Bab 3 : GKJ Membangun Identitas Kejawaan
B. Orang Muda dalam Penanda Identitas
2. Upaya Membangun Identitas Kejawaan dalam ranah Biblis
Hal-hal yang dilakukan di atas sebagai upaya untuk membangun kejawaan tidak
akan berhasil jika tidak dilandasi dengan dasar-dasar ideologis. Dalam gereja
ranah-ranah ideologis memakai ayat dan mengutip Tuhan dalam penjelasannya. Memakai
ayat Alkitab serta menyebut nama Tuhan untuk mengajukan argumentasi merupakan
hal yang tidak bisa dielakkan di dalam perbincangan di wilayah gereja. Demikian juga
untuk menekankan bahwa gereja perlu memperhatikan identitas akar budayanya
maupun menolak hal tersebut. Pada bab 2 gerakan pietisme merupakan sebuah
paham teologi dan ia juga berangkat dari ayat-ayat Alkitab. Gerakan tersebut rupanya
juga menjadi semakin kuat manakala didasari oleh ayat Alkitab. Petikan wawancara di
bawah ini juga menunjukkan hal tersebut.
Mungkin masih ada orang-orang tua yang berpikiran kolot karena sudah dididik zending begitu lama. Tapi mari kita kembali kepada ajaran Alkitab. Kita melihat pada Yesus. Yesus tidak meniadakan satupun dari hukum taurat. Yesus tidak menolak dan menentang tapi menyempurnakan. Begitu pula dengan kita, budaya Jawa sudah ada sebelum zending datang, maka sebaiknya kita mengikuti apa yang dilakukan Yesus. Dan kita punya tokoh yang berakar dengan budaya yaitu Tunggul Wulung dan Sadrach. Mereka membuat penghayatan bagi orang Jawa yang Kristen dan orang Kristen
yang nJawani (MasLeg)105
105
78 Dalam petikan wawancara di atas, bisa dilihat bahwa pertama-tama ada sebuah
anggapan ketika pemahaman Alkitab yang dipakai dalam mengaji hubungan antara
gereja dan budaya adalah sudut pandang yang dipakai dan diajarkan oleh zending
akan terjadi benturan antara gereja dan budaya. Dalam pemahaman ini sesungguhnya
nampak usaha membangun identitas kejawaan bukan hanya dalam ranah seni, bahasa
dan tradisi, namun juga dalam aspek ideologis. Oleh karena itu secara implisit
narasumber menunjukkan perbedaan dengan pemahaman Alkitab yang diwariskan
oleh zending, sedangkan perilaku membangun identitas kejawaan merupakan
perilaku yang sudah dilakukan oleh para tokoh terdahulu yaitu Sadrach dan Tunggul
Wulung. Penyebutan Sadrach dan Tunggul Wulung sekalipun tidak dimengerti secara
keseluruhan bagaimana pengajarannya namun ia menjadi penanda dari bagaimana
GKJ mesti menghiraukan kejawaan, bukan hanya kekristenan. Sementara Tunggul
Wulung adalah tokoh yang relatif baru disebut. Pada bab 2 disebutkan bahwa tokoh
ini sebelumnya tidak dikenal oleh GKJ. Namun sekarang ia merupakan tokoh yang
penting, yaitu memerankan tanda yang sama dengan Sadrach. Hal yang lebih penting
daripada itu perilaku ini senada dengan yang dilakukan oleh Yesus. Pada posisi ini
Yesus tak ubahnya Sadrach dan Tunggul Wulung, yakni digunakan pula sebagai tanda.
Hal senada juga muncul dari narasumber yang lain:
Termasuk yang namanya tradisi kenduri itu ditolak, kenapa kenduri di Pituruh mau dihidupkan? Saya berguru pada Yesus yang setiap berkumpul selalu memecah-mecah roti lalu dibagikan. Kalau di sana kan adanya roti dan anggur. Jadi yang digunakan ya itu. Di sini ada berkatan, dan nasi kan jadi pakainya ya itu. Sudah dua tahun ini kenduri dipimpin oleh pemuka agama Islam, karena masyarakat banyak muslim supaya sah maka harus dipimpin oleh kyai. Dan kami nyaman-nyaman. Tapi kalau
79 kita sendiri tidak berani. Kalau bicara soal tradisi budaya adat, Yesus
tidak pernah mengubah, namun menyempurnakan.(KiAA)106
Proses membangun identitas yang tercermin dalam petikan wawancara di atas
memberikan sebuah fenomena yang menarik. Gereja (GKJ) menarik peristiwa makan
yang diadakan oleh Yesus (merujuk pada perjamuan terakhir) dirayakan oleh gereja
(GKJ) sebagai sebuah upacara agama (merujuk: Lukas 22:19-20) ditafsirkan dengan
lebih luas dengan peristiwa kenduri. Di sini adanya penyejajaran antara peristiwa
perjamuan yang dilakukan Yesus dan kenduri yang dilakukan dalam hidup keseharian
masyarakat. Proses penyejajaran ini penting guna membangun identitas Jawa menjadi
semakin sahih untuk dilakukan. Hal menarik lainnya yang perlu dicatat ialah bahwa
sekalipun disebut juga Sadrach, namun tidak serta merta apa yang dilakukan
narasumber berniat menarik orang-orang lain ke dalam agama Kristen.
Yang saya takutkan itu justru dilihat dari pelayanan Yesus. Pertanyaannya begini : para leluhur itu belajar dari Yesus atau Yesus yang belajar dari para leluhur? Karena hampir semua karyanya ada kesamaan, tapi bukan hanya di Jawa, namun di setiap suku. Karena kita lahir di Jawa ya itu yang menjadi dasar. Lahir di Jawa itu kan bukan kebetulan. Tetapi memang kehendak Allah. Kalau Allah punya kehendak berarti kita ya harus bertanggung jawab terhadap Jawa. Itu ada
hubungannya dengan “mengucap syukurlah dengan segala hal”. Nah,
halnya itu apa? Kalau saya halnya itu ya tradisi, budaya, bahasa. Nah itu
semacam begitu. (KiAA)107
Di sini narasumber memandang bahwa Yesus saja belajar dari para leluhurnya,
mestinya GKJ juga demikian. Kalimat ini hendak menegaskan bahwa jika GKJ masih
berkiblat pada Yesus ya mestinya GKJ sudah seharusnya menautkan diri dan belajar
dari leluhurnya dan itu merupakan kejawaan. Maka memembangun kejawaan
106Wawancara dengan KiAA seorang pendeta di wilayah Klasis Purworejo pada tanggal 18 Oktober 2018.
107
80 merupakan sesuatu yang begitu penting dan mestinya tidak bisa ditinggalkan, karena
Yesus pun belajar dari leluhurnya.
Alasan kedua mengapa kejawaan mesti dibangun oleh GKJ ialah bahwa ada
keyakinan bahwa Tuhan telah menempatkan seseorang untuk lahir di Jawa. Bahwa
kemudian orang tersebut memeluk agama Kristen dan tergabung dalam komunitas
Kristen GKJ. Hal tersebut semestinya tidak menghalangi seseorang untuk tetap
mempelajari atau dalam hal ini membangun Jawa. Hal tersebut terjadi karena menjadi
kejawaan itu ketetapan Tuhan. Maka mau tidak mau orang Kristen yang tergabung
dalam komunitas Kristen GKJ mestinya mempelajarinya. Hal senada juga disampaikan
oleh narasumber yang lain :
Yang ditakutkan apabila Jawa hilang di GKJ itu penting atau tidak itu sebenarnya seberapa penting atau tidak Jawa bagi GKJ. Bagi saya sendiri Jawa bukan bahasa tetapi lebih kepada budaya lebih kepada filosofi. Jadi bagi saya orang Jawa memang sudah sepantasnya hidup tumbuh dan berakar dengan budayanya sendiri sehingga ibarat pohon, dia bisa tumbuh dengan baik karena tumbuh di habitatnya. Seandainya tidak, kita bisa melihat bahwa sebuah benda memang harus melekat dengan sumbernya. Apabila kita mencabut pohon dari tanah maka tidak usah dibunuh dia akan mati sendiri. Keluarkan ikan dari air, tidak usah dibunuh biarkan saja lambat laun mesti mati. Demikian juga ketika kita melupakan akar budaya kita maka kita akar budaya inilah yang menghidupi kita. Karena hidup di Jawa ini bukan pilihan namun sebagai
kodrat. Tugas kita adalah hadir dengan potensi yang ada.(MasLeg)108
Analaogi-analogi yang berbeda-beda digunakan untuk menjelaskan betapa penting
untuk memembangun kejawaan sebagaimana telah disinggung di atas. Apa yang
disampaikan oleh narasumber ini memiliki kemiripan dengan narasumber yang
sebelumnya. Hanya saja penyampaian analoginya yang berbeda. Bagi narasumber
108
81 kejawaan dilihat sebagai habitat sedangkan orang-orang (terutama GKJ) adalah orang
yang dikodratkan untuk hidup di sana. Orang Jawa (khususnya GKJ) mesti menghidupi
kodrat itu dengan berbagai potensi yang ada. Dengan demikian niscaya orang Jawa
mesti memembangun kejawaan.
Selain dari keniscayaan dan kodrat. Membangun kejawaan adalah sebuah bentuk
rasa syukur.
Karena itu adalah anugerah Tuhan, identitas itu, maka sebagai orang yang bersyukur kepada Tuhan. Kita kan tidak milih sebagai orang Jawa. Nah
kami menghayati nek identitas itu hilang kami tidak merawat anugerah
Tuhan, itu permasalahan teologisnya. (LES)109
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwasanya kejawaan merupakan anugerah
bahkan menjadi kodrat. Maka orang-orang Jawa (GKJ) ini mesti menerima. Tapi
rupanya bukan hanya menerima, namun membangun kejawaan itu. Petikan
wawancara di atas menyiratkan bahwa membangun identitas itu merupakan wujud
rasa syukur. Sebuah ungkapan terima kasih kepada Tuhan.
Narasumber yang lain menjelaskan bahwasanya kejawaan itu sesungguhnya
sudah ada di GKJ. Hal tersebut khususnya sudah ada dalam simbol GKJ.
GKJ merumuskan tidak menggunakan salib karena simbol yang dipakai adalah burung dara turun, itu kasih karunia Allah, lalu di atas ada tangan orang berdoa, itu jawab kita pada Allah, itu urusan vertikal, lalu ada gunungan itu khas Jawa itu aspek horisontal. Jadi orang Jawa GKJ merumuskan kehidupan bergerejanya sebagai salib tapi ora ketok melok. Vertikal dan horisontal. Itu ketok banget dan masih bisa dirasakan kalau kita masih pakai identitas Jawa. Dan itu menjadi berkat buat orang lain. Orang tidak akan tersinggung kalau kita pakai pin itu. Kalau kita pakai pin salib meskipun dari emas orang bisa tersinggung karena membuat batas. Tapi kalau kita memakai pin itu, simbol itu (simbol GKJ) orang lain akan damai-damai saja. Hal ini karena lihat gunungan itu malah seneng itu. Jadi
109
82 persoalan sosialnya itu muncul nanti identitas yang hilang membuat kita tidak hanya kehilangan identitas secara personal tapi kita juga kehilangan
relasi. (LES)110
Bagi orang Kristen, salib adalah simbol yang penting. Namun GKJ tidak
menggunakan simbol tersebut secara terang-terangan. Menurut narasumber salib
yang ada dimaknai dalam hubungan vertikal dan horisontal sebagaimana telah
dituliskan dalam petikan wawancara di atas. Simbol-simbol yang ada di atas dianggap
sudah mewakili keberadaan GKJ tanpa menebalkan garis batas di antara GKJ dengan
konteks keberagaman yang ada di masyarakat. Dalam proses wawancara itu juga
disebutkan bahwa Jawa itu inklusif. Dengan demikian diharapkan GKJ tidak
menebalkan batas identitas sekaligus mau merangkul perbedaan yang ada di
masyarakat.