• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2.2. Upaya penangkapan

Ikan tembang di PPP Karangantu merupakan target utama dari nelayan bagan. Ukuran mata jaring yang digunakan adalah 0,3 cm. Ukuran mata jaring yang kecil ini menyebabkan hasil tangkapan seperti ikan teri ikut tertangkap. Dalam hal ini ikan teri juga merupakan target utama bagi para nelayan. Ikan tembang di Teluk

Banten ditangkap dengan bagan tancap. Hasil tangkapan dari bagan tancap yang tersebar di Teluk Banten diambil menggunakan perahu motor yang berkekuatan kurang dari 5 GT dengan operasi penangkapan selama satu hari. Upaya penangkapan ikan di PPP Karangantu setiap harinya dicatat dalam satuan trip

(perjalanan).

Dari Gambar 9, upaya penangkapan ikan tembang mengalami peningkatan dan penurunan dari tahun 2001 sampai 2009. Peningkatan terjadi di tahun 2001 sampai 2003 menjadi 3.019 trip, kemudian kembali menurun di tahun 2006 menjadi 1.106 trip. Setelah itu upaya penangkapan kembali meningkat mencapai 3.992 trip di tahun 2009. Peningkatan ataupun penurunanyang terjadi dari tahun 2001 sampai 2009 disebabkan oleh hal yang beragam seperti faktor lingkungan dan ekonomi. Faktor lingkungan dapat berarti cuaca atau musim yang mempengaruhi operasi penangkapan ikan sementara faktor ekonomi merupakan kecenderungan nelayan dalam memperhitungkan untung ruginya dalam melakukan operasi penangkapan ikan, sehingga upaya penangkapan dapat berfluktuasi tiap tahunnya. Menurut Widodo dan Suadi (2006), alat tangkap bagan yang termasuk dalam klasifikasi jaring angkat memiliki kekuatan menangkap secara relatif kurang dipengaruhi oleh karateristik kapal, meskipun perhatian harus diberikan pada jumlah alat tangkap yang secara simultan dapat dioperasikan dari suatu kapal (yakni, menyatakan CPUE sehingga hasil tangkapan per jaring, bukan per perahu). Efisiensi pencarian dapat sangat berpengaruh dalam menentukan kekuatan menangkap.

Apabila dibandingkan hasil tangkapan ikan tembang (Gambar 6) dengan upaya penangkapannya (Gambar 9), maka dapat dilihat fluktuasinya cenderung sama-sama meningkat dari tahun 2001 sampai 2009. Namun terdapat perbedaan seperti pada tahun 2003 dimana hasil tangkapan menurun hingga mencapai nilai terendah (68,38 ton), sementara upaya penangkapan yang cenderung meningkat dengan jumlah 3.019 trip. Hubungan yang berbanding terbalik antara tangkapandan upaya pada tahun tersebut dikarenakan selama peningkatan upaya penangkapan menyebabkan menurunnya produksi ikan sehingga kelimpahannya di perairan pun berkurang. Namun setelah tahun 2003 produksi cenderung meningkat, hal ini

disebabkan ikan tembang telah mengalami pemulihan sehingga produksinya pun meningkat.

4.2.3. Tangkapan per satuan upaya

Tangkapan per satuan upaya (TPSU) dapat menggambarkan suatu kelimpahan ikan di suatu wilayah. Menurut Widodo & Suadi (2006), kecenderungan kelimpahan relatif selang beberapa tahun sering dapat diukur dengan menggunakan data hasil tangkapan per satuan upaya atau catch per unit effort (cpue) yang diperoleh dari suatu perikanan atau dari penelitian penarikan contoh (research sampling). Maka karena itu kelimpahan dalam suatu area dapat digambarkan melalui trend cpue, namun dalam hal tertentu cpue bukan ukuran yang sahih bagi kelimpahan.

Dari Gambar 8, dapat dilihat bahwa TPSU ikan tembang tiap tahunnya memiliki fluktuasi yang berbeda-beda. Nilai TPSU tertinggi berada di bulan Januari tahun 2009 sebesar 0,45 ton per tahun, sedangkan nilai terendah berada pada bulan Mei 2003 sebesar 0,0043 per tahun. Fluktuasi yang terjadi pada TPSU ikan tembang disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan dan kelimpahan ikan. Berdasarkan nilai TPSU tahunan terjadi peningkatan mulai dari tahun 2003 sampai 2006. Hal ini menggambarkan pada masa tersebut kelimpahan ikan tembang cukup banyak serta merupakan musim penangkapan yang baik bagi nelayan, sehingga mendorong banyak nelayan untuk melaut. Widodo & Suadi (2006) menyatakan semakin banyak ikan di suatu area semakin banyak suatu unit alat tangkap dapat menangkap per jam, paling tidak bila data TPSU dirata-ratakan selama musim penangkapan atau per tahun. Oleh karena itu kelimpaha ikan yang banyak di suatu perairan akan mendorong nelayan untuk melaut sehingga produksi akan semakin meningkat. Nilai TPSU yang rendah pada tahun 2003 disebabkan kelimpahan ikan yang cenderung menurun karena sudah ditangkap pada tahun-tahun terdahulu. Hal ini dapat dilihat pada upaya penangkapan ikan tembang (Gambar 9) dimana tahun 2001 sampai 2003 upaya penangkapan meningkat sehingga menyebabkan produktivitas menurun. Selain itu, kecilnya nilai TPSU di tahun 2003 dapat disebabkan oleh fenomena La-Nina yang terjadi tahun 2002 mengikuti El-Nino yang terjadi di perairan Indonesia di tahun 2003. Pada kondisi tersebut, nelayan

cenderung enggan melaut karena jumlah ikan yang berkurang akibat naiknya suhu permukaan air laut.

4.2.4. Pola musim penangkapan

Analisis pola musim penangkapan bertujuan untuk melihat musim atau waktu penangkapan ikan tembang yang tepat, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam operasi penangkapan ikan. Indeks musim penangkapan ikan tembang dihitung dengan memakai data tangkapan per satuan upaya bulanan ikan tembang dari Teluk Banten yang didaratkan di PPP Karangantu. Data bulanan tersebut kemudian diurutkan dari tahun 2001 sampai 2009 kemudian dihitung menggunakan metode rata-rata bergerak dan setelah itu dilakukan perhitungan dengan prosedur yang berlaku.

Kriteria yang dipakai untuk menentukan musim penangkapan ikan tembang adalah jika nilai Indeks Musim Penangkapan (IMP) lebih besar dari 100%, sedangkan jika nilai kurang dari 100% maka bukan musim penangkapan ikan. Nilai IMP juga mengindikasikan kehadiran ikan di perairan tersebut. Jika nilai IMP lebih dari 100% maka kehadiran ikan di perairan tersebut cukup melimpah dibandin kondisi normal. Apabila nilai IMP dibawah 100% maka jumlah ikan dibawah kondisi normal. Selain musim penangkapan, dapat diketahui pula musim paceklik. Musim paceklik ditentukan apabila nilai IMP kurang dari 50 %. Berdasarkan Gambar 11, musim penangkapan ikan tembang adalah pada bulan Januari, April, Juni, Oktober, dan Desember dengan nilai IMP masing-masing 111,91%, 113,82%, 106,96%, dan 107,86%. Selain bulan-bulan tersebut diduga bukan merupakan musim penangkapan ikan tembang karena nilai IMP yang dibawah 100%, yaitu pada bulan Februari, Maret, Mei, Juli, Agustus, September, Oktober, dan November. Sementara untuk musim paceklik tidak ada karena tidak terdapat nilai IMP yang dibawah 50%.

Menurut Nontji (2007), angin yang berhembus di perairan Indonesia terutama adalah angin musim (monsoon) yang dalam setahun terjadi dua kali pembalikan arah yang mantap masing-masing disebut angin musim barat dan musim timur, sedangkan diantara dua kali perubahan musim tersebut terdapat juga dua kali musim

peralihan yaitu musim peralihan Barat-Timur dan musim peralihan Timur-Barat. Bulan-bulan Desember, Januari, dan Februari adalah musim angin di belahan bumi bagian utara dan musim panas di belahan bumi bagian selatan. Pada saat itu terjadilah pusat tekanan tinggi di atas daratan Asia dan pusat tekanan rendah di atas daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berembus dari Asia menuju Australia, yang di Indonesia umumnya dikenal sebagai Angin Musim Barat (West Monsoon). Sebaliknya pada bulan-bulan Juli hingga Agustus , terjadi pusat tekanan tinggi di atas daratan Australia dan pusat tekanan rendah di atas daratan Asia hingga di Indonesia berhembuslah Angin Musim Timur (East Monsoon). Dalam bulan Maret, angin barat masih berhembus tetapi kecepatannya berkurang. Dalam bulan April dan Mei arah angin sudah tidak menentu dan periode ini dikenal sebagai musim pancaroba. Demikian pula yang terjadi dalam bulan Oktober dan November arah angin tidak menentu dan periode ini dikenal sebagai musim pancaroba akhir tahun.

Apabila dikaitkan dengan musim perairan di Indonesia, maka musim penangkapan ikan tembang di Teluk Banten terjadi di ke empat musim angin, yaitu musim Barat, musim Timur, musim peralihan Barat – Timur, dan musim peralihan Timur – Barat. Pada musim Barat musim penangkapan ikan tembang terjadi di bulan Februari, musim Timur : Juli dan Agustus, musim peralihan Barat - Timur : Maret dan Mei, dan musim peralihan Timur – Barat : September, Oktober, dan November.

4.2.5. Bioekonomi

Analisis bioekonomi ditujukan untuk meningkatkan tingkat pengusahaan maksimum bagi pelaku perikanan. Perkembangan usaha perikanan tidak dapat lepas dari faktor ekonomi seperti biaya dan harga yang sangat mempengaruhinya. Pendekatan analisis bioekonomi secara biologi dan ekonomi dapat dijadikan sebagai suatu alternatif untuk mencapai upaya optimasi perikanan yang berkelanjutan. Pendekatan ini akan menunjukkan rezim pengelolaan perikanan yang baik dan efisien sehingga mampu memberikan keuntungan bagi pelaku usaha perikanan tangkap. Rezim pengelolaan perikanan ikan tembang dibedakan menjadi tiga yaitu rezim open access, MEY, dan MSY. Dengan melihat dari hasil tangkapan, upaya,

dan rente ekonomi dari ketiga rezim tersebut maka akan terlihat kelebihan dan kekurangannya.

4.2.5.1. Rezim pengelolaan perikanan open access

Konsep umum yang berlaku umum terhadap kepemilikan sumberdaya perikanan yang banyak dimanfaatkan nelayan, dianggap sebagai milik bersama yang

lebih dikenal dengan istilah “common property resource”. Konsep ini identik

dengan pengelolaan yang bersifat terbuka bagi siapa saja. Menurut Clark (1990) in

Firman (2008), open access adalah kondisi ketika pelaku perikanan atau seseorang yang mengeksploitasi sumberdaya secara tidak terkontrol atau setiap orang memanen sumberdaya tersebut. Berdasarkan wawncara pribadi, kondisi pengelolaan perikanan di PPP Karangantu masih bersifat open access, dimana setiap pelaku perikanan yang telah mendapatkan izin dapat melakukan operasi penangkapan ikan secara bebas.

Berdasarkan Tabel 3, upaya penangkapan ikan tembang pada rezim open

access sebanyak 2674 trip per tahun. Jumlah tersebut merupakan nilai yang paling

besar apabila dibandingkan dengan upaya penangkapan pada kondisi MSY dan MEY dengan nilai masing-masing sebesar 2.216 dan 1.337 trip per tahun. Besarnya upaya penangkapan pada rezim open access dikarenakan sifat dari rezim ini adalah dimana setiap orang dapat dan boleh melakukan kegiatan penangkapan di perairan Indonesia termasuk di Teluk Banten. Apabila terus dibiarkan, tentu saja hal ini akan berdampak buruk bagi suatu sumberdaya. Salah satu contohnya adalah perubahan status sumberdaya ikan menjadi tangkap lebih (overfishing). Menurut Gordon (1954) in Firman (2008) bahwa tangkap lebih secara ekonomi (economic

overfishing) akan terjadi pada pengelolaan sumberdaya perikanan yang tidak

terkontrol (open access).

Hasil tangkapan (yield) ikan tembang pada rezim pengelolaan open acess

senilai 222,86 ton per tahun. Pada rezim ininilai keuntungan yang diperoleh adalah nol (TR = TC), artinya jika sumberdaya ikan tembang di Teluk Banten dibiarkan terbuka untuk setiap orang maka persaingan usaha pada kondisi ini menjadi tidak terbatas dan menimbulkan resiko bagi nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan

dalam kondisi persaingan yang ketat. Kondisi seperti ini juga dapat menyebabkan nelayan untuk mengembangkan upaya penangkapannya untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sebanyak mungkin. Hal ini dapat dilihat dengan tingginya nilai

effort pada kondisi open access dibandingkan rezim MEY dan MSY. Tentu secara

ekonomi hal ini tidak menjadi efisien karena keuntungan yang diperoleh untuk jangka panjang semakin kecil bahkan tidak memperoleh keuntungan sama sekali dari kegiatan pemanfaatan suatu sumberdaya.

Dengan demikian, kondisi pada rezim pengelolaan open access akan merujuk pada dua pendapat : 1) apabila upaya penangkapan menghasilkan suatu keadaan dimana total cost (TC) lebih tinggi dari total revenue (TR) maka nelayan akan kehilangan penerimaannya dan memilih untuk keluar (exit) dari usaha perikanan, dan 2) jika upaya penangkapan menghasilkan TR yang lebih tinggi dari TC, maka nelayan cenderung lebih tertarik untuk masuk (entry) dan mengeksploitasi sumberdaya perikanan sehingga pada tingkat keseimbangan tercapai maka proses

exit dan entry tidak terjadi lagi. Keseimbangan open acess terjadi jika seluruh rente

ekonomi telah terkuras sehingga tidak ada lagi insentif untuk masuk dan keluar serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada (Fauzi 2004 in Taeran 2007).

4.2.5.2. Rezim pengelolaan perikanan MEY

Rezim pengelolaan MEY berperan penting dalam penentuan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya ikan baik secara lestari maupun ekonomi. Berdasarkan Tabel 3, hasil perhitungan yang diperoleh menunjukkan bahwa upaya yang dibutuhkan jumlahnya lebih kecil dibanding rezim open access dan MSY yaitu sebesar 1.337 trip per tahun. Nilai upaya penangkapantersebut dapat menghasilkan tangkapan sebesar 196,15 ton per tahun. Pada kondisi MEY rente atau tingkat keuntungan ekonomi yang diperoleh merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan pengelolaan open access dan MSY yaitu sebesar Rp. 275.348.506,31 per tahun. Hal

ini dapat juga dilihat pada Gambar 14, dimana garis rente ekonomi (π) pada rezim

MEY lebih besar dibanding rezim MSY. Pada kondisi ini memungkinkan mencegah terjadinya alokasi yang tidak tepat dari sumberdaya alam karena kelebihan tenaga

kerja ataupun modal. Nilai rente tersebut disebut juga sebagai rente MEY berada pada kondisi maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat produksi ini tingkat upaya sudah dicapai dengan efisien sehingga diperoleh hasil tangkapan yang baik dan diikuti oleh rente ekonomi yang besar.

Pemanfaatan sumberdaya yang dibatasi pada kondisi MEY akan memberikan rente atau keuntungan yang besar bagi pelaku perikanan. Hal ini disebabkan total penerimaan yang diperoleh lebih besar dari total biaya atau pengeluaran. Implikasi pemanfaatan sumberdaya yang terkendali tersebut terlihat dari penggunaan effort

(fMEY) yang lebih kecil dibandingkan effort yang digunakan pada kondisi open

access dan MSY. Dengan demikian, rezim pengelolaan MEY terlihat lebih efisen

dan ramah terhadap sumberdaya perikanan. Berdasarkan kondisi aktual, pemanfaatan sumberdaya ikan tembang di Teluk Banten sudah mengalami economic

overfishing. Menurut Widodo & Suadi (2006), economic overfishing terjadi bila

tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MEY. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 dimana upaya penangkapan aktual sebesar 2.330 trip per tahun sudah melebihi upaya penangkapan MEYsenilai 1.337 trip per tahun.

4.2.5.3. Rezim pengelolaan perikanan MSY

Pengelolaan sumberdaya ikan tembang pada kondisi MSY memiliki effort

optimum sebanyak 2.216 trip per tahun, jumlah tangkapan sebesar 232,79 ton per tahun, dan rente ekonomi yang diperoleh sebesar Rp. 18.104.064,81 per tahun. Apabila dilihat berdasarkan rente ekonomi, nilai rente ekonomi rezim MEY jauh lebih besar dari pada rezim MSY. Sementara untuk nilai harvest (hasil tangkapan), nilai harvest untuk rezim MSY lebih besar dibandingkan dengan nilai harvest pada rezim MEY. Hal ini menandakan bahwa pada rezim MEY walaupun tingkat upaya penangkapan sangat sedikit, hasil tangkapan yang diperoleh jauh lebih banyak dibandingkan rezim MSY, sehingga rente ekonomi yang diperoleh pelaku perikanan lebih banyak. Selain itu, upaya penangkapan yang lebih kecil namun efektif cenderung tidak akan memberikan dampak eksploitasi yang berlebih terhadap

sumberdaya ikan. Dengan demikian, konsep pengelolaan perikanan rezim MSY kurang efisien dibanding rezim MEY.

Berdasarkan kondisi aktual (Tabel 3), maka disimpulkan status ikan tembang di Teluk Banten sudah mengalami biological overfishing. Menurut Widodo & Suadi (2006), biological overfishing terjadi manakala tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY. Pada kondisi aktual jumlah upaya penangkapan senilai 2.956 trip per tahun sudah melebihi batas upaya penangkapan MSY senilai 2216 trip per tahun. Jumlah tangkapan aktual sebesar 297,35 ton per tahun juga sudah melebihi batas produksi lestari MSY senilai 232,79 ton per tahun. Murdiyanto (2004) in Taeran (2007) mengatakan bahwa tingkat pemanfaatan yang melebihi nilai MSY akan menyebabkan peristiwa lebih tangkap dapat mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya atau catch per unit effort (CPUE).

Dokumen terkait