut, kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah Thailand tersebut merupakan pelanggaran HAM berat, karena dilakukan dengan kekuatan yang masif dan menewaskan orang dalam jumlah besar. Daripada itu, kasus tersebut pada hakikatnya bukan hanya menjadi persoalan domestik Thailand, tetapi menjadi persoalan regional dan internasional.

Keberadaan Mahkamah Internasional, dapat membuka peluang pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand terhadap etnis muslim di Thailand Selatan tersebut untuk dibawa ke tingkat regional bahkan

internasional

.

B. Perumusan Masalah

Bertumpu dari latar belakang tersebut, yang dapat menjadi pokok permasalahan pada konflik HAM pada kasus kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan ini adalah :

(17)

2. Bagaiamana perjalananan konflik serta faktor utama apa yang menyebabkan terjadinya konflik kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan?

3. Bagaimana upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik di Thailand Selatan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan dan manfaat penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui tinjauan umum mengenai pelanggaran HAM pada kejahatan mansuia

2. Untuk mengetahui perjalanan konflik dan faktor utama pelanggaran HAM dalam konflik kemanusiaan di Thailand Selatan

3. Untuk mengetahui bagaimana upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan

Selain tujuan yang dikemukakan diatas, hasil penelitian dan penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian dalam pengembanagan hukum internasional khususnya mengenai kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM dalam asepek hukum HAM internasional dan memenuhi salah satu syarat mencapai starta satu pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

D. Keaslian Penulisan

(18)

THAILAND SELATAN (STUDI KASUS DI PATTANI, YALA, DAN NARATHIWAT). Pembahasan skripsi ini dititik beratkan pada unsur-unsur pelanggaran HAM serta upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan.

Berdasarkan Inventriasi skripsi yang ada di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada yang membuat judul skripsi tentang kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan, dengan kata lain judul ini belum pernah ditulis sebelumnya. Sehingga apabila terjadi kesalahan terhadap penulisan ini maka akan menjadi tanggung jawab penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan

Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki setiap manusia yang telah diperoleh atau dibawanya yaitu bersamaan dengan kelahirannya atau kehadirannya dalam kehidupan masyarakat dan beberapa hak itu untuk dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau jenis kelamin yang kemudian dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia haruslah mendapat kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat/kodrat atau kemampuan dalam cita-citanya. (Abdul Gani 1993).

(19)

memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM)

Accesion adalah tindakan suatu Negara untuk menjadi Negara peserta dalam suatu perjanjian internasional5.

Civil and Political Rights adalah Hak-Hak sipil dan politik warga Negara atas kebebasan dan kesetaraan untuk beribadah, berfikir, berekspresi, memilih, berpartisipasi dalam kehidupan politik, dan memperoleh informasi yang diatur dalam Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik dan Sipil dan pasal 1-21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia6.

Convention (konvensi) adalah sebuah istilah yang digunakan oleh PBB, yang mengindikasikan perjanjian dicapai antara kedua Negara atau lebih7.

Konvensi HAM adalah kesepakatan internasional yang mengandung syarat untuk mengangkat atau melindungi satu HAM atau lebih atau kebebasan yang asasi8.

Declaration (Deklarasi) adalah pernyataan umum prinsip-prinsip yang walaupun tidak mengikat secara legal, harus diperlakukan dengan otoritas yang besar9.

Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status social, status ekonomi, jenis

      

5

Gununglembayung.blogspot.com/2009/beberapa-istilah-hak-asasi-manusia.html?m=1 diakses pada tanggal 5 Februari 2014 pukul 09.29 WIB

(20)

kelamin, bahasa, keyakinan, politik, ekonomi, hukum, social, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. (Pasal 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM)

Konflik adalah adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.

Konflik internasional adalah perselisihan antara subjek-subjek hukum internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana tuntutan atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik, atau diingkari oleh pihak lainnya

Kejahatan manusia adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil (Pasal 7 Statuta Roma)

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Untuk melengkapi skripsi ini agar lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka penelitian ini penelitan hukum normatif, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang lain.10

2. Sifat Penelitian

      

10

(21)

Dari segi sifatnya, penelitian pada skripsi ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif, yang artinya menggambarkan dengan cara menjabarkan fakta secara sistematis, faktual, dan akurat.11

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah berupa data sekunder yang terdiri atas:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang merupakan landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang menunjang,

yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku dan pendapat serta doktrin-doktrin dari para ahli hukum.

c. Bahah hukum tersier, yaitu bahan hukum yang member penjelasan dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Konvensi-konvensi Hukum Internasional.

4. Analisis Data

Data Sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier terhadap data tersebut selanjutnya dilakukan pengolahan data yakni kegiatan untuk mengadakan sisitemisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif yang lebih menekankan analisisnya pada proses penyimplan dedukatif dan induktif dimana data

      

11

(22)

kualitatif merupakan data yang lebih banyak berupa narasi, cerita dan dokumen tertulis.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraiakan dalam 5 bab, dimana tiap bab diuraiakan kembali dalam sub-sub bab, agar mempermudah pemaparan materi dari skripsi ini yang digambarkan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Sub bab ini merupakan gambaran umum yang berisikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan, dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN

Mengenai tinjauan umum terhadap pelanggaran HAM pada kejahatan kemanusiaan yang berisikan Pengertian, Kejahatan Manusia dan faktor-faktor penyebabnya, dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat Kejahatan Kemanusiaan di berbagai negara.

BAB III : PELANGGARAN HAM DALAM KONFLIK KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI THAILAND SELATAN

(23)

yang terlibat dalam pelanggaran HAM di Thailand Selatan, dan unsur-unsur pelanggaran HAM dan kejahatan manusia dalam konflik di Thailand Selatan.

BAB IV : UPAYA HUKUM INTERNASIONAL DALAM

PENYELESAIAN KONFLIK KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI THAILAND SELATAN

Mengenai upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik Thailand Selatan yang berisikan Konflik Pattani ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma, dan perbuatan-perbuatan dalam konflik Thailand Selatan yang dapat dibawa ke Pengadilan HAM Internasional.

BAB V : PENUTUP

(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM

PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN

A. Pengertian HAM

Dewasa ini, pembahasan mengenai HAM sangat gencar disuarakan dimana-mana. HAM tidak hanya diatur dalam perarturan nasional suatu negara, melainkan juga diatur dalam instrumen hukum internasional. Masalah penahanan (detention) serta masalah penyiksaan (torture) adalah dua diantara beberapa masalah HAM yang sering dikaji. Terutamanya pada masalah penyiksaan, dimana manusia mempunyai hak untuk tidak disiksa. Bahkan hak untuk tidak disiksa tersebut mempunyai dua karakter sekaligus, yaitu sebagai non-derogable rights

dan jus cogens. Hak untuk disiksa tersebut sangat aktual untuk dibahas dalam permasalahan HAM karena hak tersebut bersinggungan langsung dengan HAM, khususnya hak sipil dari setiap individu. Masalah penahanan dan penyiksaan tersebut secara jelas telah diatur dalam Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights.12

HAM pada saat ini telah menjadi topic pembicaraan utama di berbagai belahan dunia. HAM bukan saja menjadi isu dan masalah nasional bagi negara tetapi juga menjadi isu dan masalah internasional. Dalam kenyataannya, kasus HAM yang menjadi isu dan masalah internasional dapat dilihat dari beberapa kasus misalnya kasus diskriminasi kulit hitam (apartheid) di Afrika Selatan; pembunuhan massal terhadap suku Kurdi pada era Saddam Husien di Irak;

      

  12

(25)

pembasmian terhadap etnis Muslim Bosnia oleh Serbia; penyiksaan tawanan perak Irak di Kamp Guantanamo; Penyiksaan etnis Rohingnya di Myanmar dan termasuk kasus kejahatan manusia pada etnis Pattani di Thailand bagian selatan yang akan menjadi pembahasan dalam skripsi ini.

Dan adapun pengertian HAM yang bersifat baku belum ada hingga saat ini. Beberapa definisi HAM yang dikenal antara lain:13

a. Jhon Locke:

“ Hak asasi manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (mutlak)”

b. Prof. Koentjoro Poerbo Pranoto (1976)

“HAM adalah hak yang bersifat asasi, artinya, hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci.

c. Jan Materson (Anggota Komisi HAM PBB)

Human rights could be generally defines as those right which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beingi

d. Prof. Darji Darmodoharjo, S.H:

Hak-hak asasi manusia adalah dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak asasi itu menjadi dasar dari hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.

Berdasarkan beberapa definisi yang terdapat diatas maka dapat lah disimpulkan bahwa HAM adalah sesuatu yang bersifat melekat (inherent) pada

      

13

(26)

diri setiap manusia, yang mana berarti HAM adalah karunia dari Tuhan dan bukan pemeberian dari manusia ataupun pemberian dari penguasa negara.

HAM merupakan hak hukum (legal rights) serta substansinya bersifat universal. Hak hukum yang dimaksud berarti HAM dapat dituntut di Pengadilan, sedangkan sifat universal berarti eksistensi HAM berlaku secara keseluruhan dan tidak dibatasi oleh batas-batas geografis.

HAM secara hukum selain telah diatur dalam instrument hukum nasional suatu negara, juga telah diatur dalam instrument hukum internasional, seperti yang telah dituangkan dalam Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights/UDHR) tahun 1948, Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) tahun 1966, dan Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomo, sosial, dan budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/ICESCR) tahun 1966.

Lebih lanjut, Hector Gros Espiel menyatakan bahwa, isu HAM tidak lagi menjadi suatu masalah yang secara eksklusif merupakan kewenangan dalam negeri dari negara, namun yang sekarang diakui, HAM telah menjadi masalah yang diatur baik oleh hukum nasional maupun hukum internasional dan tidak dapat lagi digunakan dalih bahwa HAM merupakan masalah kewenangan atau menjadi yurisdikisi dalam suatu negara14.

      

14

(27)

B. Kejahatan Kemanusiaan dan Faktor-Faktor Penyebabnya

Di dalam hukum internasional, istilah kejahatan terhadap kemanusiaan mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan fisik. Biasanya kejahatan kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler dan yang terjadi di Rwanda ataupun Yugoslavia.

Definisi dari kejahatan kemanusiaan telah tercantum dalam pasal 7 Statuta Roma. Berikut isi terjemahan dari Pasal 7 Statuta Roma tersebut:15

Pasal 7, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

1. Untuk tujuan statute ini, “Kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti setiap perbuatan-perbuatan berikut ini apabla dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan (me)luas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok populasi sipil secara disengaja:

a) Pembunuhan b) Pemusnahan; c) Perbudakan;

d) Deportasi atau pemindahan paksa populasi;

e) Pemenjaraan atau permapasan berat atas kebebasan fisik yang melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;

f) Penyiksaan;

      

15

(28)

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemkasaan sterilisasi, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang beratnya sebanding;

h) Persekusi terhadap suatu kelompok atau perkumpulan yang dapat diidentifikasi atas dasar-dasar politik, ras, kebangsaan, suku, budaya, agama, jender yang sebagaimana diidentifikasikan di dalam ayat 3, atau dasar-dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diperbolehkan dalam hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap tindakan yang dimaksud di dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada di dalam Yurisdiksi Mahkamah

i) Penghilangan paksa orang-orang; j) Kejahatan apartheid;

k) Perbuatan-perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik.

Dari definisi diatas maka dapat dilihat bahwa yang menjadi tindak pidana pada kejahatan kemanusiaan adalah adanya serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan langsung pada penduduk sipil, yang berarti bahwa suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil.

(29)

Lebih lanjut menurut Bassiouni, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari “aksi atau kebijakan negara”, bila berkaitan dengan pelaku-pelaku yang memiliki hubungan dengan negara (state actors), dan sebagai bagian dari suatu “kebijakan”,bila berkaitan dengan para pelaku yang tidak memiliki hubungan dengan negara namun memiliki karakteristik negara berkenan dengan kemampuannya menggunakan dominasi dan kontrol atas wilayah dan rakyat (non-state actors).16

Selain faktor dari kebijakan dan aksi dari suatu negara, faktor kejahatan manusia menurut Statuta Roma mungkin juga terjadi dari suatu kebijakan suatu organisasi. Hal tersebut dapat terlihat dari terjadinya perang-perang saudara dan disintegrasi seperti kasus bekas negara Yugoslavia.

Di dalam Putusan Tadic, Majelis Pengadilannya telah memandang bahwa entitas di balik kebijakan tersebut bisa saja suatu organisasi dengan kekuasaan de facto atas wilayah, dan membuka kemnungkinan bahwa organisasi-organisasi lain mungkin memenuhi juga syarat tersebut.17

Dengan mencantumkan kata ‘kebijakan” yang memang lebih luas cakupan dan maknanya, tampaklah kalau Statuta Roma bermaksud untuk tidak hanya mencakup dan menjangkau perbuatan aktif bagi terjadinya kejahatan terhadap kemnausiaan, tapi pula perbuatan-perbuatan pasif oleh piak berwenang yang mengetahui tentang terjadinya kejahatan-kejahatan internasional tersebut. Perbuatan pasif demikian dalam hal ini dianggap sebagai bagian dari terjadinya

      

16

M.Cherif Bassiouni, CRIMES AGAINST HUMANITY IN INTERNATIONAL CRIMMINAL LAW, Hague, Kluwer Law International 1999, hal 85-86

17

(30)

tindakan-tindakan kejahatan tersebut, lebih tepatnya ia merupakan bagian dari rangkaian, bangunan, atau sistem terjadinya tindakan-tindakan kejahatan tersebut.

Jadi pada intinya bila suatu tindak kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi dan pihak berwenang mengetahuinya, maka pihak terakhir ini harus segera mengambil tindakan-tindakan pencegahan dan penghukuman yang diperlukan. Bila tidak, maka mereka tersebut dapat dihukum berdasarkan Pasal 7 Statuta Roma.18

C.

Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat dan Kejahatan Kemanusiaan di

Berbagai Negara19

Pada tahun 1960 di Kongo, tentara nasional Kongo telah membantai ratusan orang Baluba di Propinsi Kasai Selatan ,ketika terjadinya suatu krisis politik dalam negeri yang serius. Tahun 1965 dan 1972 di Burundi, Tutsi, kelompok yang minoritas namun dominan secara politis di daerah tersebut telah menghancurkan kelompok Hutu, suatu kelompok etnis mayoritas dalam kalangan penduduk: tahun 1965 para pemimpinnya telah dihancurkan dan dan tahun 1972 antara 100.000 dan 300.000 orang Hutu telah dibunuh.

Berlanjut ke Pakistan Timur pada tahun 1971, dimana tentara Pakistan telah membantai penduduk daerah yang sekarang ini menjadi Bangladesh. Tahun 1970-1974 di Paraguay ribuan orang Indian Ache dibunuh ketika bertentangan dengan pihak yang berwenang di Pemerintahan. Tahun 1971-1978, rezim Idi

      

18

Erikson Hasiholan Gultom, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, PT Tatanusa, Jakarta. 2006 Hal 43

19

(31)

Amin di Uganda telah membunuh ribuan orang sipil, termasuk banyak musuh politik, akan tetapi juga anggota kelompok etnis (Acholi dan Lango).

Di kawasan Asia Tenggara sendiri antara pada tahun 1975 dan 1978 di Kamboja Khmer Merah Pol Pot telah menghancurkan kira-kira dua juta orang, diantaranya beberapa kelompok etnis atau agama seperti Champs (suatu minoritas Islam) dan para biksu Buddha.

(32)

BAB III

PELANGGARAN HAM DALAM KONFLIK

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI THAILAND SELATAN

A. Sejarah Thailand Selatan dan Faktor-Faktor Utama Terjadinya Konflik

di Thailand Selatan

1

.Sejarah Thailand Selatan (Pattani, Yala, Narathiwat)

Jika menelusuri sejarahnya, Pattani merupakan kesultanan yang cukup penting dalam pertumbuhan daerah perdagangan dan penyebaran Islam di wilayah melayu. Dalam sejarah Islamisasi, Pattani menjadi sangat penting karena merupakan satu-satunya kota pelabuhan dan pusat perdagangan Islam yang paling berpengaruh yang pernah muncul di perairan laut Cina Selatan20.

Sedangkan Yala, bersama dengan Narathiwat adalah sebagian dari Kesultanan Melayu Pattani yang berada dibawah pengaruh kerajaan Siam Sukhothai dan Ayutthaya. Setelah Ayutthaya jatuh pada tahun 1767 Pattani menjadi merdeka tetapi kembali kepada Siam sewaktu pemerintahan Raja Rama I. Pada 1909, Siam menaklukkan Pattani akibat perjanjian mereka dengan Kekaisaran Britania. Narathiwat dan Yala diatur secara terpisah.21

Luas tiga daerah (provinces, Ind. = kabupaten) yang merupakan area konflik dan kekerasan politik di Thailand Selatan adalah 10.936,5 km. Tiga daerah tersebut, yaitu Pattani, Naratiwat, dan Yala, terletak di perbatasan antara Thailand dengan Malaysia. Adapun jarak terjauh dari ibukota Thailand. adalah

      

20

Auni bin Haji Abdullah. 2001. Islam dan Perdagangan dalam Sejarah Alam Melayu. Malaysia. Darulfikir SDN BHO. Hal. 298

21

(33)

Narathiwat, yaitu 1.149 km. Yala adalah daerah yang paling luas wilayahnya (41%) di antara tiga daerah di perbatasan Thailand Selatan. Jumlah penduduk ketiga daerah pada tahun 2004 adalah 1.783.504 jiwa di mana proporsi paling besar terdapat di Narathiwat (39%). Pattani, yang merupakan daerah paling makmur di kawasan ini, memiliki 26% dari total penduduk di ketiga daerah. Ketiga daerah ini bergantung pada sektor pertanian, termasuk perikanan, karena kontribusi sektor ini rata-rata mencapai 46% pada tahun 200422.

Umat Islam di Thailand adalah kelompok minoritas yang jumlahnya 4% dari seluruh penduduk nasional, tetapi merupakan kelompok mayoritas pada lima provinsi di perbatasan selatan, yaitu Pattani, Narathiwat, Yala, Songkhla, dan Satun. Sebelum 1786, kelima provinsi ini merupakan wilayah Kerajaan Islam Pattani yang terpisah dari Kerajaan Siam (Thailand). A. Teeuw dan Wyatt (1970:3) mengatakan bahwa Kerajaan Pattani telah berdiri sejak pertengahan abad ke-15 seiring dengan masuknya agama Islam di Semenanjung Melayu. Setelah Raja Pattani (Phya Tu Antara) memeluk agama Islampada tahun 1457, kemudian Kerajaan Pattani dideklarasikan sebagai kerajaan Islam (Abdullah, 2001)23.

Perkembangan Pattani dimulai pada kurun waktu abad ke-14 dan 15 sejalan dengan pesatnya bidang perdagangan dan penyebaran agama Islam. Pattani yang secara geografis berada di pertengahan jalur lalu lintas perdagangan antar negeri Melayu dan negeri Asia Timur dan diantara perairan Selat Malaka serta Laut Sulu dengan perairan Laut Cina Selatan. Jalur tersebut merupakan jalur perkapalan yang menghubungkan tanah Arab dan India bahkan dengan benua

      

22

Cahyo Pamungkas, Mengurai Konflik Filipina Selatan dan Thailand Selatan, GRE Publishing, Jakarta, 2010. Hal. 156

23

(34)

Cina. Pattani dipandang sebagai pusat komersial yang penting untuk melayani pedagang-pedagang Islam Arab, India, Eropa maupun Cina, sehingga menjadikan Pattani sebagai kerajaan dengan cakupan daerah cukup luas dan padat di semenanjung Laut Cina Selatan24.

Zaman keemasan ini berlangsung ketika diperintah oleh empat orang Raja perempuan yaitu Raja Hijau (1584-1616), Raja Biru (1616-1624), Raja Ungu (1624-1635), dan Raja Kuning (1635-1651)25. Namun pada akhir pemerintahan Raja Kuning (1635-1688), Pattani mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduruan. Hal ini disebabkan karena Raja Kuning meninggalkan kerajaan tanpa pengganti yang berwibawa. Dalam hikayat Patani disebutkan setelah kematian raja terjadi pemberontakan diantara pembesar-pembesar negeri yang bergelar datuk yang berebut kuasa untuk menjadi Bendahara (Perdana Menteri) dan menjadikan Raja Pattani sebagai boneka saja26.

Perselisihan dalam perebutan kekuasaan tersebut menimbulkan perang saudara yang berakibat kekacauan dalam pemerintahan dan keresahan di kalangan penduduk Pattani. Keadaan tersebut berlangusng sangat lama hingga pada awal tahun 1900.

Berikut adalah periodesasi Integrasi Melayu Pattani mulai dari pasca berakhirnya pemerintahan Raja Kuning hingga Perjanjian Anglo-Siam di tahun 1902:

      

24

Auni bin Haji Abdullah. Op.cit. hal.300

25

P. Rudolf Yuniarto. Integrasi Muslim Patani: Reidentitas Sosial atas Dominasi “Nasional” Thailand. Hal 5

26

(35)

Periodisasi Konteks Sejarah Pelaku 1785 Pattani diserang

kerajaan Chakri

Selepas Phya Taksin Berjaya mengalahkan Burma di Ayuthia dalam tahun 1776, Siam

tahun 1785. Raja Pattani berusaha menahan

7 buah wilayah yang dipisah: tawanan dan dibawa ke

Bangkok sebagai tawanan.

(36)

1. Patani Tuan Sulunng

2. Teluban Nik Dir 3. Nongchik Tuan

Nik

4. Jalor Tuan Yalor 5. Jambu Nai Pai 6. Rangae Nik Dah

7. Reman Tuan

Mansur

tentara Siam di Tiba, Chanak, Songkhla dan besar asal Mekkah, tapi gagal.

Pada tahun 1808 Datuk Pangkalan juga bangkit diambil alih oleh Siam

(37)

daerah dalam dalam satu unit yang dikenali sebagai daerah-daerah.

akibat penolakan yang terjadi di Asia Tenggara tahun 1890 dimana mulai berkuasanya penjajah

Raja dan para petinggi

Pattani menolak wilayah nomor 120 yang bertujuan memperkokoh penguasaan Kerajaan Siam atas wilayah Pattani

(38)

Melayu termasuk diantaranya Tengku Abdul Kadir taun 1902

1902 Perjanjian

Sumber : Rudolf. P.Yuniarto. Integrasi Muslim Patani : Reidentitas Sosial

atas Dominasi “Nasional” Thailand. PSDR LIPI27

Akibat dari penandatanganan perjanjian Inggris-Siam 1902, maka wilayah Pattani dianggap bukan sebuah kerajaan melayu lagi, tetapi merupakan wilayah hasil penaklukan bangsa Thai. Daripada itupula, sebagai kelompok minoritas, Muslim Pattani dihadapkan pada keharusan mengikuti pola integrasi nasional agar menjadi satu wilayah kesatuan yang utuh dengan wilayah Thailand lainnya. Usaha-usaha integrasi nasional dilakukan pemerintah kerajaan melalui asimilasi bangsa Melayu Islam ke dalam sistem pendidikan bangsa Thai. Diantaranya dengan mengharuskan penduduk untuk menyekolahkan pemuda-pemudi Pattani

      

27

(39)

ke sekolah-sekolah Thai dengan menggunakan bahasa Thai sebagai bahasa pengantar28.

Selain dalam penggunaan bahasa, pihak kerajaan Siam juga menerapkan identitas nasional dengan semboyan trinitas (lak thai) yang hanya mengakui satu kebangsaan bangsa Thai, satu agama Buddha, dan tunduk pada kekuasaan Raja29.

Gerakan perlawanan bangsa Melayu Pattani pertama kali muncul sebagai sebuah gerakan damai yang memperjuangkan otonomi bagi Pattani. Misalnya gerakan Haji Sulong melalui Dewan Keagamaan Islam yang mengajukan petisi kepada Pemerintah Kerajaan dengan tuntutan otonomi. Pattani hendaknya dipimpin oleh putra daerah pilihan rakyat, 80% aparat Pattani hendaknya muslim, bahasa Melayu dan Thai hendaknya sama-sama digunakan sebagai bahasa pengantar di pondok/madrasah, hukum Islam diterapkan bagi kaum Muslim, kemudian pendapatan daerah dimanfaatkan untuk masyrakat Pattani, dan hendaknya dibentuk suatu lembaga muslim30.

Pada tahun 1959 pasca kematian Haji Sulong, perjuangan generasi Pattani dilanjutkan oleh Tengku Abdul Jalil yang mendirikan front perlawanan bawah tanah, yaitu Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP). Genarasi muda Pattani ini mengambil inisiatif perlawanan dengan mendirikan Barisan Revolusi Nasional (BRN) yang bertujuan mendirikan Republik Islam Pattani31.

Sementara itu golongan sekuler yang berbeda ideologi juga mendirikan front perlawanan Pattani Union Liberation Organization (PULO). Walaupun

      

28

Problema minoritas Muslim di Asia Tenggara Kasus Moro, Pattani, dan Rohingnya, Seri Penelitian PPW-LIPI No.6/2000. Hal 45

(40)

berbeda secara ideologi, kedua front perlawanan tersebut memiliki kesamaan dalam melihat posisi Pemerintah Thailand sebagai internal colonization yang tidak mungkin untuk diajak kompromi32.

Konflik Pattani yang tidak kunjung mereda membuat kerajaan dari Pemerintah Siam berusaha memberikan konsesi-konsesi secara nyata kepada gerakan Separatis Melayu. Antara lain dengan mengembangkan toleransi dalam pluralisme beragama, perbaikan pendidikan, dan pemberian paket pembangunan sosial ekonomi disertai rekruitmen terhadap Muslim di sector administrasi. Namun demikian Pemerintah Thailand tidak memiliki kecendrungan membuka ruang otonomi sebagai solusi separatism berdasarkan etnik ini tetapi menggunakan konsesi-konsesi tersebut sebagai instrument untuk menjaga agar situasi tetap stabil33.

Namun kebijakan pembangunan tersebut ditanggapi secara berbeda oleh oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat sipil Pattani. Kelompok perlawanan radikal mencurigai kebijakan ini sebagai usaha penetrasi terhadap budaya, ekonomi, dan masyrakat Pattani. Kelompok ini tetap menggunakan kekuatan gerilya sampai akhir tahun 1997. Kaum aktivis Pattani dari berbagai spectrum malah sepakat bergabung dalam satu paying organisasi bawah tanah yaitu MPRMP (Council of The Moeslem People of Pattani)34.

      

32

Ibid

33

Ibid

34

(41)

Jika merujuk pada konsep identitas yang diungkapkan oleh Fisher (2001)35 yang mengasumsikan bahwa kemunculan konflik Pattani yang masih berlangsung hingga sekarang disebabkan oleh karena adanya identitas yang terancam, berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak dapat diselesaikan. Disini masyarakat Pattani berusaha menjaga identitas aslinya karena adanya agama dan mekanisme internal kelompok yaitu adanya perasaan bersama atas nenek moyang yang keturunan bangsa Melayu. Karena merasa menjadi bagian dari bangsa Melayu kemudian mereka menolak ide pembaruan politik dan akulturasi budaya orang-orang Thai.

2. Faktor-Faktor Utama Penyebab Terjadinya Konflik di Thailand

Selatan

Jika melihat dari uraian tentang sejarah 3 wilayah utama di Thailand Selatan (Pattani, Yala, dan Narathiwat), sejatinya ada 3 faktor penyebab atau akar permasalahan terjadinya konflik dan di Thailand Selatan. Ketiga faktor tersebut dibagi terhadap faktor yang menyebabkan kekerasan struktural, kultural, dan sejarah. Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

TINGKAT KEKERASAN FAKTOR PENYEBAB

Struktural 1. Ketidakadilan dari politik sentralisasi pemerintahan

2. Kemiskinan cukup tinggi

Kultural Hegemoni sistem pendidikan, konflik identitas, didasarkan atas perbedaan tradisi dan agama

Sejarah Penaklukan Kerjaan Pattani oleh Siam pada 1785

Sumber: the NRC Executive Summary June 2006

      

35

(42)

Dalam faktor struktural Dominasi politik berdampak pada dominasi ekonomi sehingga pengelolaan sumber daya alam di ketiga daerah direncanakan dan ditentukan oleh pejabat-pejabat pemerintahan di Bangkok. Demokrasi Siam yang tidak membawa manfaat bagi Melayu Muslim ditulis seorang sejarawan Pattani, yaitu Ibrahim Syukri. Dia menerangkan mengenai hubungan antara antara demokrasi dengan masyarakat Melayu Muslim sebagai berikut (2005: 100):

“Di Pattani, demokrasi seperti tidak tampak kedatangannya dan tidak diketahui oleh masyarakat Melayu Muslim, Siam demokrasi hanya nampak di Bangkok dan sekitarnya. Siam demokrasi untuk rakyat Siam, untuk penganut agama Budha, untuk penindasan terhadap Melayu, dan untuk melanggar prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian, benar jika dikatakan bahwa demokrasi Siam tidak sesuai dengan masyarakat Melayu Muslim….Di antara 100 juta orang Melayu (tahun 1949), Melayu Pattani adalah komunitas Melayu yang nasibnya paling buruk. Meskipun hidup dalam demokrasi Siam, namun demokrasi tersebut terbatas. Nasib orang Melayu ibarat suatu tanaman yang tumbuh tapi tidak bisa lebih besar dari pagar yang menjaganya.”36

Dengan demikian, kekerasan struktural bersumber dari struktur politik yang menjajah. Struktur yang menjajah memberikan kesempatan terciptanya struktur ekonomi yang timpang, di mana sumber daya alam dari daerah minoritas dikuasai oleh pihak mayoritas. Struktur seperti ini menimbulkan situasi keterasingan atau alienasi secara politik dan ekonomi. Struktur politik dan ekonomi seperti ini yang mirip antara penjajah dengan terjajah memiliki potensi

      

36

(43)

yang cukup besar untuk memunculkan gerakan separatis, karena berkaitan dengan pembagian sumber daya politik dan ekonomi. Walaupun dewasa ini gerakan-gerakan separatis hanya muncul di wilayah tertentu seperti di kalangan minoritas Muslim, namun tidak menutup kemungkinan daerah-daerah lain atau segmen-segmen lain dalam masyarakat lokal akan memisahkan diri dengan pemerintah pusat.37

Sementara itu, kekerasan kultural terjadi disebabkan ketiadaan politics of differentiation untuk mengakomodasi masyarakat minoritas. Konflik yang disebabkan struktur ekonomi tidak semata-mata dapat berkembang secara langsung menjadi tindakan kekerasan politik apabila tidak disertai konflik yang menyangkut identitas seperti etnis, bahasa, dan agama. Pada umumnya, hal-hal yang menyangkut identitas terkait dengan tradisi dan agama yang, menurut Emilie Durkheim, dapat dikategorikan sebagai bentuk fakta sosial. Fakta sosial adalah setiap cara berpikir, berbicara, dan bertindak yang mengikat seluruh anggota masyarakat dan menentukan perilaku individu ketika berinteraksi dengan individu lain. Dengan kerangka ini, maka agama dan tradisi memiliki fungsi menyatukan tindakan-tindakan individu menjadi tindakan sosial. Apabila konflik ekonomi dan politik muncul; semakin tinggi kohesifitas kelompok dan semakin tinggi kemampuan elit untuk memobilisasi kelompok, maka akan semakin tinggi dampak konflik yang ditimbulkan, termasuk penggunaan kekerasan.38

Pada dasarnya, kekerasan kultural adalah konsekuensi logis dari politik identitas yang dijalankan oleh negara, yaitu asimilasi kebudayaan. Sebagaimana

      

37

Cahyo Pamungkas, op.cit. hal 275

38

(44)

dijelaskan dalam Bab I, David Brown (1994) mengatakan bahwa kebijakan asimilasi budaya yang dilakukan negara dapat memicu separatisme etnis minoritas dan pemberontakan. Kebijakan asimilasi kebudayaan dilakukan dengan mempertentangkan antara identitas masyarakat lokal atau minoritas dengan identitas masyarakat mayoritas yang menjadi identitas nasional. Misalnya, pemaksaan oleh negara terhadap masyarakat minoritas untuk mengganti bahasa dan tradisi lokalnya, kemudian menggunakan bahasa dan tradisi baru yang selama ini digunakan masyarakat mayoritas39.

Pemerintah Thailand menerapkan kebijakan tersebut secara sempurna pada masa Pemerintahan Perdana Menteri Phibun Songram. Hingga saat ini, sebagian dari politik asimilasi masih dijalankan, seperti penggunaan bahasa Thai dan huruf Thai yang mengganti bahasa Melayu dan huruf Jawi. Asimilasi juga dipaksakan hingga ke tataran perilaku, yaitu agar orang-orang Melayu Muslim sepenuhnya berperilaku layaknya orang-orang Thai, misalnya menyanyi dan menari seperti orang Thai kebanyakan40.

Instrumen yang digunakan dalam asimilasi kebudayaan adalah penerapan sistem pendidikan yang berfungsi menanamkan nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat. Sementara itu, masyarakat Muslim di kedua wilayah ini memiliki nilai-nilai tertentu yang berbeda dengan nilai-nilai sekuler. Sebagaimana telah dipaparkan di muka, mereka lebih senang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah Islam, karena takut anaknya akan meninggalkan agama Islam atau meninggalkan tradisi Melayu Muslim. Hal ini dapat dimengerti mengingat

      

39

Ibid

40

(45)

dalam sistem pendidikan sekuler, nilai-nilai dan agama Islam tidak diajarkan. Pondok di ketiga daerah perbatasan selatan menjadi alternatif bagi sistem pendidikan sekuler atau sebagai bentuk perlawanan pada tekanan asimilasi kebudayaan41.

Kedua, agama menjadi simbol dan alat perjuangan. Organisasi gerakan separatis, seperti BRN, PULO dan lain sebagainya, tidak bisa terlepas dari isu agama untuk mengajak warga masyarakat bergabung dengan gerakan mereka. Kontribusi agama, dalam konflik ini, menjadikan agama dapat berfungsi negatif, yaitu mengajak pemeluknya untuk melakukan tindak kekerasan atau berperang. Bahkan, dalam ajaran agama Islam sendiri, jihad khususnya perang melawan orang-orang kafir yang memusuhi Muslim adalah kewajiban. Namun, seringkali organisasi-organisasi tersebut merupakan organisasi sekuler, tetapi mengangkat isu agama untuk memberikan makna dan legitimasi bagi perjuangan mereka.42

Namun, menganggap konflik di Thailand Selatan dan Filipina Selatan sebagai konflik antaragama cenderung menyesatkan, karena isu agama seringkali hanya digunakan sebagai pembungkus bagi konflik ekonomi dan politik. Sebaliknya, kalau dikatakan bahwa konflik di Thailand Selatan tidak terkait dengan konflik antarumat beragama, hal ini tidak benar disebabkan agama berperan secara signifikan sebagai alat mobilisasi massa dalam konflik.43

Sedangkan dari segi sejarah Pembunuhan sejarah lokal adalah yang paling kejam di Thailand Selatan, karena pemerintah melarang untuk mengingat warisan Kerajaan Melayu Pattani. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya,

      

41

Ibid

42

Ibid

43

(46)

sejarah kerajaan Melayu Pattani tidak diajarkan dalam sejarah nasional. Selain itu, nama jalan dan kampung yang memiliki latar belakang sejarah harus diubah ke dalam bahasa Thailand.44

Bentuk-bentuk dominasi sejarah yang terjadi di Thailand Selatan antara lain adalah sebagai berikut:

(1) penamaan daerah-daerah baru, tempat-tempat publik, jalan dengan nama-nama di luar bahasa lokal mereka;

(2) simbol-simbol yang digunakan tidak melihat latar belakang sejarah daerah tersebut, misalnya patung Raja Thailand di Pattani ;

(3) penghargaan terhadap pahlawan-pahlawan lokal yang masih belum banyak diakui;

(4) penulisan sejarah nasional yang tidak memberi tempat pada sejarah lokalitas.45

B. Perjalanan Konflik dan Pihak-Pihak yang Terlibat Dalam Pelanggaran

Kejahatan Kemanusiaan di Thailand Selatan

Adapun hasil penelitian PSDR-LIPI mengenai gerakan separatis di Thailand Selatan (2004) dapat disarikan sebagai berikut:

Pertama, akar permasalahan terjadinya perlawanan gerakan separatis bangsa Melayu berakar dari tiga faktor utama, yaitu implementasi dari politik sentralisasi (thesaphiban), kebijakan asimilasi budaya yang dipaksakan (Thai rathaniyom), dan kebijakan sekularisasi terhadap lembaga-lembaga Islam

      

44

Ibid hal 269

45

(47)

tradisional46. Kebijakan sentralisasi politik secara tidak langsung menyebabkan

munculnya pemberontakan dari Raja Pattani terakhir Sultan Abdul Kadir Kamaruddin pada 190247. Sementara itu, kebijakan Thai rathaniyom yang diterapkan oleh Perdana Menteri Marsekal Phibun Songkhram pada 1939 mendorong munculnya nasionalisme Melayu Pattani yang menginginkan bergabung dengan British Malaya 48 . Penolakan dan pendekatan represif Pemerintah Thailand terhadap petisi Haji Sulong pada tahun 1948 juga secara tidak langsung menyebabkan tumbuhnya pemberontakan dan kekerasan di tiga provinsi di wilayah selatan Thailand49. Sementara itu, kebijakan sekularisasi terhadap pondok pesantren atau lembaga-lembaga Islam tradisional yang dilaksanakan oleh Perdana Menteri Jenderal Sarit Thanarat (1957-1963) juga menyebabkan munculnya gerakan separatis baru yang dipelopori oleh golongan pemuda dan terpelajar seperti Pattani United Liberation Front (PULO).

Kedua, respon Pemerintah Thailand terhadap gerakan separatis Melayu Pattani selalu diwarnai oleh pendekatan militer terutama pada tahun 1902, 1922, 1948, dan 1971. Beberapa gerakan separatis Melayu Pattani yang dominan antara lain Gampar (Gabungan Melayu Pattani Raya), National Liberation Front of Pattani, dan PULO (Rahimmula, 2003: 301-303). Namun, pada akhir 1979, pemerintah melakukan pendekatan damai melalui Prime Minister Order nomor 66/2523 tentang The Policy to Win over the Communist50.

(48)

Ketiga, Pemerintahan Thaksin Sinawatra mengubah isu separatis di Thailand Selatan menjadi terorisme internasional seiring dengan kampanye global perang melawan terorisme. Pada masa ini, konflik dan kekerasan politik di Thailand Selatan muncul kembali dengan isu terorisme. Berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang menekankan kebijakan damai; Pemerintah Thaksin merespon dengan menerapkan keadaan darurat perang atau Martial Law pada 4 Januari 2004 untuk provinsi-provinsi di wilayah perbatasan selatan51.

Insiden dalam perjalanan konflik di Thailand Selatan memuncak mulai dari tahun 1993 hingga tahun 2004 dan berlanjut sampai saat ini. Puncak terbesar dalam konflik di Thailand Selatan terjadi pada tahun 2004 dimana pada tahun tersebut insiden konflik di Thailand Selatan terjadi hingga 71%52. Narathiwat merupakan wilayah yang paling sering terjadi insiden konflik dibandingkan Patani dan Yala. Insiden yang terjadi dari dulu hingga sekarang lebih kepada penyerangan, pertempuran, sabotase dan demonstrasi.

Di awal tahun 1990, telah banyak terjadi insiden-insiden antara warga sipil Thailand Selatan dengan kerajaan Thailand. Misalnya peristiwa yang terjadi di Kampung Nyior, Narathiwat pada 28 April 1948 dimana Polisi Kerajaan Thailand menyerang warga Thailand Selatan yang sedang mengadakan kenduri. Pihak polisi menuduh sekumpulan warga yang sedang berkumpul tersebut mencoba melawan polisi. Pada insiden tersebut hampir 400 orang termasuk orang tua dan

      

51

Ibid

52

(49)

anak-anak tewas, dan 30 orang polisi juga menjadi korban akibat pertempuran yang berlangsung selama 36 jam tersebut53.

Demonstrasi warga Thailand Selatan juga pernah terjadi pada 15 November 1975 yang mana warga Patani mencoba menghadang kerajaan yang ingin merobohkan Masjid Besar Menara untuk digantikan masjid baru. Perdana Menteri Kukrij Pramoj ingin merobohkan Masjid Besar Menara tersebut dan mengerahkan militernya ke wilayah tersebut untuk merobohkan masjid tersebut54.

Setelah kejadian demonstrasi tersebut, tenggat waktu mulai dari tahun 1990 hingga 2003, mulai lah terjadi insiden-insiden yang mulai menarik perhatian publik. Di tahun tersebut, kelompok pejuang Patani mulai merubah strategi dengan masuk kedalam partai-partai politik untuk membawa kepentingan-kepentingan warga Thailand Selatan di parlemen.

Memasuki tahun 2004, konflik kembali terjadi dimulai pada tanggal 4 Januari 2004 dimana terjadi penyerangan yang terjadi di Kam militer di Kg.Pileng, daerah pecahan Airong di Narathiwat oleh sekumpulan orang tidak dikenal (OTK). Dalam penyerangan tersebu, 4 orang tentara terbunuh dan OTK berhasil merompak 366 senjata laras panjang jenis M16, 24 laras gun, 7 laras RPG (M79) dan 2 laras M6055. Disaat yang bersamaan 18 bangunan sekolah hangus dibakar di 10 daerah di Narathariiwat. Kerajaan Thailand meyakini

      

53

Ibrahim, S. (2002) Sejarah Kerajaan Melayu Patani. Bangi. Penerbit Univirsiti Kebangsaan Malaysia. Hal. 74

54

Mohd Zamberi A.M (1993) Umat Islam Patani; Sejarah dan Politik. Hizbi, Shah Alam. Hal 245-246

55

(50)

serangan tersebut dilakukan oleh orang professional yang mempunyai rancangan rapi dalam penyerangan.

Dari kejadian di awal 2004 tersebut pula lah berlanjut kejadian-kejadian lain seperti serangan bom, pembakaran rumah dan sekolah, penculikan, pemerkosaan, dan sebagainya. Dalam keadaan tersebut pula pihak Kerajaan Thailand memberlakukan darurat militer di wilayah Thailand Selatan.

Berikut adalah kronologi aksi kekerasan di Thailand Selatan di awal tahun 2004 (Januari-April) :

No Tanggal Peristiwa

1 4 Januari 2004 Gudang senjata militer di Provinsi Narathiwat, Thailand selatan, diserbu gerombolan bersenjata yang diduga terkait dengan Jemaah Islamiyah. Serangan gerombolan itu menewaskan 4 tentara pemerintah. Gerombolan itu merampas 100 pucuk senjata dan membakar 18 sekolah

2 5 Januari 2004 Pemerintah thailand memberlakukan keadaan darurat perang di 3 provinsi di Thailand selatan yang berbatasan dengan Malaysia, yaitu, Provinsi Narathiwat, Yala dan Pattani

3 4 Februari 2004 Thavee Wuthiboon, sarjana irigasi yang menjadi pegawai pemerintah tewas dibacok 2 pemuda bersepeda motor ketika sedang joging di sepanjang bendungan di Distrik Yarang, Provinsi Pattani, sekitar 1.050 km selatan Bangkok

(51)

bertugas. Sementara itu terpaksa ratusan sekolah terpaksa di liburkan karena mendapat ancaman 5 22 Maret 2004 Sebuah bom meledak di dekat Balaikota di

Thailand selatan, tempat Mentri Dalam Negeri dan Mentri Pertahanan Thailand sedang mengadakan pertemuan dengan pejabat-pejabat kepolisian. Ledakan tersebut mengakibatkan satu orang cedera. Sementara itu seorang polisi tertembak pada sebuah peristiwa yang terpisah. Dengan demikian jumlah korban yang tewas akibat kekerasan yang terjadi di wilayah tersebut mencapai 54 orang

6 23 April 2004 Sebanyak 50 rumah terbakar dan seorang tentara serta seorang tetua kampong tewas dalam kerusuhan di thailand selatan

7 28 April 2004 Sekelompok anak muda melancarkan serangan terhadap pos-pos keamanan di Provinsi Yala, Pattani dan Songkhla. Korban tewas mencapai 35 orang. Hingga bulan April ini jumlah korban sebanyak 113 orang terdiri dari 108 militan dan 5 oang dari pasukan keamanan yakni 3 orang polisi dan 2 serdadu militer

Sumber : Kompas 8 Mei 2004

(52)

beberapa senjata laras panjang. Insiden ini berakhir di masjid Kerisik dimana pihak penguasa menembak para kelompok pejuang Thailand Selatan tersebut yang berlindung di dalam masjid. 32 orang yang berada di dalam masjid menjadi korban dari insiden tersebut. Sementara itu 107 orang warga melayu islam Thailand Selatan lainnya menjadi korban dari seluruh wilayah di Thailand Selatan, dan hanya 5 orang yang menjadi korban dari pihak Kerajaan Thailand. Insiden tersebut mendapat kecaman di Thailand sendiri dan dunia internasional yang menganggap bahwa penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Thailand tersebut sebagai satu pelanggaran Hak Asasi Manusia dan tindakan yang tidka berprikemanusiaan.

(53)

tahanan yang kekurangan oksigen di dalam truk tewas dalam perjalanan menuju tempat penahanan Telaga Bakong, Pattani, yang lebih kurang 160 kilomter dari daerah Tak Bai56.

Setahun berikutnya di Narathiwat pada tanggal 1 September 2005, sebanyak 131 orang warga Thailand Selatan dilaporkan memasuki wilayah Malaysia melalui daerah Tumpat, Kelantan untuk mencari perlindungan setelah keadaaan di tempat tinggal mereka di Thailand Selatan semakin mencekam dan mengancam keselamatan penduduk.

.

C. Peristiwa-Peristiwa dalam Konflik Kejahatan Kemanusiaan di Thailand

Selatan

1. Pembantaian di Masjid Kerisik, Pattani, 2004

Pembantaian di masjid Kerisik, Pattani ini terjadi pada tanggal 28 April 2004. Peristiwa berdarah ini terjadi disaat masyrakat Pattani selesai menunaikan sholat fardhu dan tiba-tiba dikepung oleh tentara militer Thailand selama 7 jam. Pada saai itu Jamaah sholat di masjid tersebut tidak berani untuk keluar dengan waktu yang cukup lama. Serangan ke dalam masjid dimulai dari tembakan oleh tentara Siam dan juga bom dari helikopter Apache yang dijatuhkan ke dalam kubah masjid57.

Serangan tentara Thailand tersebut mengakibatkan tewasnya 108 orang masyarakat Pattani. Tentara Thailand juga mengancam kepada masyarakat Pattani

      

56

Cahyo Pamungkas. Op.cit. hal 172

57

(54)

agar mengatakan pihak luar tentara Thailand lah yang melakukan serangan tersebut, bukan dari pihak tentara Thailand58.

Setelah insiden pembantaian tersebut, Panlop Pinmanee mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Polisi Bagian Selatan Thailand59. Serangan itu membuat pertentangan perintah dari Menteri Pertahanan Thailand untuk mengakhiri konfrontasi damai, dan telah menjadi subjek penyelidikan internasional yang menyimpulkan penggunaan kekuatan militer secara berlebihan.

Pemerintah tidak minta maaf atas kejadian ini dan hanya memecat Jenderal Phanlop Pinmanee dari jabatan Direktur Peace Building Commission

dengan alasan melawan perintah Komandan Jenderal Chawalith Yongchaiyuth. Pemerintah membentuk komisi independen pencari fakta di bawah pimpinan Suchinda Yongsuthorn. Dia menyatakan bahwa penumpasan semacam ini terlalu keras dan tidak akan menyelesaikan masalah. Seorang narasumber mengatakan bahwa militer tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan konflik secara damai60.

2. Pembunuhan Seorang Imam di Narathiwat, 2005

Satopa Yusoh, seorang imam dari Desa Lahan, Distrik Sungai Padi, Narathiwat, ditembak di depan rumahnya oleh seseorang yang berseragam loreng seperti militer ketika pulang ke rumah dari masjid setelah memimpin shalat isya. Sesudah memarkir sepeda motornya, dia mulai menaiki tangga masuk rumah. Tiba-tiba, penyerang muncul dan menembaknya dari dua arah dengan senapan

      

58

   59

Wassana Nanuam, “Panlop to face trial for the stroming of Krue Se mosque”

60

(55)

otomatis kemudian melarikan diri ke perkebunan karet. Namun, beberapa penduduk kampung menyaksikan secara sepintas ada empat orang berpakaian militer melarikan diri dari tempat kejadian tersebut. Pejabat pemerintah mengatakan bahwa pelakunya tidak jelas, entah gerakan separatis atau militer, namun tujuannya untuk memengaruhi penduduk desa agar melawan pemerintah61.

Didasarkan pada ketidakpercayaan terhadap aparat pemerintah yang sudah sangat tinggi; hampir 100 penduduk desa, terutama perempuan dan anak-anak, membuat barikade untuk mencegah petugas pemerintah dan pasukan keamanan memasuki desa. Untuk pertama kalinya, perempuan dan anak-anak berpartisipasi dalam konflik antara masyarakat Melayu Muslim dengan pemerintah. Penduduk desa percaya bahwa anggota pasukan keamanan yang telah membunuh imam. Sebelum meninggal dunia, imam tersebut mengatakan bahwa tentara yang telah menembaknya dan menolak untuk dibawa ke rumah sakit, karena takut akan diculik oleh aparat keamanan62.

Sekitar satu setengah jam kemudian, sebuah mobil ambulans lengkap dengan pengawalan pasukan kemanan bersenjata lengkap sebanyak sepuluh truk datang ke lokasi tersebut. Sesuai dengan wasiat terakhir imam, penduduk desa mengatakan bahwa tak ada seorang pun yang memanggil mobil ambulans. Penduduk desa semakin mencurigai mengapa pasukan keamanan mengetahui kalau ada seseorang yang telah tertembak, jika pelakunya bukan berasal dari anggota pasukan kemanan tersebut atau agen-agennya63.

      

61

Ibid hal.175

62

Ibid

63

(56)

3. Pembantaian di Masjid Al-Furqon, Narathiwaat, 2009

Peristiwa pembantaian dan pembunuhan etnis melayu sangat sering terjadi di Thailand Selatan, terlebih hal tersebut dilakukan disaat sedang menjalankan ibadah. Salah satu peristiwa pembantaian dan pembunuhan yang terjadi adalah seperti yang terjadi di Masjid Al-Furqon yang berada di Distrik Joh-I-Rong, provinsi Narathiwaat pada tanggal 8 Juni 2009, malam, sewaktu Isya, sekelompok pria bersenjata (sekitar 6 orang) dengan wajah tertutup mengepung masjid dari arah depan dan samping64.

Pembantaian dilakukan pada shalat Isya, tepatnya pada raka’at kedua, ketika Imam membaca surah Al-Fatihah. Berondongan peluru diarahkan ke 50 jamaah sholat Isya tersebut. Peluru yang ditembakan tersebut mengenai bagian kepala dan perut korban. Dari selongsongan peluru yang berserakan, penembak dipastikan menggunakan senjata M-16, senjata organik milik militer Thailand65.

Peristiwa tersebut menyebabkan 11 orang muslim Pattani tewas dan 19 lainnya luka parah. Sepuluh orang meninggal di lokasi dan seorang lagi meninggal saat di rumah sakit66.

4. Peristiwa Berdarah Takbai, 2004

Peristiwa berdarah Tak Bai yang terjadi pada tanggal 24 Oktober 2004 dimana ketika 1500 orang warga Pattani yang sedang berunjuk rasa di depan kantor polisi Tak Bai yang mendesak agar membebaskan 6 rekan mereka yang

      

64

Dikutip Wikipedia.org/wiki/Tragedi_Pembunuhan_di_masjid_Al-Furqan_,_Narathiwat pada tanggal 21 Februari 2014 pukul 22.34 WIB

65

Ibid

66

(57)

ditahan polisi karena dituduh menyediakan senjata untuk pejuang kemerdekaan Pattani.

Polisi selanjutnya menyemprotkan gas air mata kepada pengunjuk rasa dan mengakibatkan 7 orang pengunjuk rasa tewas. Setelah itu polisi Thailand menahan sekitar 1300 pengunjuk rasa. Menurut Suruhanjaya Hak Asasi Manusia Kebangsaan (NHRC), pengunjukrasa yang ditahan dipukul dan ditendang dengan tangan diikat ke belakang dan dibaringkan ke tanah.

Para pengunjuk rasa yang ditahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam truk dan diletakkan secara paksa sehingga para tahanan terjepit dan terhimpit di dalam truk sebelum dipindahkan ke Kamp militer Ingkayuthaborihaan. Di dalam perjalanan menuju kamp yang menempu waktu selama 5 jam, sebanyak 78 orang tahanan tewas di dalam truk karena terjepit, kurang oksigen, dan kelaparan karena saat itu bulan Ramadhan dimana para tahanan sedang berpuasa.

Laporan tentara Thailand sendiri memberi angka terperinci kematian67: a. Truk bernomor 19338, 21 tewas

b. Truk bernomor 19232, 5 tewas c. Truk bernomor 19263, 6 tewas d. Truk bernomor 13164, 23 tewas e. Truk bernomor 51, 5 tewas f. Truk bernomor 5256, 1 tewas g. Truk bernomor 530, 6 tewas

h. 11 tewas dalam truk yang tidak diketahui nomornya

      

67

(58)

Lima tahun setelah kejadian berdarah tersebut, Pengadilan Wilayah Songkhla di Thailand memutuskan bahwa polisi dan militer Thailand yang menyebabkan tewasnya puluhan tahanan warga Pattani tersebut tidak bersalah. Hakim beranggapan polisi dan militer Thailand telah bertindak sesuai Undang-Undang dan menggunakan pertimbangan dalam hal darurat .

Hakim Yingyut Tanor-Rachin dan Hakim Jutarath Santisevee dalam persidangan mengatakan bahwa polisi dan militer Thailand hanya menjalankan tugas dan mempunyai alasan yang sah untuk mengangkut lebih 1000 pengunjuk rasa yang ditahan dari Tak Bai di perbatasan Thailand-Malaysia ke Kamp tentara Ingkayuthaborihan di Pattani pada 25 Oktober 2004.

Perdana Menteri Thaksin mengatakan bahwa pembubaran demonstrasi tersebut telah dilakukan sesuai dengan displin akademik68. Perdana Menteri Thaksin juga mengatakan bahwa para demonstran meninggal di dalam kendaraan karena terlalu lemas dan itu adalah situasi yang tidak dapat dihindari69.

Namun, seorang aktifis mahasiswa dari Narathiwat yang melakukan penyelidikan pada peristiwa tersebut mengatakan bahwa keterangan pemerintah adalah bohong. Keterangan warga kampung yang menjadi saksi mata kepada mahasiswa tersebut adalah aparat keamanan melakukan tembakan secara random

dan mengakibatkan sekitar 300 orang meninggal, kemudian jenazahnya dibawa dengan truk militer ke suatu tempat tertentu. Selain itu, sekitar 200 orang meninggal di truk, karena mereka ditumpuk dari atas ke bawah. Laki-laki di bawah dan perempuan di atas seperti menumpuk buku di atas meja secara vertikal.

      

68

Bangkok Post, 25 Oktober 2004

69

Referensi

Dokumen terkait

Witya School Yala Thailand Selatan” ini ditulis oleh Atiq Masluhah, NIM. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena peradaban manusia yang secara berkelanjutan

Tesis ini membahas tentang sistem manajemen pendidikan Islam sekolah swasta di provinsi Yala Thailand Selatan. penelitian ini bertujuan untuk: 1) mempelajari masalah

Sengketa laut china selatan ini telah lama melibatkan banyak negara- negara kawasan seperti (RRC, Vietnam, Thailand, Fhilipina, Malaysia, Brunei Darussalam,

Keahlian Komunikasi Guru dalam Proses Belajar Mengajar di Madrasah Mulnithi Azizstan Pattani Selatan

guru dalam proses belajar mengajar dimadrasah Mulnithi Azizstan

Atas kasih karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “UPAYA INDONESIA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LAUT CINA SELATAN” ini.. Adapun skripsi ini dibuat sebagai

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah (1) bagaimana pengaturan pelanggaran kejahatan HAM berat menurut hukum internasional; (2) bagaimana tanggung jawab individu

Maksud dari judul penelitian Resiliensi Ibu : Studi Atas Ibu Terduga “Teroris” dalam Konflik Politik di Thailand Selatan adalah suatu penelitian berbasis