• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

B. Penyelesaian Sengketa Wakaf

2. Upaya Hukum Penyelesaian Sengketa Wakaf

Dalam Pasal 226 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan nazhir yang

diajukan ke Pengadilan Agama setempat, sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku, yang termasuk yurisdiksi Pengadilan Agama, yaitu:

1. Masalah sah atau tidaknya perbuatan perwakafan itu menurut peraturan pemerintah yaitu tentang wakaf, wakif, nazhir, ikrar dan saksi-saksi.

2. Masalah-masalah yang menyangkut wakaf berdasarkan syari’at Islam, alat bukti administrasi tanah wakaf.

Penyelenggara ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf.

Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang ataupun badan hukum akan menimbulkan suatu akibat yang baik maupun yang buruk, terutama dalam hal ini mengenai wakaf, didalam wakaf setiap perbuatan wakaf salah satu contohnya penggantian benda wakaf menimbulkan akibat atau dampak dari dua segi yang baik maupun yang buruk. Dari segi baik biasanya jarang menimbulkan suatu perselisihan, umumnya yang sering menimbulkan perselisihan atau adanya suatu sengketa dari segi yang buruk. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaanya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini. Menurut Pasal 226 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan nazhir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.107

107

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Logos Wacana Islam, 1999), hal. 215.

Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang dapat dicatat dari Impres No. 1/1991 dan keputusan Menteri Agama No. 154/1991, yakn :

1. Pemerintah menyebar luaskan KHI tidak lain dari kewajiban masyarakat Islam. 2. Rumusan hukum dalam KHI berupa mengakhiri persepsi ganda dari keberlakuan

hukum Islam yang ditunjuk oleh pasal 2 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, segi hukum formal di dalam UU No. 7/1989 sebagai hukum yang diberlakukan secara sempurna.

3. Menunjukan secara tegas wilayah berlaku pada instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukanya.

Dilihat dari tata hukum nasional, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dihadapkan pada dua pandangan. Pertama, sebagai hukum tidak tertulis seperti ditunjukkan oleh penggunaan instrumen hukum berupa Inpres, yang tidak termasuk dalam rangkaian tata urutan perundangan yang menadi sumber hukum tertulis. Kedua, sumber yang ditunjukkan di atas menunjukkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berisi hukum dan peraturan yang pada gilirannya diterangkan menjadi lawan dengan potensi kekuatan polotik. Kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) cenderung menjadi alternatif yang berpengaruh kuat pada seleksi pengambilan sumber normatifnya. Sumber utama yang dipilih untuk penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yakni :

1. Hukum produk legislatif nasional yang telah tertuang dalam perundang-undangan dan peraturan lainnya yang relevan.

2. Produk yudisial pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama, mengantisipasi tuntutan di tengah hubungan konflik hukum Islam dan hukum adat.

3. Produk eksplanasi fungsionalisasi ajaran Islam melalui kajian hukum yang dilakukan institusi agama Islam negeri dengan pokok bahasan sesuai dengan distribusinya.108

Berdasarkan metodologi yang ada pada Kompilasi Hukum Islam (KHI), telah meracik kembali produk man made law dengan butir-butir normatif yang dimaksud oleh hukum yang ideal dan pada dasarnya menunjukkan kepedulian yang transedental di samping pemenuhan tuntutan horizontal bagi interaksi umat Islam. Lahirnya rumusan hukum seperti yang terlihat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), harus dipandang sebagai sebuah wajah kulminasi organisme hukum Islam di bidangnya. Hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tampaknya dapat digambarkan melalui adanya koherensi antara sistem hukum Anglo Amerika atau Inggris dan sistem kontonental dalam tata hukum Indonesia.109

Pada Pasal 229 KHI menyatakan bahwa hakim dalam menyelesaikan perkara- perkara yang diajukan kepadanya, waib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusanya sesuai dengan rasa keadilan.110

Penyelesaiaan perselisihan benda wakaf menjadi kewenangan Pengadilan Agama setempat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 226 Kompolasi Hukum Islam,

108Siah Khosyi’ah,Op. Cit., hal. 197. 109Ibid.

bahwa penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.111

Penyelesaian Sengketa dan Pidana didalam Pasal 62 ayat (1) UU Wakaf No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf disebutkan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun apabila penyelesaian sengketa tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitase, atau pengadilan.

Penyelesaian perselisihan yang menyangkut persoalan kasus-kasus harta benda wakaf dan nazhir itu berada, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dengan demikian, jelaslah masalah-masalah lainnya yang secara nyata menyangkut Hukum Perdata, sedangkan yang terkait dengan perbuatan hukum pidana diselesaikan melalui hukum acara dalam Pengadilan Negeri.

Selain masalah penyelesaian sengketa, Undang-Undang Wakaf juga mengatur ketentuan pidana umum terhadap penyimpangan terhadap benda wakaf dan pengelolaanya sebagai berikut:

a. Bagi yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya tanpa izin di pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000.- (lima ratus juta rupiah).

b. Bagi yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin di pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 400.000.000.- (empat ratus juta rupiah).

c. Bagi yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000.- (tiga ratus juta rupiah).

Ketentuan pidana merupakan suatu keharusan dalam sebuah peraturan perundangan yang mengatur tentang suatu persoalan di Negara kita. Dalam sebuah UU harus mencantumkan ketentuan Khusus mengenai sanksi pidana sebagai penguat dan aminan agar supaya peraturan dimaksud dilakukan sebagaimana mestinya. Namun untuk memaksimalkan peran Peradilan Agama, nampaknya perlu difungsikan sebagai Peradilan Syari’ah bagi setiap warga Negara pemeluk agama Islam dalam kaca mata pemahaman yang komperhensif.

Dalam kedudukanya diatas, Peradilan Agama harus diberdayakan sebagai paying hukum bagi umat Islam dalam penyelesaian semua kasus-kasus perdata dan pidana yang berkaitan dengan hukum muamalat. Peran dan fungsi serta weenang Peradilan Agama dari waktu ke waktu harus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan hukum dan kemasyarakatan. Apalagi status Peradilan Agama saat ini telah digabungkan satu atap dengan Mahkama Agung Republik Indonesia.

Dengan adanya ketentuan tersebut, maka pelaksanaan perwakafan (khususnya tanah) sudah ditentukan secara pasti, dimana penyimpangan terhadap ketentuan itu sudah dapat dituntut sebagai tindak pidana. Berbeda dengan ketentuan pidana dalam berbagai peraturan pidana lainnya yang selalu membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran, maka tindak pidana mengenai perwakafan tanah milik tidak ditentukan apakah termasuk kejahatan atau pelanggaran.112

Sedangkan penyelesaian sengketa didalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf termuat di Pasal 62 yaitu :

i. Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

ii. Apabila penyelesaian sengketa sebagai mana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.113

Penyelesaian perselisihan wakaf tanah milik termasuk yurisdiksi Pengadilan Agama, yaitu sepanjang masalah sah atu tidaknya perbuatan mewakafkan tanah milik sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dan masalah- masalah lainya yang menyangkut wakaf berdasarkan syari’at Islam. Dengan demikian, berarti masalah-masalah lainya yang secara nyata menyangkut hukum perdata dan hukum pidana diselesaikan melalui hukum acara dalam Pengadilan Negeri.

112Ibid.

Sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, penyelesaian sengketa perwakafan menjadi opetensi Pengadilan Umum dan bukan Kopetensi Pengadilan Agama. Dapat dilihat dalam Putusan Mahkama Agung Nomor 163/K/Sip/1963 tertanggal 22 Mei 1963 yang menganggap soal wakaf yang berasal dari Hukum Islam, di Indonesia sudah dapat dianggap meresap dalam Hukum Adat. Kemudian Putusan Mahkama Agung Nomor 152/K/Sip/1963 tertanggal 26 November 1963 merumuskan pengertian wakaf sebagai perbuatan hukum dengan mana suatu barang atau barang-barang telah dikeluarkanya atau diambil dari kemanfaatan atau kegunaanya dalam lalulintas masyarakat semula, guna kepentiangan seorang atau orang-orang tertentu atau guna maksud atau tujuan yang telah ditentukan, barang-barang yang berada di tangan si mati.114

Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, maka menurut ketentuan dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut peroalan perwakafan tanah, disalirkan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan dengan Perundang-Undangan yang berlaku. Menurut ketentuan dalam Pasal 17 Tahun 1978, bahwa Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf berkewajiban memeriksa dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah menurut sari’at Islam, yang antara lain mengenai :

a. Wakaf, wakif, nazhir, ikrar dan saksi.

b. Bayinah(alat bukti administrasi tanah wakaf). 114Rachmadi Usman,Op. Cit.hal. 97.

c. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf.

Dalam melaksanakan penyelesaian perselisihan wakaf tanah milik tersebut, Pengadilan Agama tetap berpedoman pada tata cara penyelesaian perkara yang berlaku pada Pengadilan Agama. Pada umumnya perwakafan tanah terjadi di daerah- daerah tingkat Kecamatan. Untuk memudahkan pengawasan diperlukan adanya administrasi yang tertib, baik ditingkat Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. Selain itu, cara pengawasan perwakafan tanah milik tersebut dilakukan oleh unit-unit organisasi dari Departemen Agama secara hierarkhis.115

BAB V

Dokumen terkait