• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2. Pembahasan 1 Hasil tangkapan

4.2.2. Upaya penangkapan

Operasi penangkapan kapal purse seine dengan ukuran kapal 6 - 24 GT di Selat Sunda khususnya di PPP Labuan, Banten selama musim timur dapat melakukan operasi penangkapan selama 3-5 hari termasuk perjalanan menuju

fishing ground dan kembali ke PPP Labuan. Namun untuk operasi penangkapan

kapal obor (alat bantu penangkapan) yang berukuran 0 – 5 GT melakukan operasi penangkapan dalam satu hari adalah sekali sehari (one day fishing), sehingga upaya penangkapannya identik atau sama dengan jumlah kapal yang beroperasi saat itu.

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa upaya penangkapan ikan tembang mengalami fluktuasi seiring dengan naik turunnya hasil tangkapan ikan tembang (Gambar 4). Semakin tinggi upaya tangakapan maka semakin tinggi pula hasil tangkapan yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perikanan tembang di PPP Labuan belum mengalami tangkap lebih (overfishing). Tinggi rendahnya upaya penangkapan ini juga disebabkan oleh periode bulan dimana pada dasarian ke-1 merupakan periode bulan terang (Amri 2002). Pada saat periode ini nelayan yang menangkap ikan tembang tidak melakukan operasi penangkapan karena pada saat bulan terang ikan–ikan pelagis kecil seperti tembang yang menyukai cahaya terang akan tersebar diseluruh perairan sehingga nelayan cenderung untuk tidak melaut pada kondisi ini karena hasil tangkapan yang didapat lebih cenderung sedikit dibandingkan dengan bulan gelap. Namun, untuk sebagian nelayan ada juga yang mengganti alat tangkap nya (purse seine) dengan alat tangkap lain pada saat bulan terang.

4.2.3.Tangkapan per satuan upaya

Tangkapan per satuan upaya mencerminkan ketersediaan dan kelimpahan ikan yang sangat penting dalam pengelolaan perikanan (Mandelssohn R & Curry P. 1989). Menurut Widodo & Suadi (2006), kecenderungan kelimpahan ikan relatif selang beberapa tahun sering dapat diukur dengan menggunakan data hasil tangkapan per satuan upaya yang diperoleh dari suatu perikanan atau dari penelitian penarikan contoh. Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa TPSU ikan tembang mengalami fluktuasi dengan nilai yang berbeda-beda. Fluktuasi ini dapat disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan dan kelimpahan ikan di perairan.

Berdasarkan nilai TPSU tahunan terjadi peningkatan mulai dari tahun 2002 hingga 2005, hal ini menggambarkan pada masa ini kelimpahan ikan tembang cukup banyak dan musim yang bersahabat dengan nelayan sehingga mendorong banyak nelayan untuk melaut. Widodo & Suadi (2006) menyatakan bahwa semakin banyak ikan disuatu daerah maka semakin banyak unit alat tangkap menangkap ikan per jam, paling tidak bila data TPSU dirata-ratakan selama musim penangkapan atau per tahun.

Penurunan nilai TPSU dari tahun 2005-2007 diduga disebabkan oleh kelimpahan ikan yang cenderung menurun karena sudah ditangkap pada tahun- tahun sebelumnya. Namun bila dilihat nilai upaya tangkapan pada tahun tersebut (Gambar 5), upaya tangkapan malah mengalami penurunan juga. Hal ini diduga karena banyaknya nelayan-nelayan pendatang yang melakukan penangkapan disekitar perairan Labuan namun tidak tercatat di PPP Labuan tersebut, sehingga mempengaruhi nilai dari tangkapan per satuan upayanya.

4.2.4.Pola musim penangkapan

Analisis pola musim penangkapan bertujuan untuk melihat musim atau waktu penangkapan ikan tembang yang tepat sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam operasi penangkapan ikan (Dajan 1984 in Bahdad 2006). Indeks musim penangkapan (IMP) ikan tembang dihitung dengan memakai data tangkapan per satuan upaya (TPSU) bulanan ikan tembang di Labuan Banten. Data tersebut diturunkan dari data 2002 - 2007 dan 2009 – 2011, kemudian dihitung dengan rata-rata bergerak dan setelah itu dilakukan perhitungan dengan prosedur yang berlaku. Kriteria yang dipakai untuk menentukan musim penangkapan ikan tembang adalah jika IMP lebih besar dari 100%. Nilai IMP juga mengindikasikan kehadiran ikan di perairan tersebut. Jika nilai IMP lebih dari 100% maka kehadiran ikan diperairan tersebut cukup melimpah dibandingkan kondisi normal. Apabila nilai IMP dibawah 100% maka jumlah ikan dibawah kondisi normal. Selain musim penangkapan dapat diketahui pula musim paceklik yang ditentukan dengan nilai IMP kurang dari 50%.

Berdasarkan Gambar 7 musim penangkapan ikan tembang adalah pada bulan Juli – September, Januari, Februari, dan Mei. Selain bulan-bulan tersebut diduga bukan merupakan musim penangkapan ikan tembang karena nilai IMP berkisar antara 50% – 100% yaitu pada bulan Oktober – Desember, April, dan Juni. Sementara untuk musim paceklik yaitu pada bulan Maret karena nilai IMP berada dibawah 50%.

Menurut Amri (2002) angin yang berhembus di perairan Indonesia terutama adalah angin musim (monsoon) yang dalam setahun terjadi dua kali pembalikan arah yang masing-masing disebut angin musim Barat dan musim Timur, sedangkan

diantara dua kali perubahan musim tersebut terdapat dua kali musim peralihan yaitu musim peralihan Barat – Timur dan musim peralihan Timur – Barat. Bulan November – Januari adalah musim angin di belahan bumi bagian utara dan musim panas di belahan bumi bagian selatan. Pada saat itu terjadilah pusat tekanan tinggi di atas daratan Asia dan pusat tekanan rendah di atas daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari Asia menuju Australia, yang di Indonesia umumnya dikenal sebagai angin Musim Barat (West monsoon). Sebaliknya pada bulan Mei – Juli terjadi pusat tekanan tinggi diatas daratan Australia dan pusat tekanan rendah diatas daratan Asia hingga di Indonesia berhembuslah angin musim Timur (East monsoon). Musim peralihan I (Barat – Timur) terjadi pada bulan Februari – Maret, sedangkan untuk musim peralihan II (Timur – Barat) terjadi pada bulan Agustus – Oktober. Dinamakan musim peralihan karena arah angin pada periode ini tidak menentu.

Apabila dikaitkan dengan musim perairan di Indonesia maka musim penangkapan ikan tembang di Labuan Banten untuk periode 2002 – 2007 terjadi di semua musim. Pada musim peralihan II terjadi pada bulan Agustus dan Oktober, pada musim barat terjadi pada bulan Januari, pada musim peralihan I bulan Februari, dan musim timur terjadi pada bulan Mei dan Juli. Berdasarkan Gambar 7 juga dapat dilihat bahwa musim paceklik (IMP < 50%) terjadi pada bulan Maret dimana pada musim ini masih dipengaruhi oleh angin barat. Nilai IMP yang kecil juga diduga karena pada bulan tersebut tidak tercatat adanya operasi penangkapan di TPI Labuan (Lampiran 3).

Musim penangkapan tertinggi terdapat pada bulan September yang ditandai dengan tingginya nilai IMP pada bulan ini dikarenakan pada saat itu kecepatan arus di Laut Jawa berkurang menjadi 20 cm/s dengan arah dominan ke barat laut (Selat Karimata), sehingga kecepatan arus yang memasuki Selat Sunda juga mulai berkurang dibandingkan bulan Agustus (Amri 2002). Dalam penelitiannya, Amri (2002) juga mencatat bahwa untuk curah hujan terendah terjadi pada bulan Mei – September, dan pada bulan- bulan tersebut terjadi peningkatan upaya penangkapan yang ditandai dengan banyaknya kapal-kapal mini purse seine yang tersebar di Selat Sunda seperti di perairan Tanjung Lesung, P. Panaitan, P. Rakata, Teluk Labuan, dan Sumur. Selain itu , Voulgaridou & Stergiou (2003) in Giannoulaki et al. (2006) mengungkapkan bahwa ikan-ikan pelagis kecil seperti ikan teri dan ikan

sarden banyak tertangkap pada musim panas di Laut Aegea dan Ionia (Timur Laut Mediterania).

Pola musim penangkapan ikan tembang periode 2002 - 2007 dengan periode 2009 – 2011 memiliki persamaan dan perbedaan. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa musim penangkapan ikan tembang terjadi pada bulan Oktober, November, Februari – April, dan bulan Juni. Musim biasa (bukan musim penangkapan) terjadi pada bulan Juli – September, dan Mei. Untuk musim paceklik terjadi pada bulan Desember dan Januari. Apabila melihat pengelompokkan musim yang dilakukan oleh Amri (2002) mengenai kondisi oseanografi perairan Selat Sunda maka terdapat persamaan di kedua periode tersebut, dimana musim penangkapan ikan tembang terjadi pada saat musim peralihan II. Perbedaan dari kedua periode yaitu untuk periode 2002 -2007 pada penelitian ini, musim paceklik berada pada bulan Maret sedangkan untuk periode 2009 – 2011 berada pada bulan Desember dan Januari. Pada periode 2002 – 2007 musim paceklik terjadi pada bulan Maret diduga karena tidak tercatanya hasil tangkapan dan upaya tangkapan di TPI Labuan banten pada saat itu sehingga mempengaruhi hasil perhitungan IMP. Sedangkan untuk periode 2009 – 2011 dikarenakan musim yang terjadi adalah musim barat, sehingga curah hujan yang terjadi di perairan Selat Sunda cukup tinggi. Ketika curah hujan tinggi, hasil pemetaan (Gambar 9) memperlihatkan bahwa keberadaan nelayan purse seine lebih tersebar ke Pulau Rakata, Lampung bagian barat (P. Legundi), dan P. Peucang. Ikan tembang tersebar di sekitar pulau ini karena sifat dari ikan pelagis itu lebih menyenangi daerah-daerah yang terlindungi dan tenang. Dengan adanya curah hujan yang tinggi maka perairan sekitar akan menjadi subur dan langsung berpengaruh terhadap produktivitas perairan (Nanlohy 1997), sehingga nelayan banyak yang beroperasi didaerah tersebut dan mendaratkan hasil tangkapannya ke daerah Lampung atau Binuangen karena lebih dekat dengan daerah tangkapan.

Melihat dari pola musiman yang ditunjukkan oleh Gambar 8, sangat sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Amri (2002) mengenai kondisi oseanografi perairan Selat Sunda. Ikan tembang akan tertangkap pada bulan Maret (peralihan I) dengan menunjukkan pola menaik pada saat memasuki musim timur dan akan menurun ketikan berakhirnya musim peralihan II (Oktober) yang selanjutnya mencapai titik terendah pada musim barat (Januari) (Lampiran 6).

4.2.5.Daerah penangkapan

Daerah penangkapan ikan tembang di Selat Sunda yang diamati dalam penelitian ini (berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat) adalah seluruh perairan Selat Sunda yang menjadi daerah operasional alat tangkap purse

seine dengan alat bantu yang biasa disebut penganak (obor). Lokasi tersebut

meliputi perairan Teluk Labuan, Tanjung Lesung, Sumur, Panaitan, Rakata, Ujung Kulon, Sebesi, Tanjung alang-alang, P. Peucang, dan Lampung (Gambar 9). Umumnya daerah penangkapan berada dalam radius yang dapat ditempuh dalam 1 hari operasi penangkapan (one day fishing). Pemilihan daerah penangkapan ditentukan berdasarkan kondisi perairan serta kemungkinan adanya keberadaan stok ikan yang menjadi tujuan penangkapan dari kapal purse seine.

Penyebaran daerah penangkapan ikan pelagis kecil di Selat Sunda diamati berdasarkan lokasi dan hasil tangkapan ikan setiap bulannya. Hasil tangkapan yang tinggi merupakan daerah penangkapan yang baik yang ditemukan pada bulan bersangkutan, ditandai dengan tingginya nilai IMP pada bulan tersebut. Umumnya lokasi ini kembali didatangi keesokan harinya sampai jumlah hasil tangkapan dilokasi tersebut mencapai jumlah yang dinilai tidak ekonomis lagi sehingga penangkapan berpindah ke lokasi lain.

Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat juga bahwa dari hasil wawancara dengan nelayan, ternyata nelayan sudah bisa mengelompokkan daerah penangkapan berdasarkan musim walaupun terkadang tidak sedikit dari nelayan itu berpindah tempat ke tempat yang gerombolan ikannya lebih besar. Untuk musim penangkapan ikan dan musim biasa (musim peralihan dan musim timur) operasi penangkapan ikan masih disekitar pulau-pulau yang tidak jauh dari Labuan seperti P. Papole, Tg. Lesung, P. Panaitan, dan Tg. Alang-alang. Musim barat merupakan musim dimana curah hujan sangat tinggi (Amri 2002) sehingga gelombang yang dihasilkan sangat besar maka ikan-ikan pelagis kecil cenderung mencari tempat yang tenang seperti di P. Peucang, P. Rakata, dan P. Legundi. Keberadaan gunung aktif ditengah selat, pulau-pulau kecil, dan juga pertemuan dua masa air yang berbeda akan menjadikan wilayah ini secara geologis maupun oseanografi sangat menarik sehingga secara spesifik akan mempengaruhi populasi, jenis, sebaran, dan kelimpahan populasi perikanan pelagis menjadi meningkat (Wijopriono & Genisa AS 2001).

Melihat dari hasil pemetaan (Gambar 9) dan juga matriks sebaran spasial (Tabel 3), pada bulan April-Oktober sumberdaya ikan tembang tersebar di sekitar daerah P. Papole, Tg. Lesung, dan Sumur. Berdasarkan penelitian pendahuluan mengenai reproduksi ikan tembang dapat diketahui bahwa untuk bulan-bulan tersebut ikan tembang yang tertangkap mewakili semua ukuran panjang dan TKG ikan. Hal ini disebabkan karena pada bulan-bulan tersebut merupakan akhir dari musim peralihan I dan awal memasuki musim timur, dimana kondisi lingkungan memungkinkan untuk kegiatan penangkapan. Menurut LIPI (1998) in Hidayat (2000) di Laut Jawa dan Selat Sunda daerah penangkapan terjadi pada musim timur dan pada September-November daerah penangkapan akan merata di seluruh pantai Utara Jawa.

Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai reproduksi ikan tembang di PPP Labuan, Banten diketahui bahwa ikan tembang bersifat partial spawner. Namun, dari hasil matriks berdasarkan TKG ikan tembang yang tertangkap belum bisa dipastikan mengenai pola pemijahan ikan tembang ini karena data yang tersedia hanya beberapa bulan saja. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian lanjutan mengenai reproduksi ikan tembang selain bulan Maret-Oktober. Berdasarkan persentase TKG jantan dan betina pada bulan April, Juni , September, dan Oktober merupakan persentase TKG III dan IV terbesar yang tersebar disekitar P.Papole, P. Panaitan, dan Tg. Lesung. Persentase TKG I dan II yang terbesar terdapat pada bulan Juli dan Agustus yang tersebar didaerah P. Liwungan, Tg. Lesung, dan P. Panaitan. Diduga ikan-ikan yang tersebar didaerah ini masih belum matang gonad dan berukuran kecil (Tabel 3) karena berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ikan betina pertama kali matang gonad pada ukuran panjang 133,74 mm yang berada pada selang kelas 132-139 mm dan untuk ikan jantan mancapai matang gonad pertama kali pada ukuran panjang 153,34 mm yang berada pada selang kelas panjang 148-155 mm. Apabila hal seperti ini tetap berlanjut maka untuk tahun- tahun kedepannya bisa mengarah terjadinya tangkap lebih untuk ikan dengan ukuran yang kecil, sehingga dapat menyebabkan growth overfishing yaitu ikan ditangkap sebelum mereka sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami (Widodo & Suadi 2006). Hal ini bisa

dicegah dengan pembatasan upaya penangkapan, pengaturan mata jaring, dan menutup musim atau daerah penangkapan.

Pembatasan musim atau daerah penangkapan agak sulit untuk dibatasi mengingat masih banyaknya ikan-ikan yang tertangkap memiliki TKG III dan IV selama bulan penelitian. Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai reproduksi ikan tembang diketahui juga bahwa ikan tembang mengalami puncak pemijahan pada bula Juni. Berdasarkan kondisi Tabel 4 dapat dilihat bahwa kondisi aktual masih berada dibawah kondisi pemanfaatan MEY, untuk itu perlu adanya penambahan upaya penangkapan agar didapatkan keuntungan yang maksimum, namun tetap mengarah kepada penangkapan ikan yang sudah berukuran besar (sudah pernah mengalami matang gonad). Agar ikan-ikan yang tertangkap dalam ukuran besar maka dilakukan pengaturan mata jaring (mesh size) ikan disetiap lokasi penangkapan kecuali pada bulan Juli, karena pada bulan Juli ikan-ikan yang banyak tertangkap adalah ikan yang masih juvenil (TKG 1 dan 2). Pada saat musim timur (Mei-Juli), ikan-ikan yang tertangkap masih berukuran kecil karena diduga pada saat itu ikan-ikan besar berada pada perairan yang lebih dalam. Pada umumnya semakin besar ukuran ikan dan semakin tua ikan, ada kecenderungan menyukai dan mencari perairan dengan suhu yang lebih rendah di perairan yang lebih dalam (Amri 2002).

4.2.6.Bioekonomi

Analisis bioekonomi ditujukan untuk menentukan tingkat pengusahaan maksimum bagi pelaku perikanan. Perkembangan usaha perikanan tidak dapat lepas dari faktor harga dan biaya penangkapan yang mempengaruhinya. Analisis bioekonomi melalui pendekatan ekonomi dan biologi merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang dapat diterapkan untuk mengoptimalisasikan sumberdaya perikanan tembang secara berkelanjutan.

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui mengenai hasil perhitungan bioekonomi ikan tembang dalam berbagai rezim. Dengan mengetahui hasil bioekonomi ini dapat diketahui status pemanfaatan ikan tembang di perairan Selat Sunda yang dilihat dari perbandingan tingkat pemanfaatan kondisi aktual dengan tingkat pemanfaatan pada kondisi MSY, MEY, dan open access. Apabila kondisi aktual

melebihi kondisi MEY dan MSY maka kondisi perikanan sudah mengalami

overfishing baik secara ekonomi maupun biologi. Berdasarkan kondisi aktualnya maka kondisi perikanan ikan tembang di perairan Selat Sunda belum mengalami

overfishing baik secara biologi maupun ekonomi.

Dokumen terkait