• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, serta lingkungan yang mempengaruhi. Perilaku merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Respon terhadap stimulus yang sama dapat berbeda-beda pada tiap-tiap orang yang berbeda tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai dimensi sangat luas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa perilaku adalah respon/reaksi individu terhadap adanya suatu rangsangan, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri.

Setiap individu hidup pada dua tingkatan perilaku, yaitu:

1. Tingkat pribadi, yang sifatnya internal dan sangat subjektif hanya dapat diketahui oleh individu yang bersangkutan.

2. Tingkat umum, yang sifatnya eksternal dan terbuka sehingga dapat dilihat orang lain.

Perilaku dapat dibedakan menjadi dua hal jika dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2007), yaitu:

1. Perilaku Tertutup (Covert Behavior)

(2)

terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

Perilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon ini sudah jelas dalam bentuk tindakan nyata yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2.2 Pendidikan Kesehatan Reproduksi 2.2.1 Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan hakekatnya adalah suatu bentuk intervensi untuk menciptakan perilaku yang kondusif untuk kesehatan (Notoatmojo, 2003). Pendidikan kesehatan akan berjalan dengan baik jika dilakukan dalam lingkungan yang terorganisir seperti lingkungan sekolah. Sejak awal tahun 1980-an, lingkungan sekolah telah menjadi salah satu lokasi kunci ll program pendidikan kesehatan. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation, WHO) bahkan menekankan bahwa program pendidikan kesehatan sekolah dapat menunjang pengembangan keterampilan sosial ekonomi siswa, meningkatkan produtifitas dan kualitas hidup yang lebih baik, serta yang terpenting promosi kesehatan pada siswa sekolah dapat meningkatkan hasil belajarnya.

(3)

perilaku sehat dan budi pekerti yang baik, maka negara dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pula. Sayangnya, tantangan lingkungan seperti kemajuan teknologi informasi dan maraknya pornografi yang tidak direspon dengan baik oleh sekolah mendorong siswa berperilaku tidak sehat seperti kecanduan miras dan narkoba serta perilaku seks yang menyimpang.

2.2.2 Definisi Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Istilah reproduksi berasal dari kata “re” yang artinya kembali dan kata

produksi yang artinya membuat atau menghasilkan. Jadi istilah reproduksi mempunyai arti suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidupnya. Sedangkan yang disebut organ reproduksi adalah alat tubuh yang berfungsi untuk reproduksi manusia.

Menurut BKKBN, defenisi kesehatan reproduksi adalah kesehatan secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses reproduksi dan bukan hanya kondisi yang bebas dari penyakit dan kecacatan.

Menurut International Conference on Population and Development di Kairo, Mesir pada tahun 1994 kesehatan reproduksi adalah sebagai hasil akhir keadaan sehat sejahtera secara fisik, mental, dan sosial dan tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala hal yang terkait dengan sistem, fungsi serta proses reproduksi (UNFPA, 2004)

(4)

penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi dan prosesnya (Purba, 2014).

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi yang pemikiran kesehatan reproduksi bukannya kondisi yang bebas dari penyakit melainkan bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan memuaskan sebelum dan sesudah menikah.

Istilah pendidikan kesehatan reproduksi saat ini kalah populer dengan istilah pendidikan seks yang gencar dikampanyekan melalui media cetak maupun elektronik. Mungkin karena banyaknya pendapat mengenai pendidikan seks itu sendiri membuat pengertiannya menjadi semakin kabur, bahkan cenderung simpang siur.

(5)

oleh dr. Nina Surtiretna, bahwa pendidikan seks adalah upaya memberikan pengetahuan tentang perubahan biologis, psikologis, dan psikososial sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan manusia. Intinya, pendidikan seks merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral etika serta komitmen agama agar tidak terjadi penyalahgunaan organ reproduksi tersebut (Pertiwi, 2007).

Pendidikan kesehatan reproduksi lebih sesuai dengan kultur budaya Indonesia dan lebih mudah diterima oleh komunitas sekolah, agama, terutama para orang tua. Di samping itu, istilah kesehatan reproduksi juga lebih menekankan pada upaya memberikan pengetahuan, keterampilan hidup, dan pembentukan kondisi dan perilaku jasmani, psikologi, sosial yang berhubungan dengan fungsi dan sistem organ reproduksi secara sehat dan mandiri. Intinya adalah pendidikan ini bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan, tanggung jawab, mandiri, serta perilaku akan reproduksi yang sehat. Sehingga pendidikan kesehatan reproduksi sudah semestinya diberikan sejak masa kanak-kanak, ketika mereka mulai mengenal identitasnya sebagai laki-laki dan perempuan.

(6)

1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir 2. Keluarga Berencana

3. Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), termasuk PMS-HIV / AIDS

4. Pencegahan dan penangulangan komplikasi aborsi 5. Kesehatan Reproduksi Remaja

6. Pencegahan dan Penanganan Infertilitas 7. Kanker pada Usia Lanjut dan Osteoporosis

8. Berbagi aspek Kesehatan Reproduksi lain misalnya kanker serviks, mutilasi genetalia, fistula dll.

Pendekatan yang diterapkan dalam menguraikan ruang lingkup kesehatan reproduksi adalah pendekatan siklus hidup, yang berarti memperhatikan kekhususan kebutuhan penanganan sistem reproduksi pada setiap fase kehidupan, serta kesinambungan antar-fase kehidupan tersebut. Dengan demikian, masalah kesehatan reproduksi pada setiap fase kehidupan dapat diperkirakan, yang bila tak ditangani dengan baik maka hal ini dapat berakibat buruk pada masa kehidupan selanjutnya. Fase kehidupan dalam kesehatan reproduksi adalah sebagai berikut:

1. ibu hamil dan konsepsi 2. bayi dan anak

(7)

2.2.4 Tujuan Pendidikan Reproduksi

Pendidik sudah seharusnya bersikap tanggap dan menjaga siswa-siswanya supaya tetap waspada terhadap gejala sosial yang ada. Yaitu meningkatkan penerangan pengetahuan masalah seksual pada siswanya. Tujuannya ialah untuk memberikan pengertian yang wajar mengenai proses kedewasaan dirinya, baik secara fisik maupun mental emosional yang berhubungan dengan seksualitas, dan juga membangun sikap yang positif, sehat, dan objektif terhadap perkembangan seksual dengan segala manifestasinya. Baik mengenai dirinya maupun orang lain (Alex dalam Dewi, 2013).

Andika (2010) menyatakan “pendidikan seks bertujuan untuk

memperkenalkan anak tentang jenis kelamin dan cara menjaganya, baik dari sisi kesehatan dan kebersihan, keamanan serta keselamatan”. Sedangkan menurut

Akhmad Azhar Miqdad (dalam Dewi, 2013) mengutip pendapat Kir Kendall, bahwa tujuan pendidikan seks adalah:

1. Membentuk pengertian dalam perbedaan seks antara pria dan wanita dalam keluarga, pekerjaan dalam seluruh kehidupan yang selalu berubah dan berbeda dalam tiap masayarakat dan kebudayaan,

2. Membentuk pengertian tentang peranan seks didalam kehidupan manusia dan keluarga,

3. Mengembangkan pengertian diri sendiri sehubungan dengan fungsi dan kebutuhan seks,

(8)

memilih jodoh, hidup berkeluarga, tindak kesusilaan dalam seks, dan lain-lain.

Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan seks ialah memberikan pengertian tentang memperkenalkan anak tentang jenis kelamin dan cara menjaganya, baik dari sisi kesehatan dan kebersihan, keamanan serta keselamatan menghindarkan siswa dari pelecehan seksual dan mempersiapkan anak menghadapi masa pubertas. Materi pendidikan seks disesuaikan dengan tugas perkembangan siswa SD.

G. Stanley Hall (dalam Pujiarta, 2007), ilmuan yang dikenal sebagai “Bapak Penelitian Ilmiah”, mengatakan “bahwa anak-anak bukanlah orang dewasa kecil”. Secara umum anak dapat diartikan sebagai manusia yang sedang tumbuh. Definisi lain menyebutkan masa anak-anak (chilhood) berlangsung antara usia 6-12 tahun.

Menurut Peratuan Bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor 04/VI/PB/2011 dan Nomor MA/111/2011 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak/RA/BA dan Sekolah/Madrasah Pasal 5 berdasarkan persyaratan calon peserta didik baru mulai kelas 1 (satu) pada SD/MI telah berusia 7 tahun sampai dengan 12 tahun, paling rendah usia 6 tahun.

Tujuan pendidikan reproduksi jika disesuaikan berdasarkan usia dengan perkembangan usia yaitu sebagai berikut :

a. Usia balita (1-5 tahun)

(9)

b. Usia Sekolah Dasar (6-10)

Memahami perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) menginformasikan asal-usul manusia, membersihkan alat genital dengan benar agar terhindar dari kuman dan penyakit.

c. Usia Menjelang Remaja

Menerangkan masa pubertas dan karakteristiknya, serta menerima perubahan dari bentuk tubuhnya.

d. Usia Remaja

Memberi penjelasan mengenai perilaku seks yang merugikan seperti seks bebas. Menanamkan moral dan prinsip ‘Say no’ untuk seks pranikah serta

membangun penerimaan terhadap diri sendiri. e. Usia Pranikah

Pembekalan pada pasangan yang ingin menikah tentang hubungan seks yang sehat dan tepat.

f. Usia setelah menikah

Memelihara pernikahan melalui hubungan seks yang berkualiatas dan berguna untuk melepaskan ketegangan dan stress.

Tujuan Pendidikan Reproduksi secara Teoritis:

(10)

2. Pendidikan reproduksi juga menjawab semua pertanyaan yang ada dibenak mereka seiring dengan perubahan yang terjadi pada tubuh mereka.

3. Kekeasan dan pelecehan seksual saat ini semakin marak terjadi di seluruh dunia, sehingga pendidikan reproduksi ini dapat berperan aktif dalam menangani masalah penganiayaan dan pelecehan seksual ini. 4. Pengetahuan reproduksi yang mereka dapat dari sekolah akan jauh

lebih baik ketimbang harus membiarkan mereka mencari sendiri informasi tentang materi seks dan pornografi dari internet. Karena terkadang informasi yang mereka dapat dari internet itu hanya akan menyesatkan mereka dan menimbulkan pemahaman yang salah. 2.2.5 Manfaat Pendidikan Reproduksi pada Anak SD

1. Mengerti dan memahami dengan peran jenis kelaminnya

Dengan diberikannya pendidikan reproduksi pada anak, seorang anak laki-laki diharapkan tumbuh dan berkembang menjadi laki-laki seutuhnya,

begitu pula dengan anak perempuan, diharapkan tumbuh dan berkembang

menjadi seorang perempuan seutuhnya. Sehingga tidak ada lagi yang

merasa tidak nyaman dengan peran jenis kelamin yang dimilikinya.

2. Menerima setiap perubahan fisik yang dialami dengan wajar dan apa adanya

Masa kanak-kanak adalah masa dimana seorang manusia sedang

mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun

(11)

perubahan fisik dan psikis mengalami tahap paling cepat dibandingkan

dengan masa sebelum dan sesudahnya. Dengan diberikannya pendidikan

seksualitas menjadikan anak-anak mengerti dan paham tentang bagaimana

mereka menyikapi perubahan-perubahan tersebut, sehingga mereka tidak

akan merasa asing, kaget, bingung, dan takut saat menghadapinya

3. Menghapus rasa ingin tahu yang tidak sehat

Sebaiknya, orang-orang terdekat seperti orang tua dan guru bisa

menjadi sosok yang menyenangkan bagi anak untuk bisa memenuhi rasa

ingin tahunya yang menggebu tentang banyak hal termasuk tentang

seksualitas. Ini dimaksudkan agar anak tidak memutuskan untuk mencari

tahu jawaban akan pertanyaan-pertanyaannya melalui teman, komik, VCD,

ataupun media lainnya yang tidak menjamin anak mendapatkan informasi

yang sebenar-benarnya.

4. Memperkuat rasa percaya diri dan bertanggung jawab pada dirinya Percaya diri akan timbul jika seorang anak sudah merasa nyaman

dengan dirinya. Anak akan merasa nyaman pada dirinya jika telah

mengetahui setiap bagian dari dirinya juga fungsi dari bagian-bagian

tersebut. Sehingga, anak akan mengetahui apa yang boleh dan yang tidak

boleh dilakukan. Pada akhirnya, anak akan mulai belajar untuk

(12)

5. Mengerti dan memahami betapa besarnya kuasa Sang Pencipta

Pemahaman tentang bagian-bagian dan fungsi-fungsi yang ada pada

tubuhnya akan membuat anak semakin mengerti dan memahami

betapa luar biasanya ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Anak-anak dan remaja rentan terhadap informasi yang salah mengenai seks.

Jika tidak mendapatkan pendidikan reproduksi yang tepat, mereka akan termakan

mitos-mitos tentang seks yang tidak benar. Informasi tentang seks sebaiknya

didapatkan langsung dari orang tua dan guru yang memiliki perhatian khusus

terhadap anak-anak mereka.

Hasil survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen remaja di Indonesia telah melakukan

hubungan seks pranikah. Penyebabnya karena kurangnya pendidikan reproduksi

kepada anak dan remaja (Pertiwi, 2007).

Pendidikan reproduksi yang dianggap tabu justru memberikan dampak

negatif pada anak-anak. Sebaliknya, seks harus diajarkan kepada anak dengan

cara yang bijak. Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan

pemberian informasi tentang masalah seksual. Informasi yang diberikan di

antaranya pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan

moral, etika, komitmen, agama agar tidak terjadi ”penyalahgunaan” organ

reproduksi tersebut.

Pendidikan kesehatan reproduksi dapat dikatakan sebagai cikal bakal

pendidikan kehidupan berkeluarga yang memiliki makna sangat penting. Para ahli

(13)

dengan pendidikan reproduksi yang sesuai dengan tahap perkembangan

kedewasaan mereka.

Informasi tentang reproduksi bisa diberikan sejak anak sudah bisa melakukan

komunikasi dua arah. Orang tua dan guru saat ini perlu dibekali pengetahuan

mengenai seks, karena tidak jarang juga anak-anak yang bertanya akan masalah

seks. Kurangnya pembekalan tentang seks membuat anak menjadi bingung dan

bisa mencari informasi yang salah, sebab didapat dari narasumber yang tidak

layak. Hasil akhirnya tentu tidak sesuai dengan harapan dan manfaat.

Para remaja bisa mencari informasi yang berhubungan dengan seks melalui

berbagai sumber seperti buku, majalah, film, internet dengan mudah. Padahal,

informasi yang didapat belum tentu benar dan bahkan mungkin bisa

menjerumuskan atau menyesatkan. Oleh sebab itu, guru dapat bekerjasama

dengan orang tua disarankan agar mulai membiasakan berdialog dengan anak, dan

anak juga dapat menggunakan orang tua dan guru sebagai narasumber yang

tepercaya.

2.2.6 Pendidikan Kesehatan Reproduksi sebagai Bagian Integratif dari Pembelajaran

Dari latar belakang di atas, disadari bahwa pendidikan kesehatan reproduksi menjadi kebutuhan penting dalam dunia pendidikan formal (sekolah). Di kota besar seperti Jakarta dan Bali, beberapa sekolah menengah atas bahkan sudah melaksanakannya baik sebagai kegiatan intra ataupun ekstra kurikuler.

(14)

diberikan pada siswa sekolah dasar. Ada kekhawatiran bahwa siswa sekolah dasar belum siap menerima hal tersebut dan lebih baik dalam kelas perihal seks tidak usah dibicarakan sama sekali. Pendapat ini sama sekali tidak beralasan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa tidak ada data yang mendukung bahwa pendidikan kesehatan reproduksi yang benar akan mengarahkan siswa untuk mencoba berperilaku seksual yang tidak sehat. Mendukung bahwa pendidikan kesehatan reproduksi yang benar akan mengarahkan siswa untuk mencoba berperilaku seksual yang tidak sehat (Pertiwi, 2007)

Temuan lain yang mendukung menurut Pertiwi (2007) adalah survey yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Faktanya, sekitar 15 % remaja usia 10-15 tahun telah melakukan hubungan seksual.

Selain itu, dengan perkembangan pesat teknologi informasi, anak usia sekolah dasar pun cenderung ingin tahu segala sesuatu yang berkaitan dengan seks. Apalagi di usia sekolah dasar akhir yang merupakan rerata usia pubertas, siswa akan dihadapkan pada perubahan fisik, emosional, dan sosial yang terjadi selama pubertas. Pubertas sendiri merupakan komponen dasar dari sistem reproduksi manusia, pengetahuan mengenai hal ini seharusnya telah didapatkan oleh anak-anak paling tidak sebelum mereka mendapatkannya.

(15)

orang tua masih tetap risih dan bersikap kolot, guru sebagai seorang pendidik yang profesional harus mampu menjembatani komunikasi tentang hal ihwal kesehatan reproduksi ini antara siswa dan orang tuanya.

2.2.7 Pendidikan Kesehatan Reproduksi Bagi Anak Sekolah Dasar Materi Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Pembelajaran Materi pendidikan kesehatan reproduksi pada dasarnya bersifat fleksibel, namun tetap mempunyai pokok-pokok bahasan yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan usia siswa. Bersifat fleksibel artinya materi ini mempunyai variasi yang luas dan beragam, menyesuaikan dengan budaya daerah, norma sosial, dan nilai-nilai agama yang ada di lingkungan tempat sekolah itu berada. Fleksibel juga berarti dalam penyampaian materi, guru dapat menggunakan berbagai teknik dan metode yang sesuai dengan suasana kelas, disampaikan dengan bahasa ’gaul’

yang akrab di telinga siswa, dan pendekatan yang luwes pada beberapa siswa dengan karakter dan kepribadian ’khusus’.

Menurut Pertiwi (2007) pendidikan kesehatan reproduksi dalam pembelajaran yang ditujukan untuk siswa sekolah dasar secara umum terdiri atas :

a. Untuk siswa sekolah dasar awal (kelas 1-2)

(16)

sopan, meminta ijin ketika akan memasuki kamar orang tua, dan menjaga kebersihan organ kelaminnya.

b. Untuk siswa sekolah dasar tengah (kelas 3-4)

Materi berupa eksplorasi perubahan menjelang pubertas secara detail, bagaimana asal mula kehidupan manusia (darimana bayi berasal), kejahatan seksual dan bagaimana menjaga kesucian diri serta menghindari pengaruh seksual dari lingkungan yang menyimpang. Guru disarankan untuk mendorong anak menjalin komunikasi yang erat dengan keluarga, mencari sumber pengetahuan seksual yang benar, dan berhati-hati pada orang-orang dengan lingkungan perilaku seksual yang menyimpang.

c. Untuk siswa sekolah dasar akhir (kelas 5-6)

(17)

pengertian tentang hubungan seksual yang penting untuk meneruskan keturunan namun sangat suci dan sakral. Siswa pada usia ini akan cenderung banyak bertanya tentang berbagai hal bahkan terkadang pertanyaan yang sudah mulai menjurus pada perilaku seksual (mungkin mendapat informasi dari teman, film, atau bacaan porno). Sehingga, guru dituntut memiliki kesiapan mental dan wawasan yang luas untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut secara bijak dengan teknik penyampaian yang sesuai dengan kebutuhan usia mereka.

Metode yang dapat diterapkan dalam kelas agar pembelajaran kesehatan reproduksi dapat berlangsung menarik dan efektif adalah dengan pemutaran video, diskusi kelas, diskusi kelompok kecil, bermain peran, dan kotak pertanyaan yang dipasang di belakang kelas. Kotak pertanyaan bermanfaat agar jika sewaktu-waktu siswa ingin bertanya namun malu mengemukakannya di depan kelas. Guru dapat pula membawa contoh-contoh gambar dan fungsi organ reproduksi yang telah dikemas secara ilmiah.

2.3 Guru

2.3.1 Pengertian Guru

(18)

Secara tradisional guru adalah seorang yang berdiri didepan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan.

Guru sebagai pendidik dan pengajar anak, guru diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan berbagai macam hal yang baru dan sebagai fasilitator anak supaya dapat belajar dan mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal,hanya saja ruang lingkupnya guru berbeda, guru mendidik dan mengajar di sekolah negeri ataupun swasta.

Adapun pengertian guru menurut para ahli (Martiana, 2013):

1. Menurut Noor Jamaluddin, guru adalah pendidik, yaitu orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu berdiri sendiri dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan individu yang sanggup berdiri sendiri. 2. Menurut Peraturan Pemerintah, guru adalah jabatan fungsional, yaitu

kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam suatu organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan keahlian atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.

3. Menurut Keputusan Menteri, guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pendidikan di sekolah.

(19)

menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

2.3.2 Peran dan Fungsi Guru

Para pakar pendidikan di Barat telah melakukan penelitian tentang peran guru yang harus dilakoni. Peran guru yang beragam telah diidentifikasi dan dikaji oleh Pullias dan Young, Manan, serta Yelon dan Weinstein (Martiana, 2013).

Adapun peran-peran tersebut adalah sebagai berikut : 1. Guru Sebagai Pendidik

(20)

2. Guru Sebagai Pengajar

Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Jika faktor-faktor di atas dipenuhi, maka melalui pembelajaran peserta didik dapat belajar dengan baik. Guru harus berusaha membuat sesuatu menjadi jelas bagi peserta didik dan terampil dalam memecahkan masalah.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran, yaitu: membuat ilustrasi, mendefinisikan, menganalisis, mensintesis, bertanya, merespon, mendengarkan, menciptakan kepercayaan, memberikan pandangan yang bervariasi, menyediakan media untuk mengkaji materi standar, menyesuaikan metode pembelajaran, memberikan nada perasaan.

Agar pembelajaran memiliki kekuatan yang maksimal, guru-guru harus senantiasa berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan semangat yang telah dimilikinya ketika mempelajari materi standar.

3. Guru Sebagai Pembimbing

(21)

Sebagai pembimbing perjalanan guru memerlukan kompetensi yang tinggi untuk melaksanakan empat hal berikut:

a. Guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai.

b. Guru harus melihat keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran, dan yang paling penting bahwa peserta didik melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara jasmaniah, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis.

c. Guru harus memaknai kegiatan belajar. d. Guru harus melaksanakan penilaian. 4. Guru Sebagai Pemimpin

Guru diharapkan mempunyai kepribadian dan ilmu pengetahuan. Guru menjadi pemimpin bagi peserta didiknya.

5. Guru Sebagai Pengelola Pembelajaran

Guru harus mampu menguasai berbagai metode pembelajaran. Selain itu, guru juga dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. 6. Guru Sebagai Model dan Teladan

(22)

Guru yang baik adalah yang menyadari kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada pada dirinya, kemudian menyadari kesalahan ketika memang bersalah. Kesalahan harus diikuti dengan sikap merasa dan berusaha untuk tidak mengulanginya.

7. Guru sebagai Anggota Masyarakat

Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan disegala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya. Guru perlu juga memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat melalui kemampuannya, antara lain melalui kegiatan olahraga, keagamaan dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.

8. Guru sebagai administrator

(23)

9. Guru Sebagai Penasehat

Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik juga bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang.

Peserta didik senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental.

10. Guru Sebagai Pembaharu (Inovator)

Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Dalam hal ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti lebih banyak daripada nenek kita. Seorang peserta didik yang belajar sekarang, secara psikologis berada jauh dari pengalaman manusia yang harus dipahami, dicerna dan diwujudkan dalam pendidikan.

Tugas guru adalah menerjemahkan kebijakan dan pengalaman yang berharga ini kedalam istilah atau bahasa moderen yang akan diterima oleh peserta didik. Sebagai jembatan antara generasi tua dan genearasi muda, yang juga penerjemah pengalaman, guru harus menjadi pribadi yang terdidik.

11. Guru Sebagai Pendorong Kreatifitas

(24)

lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga peserta didik akan menilaianya bahwa ia memang kreatif dan tidak melakukan sesuatu secara rutin saja. Kreativitas menunjukkan bahwa apa yang akan dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik dari yang telah dikerjakan sebelumnya.

12. Guru Sebagai Emansipator

Guru mengetahui bahwa pengalaman, pengakuan dan dorongan seringkali membebaskan peserta didik dari “self image” yang tidak menyenangkan,

kebodohan dan dari perasaan tertolak dan rendah diri. Guru telah melaksanakan peran sebagai emansipator ketika peserta didik yang dicampakkan secara moril dan mengalami berbagai kesulitan dibangkitkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri.

13. Guru Sebagai Evaluator

Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variable lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Teknik apapun yang dipilih, dalam penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.

14. Guru Sebagai Kulminator

(25)

mengetahui kemajuan belajarnya. Di sini peran kulminator terpadu dengan peran sebagai evaluator.

Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu. Serta mampu mentransferkan kebisaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik.

Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi guru. Dia harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka suatu masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat tersebut bergerak menuju kehancuran.

2.4 Kekerasan Seksual Pada Anak

2.4.1 Pengertian Kekerasan Seksual Pada Anak

(26)

makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan, dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse).

Secara umum pengertian kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. (CASAT Programe, Child Development Institute; Boyscouts of America; Komnas PA).

Kekerasan seksual adalah praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama serta melanggar hukum yang berlaku. Kekerasan ditunjukkan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik maupun non fisik. Kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha-usaha jahatnya tersebut (Huraerah, 2008 dalam Kurniati, 2013).

(27)

hubungan seksual, perkosaan, hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan darah (incest), dan sodomi (Depkes RI, 2007).

Kekerasan seksual tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga mencakup banyak perilaku lainnya, misalnya penganiayaan psikologis dan penghinaan, sehingga kalau berbicara masalah kekerasan seksual haruslah menyentuh pada inti kekerasan dan pemaksaan, tidak hanya perilaku yang keras dan menekan. Kalau kekerasan seksual hanya diartikan sempit sebagai perilaku yang keras dan menekan.

Menurut Lyness kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya. Undang-Undang Perlindungan Anak memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002).

2.4.2 Dampak pada Anak Korban Kekerasan

(28)

Diinginkan (KTD), Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS,gangguan/kerusakan organ reproduksi (Depkes RI, 2007).

Untuk dampak jangka panjang lainnya, ketika dewasa nanti anak dapat mengalami fobia pada hubungan seks atau bahkan yang parahnya lagi dia akan terbiasa dengan kekerasan sebelum melakukan hubungan seksual. Bisa juga setelah menjadi dewasa, anak tesebut akan mengikuti apa yang dilakukan kepadanya semasa kecilnya atau menjadi pelaku kekerasan seksual. Selain itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, penyakit jiwa lain (termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik kepada anak (Pertiwi, 2012).

Finkelhor dan Browne (Kurniawati, 2013) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan seksual, yaitu:

a. Pengkhianatan (Betrayal)

Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai anak individu percaya kepada orang tua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas orang tua menjadi hal yang mengancam anak.

b. Trauma secara Seksual (Traumatic Sexualization)

(29)

korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.

c. Tidak Berdaya (Powerlessness)

Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya.

d. Stigma (Stigmatization)

Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori kejadian tersebut.

Dampak kekerasan seksual menurut Ollier & Hobday (dalam Mashudi & Nur’aini, 2015) berbeda antara individu satu dengan individu lainnya. Penting

(30)

berlangsung selama beberapa hari sampai dengan beberapa minggu. Reaksipredominan cenderung berupa guncangan/shock dan rasa tidak berdaya.

Reaksi semacam itu dapat terinternalisasi yakni dimana anak menjadi tenang dan terkendali, serta bisa pula tereksternalisasi yakni dimana anak menunjukkan perilaku seperti menangis, mengamuk, atau terganggu secara fisik. Konsekuensi personal yang dialami anak korban kekerasan seksual biasanya mempengaruhi pola perilaku, emosi dan kognitif anak tersebut. Beberapa kognisi dan perilaku muncul sebagai strategi coping dalam konteks kekerasan seksual. Misalnya perilaku agresif dilakukan anak agar dapat mengendalikan situasi intim dengan orang lain, menyalahkan diri sendiri dapat membantu anak perempuan merasa dicintai oleh pelaku kekerasan seksual dan menjelaskan mengapa pelaku tersebut melakukan hal buruk pada diri anak perempuan itu (Ollier & Hobday, dalam Mashudi & Nur’aini, 2015).

(31)

Tabel 2.1 Dampak Psikologis Lanjutan dari Tindakan Kekerasan

Banyak faktor yang akhirnya memicu kekerasan seksual yang terjadi terutama di kalangan anak usia dini. Dalam Pedoman Rujukan Kasus Kekeasan Terhadap anak Bagi Petugas Kesehatan (2007) terdapat banyak faktor resiko terjadi kekerasan pada anak, mulai dari fakto anak itu sendiri, orang tua/keluarga, maupun masyarakat/sosial.

(32)

bangsa dan negara, oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara positif. Terutama disaat ia mengalami masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang disebut masa remaja.

Dewasa ini mengawasi dan membatasi anak bukan merupakan tindakan efektif yang dapat kita lakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak. Telebih telah banyak kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak dilakukan bukan hanya oleh orang asing melainkan orang yang dekat dengan si anak. Untuk itu penting membekali anak agar dapat mandiri dan petanggungjawab terhadap dirinya sendiri.

2.4.3 Klasifikasi Kekerasan Seksual pada Anak

Menurut Resna dan Darmawan (dalam Kurniati, 2013), tindakan penganiayaan seksual dapat dibagi atas tiga kategori yaitu perkosaan, incest, dan eksploitasi. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Perkosaan

(33)

kepada situasi dimana terjadi tempat perkosaan, pemerkosa harus dijauhkan dari anak.

2. Incest

Incest didefenisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur. Incest biasanya terjadi dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.

3. Eksploitasi

Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi, dan hal ini cukup unik karena sering meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi. Hal ini dapat terjadi sebagai sebuah keluarga atau di luar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual. Pada beberapa kasus ini meliputi keluarga-keluarga, seluruh keluarga ibu, ayah dan anak-anak dapat terlibat dan anak-anak harus dilindungi dan dipindahkan dari situasi rumah. Hal ini merupakan situasi patologi dimana kedua orang tua sering terlibat kegiatan seksual dengan anak-anaknya dan mempergunakan anak-anak untuk prostitusi atau untuk pornografi. Eksploitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang banyak secara psikiatri.

Selain itu Tower (dalam Lubis, 2012) juga melakukan pembagian jenis kekerasan seksual berdasarkan identitas pelaku.

1. Familial Abuse

(34)

pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, yang dipercaya merawat anak termasuk dalam pengertian incest. incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak, yaitu kategori pertama, penganiayaan (sexual molestation), hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, perkosaan (sexual assault), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, stimulasi oral pada penis (fellatio), dan stimulasi oral pada klitoris (cunnilingus). Kategori terakhir yang paling fatal disebut perkosaan secara paksa (forcible rape), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan demikian.

2. Extrafamilial Abuse

(35)

Selain itu, beberapa orang tua kadang kurang peduli tentang di mana dan dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak yang sering bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus diwaspadai (Noviana, 2015).

Pengkategorian kekerasan seksual yang dikemukakan oleh Kempe dan Kempe (1984 dalam Mashudi dan Nur’aini, 2015) adalah sebagai berikut :

a. Inses, yakni aktivitas seksual antar anggota keluarga

b. Pedofilia, yakni preferensi seksual orang dewasa terhadap anak pra-pubertassebagai objek kesenangan seksual

c. Ekshisibionisme, yakni tindakan menunjukkan alat kelamin terhadap orang lain, dalam hal ini biasanya dilakukan orang dewasa laki-laki pada anak d. Pencabulan, yakni tindakan berupa mengagumi dengan hasrat seksual,

menyentuh, meremas, mencium dan masturbasi

e. Hubungan seksual, yakni tindakan yang melibatkan kontak oral-genital, anal-genital, dan penil-vaginal

f. Perkosaan, yakni tindakan penetrasi seksual dengan paksaan dan tanpa persetujuan korban

g. Sadism seksual, yakni tindakan kekerasan seksual yang melibatkan upaya melukai atau menciderai tubuh korban dengan tujuan untuk memperoleh kesenangan seksual

(36)

i. Prostitusi anak, yakni pelibatan anak dalam aktivitas seksual untuk kepentingan komersial.

2.4.4 Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak Melalui Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Sekolah

Model preventif lebih sulit untuk diaplikasikan pada gangguan stress pascatrauma, salah satunya trauma yang disebabkan oleh kekerasan seksual di masa anak-anak. Upaya pencegahan dapat diawali dengan cara mengumpulkan data dari korban yang bertahan dari kekerasan seksual salah satunya adalah mengenai cara mengidentifikasi pelaku sesegera mungkin sebelum pelaku tersebut menyerang. Di Indonesia beberapa upaya pencegahan aksi kekerasan seksual pada anak sedang marak disuarakan oleh KPAI atau Komite Perlindungan Anak Indonesia. Wujud kepedulian KPAI ini dilakukan melalui berbagai kampanye mengenai hak-hak anak, sosialisasi tentang dampak kekerasan seksual maupun hukuman bagi pelaku kekerasan seksual serta berbagai pelatihan bagi orang tua dan guru mengenai deteksi dini indikasi tindakan kekerasan seksual yang mungkin dialami oleh anak.

(37)

lingkungan, memiliki pengimplementasian yang multikomponen serta upaya yang terkoordinasi dan sistematis (Mashudi & Nur’aini, 2015).

Negara lain seperti Malaysia sejak 1979 telah mendirikan Youth Advisory Center dan Filipina dengan Developing Programme and Life Education, Indonesia masih amat tertinggal. Bahkan di Malaysia, mulai tahun 2011 pendidikan reproduksi seks diberikan sejak anak-anak masuk SD (Rifani, 2014).

Menurut Bagley & King ( dalam Mashudi & Nur’aini, 2015), keterampilan keselamatan pribadi (Personal safety skills) merupakan seperangkat keterampilan yang perlu dikuasai oleh anak agar dapat menjaga keselamatan dirinya dan terhindar dari tindakan kekerasan seksual.

Personal safety skills terdiri atas tiga komponen keterampilan yang dikenal dengan slogan 3 R yakni :

(38)

diharapkan dapat membedakan pelaku tindakan kekerasan seksual daripada orang lainnya yang berkomunikasi atau melakukan kontak fisik dengannya.

Gambar 2.1 Media ajar personal safety skills yang bertujuan membantu anak mengenali dan memahami sentuhan tidak aman

(39)

Gambar 2.2 Media ajar personal safety skills yang bertujuan membantu anak melakukan tindakan bertahan dari perlakuan kekerasan seksual

(40)

Gambar 2.3 Media ajar personal safety skills berupa video yang mengajarkan anak bagaimana melaporkan kasus kekerasan

seksual yang dialami

2.5 Landasan Teori

Domain Perilaku Kesehatan

Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benjamin Bloom (1908), seorang psikolog pendidikan, membedakan adanya tiga bidang perilaku. Pembagian ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa tujuan suatu pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yakni kognitif (cognitive domain), afektif (affective domain), dan psikomotor (psychomotor domain).

Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari (Notoatmodjo, 2007):

1. Pengetahuan (Knowledge)

(41)

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebagai guru seharusnya memiliki pengetahuan mengenai pendidikan kesehatan reproduksi yang baik terutama bagi anak.

Rogers (1974), menyatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku yang baru, terjadi suatu proses yaitu:

1. Awareness (kesadaran): seseorang menyadari terhadap stimulus objek 2. Interest: seseorang mulai tertarik kepada objek (stimulus)

3. Evaluation: sikap responden sudah lebih baik. Responden mulai menimbang-nimbang baik atau tidaknya stimulus itu bagi dirinya. 4. Trial: seseorang mulai mencoba perilaku baru tersebut

5. Adoption: seseorang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap objek (stimulus).

Pengetahuan yang cukup di dalam domain kognitif menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoadmodjo mempunyai 6 tingkatan, yaitu (Notoadmojo, 2007):

1. Tahu

(42)

2. Memahami

Yaitu suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar.

3. Aplikasi

Merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.

4. Analisis

Yakni suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke dalam komponen tetapi masih didalam suatu struktur organisasi dan masih ada kegiatan satu sama lain.

5. Sintesis

Suatu kemampuan untuk meletakan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah kemampuan untuk menyusun suatu formulasi yang ada.

6. Evaluasi

Yaitu kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek.

2. Sikap (Attitude)

(43)

Selain bersifat pasif atau negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dsb). Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang, sebab sering kali terjadi bahwa seseorang memperhatikan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap dapat berubah dengan diperoleh tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 2004).

Adapun ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut : 1. Sikap itu dipelajari

Sikap merupakan hasil belajar. Beberapa sikap dipelajari tidak disengaja atau tanpa kesadaran sebagai individu. Mungkin saja yang terjadi adalah mempelajari sikap dengan sengaja bila individu mengerti bahwa hal tersebut akan membawa lebih baik untuk dirinya sendiri, membantu tujuan kelompok atau memperoleh sesuatu nilai yang sifatnya perseorangan.

2. Memiliki kestabilan

Sikap yang bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap dan stabil melalui pengalaman.

3. Personal Societal Signifinance

(44)

4. Berisi Kognitif dan Affecty

Komponen kognitif dari sikap adalah berisi informasi yang aktual, misalnya objek itu dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan.

5. ApproachAvoidance Directionality

Bila seseorang memiliki sikap yang mudah beradaptasi terhadap suatu objek, mereka akan mendekati dan membantunya, sebaliknya bila seseorang memeliki skap yang susah beradaptasi maka akan menghindarinya.

Ciri-ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut : 1. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling)

Hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus, dan merupakan modal untuk bertindak dengan pertimbangan untung–rugi, manfaat serta sumberdaya yang tersedia.

2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (personal reference) merupakan faktor penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi mengacu pada pertimbangan-pertimbangan individu.

3. Sumber daya (resurces) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tetentu dengan pertimbangan kebutuhan diri pada individu tersebut.

Sedangkan fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yaitu : 1. Sikap sebagai alat untuk menyesuaikan diri.

(45)

menjadi rantai penghubung antara orang dengan kelompoknya atau dengan anggota kelompoknya.

2. Sikap sebagai alat pengatur tingkah laku.

Pertimbangan antara perangsang dan reaksi pada anak dewasa dan yang sudah lanjut usianya tidak ada. Perangsang itu pada umunya tidak diberi perangsang secara spontan, akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai perangsang–perangsang itu.

3. Sikap sebagai alat pengatur pengalaman–pengalaman.

Manusia didalam menerima pengalaman–pengalaman dari luar sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif, atinya semua berasal dari dunia luar tidak semuanya dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana–mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi, semua pengalaman diberi penilaian lalu dipilih.

4. Sikap sebagai pernyataan kepribadian.

Sikap sering mencerminkan kepribadian seseorang, ini disebabkan karen sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya oleh karena itu dengan melihat sikap–sikap pada objek tertentu, sedikit banyak orang bias mengetahui pribadi orang tersebut. Sikap merupakan pernyataan pribadi (Notoatmodjo, 2007).

Sikap mempunyai tiga komponen pokok, seperti yang dikemukakan Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007), yaitu :

(46)

3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama–sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.

Seperti halnya pengetahuan, sikap mempunyai 4 tingkatan yaitu : 1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek).

2. Menanggapi (responding)

Menanggapi artinya memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

3. Menghargai (valving)

Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain dan mengajak orang lain merespons.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab merupakan sikap yang paling tinggi tingkatannya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, maka dia harus berani mengambil resiko.

(47)

bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Gambar 2.4 Bagan Sikap

Sikap seorang guru yang baik akan dipengaruhi oleh pengetahuan mengenai pendidikan kesehatan reproduksi pada anak. Guru yang mencari pengetahuan dan mendiskusikan mengenai pendidikan kesehatan reproduksi anak dengan pihak-pihak terkait merupakan bukti bahwa guru telah mempunyai sikap positif terhadap pendidikan kesehatan reproduksi pada anak.

3. Tindakan (Practice)

Tindakan merupakan bentuk nyata dari pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau sikap, proses selanjutnya adalah diharapkan ia akan mempraktikkan apa yang diketahuinya dengan mempertimbangkan informasi dan keyakinan tentang keuntungan dan kerugian yang didapat.

Stimulus Rangsang

Proses Stimulus

Reaksi

Tingkah Laku (Terrbuka)

Sikap (tertutup

(48)

Tindakan adalah suatu sikap yang belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan agar sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor–faktor dukungan (support) dari pihak lain didalam tindakan atau praktik (Notoatmodjo, 2007). Tingkatan-tingkatan daripada tindakan (practice) yaitu :

1. Persepsi yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

2. Respon terpimpin yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh.

3. Mekanisme yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.

4. Adaptasi yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

2.6 Kerangka Konsep

(49)

Gambar. 2.2 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka konsep di atas, variabel independen yaitu karakteristik responden (umur, jenis kelamin, dan pendidikan). Kemudian variabel dependen yang diteliti yaitu pengetahuan. Pengetahuan ini meliputi pengetahuan guru mengenai pendidikan kesehatan reproduksi dan kekerasan seksual pada anak. Selanjutnya sikap yaitu pandangan atau persepsi guru yang terbentuk mengenai pendidikan kesehatan reproduksi dan kekerasan seksual pada anak. Terakhir untuk menggambarkan perilaku, yaitu tindakan yang merupakan suatu bentuk nyata dari pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki dalam hal pendidikan kesehatan reproduksi dan kekerasan seksual pada anak.

Karakteristik  Umur

 Jenis Kelamin  Pendidikan

Tindakan Pendidikan Kesehatan Reproduksi pencegah kekerasan

seksual Sikap

Gambar

Tabel 2.1 Dampak Psikologis Lanjutan dari Tindakan Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Gambar 2.1 Media ajar personal safety skills yang bertujuan membantu anak mengenali dan memahami sentuhan tidak aman
Gambar 2.2 Media ajar personal safety skills anak melakukan tindakan bertahan dari perlakuan kekerasan seksual yang bertujuan membantu
Gambar 2.3 Media ajar personal safety skills mengajarkan anak bagaimana melaporkan kasus kekerasan  berupa video yang seksual yang dialami
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dengan terbuktinya ekstrak daun Terap, Sukun dan Nangka memiliki aktivitas insektisida yang bersifat antifidan terhadap hama Rayap, maka perlu dilakukan tindakan

Bagi peneliti lanjutan, pembelajaran Kooperatif Tipe CIRC sangat cocok untuk meningkatkan kemampuan siswa khususnya dalam menganalisis unsur instrinsik cerita legenda siswa

Stasiun II Sungai Pakil dan Sungai Pembalu terletak pada bagian tengah sungai, dimana stasiun II Sungai Pakil hanya didapatkan 66 individu dari 9 jenis, sedangkan Stasiun

Penelitian ini mengkaji struktur tegakan dan serapan karbon di Hutan Sekunder Tua (HST), Hutan Sekunder Muda (HSM), dan Hutan Belukar Tua (HBT) di Kawasan Lindung

Namun, efek penting yang bisa diamati pada performa neutronik bahan bakar blok VHTR adalah ketergantungan k ∞ pada radius kernel berkurang seiring dengan berkurangnya radius

Hipotesis 2 : Kesadaran Merek, Loyalitas Merek, Dan Kualitas Yang Dirasakan secara simultan berpengaruh signifikan positif terhadap niat pembelian konsumen pada

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap analisis mutu minyak kelapa murni buatan industri rumah tangga secara menyeluruh bahwa ketiga sampel tersebut

Memonitor kedatangan barang untuk memastikan barang yang telah. dipesan datang