• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Penanggulangan (Represif)

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 28-41)

B. Upaya-Upaya Menanggulangi Kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap Istri di Wilayah Kabupaten Bantul

2. Upaya Penanggulangan (Represif)

Upaya represif merupakan suatu tindakan aktif yang dilakukan pada saat kejahatan terjadi supaya kejahatan yang terjadi dapat dihentikan (Elvina Anggun Hapsari dan Hartiwiningsih, 2015: 32). Sehingga, upaya represif merupakan suatu tindakan pengendalian kejahatan yang dilakukan setelah atau sesudah peristiwa terjadi. Tindakan represif sendiri dapat dilaksanakan dengan dua cara yakni secara persuasif dan secara koersif. Upaya represif yang meliputi persuasif dan koersif untuk menanggulangi kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul berikut ini saling berkaitan dalam praktiknya.

a. Upaya Persuasif

Upaya persuasif adalah suatu tindakan penanggulangan kejahatan dengan tanpa melalui kekerasan atau dengan cara mengajak, menasihati, atau membimbing agar pelaku kejahatan bertindak dengan nilai dan norma di masyarakat (Elvina Anggun Hapsari dan Hartiwiningsih, 2015: 33).

Upaya persuasif yang dilakukan untuk menanggulangi kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri oleh para penegak hukum di wilayah Kabupaten Bantul berdasarkan penelitian lapangan oleh penulis yakni lebih diutamakan menggunakan pendekatan restorative justice. Restorative justice adalah suatu pendekatan yang menitikberatkan pada terciptanya suatu keadilan dan keseimbangan terhadap pelaku tindak pidana dan korbannya sendiri.

Mekanisme peradilan pidana yang memfokuskan pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi sehingga dapat commit to user

72

diciptakannya kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang dianggap lebih adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku.

(https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendeka tan-irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-?page=2 diakses pada Selasa 23 Maret 2021, pukul 08:47 WIB).

Untuk menghasilkan keadilan restorative justice tersebut tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul lebih diutamakan untuk diselesaikan dengan cara melakukan perdamaian antara pihak pelaku dan korban yang dikenal dengan mediasi penal. Mediasi penal merupakan penyelesaian dengan cara perdamaian atau lebih dikenal dengan musyawarah mufakat dengan mekanisme lembaga adat, terhadap penyelesaian perkara pidana dalam sistem peradilan yang dilakukan melalui diskresi pihak kepolisian (Dheny Wahyudhi dan Herry Liyus, 2020: 497).

Restorative justice terhadap perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri juga dilaksanakan oleh Satreskrim Unit PPA Polres Bantul. Saat terdapat kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri maka diambil langkah melalui mediasi yang melibatkan korban, pelaku, keluarga, tokoh masyarakat, dan kepolisian itu sendiri.

Menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, dalam suatu proses penyidikan dapat diberlakukan keadilan restoratif.

Syarat untuk dapat dipenuhinya restorative justice dalam penyidikan tersebut diatur dalam Pasal 12 sebagai berikut:

a. Syarat materiel, meliputi:

1. Tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat;

2. Tidak berdampak konflik sosial;

3. Adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum; commit to user

73 4. Prinsip pembatas:

a) Pada pelaku:

1) Tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan

2) Pelaku bukan residivis;

b) Pada tindak pidana dalam proses:

1) Penyelidikan; dan

2) Penyidikan, sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum.

b. Syarat formil, meliputi:

1. Surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);

2. Surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik;

3. Berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;

4. Rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif; dan

5. Pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.

Berdasarkan penelitian penulis walaupun telah terjadi penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri melalui mediasi secara damai, hal ini tidak serta membuat pelaku untuk tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istrinya lagi dikemudian hari. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Aipda Musthafa Kamal S.H. selaku Kepala Unit PPA Polres Bantul:

“Ada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang saya tangani tahun lalu sudah selesai melalui mediasi. Namun, tahun ini ada laporan lagi yang masuk dengan pelaku yang sama dan korban yang sama. Padahal sebelumnya sudah diselesaikan melalui mediasi bersama keluarga dan Bhabinkamtibnas. Sehingga hal ini diminta pelapor untuk diselesaikan secara hukum karena telah terjadi berulang kali. Memang beberapa kasus yang telah diselesaikan melalui mediasi dalam jangka waktu satu atau dua tahun korban melaporkan kembali dengan kasus kekerasan yang sama.” (Hasil wawancara dengan Aipda Musthafa Kamal, S.H.

selaku Kepala Unit PPA Polres Bantul, Kamis 28 Januari 2021, Pukul 09:35 WIB).

Hal ini sejalan dengan teori Lenore Walker dan Mark Constanzo yang dikutip oleh Aroma Elmira Martha dalam bukunya Perempuan commit to user

74

dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Indonesia dan Malaysia (2012:

03-04) dalam suatu penganiayaan yang melibatkan suatu hubungan terdapat tiga fase berulang yakni tension, building-battering, dan contrition. Fase pertama yakni terjadi suatu akumulasi ketegangan emosional dan insiden penganiayaan ringan. Meskipun istri terus berupaya menenangkan suami yang terus menyiksanya, pada akhirnya insiden ini akan meledak dalam bentuk insiden penyiksaan yang serius yakni fase penganiayaan akut. Lalu pada fase ketiga, suami (atau dalam hal ini penganiaya) merasakan penyesalan yang mendalam dan korban diperlakukan dengan baik dan berjanji tidak akan menyakiti istrinya lagi. Namun, siklus penganiayaan tersebut akan terulang kembali bahkan semakin berat dan semakin sering terjadi. Sehingga perempuan yang terjebak dalam hubungan seperti itu akan mengalami “learned helplessness” atau belajar menerima ketidakberdayaan dan menjadi

“submissive” atau penurut. Dikarenakan hal tersebut perempuan mampu bertahan menghadapi penganiayaan jangka panjang dari waktu ke waktu dan menyerah kepada penderitaannya serta tidak mampu menolak atau meninggalkan penganiayanya.

Sehingga berdasarkan paparan di atas, perlunya perhatian dalam proses penanganan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri melalui pendekatan restorative justice dengan model mediasi penal agar tidak serta merta menghentikan proses penanganan pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang mana akan berdampak pada gugurnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Angka 2 huruf f juga menegaskan bahwa prinsip keadilan restoratif atau restorative justice tidak bisa dimaknai sebagai suatu metode penghentian perkara secara damai, tetapi lebih luas lagi yakni pada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya yang

commit to user

75

melibatkan korban, pelaku dan masyarakat setempat serta penyelidik maupun penyidik sebagai mediator.

Di Kejaksaan Negeri Bantul sendiri juga menerapkan pemdektan restorative justice sebagai upaya persuasif dalam penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri yang dilaksanakan dalam tahap penuntutan. Hal ini diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Penutupan perkara demi kepentingan hukum salah satunya dilakukan dalam hal telah adanya suatu penyelesaian perkara di luar pengadilan. Penyelesaian perkara di luar pengadilan dalam tahap penuntutan ini yakni menggunakan pendekatan restorative justice yang dilaksanakan oleh Penuntut Umum secara bertanggung jawab dan diajukan secara berjenjang kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.

Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif menegaskan bahwa perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;

b. Tindak pidana tersebut hanya diancam dengan pidana denda ataupun dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan c. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tidak lebih dari Rp.

2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Sebagaimana syarat di atas, terhadap tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang, ketentuan pada Pasal 5 ayat (1) huruf c dapat dihapuskan.

Pasal 5 ayat (6) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif juga menegaskan syarat penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yakni:

commit to user

76

a. Telah adanya pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilaksanakan oleh Tersangka dengan cara:

1. Mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;

2. Mengganti kerugian korban;

3. Mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;

dan/atau

4. Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;

b. Telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka;

c. Masyarakat merespon positif.

Terhadap syarat di atas, jika telah terjadi kesepakatan antara Korban dan Tersangka, syarat Pasal 5 ayat (6) huruf a dapat dikecualikan. Jika syarat penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tersebut telah terpenuhi maka akan digunakan Penuntut Umum sebagai pertimbangan untuk menentukan dapat atau tidaknya berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan.

Untuk mencapai restorative justice terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri maka Penuntut Umum menawarkan upaya perdamaian yang dilaksanakan pada tahap penuntutan yakni pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua). Dalam upaya perdamaian ini Penuntut Umum berperan sebagai fasilitator dan jika diperlukan upaya perdamaian ini dapat melibatkan keluarga Korban/Tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, serta pihak-pihak lain yang terkait. Jika proses perdamaian tersebut tercapai maka Korban dan Tersangka membuat kesepakatan damai di hadapan Penuntut Umum secara tertulis. Kesepakatan tersebut dapat disertai pemenuhan kewajiban tertentu maupun tanpa pemenuhan kewajiban tertentu.

Menurut penelitian penulis tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul sendiri terdapat tiga macam bentuk yang sering terjadi yakni kekerasan fisik, penelantaran rumah tangga, dan kekerasan psikis. Untuk kekerasan fisik sendiri, pasal yang sering dipergunakan adalah Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang-Undang-Undang commit to user

77

Nomor 23 Tahun 2004, sehingga pidana penjara masing-masing pasal tersebut maksimal 5 (lima) tahun dan 4 (empat) bulan. Sedangkan untuk kekerasan psikis dan penelantaran dalam rumah tangga maksimal pidana penjaranya kurang dari 5 (lima) tahun. Sehingga, untuk dilakukannya restorative justice terbatas oleh delik tertentu yang diancam pidana penjara maksimum tidak lebih dari 5 (lima) tahun saja.

Berdasarkan wawancara Penulis dengan Aipda Musthafa Kamal S.H., Ani Suparjati S.H. dan Sulisyadi S.H., M.H., sendiri menyatakan bahwa Restorative Justice melalui mediasi penal terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri tidak menjamin suami tidak akan melakukan kekerasan yang sama lagi dikemudian hari.

Sehingga untuk mengatakan apakah restorative justice melalui mediasi penal dapat dikatakan merupakan sistem paling adil terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri, Sulisyadi S.H.

M.H., menegaskan sebagai berikut:

“Jika berbicara adil atau tidak sebenarnya itu relatif ya, Mbak.

Namun, bagi saya restorative justice ini merupakan terobosan yang luar biasa. Karena apa? Melalui restorative justice ini yang pertama dapat mengurangi tingkat hunian di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan yang saat ini bisa dikatan sudah overcapacity. Kedua, memberikan keadilan yang sebenarnya pada masyarakat.” (Hasil wawancara dengan Sulisyadi S.H., M.H., selaku Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Bantul, Kamis,25 Februari 2021, Pukul 15:00 WIB).

Sehingga agar restorative justice melalui mediasi penal terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dapat berjalan dengan baik maka perlu diperhatikannya prinsip-prinsip penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non-diskriminasi, dan perlindungan korban (Sandy Ari Wijaya, 2014: 521-522). Sehingga tujuan hukum yang berupa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dapat terlaksana melalui mediasi penal terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri.

Berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul di atas commit to user

78

dipengaruhi oleh faktor biososiologis yang dikemukakan oleh Cesare Lombrosso dan Enrico Ferri. Sehingga, seseorang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri memiliki kecenderungan sifat agresif. Dari perspektif tersebut, pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri seharusnya mendapatkan upaya persuasif berupa konseling. Konseling terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sendiri telah ditegaskan dalam Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di mana ditegaskan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Namun, berdasarkan penelitian lapangan oleh penulis pidana tambahan berupa konseling terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul belum pernah dilaksanakan. Seperti yang disampaikan oleh Dr. Mohammad Amrullah S.H., M.H. sebagai berikut:

“Selama ini belum ada lembaga yang menawarkan atau mempublikasikan sebagai lembaga yang dapat menangani konseling terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga jika kami memberikan putusan pidana tambahan mengenai konseling siapa yang akan mengeksekusi?

Apakah konseling terhadap pelaku tersebut menggunakan biaya dari terdakwa sendiri atau ada lembaga sosial yang secara sukarela ataupun memiliki anggaran sendiri untuk memberikan konseling?” (Hasil wawancara dengan Dr. Mohammad Amrullah, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bantul Kelas I B, Rabu 17 Maret 2021, Pukul 10:50 WIB).

Terkait dengan konseling terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri Ani Suparjati, S.H.

memberikan keterangan sebagai berikut:

“UPTD PPA Kabupaten Bantul belum pernah menerima konseling untuk pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri ya selama ini. Hal ini dikarenakan UPTD PPA lebih fokus ke dalam penanganan perempuan dan anak sebagai korban kekerasan yaitu berupa konseling psikologis, shelter, kesehatan, hukum, rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial. Selain itu hingga commit to user

79

saat ini UPTD PPA Kabupaten Bantul belum memiliki konselor psikologis laki-laki yang dirasa lebih mampu menangani pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri, seperti itu.” (Hasil wawancara dengan Ani Suparjati S.H., selaku Konselor Hukum UPTD PPA Kabupaten Bantul, Jumat 05 Februari 2021, Pukul 09:30 WIB).

Begitupula Rutan Kelas II B Kabupaten Bantul tidak menyediakan konseling terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri. Tidak ada upaya perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhdap istri di Rutan Kelas II B Kabupaten Bantul, hanya terdapat upaya pembinaan yang berlaku sama bagi semua tahanan dan narapidana yang terdiri dari pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian.

“Pembinaan kemandirian berupa pemberian kegiatan ketrampilan seperi mengelas, menganyam, membuat meuble, dan sebagainya untuk memberikan keahlian kepada para tahanan dan narapidana.

Pembinaan kepribadian dibagi menjadi pembinaan kerohanian dan pembinaan kebangsaan. Pembinaan kerohanian itu seperti kegiatan beribadah seperti belajar mengaji dan sholat bagi yang muslim serta pendampingan rohani dari gereja bagi non-muslim.

Pembinaan kebangsaan seperti baris-berbaris untuk melatih kedisiplinan” (Hasil wawancara dengan Joko Sulistiyo, S.H.selaku Kasubsi Pelayanan Tahanan Rutan Kelas II B Kabupaten Bantul, Senin 08 Februari 2021, Pukul 13:00 WIB.) Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri, Andri Rahmanto, menyatakan belum pernah mendapatkan konseling selama berada di Rutan Kelas II B Kabupaten Bantul, “Belum pernah (re: mendapatkan konseling). Saya mendapatkan pembinaan seperti membaca iqro dan olahraga, jadi tahu arti islam.” (Hasil wawancara dengan Andri Rahmanto bin Darno Rejo selaku pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri, Senin 08 Februari 2021, Pukul 13:45 WIB).

Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa alasan hakim belum dapat menerapkan pidana tambahan berupa penetapan konseling terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yakni:

Pertama, instrumennya belum jelas atau tidak diatur secara rinci oleh commit to user

80

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kedua, belum ada lembaga yang jelas untuk menangani konseling pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Ketiga, belum adanya sosialisasi mengenai konseling terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.

Sehingga, untuk pelaksanaan penetapan konseling terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga ke depannya perlu memperhatikan beberapa hal agar dapat terlaksana secara efektif yakni:

Pertama, perlu adanya revisi atau penyempurnaan terhadap Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 agar lebih jelas dan dapat diimplementasikan oleh hakim. Kedua, perlu adanya aturan lanjutan lembaga mana yang ditunjuk dalam pelaksanaan konseling ini beserta komposisi timnya. Ketiga, perlunya adanya penyusunan bagaimana prosedur pelaksanaan, pengawasan, serta laporan berjalannya proses konseling terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga.

Selain upaya penanggulangan secara persuasif terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri, dilakukan pula terhadap korban. Hal ini dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Bantul. Bantuan yang diberikan oleh UPTD PPA kepada korban kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri diantaranya berupa konseling psikologis, shelter, kesehatan, hukum, rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial.

Konseling psikologis yakni diberikan saat korban membutuhkan pendampingan secara psikis yang diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga yang ia alami. Shelter diberikan saat korban membutuhkan tempat atau rumah aman dikarenakan tidak memiliki tempat berlindung di rumahnya. Shelter diberikan selama 7 (tujuh) hari maksimal 14 (empatbelas) hari. Kesehatan yakni saat korban kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri membutuhkan pengobatan maka akan dirujuk ke mitra rumah sakit dan puskesmas yang telah ditanggung commit to user

81

oleh Balai Penyelenggara Jaminan Kesehatan Sosial (Bapel Jamkesos).

Pelayanan dalam bidang hukum yakni konsultasi hukum dan pendampingan hukum dalam proses hukum, seperti bagaimana cara membuat laporan polisi, dan saat dimintai keterangan sebagai saksi korban di persidangan. Rehabilitasi sosial yakni merupakan bantuan untuk mengembalikan korban ke dalam masyarakat dan keluarga, jika diperlukan membuat rujukan agar korban melakukan pelatihan kerja di Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Wanita (BPRSW) Yogyakarta. Sedangkan bantuan berupa reintegrasi sosial hingga saat ini yang masih cukup jarang dilakukan karena dinilai cukup sulit dan membutuhkan waktu yang lama yakni menyatukan kembali ke dalam masyarakat setelah terlibat suatu konflik sehingga tidak akan terjadi suatu pelabelan terhadap diri korban.

b. Upaya Koersif

Upaya koersif merupakan suatu bentuk penanggulangan kejahatan yang bersifat keras dan tegas. Sehingga, tindakan yang dilakukan yakni penggunaan kekerasan dan pemberian sanksi yang tegas oleh penegak hukum dalam rangka bekerjanya sistem peradilan pidana untuk menanggulangi kejahatan. Upaya koersif ini dilaksanakan melalui tahap penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan di pengadilan, pemberian putusan oleh hakim, dan pelaksanaan putusan (eksekusi) oleh jaksa. Upaya koersif terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dilakukan jika upaya mediasi penal ditolak oleh Korban atau Pelaku dan tidak tercapainya suatu kesepakatan damai.

Seperti yang telah dipaparkan pada bagian upaya persuasif bahwa upaya mediasi dilaksanakan oleh pihak kepolisian, dalam hal ini Satreskrim Unit PPA Polres Bantul, di tahap penyelidikan dan penyidikan atau sebelum SPDP (Surat Pemberitahuan Dalam Penyidikan) dikirimkan ke Penuntut Umum. Maka, jika mediasi gagal atau korban menghendaki agar pelaku diproses hukum pihak kepolisian commit to user

82

perlu melimpahkan perkara tersebut ke Kejaksaan dan melengkapi berkasnya hingga dianggap P21 agar dilakukan tahap penuntutan oleh kejaksaan.

Kendala Satreskrim Unit PPA Polres Bantul dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara koersif tidak terdapat kendala yang cukup berarti. Kendala yang pertama yaitu dalam menentukan unsur-unsur tindak pidana dalam penelantaran rumah tangga. Dalam pasal tersebut tidak dijelaskan secara rinci terkait batas waktu minimal dapat dikatakan sebagai penelantaran rumah tangga, seperti sejak kapan tidak diberikan nafkah itu belum terdapat batasan waktunya. Lalu kendala lainnya yakni dalam alat bukti, walaupun dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan bahwa alat bukti kekerasan dalam rumah tangga sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Namun, kadang kali hal itu dianggap kurang sehingga memerlukan alat bukti lainnya seperti keterangan saksi selain korban. Keterangan saksi selain korban tersebut misalnya tetangga itu juga sulit dimintai keterangan, karena kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai ranah pribadi atau privat sehingga mereka sebagai tetangga merasa tidak berhak untuk ikut campur.

Begitupula jika dalam tahap penuntutan upaya perdamaian ditolak oleh Korban atau Tersangka dan tidak tercapainya kesepakatan damai maka Penuntut Umum menuangkan tidak tercapainya upaya atau kesepakatan perdamaian dalam berita acara, membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya, dan melimpakan berkas ke pengadilan.

Dalam melakukan dakwaan kepada pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri, Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Bantul sering menggunakan dakwaan alternatif.

Bentuk dakwaan ini sering dipergunakan Bentuk dakwaan ini dipilih commit to user

83

apabila belum didapatkan kepastian mengenai tindak pidana mana yang

apabila belum didapatkan kepastian mengenai tindak pidana mana yang

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 28-41)

Dokumen terkait