• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak Melalui Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Sekolah

14. Guru Sebagai Kulminator

2.4 Kekerasan Seksual Pada Anak

2.4.4 Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak Melalui Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Sekolah

Model preventif lebih sulit untuk diaplikasikan pada gangguan stress pascatrauma, salah satunya trauma yang disebabkan oleh kekerasan seksual di masa anak-anak. Upaya pencegahan dapat diawali dengan cara mengumpulkan data dari korban yang bertahan dari kekerasan seksual salah satunya adalah mengenai cara mengidentifikasi pelaku sesegera mungkin sebelum pelaku tersebut menyerang. Di Indonesia beberapa upaya pencegahan aksi kekerasan seksual pada anak sedang marak disuarakan oleh KPAI atau Komite Perlindungan Anak Indonesia. Wujud kepedulian KPAI ini dilakukan melalui berbagai kampanye mengenai hak-hak anak, sosialisasi tentang dampak kekerasan seksual maupun hukuman bagi pelaku kekerasan seksual serta berbagai pelatihan bagi orang tua dan guru mengenai deteksi dini indikasi tindakan kekerasan seksual yang mungkin dialami oleh anak.

Di luar negeri seperti di Amerika Serikat, upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak sudah dilakukan sejak lama, yakni sejak tahun 1970-an akan tetapi mulai mengemuka pada dekade terakhir ini. Dua program pencegahan kekerasan seksual pada anak yang paling terkemuka di Amerika Serikat adalah The Catholic Curch dan Boy Scouts of America (Bagley & King). Program pencegahan kekerasan seksual hendaknya dapat memodifikasi individu dan

lingkungan, memiliki pengimplementasian yang multikomponen serta upaya yang terkoordinasi dan sistematis (Mashudi & Nur’aini, 2015).

Negara lain seperti Malaysia sejak 1979 telah mendirikan Youth Advisory Center dan Filipina dengan Developing Programme and Life Education, Indonesia masih amat tertinggal. Bahkan di Malaysia, mulai tahun 2011 pendidikan reproduksi seks diberikan sejak anak-anak masuk SD (Rifani, 2014).

Menurut Bagley & King ( dalam Mashudi & Nur’aini, 2015), keterampilan keselamatan pribadi (Personal safety skills) merupakan seperangkat keterampilan yang perlu dikuasai oleh anak agar dapat menjaga keselamatan dirinya dan terhindar dari tindakan kekerasan seksual.

Personal safety skills terdiri atas tiga komponen keterampilan yang dikenal dengan slogan 3 R yakni :

a. Recognize, yakni kemampuan anak mengenali ciri-ciri orang yang berpotensi melakukan kekerasan seksual (predator). Pada komponen recognize ini, anak diajari untuk mengenali bagian-bagian tubuh pribadi yang tidak boleh disentuh sembarang orang, dan bagaimana mengatakan tidak saat orang lain melakukan sentuhan tidak aman (unsafe touch), menyuruh membuka baju atau memperlihatkan bagian tubuh pribadi, menyuruh anak melihat bagian tubuh pribadi sang pelaku dan memperlihatkan konten seksual. Anak diberikan kesadaran atas hak-hak pribadi terhadap tubuhnya, serta bagaimana mereka boleh menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh menyentuh bagian tubuhnya, terutama yang sensitif atau yang sangat pribadi. Dengan demikian anak

diharapkan dapat membedakan pelaku tindakan kekerasan seksual daripada orang lainnya yang berkomunikasi atau melakukan kontak fisik dengannya.

Gambar 2.1 Media ajar personal safety skills yang bertujuan membantu anak mengenali dan memahami sentuhan tidak aman

b. Resist, yakni kemampuan anak bertahan dari perlakuan atau tindakan kekerasan seksual, misalnya berteriak minta tolong, memberitahu orang lain bahwa orang yang menggandengnya bukanlah ayah atau ibunya, dan sebagainya. Pada komponen resist ini anak diajari untuk mengidentifikasi sejumlah tindakan yang dapat ia lakukan ketika berhadapan dengan pelaku kekerasan seksual atau ketika berada dalam situasi yang memungkinkan terjadinya tindakan kekerasan seksual. Anak diajari untuk dapat mengabaikan rayuan dan bujukan dari orang yang berpotensi melakukan kekerasan seksual, mengatakan “Tidak!” atau “Stop!” dengan lantang dan tegas pada orang yang mencoba melakukan tindak kekerasan seksual pada mereka, melakukan tindakan perlawanan seperti memukul, menggigit, menendang pada pelaku kekerasan seksual, melarikan diri dari pelaku kekerasan seksual dan berteriak meminta pertolongan pada orang sekitar.

Gambar 2.2 Media ajar personal safety skills yang bertujuan membantu anak melakukan tindakan bertahan dari perlakuan kekerasan seksual

c. Report, yakni kemampuan anak melaporkan perilaku kurang menyenangkan secara seksual yang diterimanya dari orang dewasa, bersikap terbuka kepada orang tua atau guru agar dapat memantau kondisi anak tersebut. Pada komponen report anak diajari agar mampu bersikap terbuka atas tindakan kekerasan seksual yang diterimanya, dan mampu melaporkan pelaku pada orang dewasa atau lembaga lain yang berkepentingan dan dipercaya oleh anak untuk membantunya.

Gambar 2.3 Media ajar personal safety skills berupa video yang mengajarkan anak bagaimana melaporkan kasus kekerasan

seksual yang dialami 2.5 Landasan Teori

Domain Perilaku Kesehatan

Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benjamin Bloom (1908), seorang psikolog pendidikan, membedakan adanya tiga bidang perilaku. Pembagian ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa tujuan suatu pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yakni kognitif (cognitive domain), afektif (affective domain), dan psikomotor (psychomotor domain).

Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari (Notoatmodjo, 2007):

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebagai guru seharusnya memiliki pengetahuan mengenai pendidikan kesehatan reproduksi yang baik terutama bagi anak.

Rogers (1974), menyatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku yang baru, terjadi suatu proses yaitu:

1. Awareness (kesadaran): seseorang menyadari terhadap stimulus objek 2. Interest: seseorang mulai tertarik kepada objek (stimulus)

3. Evaluation: sikap responden sudah lebih baik. Responden mulai menimbang-nimbang baik atau tidaknya stimulus itu bagi dirinya. 4. Trial: seseorang mulai mencoba perilaku baru tersebut

5. Adoption: seseorang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap objek (stimulus).

Pengetahuan yang cukup di dalam domain kognitif menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoadmodjo mempunyai 6 tingkatan, yaitu (Notoadmojo, 2007):

1. Tahu

Yang diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tingkat ini adalah mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari. Tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami

Yaitu suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar.

3. Aplikasi

Merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.

4. Analisis

Yakni suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke dalam komponen tetapi masih didalam suatu struktur organisasi dan masih ada kegiatan satu sama lain.

5. Sintesis

Suatu kemampuan untuk meletakan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah kemampuan untuk menyusun suatu formulasi yang ada.

6. Evaluasi

Yaitu kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek.

2. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Sikap terjadi karena adanya rangsangan sebagai objek sikap yang harus diberi respon, baik responnya positif ataupun negatif, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju dan sebagainya.

Selain bersifat pasif atau negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dsb). Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang, sebab sering kali terjadi bahwa seseorang memperhatikan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap dapat berubah dengan diperoleh tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 2004).

Adapun ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut : 1. Sikap itu dipelajari

Sikap merupakan hasil belajar. Beberapa sikap dipelajari tidak disengaja atau tanpa kesadaran sebagai individu. Mungkin saja yang terjadi adalah mempelajari sikap dengan sengaja bila individu mengerti bahwa hal tersebut akan membawa lebih baik untuk dirinya sendiri, membantu tujuan kelompok atau memperoleh sesuatu nilai yang sifatnya perseorangan.

2. Memiliki kestabilan

Sikap yang bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap dan stabil melalui pengalaman.

3. Personal Societal Signifinance

Sikap melibatkan hubungan antara seseorang dengan orang lain dan juga antara orang dan barang atau situasi. Jika seseorang merasa bahwa orang lain menyenangkan, terbuka dan hangat, maka ini sangat berarti bagi dirinya dan dia akan merasa bebas dan nyaman.

4. Berisi Kognitif dan Affecty

Komponen kognitif dari sikap adalah berisi informasi yang aktual, misalnya objek itu dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan.

5. ApproachAvoidance Directionality

Bila seseorang memiliki sikap yang mudah beradaptasi terhadap suatu objek, mereka akan mendekati dan membantunya, sebaliknya bila seseorang memeliki skap yang susah beradaptasi maka akan menghindarinya.

Ciri-ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut : 1. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling)

Hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus, dan merupakan modal untuk bertindak dengan pertimbangan untung–rugi, manfaat serta sumberdaya yang tersedia.

2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (personal reference) merupakan faktor penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi mengacu pada pertimbangan-pertimbangan individu.

3. Sumber daya (resurces) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tetentu dengan pertimbangan kebutuhan diri pada individu tersebut.

Sedangkan fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yaitu : 1. Sikap sebagai alat untuk menyesuaikan diri.

Sikap adalah sesuatu yang bersifat coomunicable, artinya suatu yang mudah menjalar, sehingga menjadi mudah pula menjadi milik bersama. Sikap bisa

menjadi rantai penghubung antara orang dengan kelompoknya atau dengan anggota kelompoknya.

2. Sikap sebagai alat pengatur tingkah laku.

Pertimbangan antara perangsang dan reaksi pada anak dewasa dan yang sudah lanjut usianya tidak ada. Perangsang itu pada umunya tidak diberi perangsang secara spontan, akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai perangsang–perangsang itu.

3. Sikap sebagai alat pengatur pengalaman–pengalaman.

Manusia didalam menerima pengalaman–pengalaman dari luar sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif, atinya semua berasal dari dunia luar tidak semuanya dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana–mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi, semua pengalaman diberi penilaian lalu dipilih.

4. Sikap sebagai pernyataan kepribadian.

Sikap sering mencerminkan kepribadian seseorang, ini disebabkan karen sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya oleh karena itu dengan melihat sikap–sikap pada objek tertentu, sedikit banyak orang bias mengetahui pribadi orang tersebut. Sikap merupakan pernyataan pribadi (Notoatmodjo, 2007).

Sikap mempunyai tiga komponen pokok, seperti yang dikemukakan Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007), yaitu :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama–sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.

Seperti halnya pengetahuan, sikap mempunyai 4 tingkatan yaitu : 1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek).

2. Menanggapi (responding)

Menanggapi artinya memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

3. Menghargai (valving)

Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain dan mengajak orang lain merespons.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab merupakan sikap yang paling tinggi tingkatannya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, maka dia harus berani mengambil resiko.

Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi tehadap stimulus dapat berupa informasi atau pengetahuan yang didapat. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi

bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Gambar 2.4 Bagan Sikap

Sikap seorang guru yang baik akan dipengaruhi oleh pengetahuan mengenai pendidikan kesehatan reproduksi pada anak. Guru yang mencari pengetahuan dan mendiskusikan mengenai pendidikan kesehatan reproduksi anak dengan pihak-pihak terkait merupakan bukti bahwa guru telah mempunyai sikap positif terhadap pendidikan kesehatan reproduksi pada anak.

3. Tindakan (Practice)

Tindakan merupakan bentuk nyata dari pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau sikap, proses selanjutnya adalah diharapkan ia akan mempraktikkan apa yang diketahuinya dengan mempertimbangkan informasi dan keyakinan tentang keuntungan dan kerugian yang didapat.

Stimulus Rangsang Proses Stimulus Reaksi Tingkah Laku (Terrbuka) Sikap (tertutup )

Tindakan adalah suatu sikap yang belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan agar sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor–faktor dukungan (support) dari pihak lain didalam tindakan atau praktik (Notoatmodjo, 2007). Tingkatan-tingkatan daripada tindakan (practice) yaitu :

1. Persepsi yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

2. Respon terpimpin yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh.

3. Mekanisme yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.

4. Adaptasi yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

Dokumen terkait