• Tidak ada hasil yang ditemukan

Chapter II Tinjauan Konvensi Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Chapter II Tinjauan Konvensi Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN

2.1. Pengertian HAM

HAM adalah hak fundamental yang tak dapat dicabut yang mana karena ia adalah seorang manusia. Jack Donnely, mendefinisikan hak asasi tidak jauh berbeda dengan pengertian di atas. Hak asasi adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan hak itu merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Sementara menurut John Locke, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat. John Locke menjelaskan bahwa HAM merupakan hak kodrat pada diri manusia yang merupakan anugrah atau pemberian langsung dari Tuhan Yang Maha Esa. secara filosofis, pandangan menurut hak asasi manusia adalah, "jika wacana publik masyarakat global di masa damai dapat dikatakan memiliki bahasa moral yang umum, itu adalah hak asasi manusia." Meskipun demikian, klaim yang kuat dibuat oleh doktrin hak asasi manusia agar terus memunculkan sikap skeptis dan perdebatan tentang sifat, isi dan pembenaran hak asasi manusia sampai di jaman sekarang ini. Memang, pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan "hak" itu sendiri kontroversial dan menjadi perdebatan filosofis terus.14

14Shaw Malcolm N, International Law. Cambridge University Press, New York, 2008.

hal. 67.

(2)

Hak asasi manusia (HAM) sebagai hak dasar yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Hak-hak tersebut melekat pada dirinya sebagai makhluk insani. Hak asasi manusia adalah unsur yang amat penting yang tidak bisa ditawar-tawar lagi mengenai pelaksanaannya, baik hukum maupun politik tidak boleh melanggar martabat seseorang atau sekelompok orang sebagai manusia.

Hak asasi manusia memang merupakan unsur yang amat penting yang pelaksanaannya harus dilakukan baik oleh masyarakat sendiri ataupun oleh pemerintah atau Negara, tapi dengan hal tersebut bukan berarti tidak ada pelanggaran terhadap pelaksanaan hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia terus berlangsung sepanjang kehidupan umat manusia.

Pelanggaran hak asasi manusia merupakan ancaman besar terhadap perdamaian, keamanan dan stabilitas Negara. Pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya dilakukan oleh masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, tetapi pelanggaran tersebut juga bisa dilakukan oleh Negara maupun melalui aparat Negara atau pemerintahnya, biasanya pelanggaran oleh Negara sering mengarah ke pelanggaran Hak Asasi Manusia berat.

(3)

Pengertian Hak Asasi Manusia di Indonesia secara tertuang pada UU No 39/1999, “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Kebebasan yang dimiliki manusia secara kodratnya melekat pada diri manusia dan membuat manusia sadar akan keinginannya untuk hidup bahagia. Akal budi dan nuraninya, mendapat kebebasan untuk memutuskan sendiri apa yang diinginkannya. Yang kemudian diimbangi rasa tanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi Manusia yang secara kodratnya melekat pada diri manusia sejak manusia dalam kandungan yang membuat manusia sadar akan jatidirinya dan membuat manusia hidup bahagia. Setiap manusia dalam kenyataannya lahir dan hidup di masyarakat. Dalam perkembangan sejarah tampak bahwa Hak Asasi Manusia memperoleh maknanya dan berkembang setelah kehidupan masyarakat makin berkembang khususnya setelah terbentuk Negara.

(4)

manusia. Hak secara kodrati melekat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena tanpanya manusia kehilangan harkat dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Republik Indonesia termasuk pemerintah Republik Indonesia berkewajiban secara hokum, politik, ekonomi, social dan moral untuk melindungi, memajukan dan mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia.

(5)

politica, yaitu konsepsi pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan dalam hukum du contract social Rousseau menyatakan bahwa Negara dilahirkan bebas yang tak boleh dibelenggu oleh manusia lain termasuk oleh raja. Pandangan demikian ini menmbulkan semangat bagi rakyat tertindas ,khususnya di prancis ,untuk memperjuangkan hak asasinya.

Pemerintahan raja yang sewenang-wenang dan kaum bangsawan yang feodalistik menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Perancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI yang lemah, rakyat Perancis baru berani membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional sebagai perwakilan bangsa Perancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI yang lemah, rakyat Perancis baru berani membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional sebagai perwakilan bangsa Perancis. Masyarakat Perancis baru berani mengubah strukturnya dari feodalistis menjadi lama (kerajaan)n dihapuskan dan disusunlah pemerintah baru.

Istilah Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari; droits de L’homme (Perancis), human rights (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda). Di Indonesia, hak asasi umumnya lebih dikenal dengan istilah ‘hak-hak asasi’ sebagai terjemahan dari basic rights (Inggris), grond rechten (Belanda), atau bisa juga disebut sebagai hak-hak fundamental (fundamental rights, civil rights) Menurut Usman Surur,15

15Usman Surur, Dasar-dasar HAM, bahan Kuliah Diklat HAM. Jakarta: Direktorat

Jenderal HAM, 2008, hal. 29.

(6)

1. Hak berasal dari bahasa Arab yang artinya kebenaran, dalam kamus bahasa Indonesia juga diartikan dengan kebenaran, dan yang berkaitan dengan kepemilikan, kekuasaan atau kewenangan

2. Asasi berasal dari bahasa Arab Asasiyyun artinya bersifat prinsip, maksudnya sesuatu yang prinsip itu adalah hal yang amat mendasar dan tidak boleh tidak ada

3. Manusia dalam pengertian umum adalah makhluk yang berakal budi, orang Jawa menyebut Manungso (Manunggaling Raso), baru disebut manusia kalau memahami perasaan orang lain, atau dalam bahasa Arab digunakan Nas dari kata Anasa yang artinya melihat, mengetahui atau meminta ijin. Berdasarkan rangkaian kata tersebut, maka yang dimaksud Hak Asasi Manusia adalah sejumlah nilai yang menjadi ciri khas manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi

Menurut Prof. Mr. Koentjoro Poerbapranoto (1976), hak asasi adalah hak yang bersifat asasi, artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci. Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri

Berdasarkan pandangan Para tokoh seperti John Locke, Aristoteles, Montequieu dan J.J. Rousseau, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak asasi mencakup :

(7)

3. Hak kemerdekaan berkumpul

4. Hak menyatakan kebebasan warga negara dari pemenjaraan sewenang-wenang (bebas dari rasa takut)

5. Hak kemerdekaan pikiran dan pers

Menurut Brierly, pada dasarnya hak asasi manusia dapat dibagi menjadi: 1. hak mempertahankan diri (self preservation)

2. hak kemerdekaan (independence) 3. hak persamaan pendapat (equality) 4. hak untuk dihargai (respect)

5. hak bergaul satu sama lain (intercourse)

Menurut Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si., beberapa macam hak asasi dibedakan menjadi sebagai berikut :

1. hak untuk diperlakukan dengan baik, biasanya dikenal dengan tata karma sesuai anutan budaya yang bersangkutan

2. hak untuk mengembangkan diri, biasanya dikenal dengan harkat untuk mewujudkan keberadaan

3. hak untuk memilih dan dipilih serta terpakai tenaganya dalam pemerintahan, biasanya dikenal dengan demokrasi

4. hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam penerapan peratuaran, biasanya dikenal dengan persamaan di dalam hukum

5. hak untuk memiliki, membeli, menjual dan memanfaatkan sesuatu, biasanya dikenal dengan persamaan di dalam perlakuan ekonomi

(8)

7. hak untuk menuntut ilmu dan melakukan penelitian serta pengembangan pengetahuan, biasanya dikenal dengan kebebasan ilmiah

8. hak untuk mengeluarkan keterangan pernyataan, biasanya dikenal dengan kebebasan berpendapat

Budiyanto menyimpulkan dan membedakan hak-hak asasi manusia, yaitu sebagai berikut : hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi ; kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya hak-hak asasi ekonomi atau property rights, yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli, dan menjual, serta memanfaatkannya hak-hak asasi politik atau political rights, yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum, hak untuk mendirikan partai politik, dan sebagainya hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau rights of legal equality hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights, seperti hak untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan, dan sebagainya hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan atau procedural rights, seperti adanya peraturan dalam hal penggeledahan, penangkapan, penahanan, peradilan, dan sebagainya.

2.2. Kejahatan Kemanusiaan

(9)

menggambarkan "kejahatan terhadap umat manusia" sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia. Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah

Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau

sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung

terdapat penduduk sipil.

Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan tujuan:16

1. Pembunuhan 2. Pemusnahan 3. Perbudakan

4. Pengusiran atau pemindahan penduduk

5. Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain 6. Menganiaya;

(10)

7. Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya ;

8. Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun dengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional

9. Penghilangan seseorang secara paksa; 10. Kejahatan apartheid;

11. Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.

Merujuk pendapat Bissouni:

The term of "crimes against humanity" is existed prior to World War II. It is because the 1868 Saint Petersburg Declaration has mentioned the limitation of the use certain explosive or incendiary projectiles in times of war, since they were declared contrary to the laws of humanity. Meanwhile, the expression of crimes against humanity was used for the first time in the 1915 Declaration by the governments of France, Great Britain and Russia denouncing the massacre of Armenians taking place in Turkey.17

Bassiouni menambahkan bahwa jenis kejahatan yang dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, adalah: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum atau selama perang, atau

17 Lihat M C Bassiouni, Crimes Against Humanity in International Criminal Law (1999)

(11)

penganiayaan atas dasar politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam kaitannya dengan kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan, apakah atau tidak dalam pelanggaran hukum domestik dari negara di mana kejahatan tersebut dilakukan.18

Murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political, racial, or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of domestic law of the country where perpetrated.

Jenis kejahatan yang disebutkan oleh Bassiouni ini sebenarnya diambil dari jenis kejahatan yang telah disebutkan dalam Pasal 6 (c) dari Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter). Oleh sebab itu, untuk membahas pengertian kejahatan kemanusiaan ini, maka pembahasan dapat dimulai dari bagaimana pengertian hukum yang berkembang dari pasal ini. Pasal 6 (c) mendefinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai:

19

David Luban20

1. Kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya dilakukan terhadap warga negara sendiri atau orang asing (Crimes against humanity are typically committed

against fellow nationals as well as foreigners). Sesuai dengan sejarah Pasal

6(c) ini, pasal ini dibuat untuk mengisi kekosongan hukum kemanusiaan pada Tahun 1945, yang menyatakan bahwa kategori kejahatan perang terhadap

menyatakan bahwa pasal ini memberikan 5 unsur dalam pengertiannya sehingga ia dapat dimengerti dan dipakai dalam ketentuan hukum nasional tertentu:

18 Bassiouni, M. C. Crimes against Humanity, Ibid 19

Lihat Nuremberg Charter, http://www.currentconcerns.ch/index.php?id=148, diakses 4 Februari 2014.

20 Luban, David, 2004, A Theory of Crimes Against Humanity, 29 Yale Journal International

(12)

penduduk sipil adalah pelanggaran hukum bilamana kejahatan itu dilakukan hanya terhadap orang asing. Sementara Nazi, dianggap melakukan kejahatan terhadap warga negara mereka yang beragama Yahudi serta orang asing di wilayah Austria.

Oleh sebab itu, pemikiran bahwa suatu negara dianggap bisa melakukan kejahatan untuk membunuh rakyatnya sendiri dapat dilihat dari contoh tersebut di atas sehingga pengertian crime against humanity ini perlu mengatur hal itu. Ini disebabkan karena pengertian kejahatan sebelumnya yang dipakai mengenai kejahatan kemanusiaan ini adalah aturan hukum perang, yang berorientasi pada masyarakat negara sendiri di satu pihak, dan lawan sebagai pihak lain. Dengan demikian, dengan pengertian ini, maka sebuah kejahatan kemanusiaan itu dapat saja terjadi baik bagi masyarakat sendiri maupun orang asing, serta yang terjadi di dalam maupun di luar perang. Selain itu, pengertian ini juga berarti bahwa kejahatan kemanusiaan dapat saja dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri maupun oleh musuh kepada rakyat.21

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan internasional (Crimes

against humanity are international crimes). Pengertian dari Pasal 6 (c)

Piagam Nuremberg ini memberikan makna luas bahwa suatu kejahatan kemanusiaan dianggap sebagai kejahatan internasional meskipun tindakan ini bukan dalam kategori tersebut pada ketentuan hukum suatu negara dimana

21

(13)

kejahatan atau tindakan itu dilakukan. Dalam Pasal 7 dan 8 dari Piagam Nuremberg memperlihatkan bahwa seorang kepala negara tidak akan dapat berlindung dibalik kekebalan otoritasnya atau seseorang tidak boleh berlindung di belakang alasan perintah atasan untuk bebas dari tuduhan kejahatan ini. Pasal 7 dan 8 menyatakan:

Article 7:

The official position of defendants, whether as Heads of State or responsible

officials in Government Departments, shall not be considered as freeing them

from responsibility or mitigating punishment.

Menurut Luban dari pengertian ini, kejahatan yang dilakukan sebelum dan selama masa perang juga dapat dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan, dan hal itu berarti bahwa tindakan kekejaman Nazi terhadap bangsa Yahudi Jerman sebelum tahun 1939, meskipun pada saat itu dalam keadaan damai merupakan kejahatan kemanusiaan.22

3. Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh politik terorganisir kelompok bertindak dengan dasar kebijakan (Crimes against humanity are

committed by politically organized groups acting under color of policy)

Piagam Nuremberg mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh agen negara. Pasal 6 (c) mensyaratkan bahwa kejahatan Meski tindakan ini adalah retrospektif karena dikategorikan sebagai tindakan masa lalu yang belum diatur oleh hukum, berdasarkan pengertian ini, kejahatan Nazi tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan.

(14)

terhadap kemanusiaan adalah bagian dari ‘eksekusi dari perintah atau ada hubungannya dengan "kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang’, yang mana keduanya dapat dilakukan oleh aparat negara, atau warga yang menempati posisi tinggi sesuai jabatan.

4. Kejahatan terhadap kemanusiaan terdiri dari kejahatan yang paling berat dan tindakan kekerasan dan penganiayaan yang mengerikan (Crimes against

humanity consist of the most severe and abominable acts of violence and

persecution). Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg membedakan antara dua jenis

kejahatan terhadap kemanusiaan. Yang pertama adalah kejahatan yang terdiri dari pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan ‘tidak manusiawi lainnya’. Kejahatan jenis pembunuhan adalah kejahatan yang mengandung nilai atau dimensi ‘kekejaman dan kebiadaban.23

5. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang diderita oleh korban berdasarkan keanggotaan mereka dalam populasi dan bukan sebagai karakter individu (Crimes against humanity are inflicted on victims based on their

membership in a population rather than their individual characteristics).

Menurut Luban, suatu ketentuan atau undang-undang mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan memasukkan populasi sebagai salah satu

Dalam Pasal 6 (c) ini, kejahatan ini juga biasa ditambahkan dengan kejahatan penjara yang mempunyai unsur ‘melanggar aturan dasar hukum internasional’ atau kejahatan lainnya yang dianggap ‘tindakan yang tidak manusiawi lainnya," sesuai Statuta Roma.

(15)

persyaratan persyaratan dari unsur kejahatan pembunuhan, serta persyaratan niat diskriminatif sebagai unsur kejahatan penganiayaan. Kedua persyaratan ini menentukan bahwa pada dasarnya, bahwa kelakuan buruk dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan hanya jika kejahatan ini merupakan bagian dari serangan terhadap sebuah kelompok atau populasi, tanpa termasuk individualitas dari kelompok. Untuk menjawab pertanyaan tentang seberapa besar jumlah orang dalam kelompok sebagai korban yang dimaksud sehingga ia dapat dikatakan sebagai suatu penduduk. Luban menyatakan: “… how large a group must be to constitute a population. Does the

population requirement mean that the crimes are committed on a large "population-size" scale-in other words, that to qualify as crimes against humanity, they must be not just atrocities but mass atrocities? To support this reading of the population requirement, it might be argued that nothing less than mass horror justifies internationalizing the crimes and making them matters of worldwide rather than domestic concern.

Dari rumusan kategori tindakan crime against humanity yang di berikan oleh Luban di atas, ada implikasinya terhadap kasus-kasus kejahatan berat yang terjadi:

(16)

akan membawa pengertian kejahatan sebagai kejahatan dalam pengertian hukum nasional pula. Dengan kata lain, institusi yang ada dalam hukum nasional mempunyai wewenang untuk mengartikan kejahatan mana dapat dianggap sebagai suatu kejahatan kemanusiaan berdasarkan penafsiran nasional, bukan berdasarkan penafsiran hukum internasional.

(17)

Piagam Nuremberg yang belum banyak dipakai sebagai pertimbangan dalam mendapatkan pengertian ini.

3. Pada persyaratan ketiga yang mengatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh kelompok terorganisir secara politik yang bertindak berdasarkan perintah, menjadi perdebatan penting dalam pengadilan HAM di Indonesia. Piagam Nuremberg mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh agen negara. Pasal 6 (c) ini juga mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bagian dari ‘eksekusi dari perintah atau ada hubungannya dengan "kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang’, yang mana keduanya dapat dilakukan oleh aparat negara, atau warga yang menempati posisi tinggi sesuai jabatan. Dalam Pasal 42 UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, tanggungjawab komando telah diatur dimana pasal ini menentukan bahwa komandan bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan di lapangan, baik dengan sepengetahuan komandan militer saat itu, dengan bentuk pembiaran atas adanya suatu dugaan pelanggaran oleh anak buah. Ketentuan ini sesuai juga sesuai dengan Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977 yang menegaskan tentang yurisdiksi pengertian tanggungjawab komando dalam angkatan bersenjata pemberontak (dissident armed forces) atau kelompok-kelompok bersenjata terorganisasi lainnya.

(18)

Jenis kejahatan ini juga masih menjadi perdebatan, sebab syarat yang ditentukan dalam kejahatan dari bentuk kejahatan itu, tidak jelas diungkapkan dalam perundang-undangan. Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg memang membedakan dua jenis kejahatan utama terhadap kemanusiaan yakni kejahatan pembunuhan serta tindakan yang ‘tidak manusiawi. Meski pengertian ini masih harus dijabarkan lagi ke dalam pengertian yang nyata, ketentuan dalam Piagam Nuremberg ini juga dilengkapi dengan ketentuan dalam Statuta Roma mengenai gambaran tindakan yang dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan.

5. Selanjutnya dalam point kelima pengertian kejahatan kemanusiaan menurut Luban menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang diderita oleh korban berdasarkan keanggotaan mereka dalam populasi dan bukan sebagai karakter individu adalah ketentuan untuk memasukkan persyaratan adanya unsur populasi, unsur pembunuhan, dan unsur penganiayaan yang dilakukan dengan niat dan diskriminatif sebagai elemen dari pengertian kejahatan kemanusiaan. penganiayaan. Kedua persyaratan ini menentukan bahwa pada dasarnya, bahwa kelakuan buruk dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan hanya jika kejahatan ini merupakan bagian dari serangan terhadap sebuah kelompok atau populasi, tanpa termasuk individualitas dari kelompok. Untuk itu, Luban dalam pernyataan ketika mengatakan: “…it might be argued that nothing less than mass horror

justifies internationalizing the crimes and making them matters of worldwide

(19)

masih tidak jelas, dan dapat berakibat pada penentuannya pengertian yang disesuaikan sesuai keadaan politik, atau ditentukan oleh pihak-pihak yang menguasai proses pengadilan dimana kejahatan ini disidangkan. Salah satu contoh sidang kejahatan kemanusiaan yang membebaskan terdakwa dapat dilihat pada persidangan kasus HAM Abepur yang mengajukan terdakwa Brigjen Pol. Drs Johny Wainal Usman (mantan Dansat Brimobda Papua) dan Kombes. Daud Sihombing SH (mantan Kapolres Jayapura) yang diputuskan tidak bersalah. Dalam dissenting opinion, Hakim Kabul Supriyadhie menyatakan bahwa, apakah terdakwa adalah perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau bukan dapat dilihat dari kenyataan bahwa adanya pasukan yang digerakkan di bawah perintah atasan untuk melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap orang-orang yang diduga melakukan penyerangan terhadap Markas Kepolisian Sektor Abepura dan dilengkapi dengan senjata dan amunisi, tidak dapat disangkal sebagai perbuatan yang memperlihatkan ‘perintah di bawah komando’, meski pada tindakan ini tidak ditemukan adanya surat penangkapan dan penahanan atau laporan pelaksanaan. Selain itu, kenyataan bahwa secara de facto Terdakwa berada di tempat kejadian pada saat bawahan melakukan pengejaran dan penangkapan, dan tidak melakukan pencegahan yang mengakibatkan kematian menjadi dasar yang kuat untuk menghukum Terdakwa atas pertanggungjawaban komandan.24

24 Lihat ‘Pendapat Hukum (Dissenting Opinion),’

(20)

2.3. Sejarah Singkat Konvensi Jenewa 1949 Dan Hubungannya Terhadap Konflik Bersenjata Non Internasional

Sejarah Konvensi Jenewa dimulai pada tahun 1862, menerbitkan bukunya, Memoir of Solferino (Kenangan Solferino), mengenai ketidakmanusiawaian (kekejaman) perang. Pengalaman Dunant menyaksikan perang mengilhaminya untuk mengusulkan:

1. Dibentuknya perhimpunan bantuan yang permanen untuk memberikan bantuan kemanusiaan pada masa perang, dan

2. Dibentuknya perjanjian antar pemerintah yang mengakui kenetralan perhimpunan tersebut dan memperbolehkannya memberikan bantuan di kawasan perang.

Usulan yang pertama berujung pada dibentuknya Palang Merah (Red Cross) sedangkan usulan yang kedua berujung pada dibentuknya Konvensi Jenewa Pertama. Atas kedua pencapaian ini, Henry Dunant pada tahun 1901 menjadi salah seorang penerima pertama kalinya dianugerahkan. Kesepuluh pasal Konvensi Jenewa Pertama diadopsi untuk pertama kalinya pada tanggal 22 Agustus 1864 oleh dua belas negara. peratifikasian Konvensi Jenewa Pertama oleh Amerika Serikat, yang akhirnya meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1882.

(21)
(22)

Konvensi Jenewa Pertama ini tercakup dalam 9 Bab dan ditambah Bab Ketentuan Penutup, dan berisi 64 pasal. Ditambah dengan dua lampiran berisi konsep perjanjian yang berhubungan dengan zona rumah sakit dan kartu identitas model dan agama tenaga medis. Konvensi Jenewa pertama tentang Perbaikan Keadaan Anggota Perang yang Luka Dan Sakit di Medan Pertempuran Darat. Konvensi Jenewa 1949 ini merupakan versi update keempat Konvensi Jenewa pada orang yang terluka dan sakit berikut yang digunakan dalam 1864, 1906 dan 1929. Konvensi ini memberikan perlindungan bagi yang terluka dan sakit, tetapi juga untuk tenaga medis dan keagamaan, unit medis, bangunan dan transportasi medis serta konvensi ini juga mengakui lambang khas yang harus dilindungi. Ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama ini dalam konteks skala, memberikan perlindungan dalam konflik internasional maupun non-internasional, tetapi dasar perlindungan non-internasional tidak terlalu spesifik diterangkan dalam konvensi ini, karena di Konvensi Jenewa Pertama ini konflik non-internasional hanya dimasukkan ke dalam Bab Ketentuan Umum, dan akan lebih diperjelas dalam Protokol II.

(23)

pertempuran darat yang secara umum dapat sebutkan untuk memberikan perlindungan bagi: (1) yang terluka dan sakit; (2) tetapi juga untuk tenaga medis dan keagamaan; (3) unit medis; (4) bangunan dan (5) transportasi medis serta konvensi ini juga mengakui (6) lambang khas yang harus dilindungi.Yang menjadi objek perbaikannya tersebut mencakup perbaikan keadaan terhadap anggota angkatan perang yang luka dan sakit di darat. Memberikan penghormatan dan lindungan dalam segala keadaan terhadap yang luka dan sakit, perlakuan secara prikemanusiaan tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan atas kelamin, suku, kebangsaan, agama, atau kriteria lainnya serupa itu, dan memberikan kewajiban-kewajiban apa yg harus dilakukan dalam memperlakukan para angkata perang, yang dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab II - Yang Luka dan Sakit Pasal 12-18.

(24)

untuk mencegah penyakit, dan staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi kesatuan-kesatuan dan bangunan-bangunan kesehatan, demikian juga rohaniwan yang bertugas dalam angkatan perang yang di jelaskan dalam secara lengkap dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab IV-Anggota Dinas Kesehatan Pasal 24-32. Perbaikan terhadap perlengkapan-perlengkapan, kesatuan-kesauan kesehatan bergerak angkatan perang yang jatuh dalam tangan musuh, harus disediakan untuk perawatan yang dipaparkan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab V - Gedung dan Perlengkapan Pasal 33-34. Perbaikan dalam konteks perlindungan terhadap pengangkutan yang luka dan sakit atau alat-alat kedokteran harus dihormati dan dilindungi sama halnya dengan kesatuan kesehatan yang bergerak. Seperti halnya pengangkutan dengan pesawat terbang kesehatan maupun dengan kendaraan kesehatan lainnya. Semua itu dijelaskan dan diatur dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab VI - Pengangkutan Kesehatan Pasal 35-37.

Perbaikan dalam konteks perlindungan terhadap lambang-lambang yang diistimewakan, seperti halnya lambang International Red Cross Committee (PMI), Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah dan sebagainya. lambang istimewa ini harus jelas, dalam artian tampak pada bendera-bendera (flags), ban lengan

(handband), dan semua alat perlengkapan yang dipakai dalam dinas kesehatan,

(25)

Konvensi Jenewa Pertama ini akan berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut (Pasal 56 Bab Penutup Konvensi Jenewa Pertama). Ketentuan rinci mengenai aplikabilitas Konvensi Jenewa diuraikan dalam Pasal 2 dan 3 Ketentuan yang Sama. Masalah aplikabilitas ini telah menimbulkan sejumlah kontroversi. Ketika Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus merelakan sebagian tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national sovereignty) untuk dapat mematuhi hukum internasional. Konvensi-konvensi Jenewa bisa saja tidak sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai budaya sebuah negara tertentu.

(26)

Pelaksanaan konvensi yang memberikan ketentuan terhadap siapa yang menjamin pelaksanaan terhadap tindakan-tindakan pembalasan terhadap objek-objek yang di lindungi dalam ketentuan konvensi yang menjamin pelaksanaan pasal-pasal dalam konvensi dan menetapkan ketentuan-ketentuan untuk mengatur hal-hal yang tak terduga maka yang menjamin adalah komandan-komandan tertinggi di setiap pihak-pihak dalam sengketa. Yang itu pun dipertegas dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab VIII - Pelaksanaan Konvensi Pasal 45, serta ditambah dengan kesesuaian asas-asas umum konvensi ini.

Konvensi-konvensi Jenewa merupakan hasil dari sebuah proses yang berkembang melalui sejumlah tahap dalam kurun waktu 1864-1949, yaitu proses yang berfokus melindungi orang sipil dan orang-orang yang tidak dapat bertempur lagi dalam konflik bersenjata. Sebagai akibat Perang Dunia II, keempat konvensi tersebut semuanya direvisi berdasarkan revisi yang pernah dilakukan sebelumnya dan juga berdasarkan sejumlah ketentuan dari Konvensi-konvensi Den Haag 1907, dan kemudian diadopsi ulang oleh masyarakat internasional pada tahun 1949. Konferensi-konferensi berikutnya menambahkan sejumlah ketentuan yang melarang metode berperang tertentu dan ketentuan yang berkenaan dengan masalah perang saudara.

Keempat Konvensi Jenewa adalah:

(27)

2. Konvensi Jenewa Kedua, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, sebagai pengganti Konvensi Den Haag X 1907)

3. Konvensi Jenewa Ketiga, “mengenai Perlakuan Tawanan Perang” [diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1929 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949]

4. Konvensi Jenewa Keempat, “mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, berdasarkan bagian-bagian tertentu dari Konvensi Den Haag IV 1907)

Selain itu, ada tiga protokol amandemen tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa:

1. Protokol Tambahan I (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional. Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 167 negara.

2. Protokol Tambahan II (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional. Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 163 negara.

(28)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengukuran logam Pb dalam susu asal sapi perah Kelurahan Kebon Pedes yang menggunakan tiga jenis pakan yaitu rumput lapangan, klobot jagung serta

Pada permulaan tahun 1970 an cara pendekatan yang dilakukan oleh IMO dalam membuat peraturan yang berhubungan dengan Marina Pollution pada dasarnya sama

menciptakan suatu pemikiran yang baru karena kita memiliki pengetahuan- pengetahuan yang didapat dari bahasa(Kosasih, 2013). Bahasa sebagai alat kontrol sosial di

Menyusun landasan teori dan merumuskan

Jurnal Riset Manajemen Sains Indonesia (JRMSI) |Vol. Ini menyebabkan keputusan konsumen dalam pembelian sabun Lux pun menjadi berkurang, hal ini dapat dilihat dari penjualan sabun

Karena web server sudah punya web maka kami ubah system web nya dengan mengubah nama www jadi www1 dan Web milik kami diganti degan nama www dan tentu dalam web kami ada file

 Semua kriteria pelayanan MIS memerlukan perbaikan dengan menghasilkan nilai di bawah 0 atau belum baik, serta secara keseluruhan pelayanan MIS menghasilkan

Hasil daripada kajian ini, permasalahan pelaksanaan Operasi Lawat, Nasihat dan Bayar dapat diperoleh dan tindakan penambahbaikan boleh dilakukan agar operasi ini