• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

44 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap Istri di Wilayah Kabupaten Bantul

Etiologi kriminal adalah salah satu komponen kriminologi yang berfokus pada penemuan dan penelitian penyebab perilaku kriminal. Mengetahui penyebab kekerasan dalam rumah tangga bisa menjadi kunci untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga dari masyarakat kita. Dengan mengenali akar masalah penyebab kejahatan, akan dapat diproyeksikan intervensi hukum dan non-hukum seperti apa yang paling tepat. Seberapa jauh tingkat ketercelaan perbuatan ini, mengingat akar penyebabnya akan berpengaruh terhadap proses pembentukan hukum. Pemahaman terhadap akar masalah yang melatarbelakangi kemunculan kekerasan dalam rumah tangga juga berpengaruh terhadap pemilihan dan penentuan reaksi paling tepat terhadap pelanggaran hukum tersebut.

Perlu diperhatikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga mempunyai karakter yang berbeda dibandingkan dengan kekerasan lainnya. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu kejahatan yang tersembunyi. Di antara pelaku dan korban mempunyai hubungan yang dekat atau intim dan adanya kebergantungan. Relasi intim tersebut menyebabkan korban sulit untuk melepaskan diri dari relasi yang abusive (kasar) tersebut.

Menurut data yang diperoleh Penulis dari UPTD PPA Kabupaten Bantul jumlah kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dalam kurun waktu tahun 2017 hingga 2020 di Kabupaten Bantul akan dijelaskan dalam tabel di bawah ini:

commit to user

(2)

45 Tabel 3.1

Data Jumlah Pengaduan Kekerasan Terhadap Perempuan di Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten

Bantul Tahun 2017-2020

No. Tahun Istri Anak Keluarga Pacar Lainnya Jumlah

1. 2017 52 4 2 5 22 85

2. 2018 41 7 2 4 28 82

3. 2019 53 14 6 1 30 104

4. 2020 54 7 5 3 16 85

Sumber: Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Bantul

Pada data di atas jumlah pengaduan kasus kekerasan terhadap istri pada tahun 2017 mencapai 52 (lima puluh dua) kasus dari total 85 (delapan puluh lima) kasus pengaduan kekerasan terhadap perempuan. Lalu, pada tahun 2018 jumlah pengaduan kasus kekerasan terhadap istri mengalami penurunan dengan jumlah 41 (empapuluh satu) kasus dari total 82 (delapanpuluh dua) kasus pengaduan kekerasan terhadap perempuan. Di tahun 2019, pengaduan kasus kekerasan terhadap istri menalami kenaikan yakni mencapai 53 (limapuluh tiga) kasus dari total 104 (seratus empat) kasus pengaduan kekerasan terhadap perempuan. Selanjutnya, di tahun 2020 sendiri pengaduan kekerasan terhadap istri mengalami peningkatan paling tinggi di antara tahun 2017 hingga 2020 yakni mencapai 54 (limapuluh empat) kasus. Dapat disimpulkan bahwa ditiap tahunnya pengaduan kasus kekerasan terhadap istri merupakan pengaduan kasus paling banyak dibandingkan kekerasan terhadap perempuan yang lainnya.

Sedangkan, untuk bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dalam kurun waktu tahun 2017 hingga 2020 menurut data yang diperoleh Penulis melalui Satreskrim Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Bantul akan dijelaskan melalui tabel berikut ini:

commit to user

(3)

46 Tabel 3. 2

Data Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Istri di Satreskrim Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Bantul Tahun

2017-2020

Sumber: Satreskrim Unit PPA Polres Bantul

Pada tahun 2017 data kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di Satreskrim Unit PPA Polres Bantul mencapai 12 kasus, dengan rincian 9 (sembilan) kasus kekerasan fisik, 2 (dua) kasus kekerasan psikis, dan 1 (satu) kasus penelantaran rumah tangga. Kenaikan laporan kasus dalam rumah tangga terhadap istri paling tinggi dari tahun 2016 hingga 2020 yakni pada tahun 2018 yang mencapai 16 (enambelas) kasus dengan rincian 9 (sembilan) kasus kekerasan fisik dan 7 (tujuh) kasus penelantaran rumah tangga. Pada tahun 2019 laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri mengalami penurunan yakni terdapat 12 (duabelas) kasus dengan rincian 7 (tujuh) kasus kekerasan fisik dan 5 (lima) kasus penelantaran rumah tangga. Selanjutnya, laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri mengalami kenaikan menjadi 13 (tigabelas) kasus dengan rincian 8 (delapan) kasus kekerasan fisik, 1 (satu) kasus kekerasan psikis, dan 4 (empat) kasus penelantaran rumah tangga.

Dari data laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di Satreskrim Unit PPA Polres Kabupaten Bantul Tahun 2017-2020 tersebut dapat disimpulkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri paling banyak dalam bentuk fisik yakni berjumlah 33 (tigapuluh tiga) kasus, diikuti dengan penelantaran rumah tangga sebanyak 17 (tujuhbelas) kasus, kekerasan psikis sebanyak 3 (tiga) kasus, dan belum pernah terdapat laporan kekerasan seksual terhadap istri selama kurun waktu tersebut.

No Tahun Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Jumlah Fisik Psikis Penelantaran Seksual

1. 2017 9 2 1 - 12

2. 2018 9 - 7 - 16

3. 2019 7 - 5 - 12

4. 2020 8 1 4 - 13

commit to user

(4)

47

Menurut data yang diperoleh Penulis dari Rutan Kelas II B Kabupaten Bantul jumlah warga binaan sebagai pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul tahun 2017 hingga 2020 akan dipaparkan dalam tabel berikut:

Tabel 3.3

Daftar Warga Binaan Rutan Kelas II B Kabupaten Bantul yang Melakukan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Istri di Wilayah

Kabupaten Bantul Tahun 2017-2020

Tahun Nama Pasal Kejahatan Hukuman

2017 Adi Cahyono (alias Diduk) bin Alm. Tukiyantoro

Pasal 44 ayat (1) 10 Bulan

Samsudin bin Hadi Harjono Pasal 44 ayat (1) 4 Bulan

Bambang Haryanto bin Suhardi Pasal 44 ayat (4) 1 Bulan 15 Hari Endriyanto bin Alm. Harso

Suprapto

Pasal 44 ayat (1) 6 Bulan

Anan Eka Mulya Arinendes bin Mulyadi

Pasal 44 ayat (4) 1 Bulan 15 Hari

2018 Sukatman bin Siswanto Pasal 49 huruf (a) 15 Hari Robertus Heru Yulianto bin

Markus Widiyanto

Pasal 44 ayat (1) 2 Bulan 15 Hari

Aep Saepudin bin Alm. Tahmit Pasal 44 ayat (4) 1 Bulan 15 Hari 2019 Danang Anton Pamungkas bin

Alm. Sujud Purwanto Atmojo

Pasal 49 huruf (a) 1 Bulan

Suratman bin Alm. Mitro Utomo

Pasal 49 huruf (a) 1 Bulan

Paryadi bin Ngatiran/Kadi Priyanto

Pasal 44 ayat (4) 1 Bulan

Septika Tri Haryanta bin Alm.

Suharjiyo

Pasal 44 ayat (1) 9 Bulan

Iskandarsah bin Ismail commit to user Pasal 44 ayat (1) 1 Tahun

(5)

48

Tahun Nama Pasal Kejahatan Hukuman

2019 Suryanto bin Alm. Imo Pawiro Pasal 44 ayat (1) 8 Bulan 2020 Sayogyo Tri Yuliarto bin

Sugiarto

Pasal 49 huruf (a) 1 Bulan

Waluyo bin Piyo Maryoto Pasal 44 ayat (1) 2 Bulan Tri Nurwanto bin Dulah

Suprapto

Pasal 44 ayat (1) 3 Bulan

Ardani Restu Nugraha bin Chamdani

Pasal 44 ayat (1) 2 Bulan

Andri Rahmanto bin Darno Rejo

Pasal 44 ayat (1) 3 Bulan

Sumber: Rutan Kelas II B Kabupaten Bantul

Di Rutan Kelas II B Kabupaten Bantul yakni terdiri dari tahanan dan narapidana dengan masa hukuman kurang dari satu tahun atau lebih dari satu tahun dengan ketentuan ia telah memiliki keterampilan khusus. Hukuman terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga di wilayah Kabupaten Bantul sendiri dari tahun 2017 hingga 2020 kesemuanya kurang dari satu tahun hingga satu tahun sehingga ditempatkan di Rutan Kelas II Kabupaten B Bantul.

Khusus untuk warga binaan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri yang masih aktif saat Penulis melakukan penelitian di Rutan Kelas II B Kabupaten Bantul hanya terdapat 1 (satu) orang yakni atas nama Andri Rahmanto bin Darno Rejo. Andri Rahmanto sendiri melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya, Dian Ari Ati, dikarenakan istrinya menanyakan perihal foto lipstik dan gelang emas beserta suratnya yang ada di ponsel pelaku. Lalu saat korban akan kembali ke kamar tidur yang terpisah, pelaku langsung memukuli kepala korban dan menginjak perut korban. Selanjutnya korban diseret sambil dipukuli dan dibenturkan ke tralis jendela kemudian korban ditendang sebanyak tiga kali dan dilempar dengan keranjang pakaian. Pelaku melakukan hal tersebut karena tidak senang bila ponselnya dilihat oleh korban. Oleh karena kejadian tersebut korban diharuskan untuk istirahat selama tiga hari dan tidak bisa melakukan aktivitasnya sebagai penjual makanan dan minuman di warungnya. commit to user

(6)

49

Kekerasan dalam rumah tangga sendiri merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multifaktor. Faktor biologis, psikologis, maupun sosiologis menjadi faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Penulis akan menjelaskan faktor-faktor kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul menggunakan Teori Biososiologis yang merupakan gabungan dari teori Cesare Lombrosso dan Enrico Ferri. Di mana Cesare Lombroso lebih menekankan pada faktor biologis sebagai penyebab terjadinya suatu kejahatan. Sedangkan muridnya, Enrico Ferri, memberi penekanan adanya saling keterhubungan dari faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik sebagai penyebab suatu kejahatan. Enrico Ferri berpendapat bahwa suatu kejahatan bisa dijelaskan melalui interaksi antara faktor fisik (ras, geografi, dan temperatur) dan faktor sosial (umur, jenis kelamin, dan berbagai variabel psikologis) (Topo Santosa dan Eva Achjani Zulfa, 2019:

39). The Dominance atau Radical Feminism Theory yang merupakan bagian dari Teori Hukum Feminis juga digunakan untuk menjelaskan faktor diskriminasi struktural gender yang berkembang di masyarakat sebagai penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul.

Berdasarkan hasil penelitian penulis di Satreskrim Unit PPA Polres Bantul, UPTD PPA Kabupaten Bantul, Rutan Kelas II B Bantul, Kejaksaan Negeri Bantul, dan Pengadilan Negeri Bantul Kelas I B terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi pelaku untuk melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul. Faktor-faktor tersebut ialah sebagai berikut:

1. Ketidakadilan Gender

Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Bantul masih diwarnai dengan diskriminasi gender dalam masyarakat. Gender sendiri merupakan behavioral differences (perbedaan perilaku) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan bukan kodrat atau yang ditentukan Tuhan melainkan diciptakan manusia melewati proses sosial dan kultural yang panjang. Sehingga, gender dapat commit to user

(7)

50

berubah dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah (Riant Nugroho, 2008: 3).

Perbedaan gender terbentuk oleh beberapa hal, salah satunya yaitu konstruksi sosial atau budaya. Perbedaan gender sesungguhnya tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan gender inequalities (ketidakadilan gender). Namun, hal ini akan menimbulkan suatu permasalahan jika menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan utamanya terhadap kaum perempuan (Riant Nugroho, 2008:

9). Bentuk-bentuk ketidakadilan gender itu sendiri yakni berupa:

a) Subordinasi, yakni perempuan ditempatkan pada posisi subordinat atau pelengkap terhadap laki-laki sebagai pemegang ordinat. Contoh subordinasi di ranah domestik yakni suami ditempatkan sebagai pengambil keputusan yang utama di dalam keluarga dibandingkan istri (Sulistyowati Irianto dan Lidwina Inge Nurtjahjo, 2020: 79).

b) Marginalisasi, yakni pemahaman yang melihat perbedaan perempuan dan laki-laki yang menyebabkan pembedaan atau pemisahan peran domestik bagi perempuan dan peran publik bagi laki-laki sehingga menempatkan posisi laki-laki lebih superior daripada perempuan.

Dalam hitungan produktivitas dan pendapatan, sektor domestik tidak diakui oleh negara sebagai sektor produktif yang berkontribusi terhadap pendapatan dan produktivitas suatu negara. Sehingga, para perempuan yang berkontribusi di ranah domestik tidak dinilai sebagai kaum produktif dan menyebabkan posisinya termarjinalisasi sehingga menjadi miskin. Jikalaupun seorang istri di sektor domestik dihargai, itu sekadar dianggap pengabdian dan pelayanan yang seharusnya diberikan oleh para istri yang diganjar dengan pahala. Proses marginalisasi yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi terhadap anggota keluarga perempuan serta diperkuat oleh adat istiadat maupun

commit to user

(8)

51

tafsir keagamaan (Sulistyowati Irianto dan Lidwina Inge Nurtjahjo, 2020: 84-85).

c) Kekerasan terhadap Perempuan, yakni merupakan invansi atau serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang yang dilakukan terhadap perempuan sebagai akibat dari perbedaan gender. Bentuk dari kekerasan ini seperti pemerkosaan dan pemukulan hingga pada bentuk yang lebih halus lagi seperti pelecehan dan penciptaan ketergantungan (Riant Nugroho, 2008: 13).

d) Pelabelan Negatif atau Stereotyping, yakni pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang disebabkan oleh pemahaman sifat fisik yang nampak maupun dari sudut pandang gender. Misalnya, anggapan dari masyarakat yang melihat bahwa tugas perempuan adalah melayani suami, anggapan laki-laki adalah pencari nafkah maka setiap pekerjaan perempuan dinilai sekadar tambahan dan dibayar lebih rendah daripada laki-laki, anggapan bahwa perempuan bersolek untuk memancing perhatian lawan jenis sehingga pada kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual perempuan merupakan korban yang disalahkan (Riant Nugroho, 2008: 12).

e) Beban Kerja, yakni peran gender perempuan dalam anggapan masyarakat luas adalah mengelola rumah tangga sehingga banyak perempuan yang menanggung beban kerja domestik lebih banyak dibandingkan laki-laki. Bahkan bagi kalangan keluarga miskin beban yang ditanggung perempuan akan lebih berat karena ia harus bekerja diluar sehingga harus memikul beban kerja yang ganda (Riant Nugroho, 2008: 16).

commit to user

(9)

52 Tabel 3.4

Data Jumlah Pengaduan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA)

Kabupaten Bantul Tahun 2017-2020

No. Tahun Jumlah Pengaduan KDRT Jumlah

Laki-Laki Perempuan L P

Tidak Ya Tidak Ya

1. 2017 16 2 33 52 18 85

2. 2018 18 1 37 45 19 82

3. 2019 24 6 43 61 30 104

4. 2020 11 11 31 54 22 85

Sumber: Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Bantul

Dapat dilihat dalam tabel di atas, bahwa pada tahun 2017 pengaduan kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan jauh yakni mencapai 85 (delapanpuluh lima) pengaduan yang 52 (limapuluh dua) diantaranya terbukti sebagai kasus kekerasan dalam rumah tangga. Pada tahun 2018 secara keseluruhan pengaduan terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga turun menjadi 101 (seratus satu) kasus, kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan pada tahun 2018 yakni mencapai 45 (empatpuluh lima) kasus. Kenaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan paling banyak mengalami kenaikan pada tahun 2019 yakni mencapai 61 (enampuluh satu) kasus. Pada tahun 2020 sendiri pengaduan terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan mengalami penurunan kasus sehingga menjadi 54 (limapuluh empat) kasus. Dapat disimpulkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga lebih rentan terhadap perempuan dibandingkan dengan laki-laki, walaupun terdapat kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap laki-laki akan tetapi kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki di setiap tahunnya. commit to user

(10)

53

Di Kabupaten Bantul sendiri, melihat dari banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dapat disimpulkan bahwa secara sadar maupun tidak sadar, ketidakadilan gender dan budaya patriarki memiliki andil menjadi penyebab di dalamnya. Budaya yang tumbuh di masyarakat menempatkan laki-laki sebagai sosok yang superior jika dibandingkan dengan perempuan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu Ani Suparjati, S.H., sebagai berikut:

“Faktor terjadinya kekerasan terhadap istri dipengaruhi diskriminasi konstruksi gender yang timbul akibat budaya patriarki.

Hal ini di Jawa itu berpengaruh. Ketika perempuan itu di rumah yang mengerjakan pekerjaan domestik yang cari uang suami. Di mana kekerasan digunakan untuk mengendalikan istrinya, struktur perempuan di masyarakat itu di bawah laki-laki sehingga kekerasan dalam rumah tangga tidak dipandang sebagai suatu bentuk penyimpangan” (Hasil wawancara dengan Ani Suparjati, S.H., selaku Konselor Hukum UPTD PPA Kabupaten Bantul, pada Jumat 05 Februari 2020 pukul 09.30 WIB).

Budaya patriarki masyarakat Jawa melahirkan ungkapan-ungkapan menyiratkan inferioritas wanita Jawa. Ungkapan-ungkapan tersebut seperti kanca wingking (wanita hanya mengurus dapur), swarga nunut neraka katut (wanita hanya bergantung pada suami), hal ini menegaskan bahwa wanita Jawa menduduki struktur bawah. Konsep tersebut begitu kuat dalam budaya Jawa sehingga menimbulkan perlakuan yang membatasi ruang gerak wanita. Contohnya konsep pingitan, di mana wanita dilarang bebas untuk beraktivitas, hal ini menjadikan wanita seharusnya menerima, pasrah, halus, sabar, setia, dan berbakti (Qurotul Uyun, 2002: 38-39).

Struktur posisi laki-laki di dalam masyarakat yang dianggap lebih mempunyai kuasa terhadap perempuan berpengaruh terhadap kehidupan rumah tangga. Contohnya, istri dalam masyarakat harus selalu melayani suaminya ketika suaminya meminta pelayanan dalam bentuk apapun.

Subordinasi ini akan menyebabkan timbulnya suatu kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri karena perempuan dianggap ditakdirkan untuk menjadi penurut, jika tidak maka itu dianggap menyalahi kodrat dan harus mendapat commit to user

(11)

54

suatu hukuman. Hal ini pula menyebabkan seorang istri kesulitan untuk menegaskan situasi dan kondisinya saat ia mengalami kekerasan dalam rumah tangga dengan suaminya sehingga istri kesulitan untuk melawan sehingga kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak yang tidak terlaporkan.

“Kontsruksi masyarakat yang menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki ini membuat posisi perempuan menjadi lemah dan rentan. Posisi ini juga membuat istri bergantung secara ekonomi terhadap suaminya. Sehingga suami menjadikan hal seperti ini untuk mengendalikan istri yang menyebabkan istri rentan menerima kekerasan dari suami.” (Hasil wawancara dengan Aipda Musthafa Kamal, S.H. selaku Kanit PPA Polres Bantul, Kamis 28 Januari 2021, 09:35 WIB).

Diskriminasi gender sesungguhnya tidak hanya berdampak negatif pada istri, akan tetapi hal ini juga berdampak negatif pada suami sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Mohammad Amrullah S.H., M.H.

sebagai berikut:

“…di dalam masyarakat terdapat budaya patriarki yang menganggap suami harus bekerja di luar rumah dan istri mengurus rumah. Sehingga, suami yang tidak bekerja dipandang sebelah mata, lalu untuk menunjukkan kekuasaannya, suami melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya.” (Hasil wawancara dengan Dr. Mohammad Amrullah S.H., M.H., selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bantul Kelas I B, pada Rabu 17 Maret 2021 pukul 10:50 WIB).

Dalam hal ini faktor diskriminasi gender sebagai penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dapat dihubungkan dengan teori hukum feminis khususnya pendekatan The Dominance atau Radical Feminism Theory. Hal ini sejalan dengan masyarakat Kabupaten Bantul di mana laki-laki mendominasi kelas yang ada di masyarakat sehingga perempuan merupakan kelas yang berada di bawah laki-laki. Hal ini diakibatkan karena peran gender tradisional menerima hierarki gender didominasi secara seksual sebagai sesuatu yang alamiah.

Apabila dihubungkan dengan teori kriminologi dalam perspektif biososiologis dari Enrico Ferri, maka pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri ini digolongkan sebagai tipe penjahat The Habitual Criminal. commit to user

(12)

55

Tipe penjahat tersebut memperoleh kebiasaannya dari lingkungan sosial.

Hal ini sejalan dengan diskriminasi gender merupakan suatu kebiasaan yang ada di masyarakat yang berangkat dari budaya patriarki setempat.

2. Masalah Ekonomi

Faktor ekonomi menjadi suatu permasalahan yang dianggap beresiko di masyarakat bahkan tidak hanya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga akan tetapi perilaku kriminal secara umum. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Marcela Tittlová dan Peter Papáček sebagai berikut:

“Nowadays, the social, financial and material factors undoubtedly can be considered as highly risky in the society. These mentioned factors often have the effect of creating an environment in which domestic violence will break out or it will escalate. The social situation, the financial circumstances or the economic situation of families are one of the most risky factors not only of domestic violence, but of criminal behavior in general.” (Marcela Tittlová dan Peter Papáček, 2018: 119).

Di Kabupaten Bantul sendiri jumlah penduduk miskin berdasarkan Statistik Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2020 cukup banyak, bahkan pada tahun 2020 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2019. Jumlah penduduk miskin 138. 660 (Seratus tigapuluh delapan ribu enam ratus enampuluh) orang pada tahun 2020, bertambah sebanyak sebanyak 7.500 (tujuh ribu lima ratus) orang atau sebesar 13,50% (persen) dari tahun 2019.

Perkembangan garis kemiskinan di wilayah Kabupaten Bantul juga menunjukkan peningkatan di tiap tahunnya. Tahun 2016 garis kemiskinan di wilayah Kabupaten Bantul mencapai Rp. 332. 057,00 /kapita/bulan, tahun 2017 yakni Rp. 347. 476, 00 /kapita/bulan, tahun 2018 yakni Rp. 369.480,00 /kapita/bulan, tahun 2019 yakni mencapai Rp. 381.538,00 /kapita/bulan, dan tahun 2020 mencapai Rp. 405.613,00 /kapita/bulan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul, 2020: 20). Seperti yang kita ketahui bahwa Garis Kemiskinan adalah representasi dari rupiah yang diperlukan atau harga yang dibayarkan agar penduduk dapat hidup layak secara minimum.

Jika pendapatan seseorang tidak mampu memenuhi garis kemiskinan tersebut maka ia hidup di bawah garis kemiskinan. commit to user

(13)

56

Permasalahan ekonomi merupakan faktor yang seringkali menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul. Hal ini dikarenakan ekonomi atau finansial merupakan penopang kebutuhan hidup seseorang, apabila seseorang telah berkeluarga tentu kebutuhan akan semakin tinggi jika tidak terdapat kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka akan timbul suatu konflik yakni kekerasan dalam rumah tangga baik berupa fisik maupun penelantaran rumah tangga.

Pertengkaran antara suami-istri tidak dapat dihindari apabila telah menyinggung permasalahan ekonomi. Bagi kalangan kelas ekonomi menengah ke bawah permasalahan ekonomi merupakan sesuatu yang sangat pelik. Apalagi di masa sekarang ini, harga kebutuhan pokok semakin meningkat akan tetapi tidak diimbangi dengan pendapatan yang belum tentu meningkat pula.

“Suatu kebutuhan keluarga yang tidak dapat diimbangi oleh suatu kemampuan untuk memenuhinya akan menyebabkan timbulnya suatu konflik. Jika telah menyinggung suatu permasalahan ekonomi, maka percekcokan suami istri akan terjadi. Hal ini sering terjadi pada suatu keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah, di mana jika harga-harga kebutuhan semakin meningkat akan tetapi pendapatan belum bisa mencukupinya. Hal ini disebabkan pula oleh stigma dalam masyarakat di mana seorang suami seharusnya mempunyai penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga akibat dari faktor ekonomi tersebut, suami melakukan kekersan terhadap istri sebagai bentuk pelampiasan karena merasa tidak mampu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.” (Hasil wawancara dengan Aipda Musthafa Kamal, S.H.

selaku Kanit PPA Polres Bantul, Kamis 28 Januari 2021, 09:35 WIB).

Dalam masyarakat terdapat suatu stigma bahwa suami seharusnya adalah seseorang yang bekerja dan mempunyai penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Stigma tersebut menjadikan tuntutan kepada suami menjadi berlebih. Padahal, tidak semua suami dapat memenuhi hal tersebut. Hal ini akan menyebabkan suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena ingin dianggap tetap mampu berkuasa atas rumah tangga mereka. commit to user

(14)

57

Contohnya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh Andri Rahmanto bin Darno Rejo terhadap istrinya Dian Ari Ati di atas. Andri Rahmanto bin Darno Rejo sendiri dalam kesehariannya tidak bekerja, sedangkan istrinya merupakan penjual kebutuhan sehari-hari di rumahnya. Dikarenakan mendapat tekanan karena dianggap tidak mampu menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga maka ia menunjukkan kekuasaannya sebagai seorang suami dengan melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya, Dian Ari Ati.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka seperti teori yang dikemukakan oleh Enrico Ferri bahwa kejahatan dipengaruhi oleh saling keterhubungan antara faktor fisik dan sosial termasuk di dalamnya faktor ekonomi. Rendahnya sosial ekonomi suatu keluarga akan menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri. Hal ini sejalan dengan kelompok penjahat The Habitual Criminals yakni mereka melakukan kejahatan akibat dari faktor lingkungan sosial.

3. Perselingkuhan dan Kecemburuan

Suatu rumah tangga dapat bertahan jika terpenuhinya komponen kesetiaan dan kepercayaan. Namun, tidak semua pasangan mampu mempertahankan kesetiaan tersebut. Dalam hal ini perselingkuhan dapat dilakukan oleh suami maupun istri. Wanita idaman lain dan/atau pria idaman lain kerap kali menjadi suatu pemicu keretakan sebuah rumah tangga.

Suami yang memiliki wanita idaman lain akan membuat seorang istri khawatir dan waspada apalagi saat ini marak istilah pelakor (perebut laki orang) atau merujuk kepada seorang wanita yang mengambil suami orang lain. Perselingkuhan tersebut akan menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan kepada sang istri. Rasa curiga dan cemburu tersebut akan membuat istri mendesak suaminya untuk mengakui perbuatan tersebut, hal ini akan membuat suami merasa terkekang dan emosi sehingga timbul suatu pertengkaran yang akan berujung suami melakukan kekerasan terhadap istrinya. commit to user

(15)

58

Sebagai contohnya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh Andri Rahmanto bin Darno Rejo terhadap istrinya Dian Ari Ati. Kekerasan dalam rumah tangga tersebut berawal saat istrinya mendapati foto lipstick dan gelang emas beserta suratnya di ponsel pelaku.

Dikarenakan curiga jika suaminya memiliki wanita idaman lain maka korban menanyakan dan mendesak pelaku untuk mengakui tentang kepemilikan benda tersebut. Oleh karena pelaku merasa terdesak dan tidak menyukai sikap istrinya yang membuka ponsel miliknya tanpa sepengetahuannya maka pelaku emosi dan melakukan kekerasan dalam bentuk fisik terhadap istrinya.

Perselingkuhan yang mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri tidak hanya dilakukan oleh suami, akan tetapi bisa juga dilakukan oleh seorang istri. Saat istri diketahui selingkuh oleh suami, maka suami akan merasa cemburu dan marah lalu bersikap agresif dengan melakukan kekerasan terhadap istri dengan dalih untuk mendisiplinkan istrinya. Hal ini sesuai dengan penuturan sebagai berikut:

“Faktor perselingkuhan dapat dilakukan oleh pihak suami maupun istri. Saat mengetahui pasangannya berselingkuh maka dia akan merasa marah dan melakukan tindakan agresif seperti penyerangan secara fisik. Contohnya pernah ada kasus di Kabupaten Bantul, di mana istrinya tertangkap selingkuh dengan laki-laki lain di sebuah penginapan. Suaminya yang datang memergoki perselingkuhan tersebut tersulut amarahnya lalu melakukan kekerasan terhadap istri dan selingkuhan istrinya.” (Hasil wawancara dengan Sulisyadi, S.H., M.H. selaku Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Bantul, Kamis, 25 Februari 2021, 15:00 WIB).

Jika dihubungkan dengan teori kriminologi yang menjelaskan kejahatan dalam perspektif biososiologis dari Cesare Lombroso, maka faktor penyebab tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam hal ini diklasifikasikan sebagai Criminal of Passion yakni seseorang yang melakukan kejahatan karea perasaan marah, cinta, maupun kehormatan.

4. Lingkungan Keluarga dan Pengalaman Masa Kecil

Unit terkecil dalam masyarakat adalah keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga sebagai lingkungan sosial pertama anak commit to user

(16)

59

merupakan sarana proses terjadinya sosialisasi yang sangat penting bagi karakter anak, sehingga seorang anak dapat berperilaku secara wajar sesuai norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat ditentukan oleh sosialisasi yang ada di dalam keluarga tersebut.

Peran ayah dan ibu sebagai proses belajar anak yang paling dasar sangat dibutuhkan karena anak akan menirukan perbuatan ayah dan ibunya, contohnya yakni dalam memperlakukan orang lain. Sehingga jika ayah memiliki peran yang sering melakukan kekerasan kepada istri, anak, maupun orang lain maka anak akan melakukan perbuatan yang sama terhadap anak dan istrinya kelak. Maka, rantai kekerasan dalam rumah tangga akan terus berputar.

Seperti yang dikatakan oleh Ibu Ani Suparjati, S.H., “Faktor pengalaman masa kecil dari orang tua cukup mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Bantul. Saat anak sering melihat orangtuanya bertengkar atau ayahnya melakukan kekerasan, anak cenderung menjadi temperamen.

Walaupun bukan berarti semua anak yang mengalami broken home menjadi temperamen.” (Hasil wawancara dengan Ani Suparjati, S.H., Konselor Hukum UPTD PPA Kabupaten Bantul, pada Jumat 05 Februari 2020 pukul 09.30 WIB).

Anak-anak yang menjadi saksi korban terjadinya suatu kekerasan dalam rumah tangga dapat mengalami gangguan fisik, mental, dan emosional. Pengalamannya dalam menyaksikan dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu peristiwa traumatis, apalagi kekerasan tersebut dilakukan oleh orang-orang terdekat bagi anak yang mana seharunya memberikan rasa aman akan tetapi justru memberikan kekerasan yang memunculkan rasa takut serta kemarahan. Jangka panjang yang ditimbulkan akibat hal ini yakni akan menunjukkan pengaruhnya pada masa dewasa seperti rentan terhadap depresi dan menunjukkan gejala traumatis hingga pada akhirnya beresiko tinggi menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga maupun dalam relasi intim.

Anak sebagai korban ketika membentuk keluarga sendiri, karena telah menginternalisasi nilai kekerasan sebagai hal yang biasa, cenderung melakukan hal yang serupa. Bahkan sekalipun ia mengerti bahwa itu commit to user

(17)

60

merupakan perbuatan yang tercela. Hal ini juga diungkapkan oleh Aipda Musthafa Kamal, S.H., sebagai berikut:

“Kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan di depan anak akan berefek secara psikologis terhadap anak tersebut. Sehingga saat dewasa anak tersebut akan melakukan hal yang sama, dalam hal ini kekerasan dalam rumah tangga, kepada keluarganya. Hal ini dikarenakan anak menirukan perilaku orang tuanya yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Jadi, anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menggunakan kekerasan, saat ia dewasa akan cenderung pula melakukan kekerasan kepada istrinya.” (Hasil wawancara dengan Aipda Musthafa Kamal, S.H. selaku Kanit PPA Polres Bantul, Kamis 28 Januari 2021, 09:35 WIB)

Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa anak laki-laki yang tumbuh dalam keluarga yang mengalami kekerasan mempunyai resiko tiga kali lipat untuk menjadi pelaku kekerasan terhadap istri dan keluarga mereka di masa depan. Sedangkan, anak perempuan yang merupakan saksi korban kekerasan dalam rumah tangga akan bertumbuh menjadi perempuan dewasa yang cenderung bersikap pasif dan mempunyai resiko tinggi menjadi korban kekerasan di keluarga mereka nantinya (Margaretha, dkk, 2013: 34).

Apabila hal ini dihubungkan dengan teori kriminologi dari Cesare Lombrosso maka faktor lingkungan keluarga dan trauma masa kecil ini tergolong sebagai Occasional Criminal yakni pelaku kejahatan yang didasarkan oleh pengalaman yang terus menerus sehingga memengaruhi pribadinya (Topo Santosa dan Eva Achjani Zulfa, 2019: 24). Begitupula Enrico Ferri menggolongkannya sebagai Occasional Criminal yakni suatu kejahatan yang merupakan produk dari suatu kondisi keluarga dan sosial yang melebihi problem fisik atau mental yang abnormal.

5. Pengonsumsi Miras atau Alkoholisme

Pengonsumsi miras atau alkoholisme menjadi sesuatu yang cukup meresahkan di masyarakat. Di wilayah Kabupaten Bantul ditemukan beberapa suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga saat berada di bawah pengaruh minuman beralkohol setelah berkumpul bersama kelompoknya. Pengonsumsi alkohol biasanya terjadi melalui suatu interaksi

commit to user

(18)

61

antar individu. Di mana interaksi tersebut akan mempengaruhi individu yang satu dengan lainnya yang lalu menghasilkan kelompok peminum.

Konsumsi alkohol atau alkoholisme yang berlebihan secara signifikan akan mempengaruhi perilaku kekerasan terhadap individu, hal ini juga berlaku untuk mempengaruhi perilaku kekerasan dalam rumah tangga.

Sebagaimana yang diungkapkan Ani Suparjati, S.H. sebagai berikut ini:

“Efek dari miras atau alkohol yang dikonsumsi secara berlebihan akan mempengaruhi tindakan orang tersebut menjadi agresif atau temperamental. Akibat dari miras atau alkohol tersebut maka suami secara tidak sadar melakukan kekerasan terhadap istrinya. Hal ini cukup sering menjadi faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga.” (Hasil wawancara dengan Ani Suparjati, S.H., Konselor Hukum UPTD PPA Kabupaten Bantul, pada Jumat 05 Februari 2020 pukul 09.30 WIB).

Dalam banyak penelitian, dijelaskan bahwa mengkonsumsi alkohol akan membantu melampiaskan situasi stres yang mengakibatkan perilaku agresif. “According to statistical surveys, it appears that on average up to 70 % of the aggressors were under the influence of alcohol or other drugs during the attacks.” (Marcela Tittlová dan Peter Papáček, 2018: 120).

Sehingga, seseorang yang berada di bawah pengaruh alkohol terbukti sering berperilaku agresif dan menjadi pelaku penyerangan dalam suatu tindakan kekerasan.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka Enrico Ferri menggolongkannya ke dalam kelompok penjahat yang memperoleh kebiasaan dari lingkungan sosial atau The Habitual Criminal.

6. Rendahnya Kecerdasan Intelektual dan Emosional

“Intelektual dan emosional itu berpengaruh dalam terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Ketika seseorang pendidikannya rendah maka seseorang tersebut terkadang sulit untuk mengendalikan emosionalnya. Namun, hal ini tidak menjamin bahwa orang yang berpendidikan tinggi tidak bisa melakukan tindak kekerasan, hanya saja prosentase yang berpendidikan rendah itu untuk melakukan kekerasan lebih tinggi dibanding orang yang berpendidikan tinggi.” (Hasil wawancara dengan Ani Suparjati, S.H., Konselor Hukum UPTD PPA Kabupaten Bantul, pada Jumat 05 Februari 2020 pukul 09.30 WIB). commit to user

(19)

62

Seseorang yang memiliki kecerdaan intelektual dan emosional yang tinggi akan memiliki pengalaman yang lebih tinggi dan luas dibandingnkan dengan individu yang memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang rendah. Mereka yang memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang tinggi akan lebih kritis dan rasional dalam menghadapi berbagai macam masalah serta mampu memikirkan akibat-akibat yang timbul di masa yang akan datang.

Seseorang yang memiliki pendidikan rendah atau rendah secara intelegensianya maka seseorang cenderung sulit untuk mengendalikan emosionalnya. Faktor kecerdasan emosional sendiri yakni meliputi mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan. Sehingga individu yang tidak mampu menangani dan mengenali emosinya sendiri, kurangnya empati terhadap pasangan, serta komunikasi yang buruk akan mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Jika dihubungkan dengan teori Cesare Lombrosso dan Enrico Ferri maka tipe penjahat ini termasuk dalam Insane Criminals. Insane Criminal bukanlah penjahat sejak lahir, mereka menjadi penjahat karena hasil dari beberapa perubahan dalam otak mereka yang mengganggu kemampuan mereka untuk membedakan antara yang benar dan yang salah.

7. Perkawinan di Bawah Umur

“Lingkungan masyarakat berpengaruh pada perkawinan di bawah umur atau perkawinan anak, karena faktor ekonomi orang tua menikahkan anak dan kurangnya pengawasan orang tua terhadap pergaulan anak menjadikan anak tersebut hamil di luar nikah.

Padahal dalam usia anak, anak belum mampu untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di rumah tangganya dengan baik.”

(Hasil wawancara dengan Dr. Mohammad Amrullah S.H., M.H., selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bantul Kelas I B, pada Rabu 17 Maret 2021 pukul 10:50 WIB).

Perkawinan di bawah umur atau perkawinan anak merupakan pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dikarenakan secara fisik, psikis, dan ekonomi seorang anak belum mampu terbentuk seutuhnya. Sehingga, anak sesungguhnya belum mampu untuk berumah commit to user

(20)

63

tangga. Hal ini berakibat mereka akan cekcok, belum mampu membendung emosi, terjadi kekerasan, dan belum mampu menyelesaikan persoalan- persoalan rumah tangga di dalamnya. Terjadinya perkawinan di bawah umur ini terjadi karena beberapa faktor seperti kurangnya control orang tua dalam pergaulan anak, tradisi menikah muda, paksaan orang tua untuk menikahkan anaknya karena faktor ekonomi dan lain sebagainya.

Di Kabupaten Bantul sendiri perkawinan di bawah umur memang cukup tinggi. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa berdasarkan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 7 ayat (1) ditegaskan bahwa, “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.” Hal ini dapat dilihat melalui data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Agama Bantul mengenai penetapan dispensasi kawin bagi anak di bawah umur.

Tabel 3.5

Data Jumlah Dispensasi Kawin Bagi Anak di Bawah Umur di Pengadilan Agama Bantul Tahun 2017-2021

No Tahun Jumlah

1 2017 75

2 2018 76

3 2019 123

4 2020 237

5 2021 (Sampai 01 April 2021) 51

Sumber: SIPP Pengadilan Agama Bantul

Dapat dilihat pada table di atas bahwa dispensasi kawin bagi anak di bawah umur meningkat di tiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2021 hingga pada tanggal 01 April 2021 terdapat 51 pengajuan dispensasi kawin bagi anak di bawah umur. Sejak tahun 2019 dispensasi kawin naik secara drastis hal ini dapat disebabkan karena ketentuan dalam batas usia minimum untuk menikah sebelumnya yakni 19 (sembilanbelas) tahun untuk laki-laki dan 16 commit to user

(21)

64

(enambelas) tahun untuk perempuan menjadi 19 (sembilanbelas) tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan setelah berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Maka jika dihubungkan dengan teori kriminologi dalam perspektif biososiologis oleh Enrico Ferri, maka pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri ini dapat digolongkan sebagai tipe penjahat The Habitual Criminal. Tipe penjahat tersebut ada karena kebiasaan dari lingkungan sosial.

B. Upaya-Upaya Menanggulangi Kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap Istri di Wilayah Kabupaten Bantul

Dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul telah dilaksanakan melalui berbagai upaya mulai dari upaya preventif hingga represif. Di mana upaya-upaya tersebut telah dilaksanakan di berbagai instansi di wilayah Kabupaten Bantul terutama yang memiliki kepedulian terhadap kejahatan terhadap perempuan dan anak seperti Satreskrim Unit PPA Polres Bantul, Kejaksaan Negeri Bantul, Pengadilan Negeri Bantul, Rutan Kelas II B Kabupaten Bantul, hingga UPTD PPA Kabupaten Bantul.

Upaya-upaya untuk mengatasi kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul meliputi:

1. Upaya Pencegahan (Preventif)

Upaya preventif adalah upaya yang dilakukan sebelum kejahatan terjadi sehingga kejahatan dapat dicegah. Pencegahan kejahatan secara preventif dilakukan sebagai upaya pertama kali untuk mencegah timbulnya kejahatan (Elvina Anggun Hapsari dan Hartiwiningsih, 2015: 32). Di wilayah Kabupaten Bantul sendiri kegiatan-kegiatan dalam rangka upaya preventif untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri ialah sebagai berikut:

a. Sosialisasi dan Penyuluhan terkait dengan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga commit to user

(22)

65

Sosialisasi dan penyuluhan mengenai kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dilakukan oleh Satreskrim Unit PPA Polres, Bantul, Kejaksaan Negeri Bantul, Pengadilan Negeri Bantul Kelas I B, dan instansi/ lembaga/ organisasi terkait. Sasaran dari sosialisasi dan penyuluhan ini yakni masyarakat maupun organisasi di wilayah- wilayah dengan angka kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tinggi.

Di Satreskrim Unit PPA Polres Bantul sendiri terdapat program sosialisasi dan penyuluhan terkait kekerasan dalam rumah tangga yakni melalui Keluarga Sadar Hukum. Satreskrim Unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Unit PPA) Polres Bantul terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yakni Polres Bantul bekerja sama dengan Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul bidang biro hukum membentuk program “Keluarga Sadar Hukum” yang dilaksanakan sejak tahun 2018 dan dilakukan dengan cara sosialisasi ke desa-desa yang ada di Kabupaten Bantul. Program “Keluarga Sadar Hukum” ini berisi mengenai pemahaman undang-undang mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Peserta dari program sosialisasi ini sendiri yakni dari para perwakilan dari tingkat RT, RW, Dukuh, Dasawisma, maupun penggerak PKK. Sehingga program ini diharapkan akan disalurkan ke dalam kelompok yang lebih kecil lagi seperti RT maupun RW melalui kader-kader yang hadir tersebut. Program ini diharapkan mampu memberikan penegertian mengenai kekerasan dalam rumah tangga pada masyarakat. Sehingga, jika menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga berani untuk melaporkan dan meminta pertolongan kepada pihak yang berwajib dan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang serupa tidak terulang kembali di masyarakat Kabupaten Bantul.

Sedangkan di UPTD PPA Kabupaten Bantul, berbagai sosialisasi dan penyuluhan terkait kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan bersama-sama dengan Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan commit to user

(23)

66

Perlindungan Anak Kabupaten Bantul terutama di kalurahan-kalurahan dengan angka kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tinggi.

Sosialisasi dan penyuluhan ini memberikan informasi terkait adanya layanan yang diberikan oleh UPTD PPA Kabupaten Bantul terhadap korban kekerasan terutama bagi perempuan dan anak termasuk istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Di Kejaksaan Negeri Bantul telah terdapat beberapa program sosialisasi dan penyuluhan untuk memberikan pengetahuan terhadap masyarakat mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga walaupun bukan program yang secara khusus memberikan penyuluhan mengenai hal tersebut yang biasanya dilaksanakan oleh Seksi Datun (Perdata dan Tata Usaha Negara) dan Seksi Intelejen. Program sosialisasi dan penyuluhan tersebut meliputi Penyuluhan Hukum dan Jaksa Menyapa.

Penyuluhan Hukum dapat dimohonkan oleh masyarakat kepada Kejaksaan Negeri Bantul untuk dilakukan sosialisasi dan penyuluhan terkait dengan kejahatan yang sering terjadi di wilayah tersebut.

Begitupula jika banyak terdapat kasus tindak pidana mengenai kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat atau kelompok masyarakat bisa memintakan sosialisasi dan penyuluhan mengenai hal tersebut.

Jika Penyuluhan Hukum datang secara langsung di daerah yang akan dilakukan sosialisasi dan penyuluhan maka program Jaksa Menyapa dilakukan melalui siaran di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dengan cara dialog interaktif.

Sosialisasi dan penyuluhan mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga kepada masyarakat juga dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Bantul Kelas I B yang bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat. Sosialisasi dan penyuluhan tersebut berkenaan dengan himbauan untuk membuat laporan maupun pengaduan ke pihak yang berwenang jika mengalami kekerasan dalam commit to user

(24)

67

rumah tangga agar penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dapat ditangani. Selain itu tujuan dari sosialisasi dan penyuluhan ini yakni meningkatkan kesadaran hukum terhadap masyarakat bahwa melakukan suatu kekerasan dalam rumah tangga dapat dipidana dan mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

b. Layanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat

a) Melalui Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Bantul

Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terdiri dari delik aduan dan delik biasa, sehingga Satreskrim Unit PPA Polres Bantul membuka layanan pengaduan dan laporan masyarakat terkait temuan adanya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri melalui Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Bantul.

Untuk melaporkan kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Polres Bantul sendiri yakni pelapor dapat melaporkan kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga melalui Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Bantul. Selanjutnya, untuk bisa diterbitkan laporan polisi, maka dari SPKT mengarahkan pelapor untuk konsultasi di Satreskrim Unit PPA Kabupaten Bantul untuk dilakukan kajian awal apakah laporan tersebut memenuhi unsur tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga atau tidak. Jika dalam konsultasi tersebut ditemukan unsur tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga maka akan diberikan rekomendasi pada pelapor untuk mengisi data korban, data pelaku, saksi-saksi, kronologi terjadinya tindak pidana, dan pasal yang dijatuhkan. Setelah itu, pihak SPKT akan menerbitkan laporan polisi yang telah diberikan penomoran sebagai Registrasi Administrasi Penyidikan. Sehingga, berdasarkan laporan polisi dan

commit to user

(25)

68

Surat Perintah Penyidikan maka dapat dilakukan proses penyidikan lebih lanjut.

b) Melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Bantul

Layanan pengaduan terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri juga disediakan oleh UPTD PPA Kabupaten Bantul. Berikut alur layanan pengaduan yang diberikan oleh UPTD PPA Kabupaten Bantul:

Alur Proses Pelayanan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA)

Kabupaten Bantul

Bagan 3.1. Alur Proses Pelayanan di UPTD PPA Kabupaten Bantul

Pengaduan kasus kekerasan dalam rumah tangga bisa dilakukan dengan beberapa cara, pertama datang sendiri ke kantor UPTD PPA Kabupaten Bantul yang beralamat di Jl. Wahidin Sudirohusodo No. 76 Bantul. Kedua, melalui rujukan dari puskesmas, rumah sakit, maupun Polres Bantul jika diketahui telah

Pengaduan

Assesment Kasus

Pengelolaan Kasus

Pemberian Layanan

Terminasi Kasus

commit to user

(26)

69

terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Ketiga melalui penjangkauan, yakni ketika korban tidak bisa datang sendiri ke kantor UPTD PPA Kabupaten Bantul, pelapor bisa menghubungi hotline WA UPTD PPA di nomor 0877 3890 7000 untuk meminta UPTD PPA Kabupaten Bantul mendatangi rumah korban.

Assessment kasus yakni merupakan proses menemukan atau menggali keinginan korban untuk menyelesaikan kasusnya dengan cara yang diinginkan korban melalui konseling. Dalam tahap ini, UPTD PPA Kabupaten Bantul juga berusaha mendapatkan keterangan dari pihak suami dan meminta klarifikasi terhadap pengaduan yang dilakukan oleh istri.

Pengelolaan kasus merupakan kelanjutan proses dari assessment kasus, di tahap ini dapat diketahui korban membutuhkan bantuan dalam bentuk apa saja, seperti apakah membutuhkan konseling psikologi, shelter, layanan kesehatan, konsultasi dan pendampingan hukum, dan sebagainya. Hal ini akan menjadi dasar untuk dilakukannya pemberian layanan kepada korban sesuai kebutuhan.

Terminasi kasus yakni berakhirnya pelayanan kasus kekerasan dalam rumah tangga di UPTD PPA Kabupaten Bantul.

Berakhirnya pelayanan ini UPTD PPA Kabupaten Bantul akan mengembalikan korban ke lingkungan masyarakat maupun memberi rujukan berupa pelatihan kerja di Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial (BPRSW) Yogyakarta jika istri tersebut memilih bercerai dengan suaminya akan tetapi tidak mandiri secara ekonomi.

c. Pembentukan Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) Terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Bantul

Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) Terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Bantul dibentuk berdasarkan Keputusan Bupati Bantul Nomor 61 Tahun 2019 tentang Pembentukan commit to user

(27)

70

Forum Perlindungan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Bantul. Forum ini dibentuk atas pertimbangan dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya pencegahan, penanganan, pelayanan dan pemberdayaan korban kekerasan perempuan dan anak di Kabupaten Bantul. Pembina FPKK merupakan Bupati Bantul dan diketuai oleh Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Kabupaten Bantul.

Tujuan dari dibentuknya Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) Terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Bantul yakni:

1) Memberikan pelayanan penanganan korban kekerasan perempuan dan anak.

2) Memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak.

3) Menumbuhkan partisipasi masyarakat agar mempunyai kepedulian dan kepekaan terhadap perempuan dan anak sebagai korban kekerasan.

Ruang lingkup dari Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) Terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Bantul yakni:

1) Melakukan advokasi kebijakan agar pihak-pihak yang berwenang mampu merumuskan kebijakan/perundang-undangan yang berkeadilan gender.

2) Menyebarluaskan informasi dan peraturan yang berkaitan dengan penanganan korban.

Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) Terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Bantul sendiri terdiri oleh berbagai dinas, organisasi, dan lembaga sesuai dengan perannya masing-masing.

Peran-peran tersebut terdiri dari peran medis, peran psikologi, peran hukum, peran ekonomi, dan peran sosial. Mekanisme kerja Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) Terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Bantul dalam menangani korban kekerasan ialah sebagai berikut, pertama korban dapat mendatangi anggota FPKK Kabupaten yang berada di lingkungan masing-masing, kedua apabila commit to user

(28)

71

secara kausitis korban belum mendapat tertangani dapat dirujuk ke sekretariat FPKK Kabupaten yang berada di Dinsos P3A, ketiga sekretariat FPKK Kabupaten akan mengidentifikasi rujukan tersebut untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kebutuhan korban, terakhir jika diperlukan dapat dirujuk ke FPKK Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Upaya Penanggulangan (Represif)

Upaya represif merupakan suatu tindakan aktif yang dilakukan pada saat kejahatan terjadi supaya kejahatan yang terjadi dapat dihentikan (Elvina Anggun Hapsari dan Hartiwiningsih, 2015: 32). Sehingga, upaya represif merupakan suatu tindakan pengendalian kejahatan yang dilakukan setelah atau sesudah peristiwa terjadi. Tindakan represif sendiri dapat dilaksanakan dengan dua cara yakni secara persuasif dan secara koersif. Upaya represif yang meliputi persuasif dan koersif untuk menanggulangi kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul berikut ini saling berkaitan dalam praktiknya.

a. Upaya Persuasif

Upaya persuasif adalah suatu tindakan penanggulangan kejahatan dengan tanpa melalui kekerasan atau dengan cara mengajak, menasihati, atau membimbing agar pelaku kejahatan bertindak dengan nilai dan norma di masyarakat (Elvina Anggun Hapsari dan Hartiwiningsih, 2015: 33).

Upaya persuasif yang dilakukan untuk menanggulangi kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri oleh para penegak hukum di wilayah Kabupaten Bantul berdasarkan penelitian lapangan oleh penulis yakni lebih diutamakan menggunakan pendekatan restorative justice. Restorative justice adalah suatu pendekatan yang menitikberatkan pada terciptanya suatu keadilan dan keseimbangan terhadap pelaku tindak pidana dan korbannya sendiri.

Mekanisme peradilan pidana yang memfokuskan pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi sehingga dapat commit to user

(29)

72

diciptakannya kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang dianggap lebih adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku.

(https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendeka tan-irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh-- jecky-tengens--sh-?page=2 diakses pada Selasa 23 Maret 2021, pukul 08:47 WIB).

Untuk menghasilkan keadilan restorative justice tersebut tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul lebih diutamakan untuk diselesaikan dengan cara melakukan perdamaian antara pihak pelaku dan korban yang dikenal dengan mediasi penal. Mediasi penal merupakan penyelesaian dengan cara perdamaian atau lebih dikenal dengan musyawarah mufakat dengan mekanisme lembaga adat, terhadap penyelesaian perkara pidana dalam sistem peradilan yang dilakukan melalui diskresi pihak kepolisian (Dheny Wahyudhi dan Herry Liyus, 2020: 497).

Restorative justice terhadap perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri juga dilaksanakan oleh Satreskrim Unit PPA Polres Bantul. Saat terdapat kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri maka diambil langkah melalui mediasi yang melibatkan korban, pelaku, keluarga, tokoh masyarakat, dan kepolisian itu sendiri.

Menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, dalam suatu proses penyidikan dapat diberlakukan keadilan restoratif.

Syarat untuk dapat dipenuhinya restorative justice dalam penyidikan tersebut diatur dalam Pasal 12 sebagai berikut:

a. Syarat materiel, meliputi:

1. Tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat;

2. Tidak berdampak konflik sosial;

3. Adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum; commit to user

(30)

73 4. Prinsip pembatas:

a) Pada pelaku:

1) Tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan

2) Pelaku bukan residivis;

b) Pada tindak pidana dalam proses:

1) Penyelidikan; dan

2) Penyidikan, sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum.

b. Syarat formil, meliputi:

1. Surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);

2. Surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik;

3. Berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;

4. Rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif; dan

5. Pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.

Berdasarkan penelitian penulis walaupun telah terjadi penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri melalui mediasi secara damai, hal ini tidak serta membuat pelaku untuk tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istrinya lagi dikemudian hari. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Aipda Musthafa Kamal S.H. selaku Kepala Unit PPA Polres Bantul:

“Ada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang saya tangani tahun lalu sudah selesai melalui mediasi. Namun, tahun ini ada laporan lagi yang masuk dengan pelaku yang sama dan korban yang sama. Padahal sebelumnya sudah diselesaikan melalui mediasi bersama keluarga dan Bhabinkamtibnas. Sehingga hal ini diminta pelapor untuk diselesaikan secara hukum karena telah terjadi berulang kali. Memang beberapa kasus yang telah diselesaikan melalui mediasi dalam jangka waktu satu atau dua tahun korban melaporkan kembali dengan kasus kekerasan yang sama.” (Hasil wawancara dengan Aipda Musthafa Kamal, S.H.

selaku Kepala Unit PPA Polres Bantul, Kamis 28 Januari 2021, Pukul 09:35 WIB).

Hal ini sejalan dengan teori Lenore Walker dan Mark Constanzo yang dikutip oleh Aroma Elmira Martha dalam bukunya Perempuan commit to user

(31)

74

dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Indonesia dan Malaysia (2012:

03-04) dalam suatu penganiayaan yang melibatkan suatu hubungan terdapat tiga fase berulang yakni tension, building-battering, dan contrition. Fase pertama yakni terjadi suatu akumulasi ketegangan emosional dan insiden penganiayaan ringan. Meskipun istri terus berupaya menenangkan suami yang terus menyiksanya, pada akhirnya insiden ini akan meledak dalam bentuk insiden penyiksaan yang serius yakni fase penganiayaan akut. Lalu pada fase ketiga, suami (atau dalam hal ini penganiaya) merasakan penyesalan yang mendalam dan korban diperlakukan dengan baik dan berjanji tidak akan menyakiti istrinya lagi. Namun, siklus penganiayaan tersebut akan terulang kembali bahkan semakin berat dan semakin sering terjadi. Sehingga perempuan yang terjebak dalam hubungan seperti itu akan mengalami “learned helplessness” atau belajar menerima ketidakberdayaan dan menjadi

“submissive” atau penurut. Dikarenakan hal tersebut perempuan mampu bertahan menghadapi penganiayaan jangka panjang dari waktu ke waktu dan menyerah kepada penderitaannya serta tidak mampu menolak atau meninggalkan penganiayanya.

Sehingga berdasarkan paparan di atas, perlunya perhatian dalam proses penanganan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri melalui pendekatan restorative justice dengan model mediasi penal agar tidak serta merta menghentikan proses penanganan pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang mana akan berdampak pada gugurnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Angka 2 huruf f juga menegaskan bahwa prinsip keadilan restoratif atau restorative justice tidak bisa dimaknai sebagai suatu metode penghentian perkara secara damai, tetapi lebih luas lagi yakni pada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya yang

commit to user

(32)

75

melibatkan korban, pelaku dan masyarakat setempat serta penyelidik maupun penyidik sebagai mediator.

Di Kejaksaan Negeri Bantul sendiri juga menerapkan pemdektan restorative justice sebagai upaya persuasif dalam penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri yang dilaksanakan dalam tahap penuntutan. Hal ini diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Penutupan perkara demi kepentingan hukum salah satunya dilakukan dalam hal telah adanya suatu penyelesaian perkara di luar pengadilan. Penyelesaian perkara di luar pengadilan dalam tahap penuntutan ini yakni menggunakan pendekatan restorative justice yang dilaksanakan oleh Penuntut Umum secara bertanggung jawab dan diajukan secara berjenjang kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.

Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif menegaskan bahwa perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;

b. Tindak pidana tersebut hanya diancam dengan pidana denda ataupun dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan c. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tidak lebih dari Rp.

2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Sebagaimana syarat di atas, terhadap tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang, ketentuan pada Pasal 5 ayat (1) huruf c dapat dihapuskan.

Pasal 5 ayat (6) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif juga menegaskan syarat penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yakni:

commit to user

(33)

76

a. Telah adanya pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilaksanakan oleh Tersangka dengan cara:

1. Mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;

2. Mengganti kerugian korban;

3. Mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;

dan/atau

4. Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;

b. Telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka;

c. Masyarakat merespon positif.

Terhadap syarat di atas, jika telah terjadi kesepakatan antara Korban dan Tersangka, syarat Pasal 5 ayat (6) huruf a dapat dikecualikan. Jika syarat penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tersebut telah terpenuhi maka akan digunakan Penuntut Umum sebagai pertimbangan untuk menentukan dapat atau tidaknya berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan.

Untuk mencapai restorative justice terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri maka Penuntut Umum menawarkan upaya perdamaian yang dilaksanakan pada tahap penuntutan yakni pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua). Dalam upaya perdamaian ini Penuntut Umum berperan sebagai fasilitator dan jika diperlukan upaya perdamaian ini dapat melibatkan keluarga Korban/Tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, serta pihak-pihak lain yang terkait. Jika proses perdamaian tersebut tercapai maka Korban dan Tersangka membuat kesepakatan damai di hadapan Penuntut Umum secara tertulis. Kesepakatan tersebut dapat disertai pemenuhan kewajiban tertentu maupun tanpa pemenuhan kewajiban tertentu.

Menurut penelitian penulis tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul sendiri terdapat tiga macam bentuk yang sering terjadi yakni kekerasan fisik, penelantaran rumah tangga, dan kekerasan psikis. Untuk kekerasan fisik sendiri, pasal yang sering dipergunakan adalah Pasal 44 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang commit to user

(34)

77

Nomor 23 Tahun 2004, sehingga pidana penjara masing-masing pasal tersebut maksimal 5 (lima) tahun dan 4 (empat) bulan. Sedangkan untuk kekerasan psikis dan penelantaran dalam rumah tangga maksimal pidana penjaranya kurang dari 5 (lima) tahun. Sehingga, untuk dilakukannya restorative justice terbatas oleh delik tertentu yang diancam pidana penjara maksimum tidak lebih dari 5 (lima) tahun saja.

Berdasarkan wawancara Penulis dengan Aipda Musthafa Kamal S.H., Ani Suparjati S.H. dan Sulisyadi S.H., M.H., sendiri menyatakan bahwa Restorative Justice melalui mediasi penal terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri tidak menjamin suami tidak akan melakukan kekerasan yang sama lagi dikemudian hari.

Sehingga untuk mengatakan apakah restorative justice melalui mediasi penal dapat dikatakan merupakan sistem paling adil terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri, Sulisyadi S.H.

M.H., menegaskan sebagai berikut:

“Jika berbicara adil atau tidak sebenarnya itu relatif ya, Mbak.

Namun, bagi saya restorative justice ini merupakan terobosan yang luar biasa. Karena apa? Melalui restorative justice ini yang pertama dapat mengurangi tingkat hunian di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan yang saat ini bisa dikatan sudah overcapacity. Kedua, memberikan keadilan yang sebenarnya pada masyarakat.” (Hasil wawancara dengan Sulisyadi S.H., M.H., selaku Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Bantul, Kamis,25 Februari 2021, Pukul 15:00 WIB).

Sehingga agar restorative justice melalui mediasi penal terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dapat berjalan dengan baik maka perlu diperhatikannya prinsip-prinsip penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non-diskriminasi, dan perlindungan korban (Sandy Ari Wijaya, 2014: 521-522). Sehingga tujuan hukum yang berupa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dapat terlaksana melalui mediasi penal terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri.

Berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul di atas commit to user

(35)

78

dipengaruhi oleh faktor biososiologis yang dikemukakan oleh Cesare Lombrosso dan Enrico Ferri. Sehingga, seseorang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri memiliki kecenderungan sifat agresif. Dari perspektif tersebut, pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri seharusnya mendapatkan upaya persuasif berupa konseling. Konseling terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sendiri telah ditegaskan dalam Pasal 50 huruf b Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di mana ditegaskan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Namun, berdasarkan penelitian lapangan oleh penulis pidana tambahan berupa konseling terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri di wilayah Kabupaten Bantul belum pernah dilaksanakan. Seperti yang disampaikan oleh Dr. Mohammad Amrullah S.H., M.H. sebagai berikut:

“Selama ini belum ada lembaga yang menawarkan atau mempublikasikan sebagai lembaga yang dapat menangani konseling terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga jika kami memberikan putusan pidana tambahan mengenai konseling siapa yang akan mengeksekusi?

Apakah konseling terhadap pelaku tersebut menggunakan biaya dari terdakwa sendiri atau ada lembaga sosial yang secara sukarela ataupun memiliki anggaran sendiri untuk memberikan konseling?” (Hasil wawancara dengan Dr. Mohammad Amrullah, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bantul Kelas I B, Rabu 17 Maret 2021, Pukul 10:50 WIB).

Terkait dengan konseling terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri Ani Suparjati, S.H.

memberikan keterangan sebagai berikut:

“UPTD PPA Kabupaten Bantul belum pernah menerima konseling untuk pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri ya selama ini. Hal ini dikarenakan UPTD PPA lebih fokus ke dalam penanganan perempuan dan anak sebagai korban kekerasan yaitu berupa konseling psikologis, shelter, kesehatan, hukum, rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial. Selain itu hingga commit to user

Referensi

Dokumen terkait

Iswara, I Made Agus Mahendra, 2013, “Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali”, Tesis, Program studi

Kebijakan untuk menetapkan mediasi penal yang merupakan perwujudan keadilan restoratif sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana praktik kedokteran

Dalam memandang penyelesaian perkara tindak pidana ringan dari perspektif restorative justice maka penyelesaian melalui sarana mediasi penal dapat dipandang sebagai hal yang

Penyelesaian damai / mediasi penal terhadap pelanggaran tindak pidana, melalui dua bentuk atau cara, sebagai berikut: Mediasi penal di luar proses peradilan

Kebijakan untuk menetapkan mediasi penal yang merupakan perwujudan keadilan restoratif sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana praktik kedokteran

Dengan demikian penerapan mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana perkelahian menurut hukum adat Kampar masih dipertahankan karena pada prinsipnya bersifat

Berdasarkan hasil penelitian maka kebijakan Polsek Pemayung untuk menyelesaikan perkara pidana secara perdamaian (penal police), atau melalui penyelesaian kasus

Adapun permasalah yang dibahas yakni mediasi penal sebagai upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia dan pelaksanaan mediasi penal dalam penyelesaian tindak