BAB III BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM YANG DIBERIKAN
B. Upaya Perlindungan Hukum bagi Nasabah dalam
Nasabah sebagai debitur dalam membuat dan menyetujui suatu perjanjian gadai tentulah akan diberikan suatu perlindungan hukum yang akan melindungi hak-hak nasabah dari perbuatan kreditur yang dapat merugikannya (wanprestasi).
Dalam hal ini perlindungan hukum diberikan kepada nasabah berdasarkan hukum perdata dan perlindungan hukum yang diberikan oleh pihak pegadaian berdasarkan peraturan intern dan eksternal yang berlaku di PT. Pegadaian.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak secara jelas dan rinci mengatur mengenai perlindungan hukum nasabah. Namun jika diteliti lebih lanjut perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat dalam Pasal 1155 mengenai lelang dan Pasal 1157 KUHPerdata mengenai tanggung jawab kreditur . Menurut Pasal 1155 KUHPerdata :
“ bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain, maka jika debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya, setelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti, kreditur berhak menjual barang gadainya dihadapan umum menurut kebiasaan setempat dan dengan persyaratan yang lazim berlaku, dengan tujuan agar jumlah utang itu dengan bunga dan biaya dapat dilunasi dengan hasil penjualan itu. Bila gadai itu terdiri dari barang dagangan atau dan efek-efek yang dapat diperdagangkan dalam bursa, maka penjualannya dapat dilakukan di tempat itu juga, asalkan dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam bidang itu”.
Menurut pasal di atas maka barang jaminan dilelang di hadapan umum dan menurut kebiasaan dan persyaratan yang berlaku dimaksudkan agar mendapat harga pasar yang sesuai sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi debitur.
Setelah pelelangan dilakukan maka pemegang gadai memberikan pertanggung
jawaban tentang hasil lelang kepada pemberi gadai.66 Dalam hal adanya kelebihan uang lelang maka harus dikembalikan kepada debitur setelah dikurangi uang pinjaman dan sewa modal. Namun terkadang tidak semua barang jaminan yang dilelang dapat melunasi seluruh hutang debitur sehingga apabila hasil dari lelang tidak memenuhi maka kreditur dapat meminta debitur untuk melunasi sisa hutangnya. Dalam Pasal 1155 KUHPerdata, kreditur memiliki hak parate eksekusi yaitu melakukan lelang tanpa perantaraan hakim dengan terlebih dahulu memberikan peringatan kepada debitur. Dalam hal ini debitur akan diberikan peringatan atau somasi melalui surat ataupun telepon untuk meminta kreditur melaksanakan kewajibannya.
Pasal 1155 KUHPerdata adalah perlindungan hukum yang diberikan apabila pihak debitur yang melakukan wanprestasi dalam perjanjian gadai.
Sedangkan dalam Pasal 1157 KUHPerdata adalah perlindungan hukum debitur apabila kreditur lalai dan melakukan wanprestasi. Pasal 1157 KUHPerdata yaitu :
“kreditur bertanggung jawab atas kerugian atau susutnya barang gadai itu, sejauh hal itu terjadi akibat kelalaiannya. Di pihak lain debitur wajib mengganti kepada kreditur biaya yang berguna dan perlu dikeluarkan oleh kreditur itu untuk penyelamatan barang gadai itu.”
Selain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan hukum nasabah yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan,
66 Mariam Darus Badzulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung,1997, hlm. 93.
perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan hukum pada dasarnya merupakan pemenuhan atas hak-hak konsumen yang seharusnya didapat oleh konsumen. Segala upaya yang dilakukan memberikan kepastian hukum menunjukkan bahwa perlindungan konsumen bukan hanya berorientasi terhadap ganti kerugian maupun pemberian sanksi namun juga untuk pemberdayaan konsumen maupun peningkatan kesadaran pelaku usaha terhadap pentingnya perlindungan konsumen.
Pemberlakuan UUPK tidaklah menghapus ketentuan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya telah ada mengenai perlindungan konsumen yang sesuai dengan Pasal 64 Ketentuan Peralihan yaitu :
“ segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 memberikan perlindungan hukum kepada nasabah selaku debitur secara umum jika merasa dirugikan oleh pihak kreditur. Terhadap penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 45 yaitu :
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak bersengketa.
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.
4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila
upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa berdasarkan ayat (2) tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak. Penyelesaian damai yang dimaksud adalah penyelesaian yang dilakukan kedua belah pihak yang bersengketa tanpa pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan UUPK.
Namun apabila penyelesaian secara damai tidak dapat dilakukan maka terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan yaitu :
a. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
b. Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan terdapat dalam Pasal 47 yaitu :
“penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen.”
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memperkenalkan 3 (tiga) macam penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu :
1) Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.67 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, jika para pihak mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian pokok sengketa atau mengadakan perjanjian arbitrase setelah timbulnya sengketa diantara mereka.
2) Konsiliasi
Penyelesaian sengketa dengan menyerahkan pihak ketiga sebagai konsiliator yang memberikan pendapat tentang sengketa yang disampaikan para pihak.
3) Mediasi
Merupakan penyelesaian sengketa yang fleksibel dan tidak mengikat serta melibatkan pihak netral yaitu mediator yang memudahkan negosiasi antara para pihak untuk mencapai kesepakatan.
Penyelesaian sengketa di luar Pengadilan dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
Pertama : diupayakan penyelesaian melalui proses mediasi. Panel arbitrator yang ditunjuk bertindak sebagai mediator. Apabila disepakati penyelesaian maka solusi yang disepakati para pihak dijadikan kompromis, dan kompromis dapat efektif menjadi award (putusan arbitrase) yang final dan binding apabila para pihak meminta.
Kedua : jika mediasi gagal, penyelesaian ditingkatkan menjadi konsiliasi. Apabila dengan cara mediasi sengketa gagal diselesaikan maka atas kesepakatan bersama, pihak yang semula menjadi mediator akan bertindak
67 Dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 ayat (1)
sebagai konsiliator yang mengusahakan solusi yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Apabila para pihak berhasil mencapai kesepakatan atas solusi yang dibuat oleh konsiliator, maka kedudukannya berubah menjadi arbitrator sehingga solusi yang diberikan meningkat menjadi award yang bersifat final dan binding bagi para pihak. Award tersebut memiliki kekuatan eksekutorial
sebagaimana layaknya putusan arbitrase.
Ketiga : jika konsiliasi gagal, penyelesaian ditingkatkan menjadi arbitrase. Apabila konsiliasi tidak menghasilkan solusi maka proses konsiliasi dihentikan, akan tetapi bersamaan dengan itu penyelesaian sengketa dilanjutkan dengan proses pemeriksaan arbitrase dan konsiliator langsung bertindak sebagai arbitrator. Penyelesaian sengketa menghasilkan putusan arbitrase yang bersifat final dan binding kepada para pihak. 68
Apabila penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak membuahkan hasil maka, penyelesaian sengketa dilakukan melalui pengadilan. Dalam Pasal 48 :
“penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan pasal 45 diatas.”
Penyelesaian sengketa konsumen melalui Pengadilan hanya dimungkinkan apabila :
(a) Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, atau
(b) Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
68 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,2011, hlm.258.
Usaha- usaha penyelesaian sengketa secara cepat terhadap tuntutan ganti kerugian oleh konsumen terhadap pelaku usaha telah dilakukan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang memberikan kemumgkinan bagi konsumen untuk mengajukan penyelesaian sengketanya di luar pengadilan, yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang putusannya dinyatakan final dan mengikat, sehingga tidak dikenal adanya upaya banding maupun kasasi dalam Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tersebut.
Selain mengakui keberadaan peraturan perundang-undangan yang telah ada yang bertujuan untuk melindungi konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga masih memberikan ruang untuk pengaturan atau peraturan perundang-undangan baru yang bertujuan untuk memberikan perlindungan konsumen di Indonesia. Ketentuan umum dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat diterapkan terhadap ketentuan undang-undang khusus yang mengatur perlindungan konsumen. Misalnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Meskipun secara khusus UU OJK telah ditentukan bagi perlindungan konsumen di sektor keuangan namun ketentuan umum dalam UUPK dapat digunakan untuk melindungi konsumen di sektor keuangan sepanjang sesuai dengan pengertian konsumen dalam UUPK.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengeluarkan peraturan mengenai lembaga keuangan yang berada di dalam pengawasannya. Salah satunya merupakan PT. Pegadaian, yang dituangkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian.
Perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah dalam perjanjian gadai menurut peraturan internal PT.Pegadaian yaitu menurut PERDIR 41/DIR I/2017 bahwa setiap barang yang menjadi objek jaminan di PT.Pegadaian akan diasuransikan untuk menjamin keberadaan barang jaminan tersebut. Dalam mengansuransikan barang jaminan, PT.Pegadaian bekerja sama dengan Sarana Janesia Utama selaku lembaga asuransi untuk barang jaminan Kredit Cepat Aman (KCA).
Namun selain diatur di dalam peraturan internal, perlindungan nasabah berupa asuransi barang jaminan juga diatur di dalam Pasal 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.31/POJK.05/2016 yaitu :
“Perusahaan pergadaian wajib mengasuransikan barang jaminan berdasarkan hukum gadai dan barang titipan dalam rangka memitigasi risiko”.
Hal ini didasarkan bahwa pegadaian wajib mengembalikan barang jaminan kepada nasabah dalam kondisi fisik yang sama seperti saat penyerahan barang (Pasal 25 ayat (1) POJK No.31/POJK.05/2016). Dalam hal apabila pihak pegadaian selaku kreditur telah melakukan wanprestasi yaitu menghilangkan atau merusak dan mengurangi nilai barang jaminan, maka pihak pegadaian wajib memberikan ganti rugi. Ganti rugi tersebut diatur dalam Pasal 25 ayat (2) yaitu :
“dalam hal barang jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hilang atau rusak, perusahaan pergadaian wajib menggantinya dengan :
1.1 Uang atau barang yang nilainya sama atau setara dengan nilai barang jaminan pada saat barang jaminan tersebut hilang atau rusak, untuk barang jaminan berupa perhiasan; atau
1.2 Uang atau barang yang nilainya sama atau setara dengan nilai barang jaminan pada saat barang jaminan tersebut dijaminkan, untuk barang jaminan selain perhiasan”
Ganti kerugian ini juga diatur di dalam Surat Bukti Kredit poin 4 yaitu PT.Pegadaian akan memberikan ganti kerugian apabila barang jaminan yang
berada dalam penguasaan PT.Pegadaian mengalami kerusakan atau hilang yang tidak disebabkan oleh suatu bencana alam (force majeure) yang ditetapkan pemerintah. Ganti kerugian diberikan setelah diperhitungkan dengan uang pinjaman, sewa modal dan biaya lainnya (jika ada), sesuai ketentuan penggantian yang berlaku di pegadaian.
Apabila debitur telah melakukan wanprestasi dan bersedia untuk melelang barang jaminannya, sesuai dengan Pasal 1155 KUHPerdata untuk melakukan penjualan barang jaminan berdasarkan hukum gadai dengan syarat dan cara lelang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan juga diatur dalam Pasal 26 POJK No.31/POJK.05/2016.
Setelah perusahaan pegadaian selesai melakukan penjualan dan terdapat uang kelebihan dari hasil lelang, maka perusahaan pergadaian wajib mengembalikan uang kelebihan dari hasil penjualan barang jaminan kepada nasabah (Pasal 27 ayat (1)) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang.
Berikut merupakan tahapan yang akan dilakukan apabila debitur telah wanprestasi dalam perjanjian gadai yang diatur dalam PERDIR No.14 Tahun 2017 sesuai dengan Standard Operating Procedure Pegadaian KCA yaitu :
1. Pihak pegadaian melakukan pemberitahuan kepada nasabah melalui surat, telepon atau pengumuman di papan pengumuman di kantor pegadaian bahwa waktu tempo pinjaman akan segera berakhir.
Nasabah dapat memilih apakah akan melunasi pinjaman atau melakukan gadai ulang atau cicil pinjaman. Pinjaman yang telah dilakukan jatuh tempo yang tidak dapat diselesaikan oleh nasabah,
maka perusahaan memiliki hak eksekusi untuk melakukan penjualan barang jaminan melalui lelang. Hasil penjualan lelang digunakan untuk menyelesaikan kewajiban nasabah yang terdiri atas uang pinjaman, biaya sewa, bea lelang, biaya proses lelang (bila ada), dan denda (bila ada) serta biaya-biaya lainnya yang telah diperjanjikan dalam Surat Bukti Gadai atau dokumen lain antara perusahaan dengan nasabah.
2. Lelang dapat dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing cabang, atau melalui lelang terpadu yang tergabung beberapa outlet dan cabang dalam satu atau lebih deputy bisnis/kanwil.
3. Tempat pelaksanaan lelang dapat dilakukan di kantor cabang/UPC atau di tempat lain yang ditentukan oleh panitia lelang dengan Kordinator Pemimpin Cabang/Deputy Bisnis/Pinwil/Direksi sesuai ketentuan.
4. Sesuai dengan perkembangan teknologi, lelang dapat dilakukan secara online mengacu pada ketentuan direksi yang akan diatur sendiri.
5. Untuk percepatan penjualan lelang dan mendapatkan harga lelang yang lebih optimal, maka barang jaminan yang akan dilelang dapat dipindahkan ke cabang/deputy/kanwil lain dengan memperhatikan aspek efektifitas, efisiensi, dan keamanan dengan melakukan pemindahan barang jaminan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6. Pelaksanaan lelang didasarkan pada harga pasar sesuai ketentuan yang berlaku, apabila harga penawaran tidak dapat menutupi seluruh kewajiban nasabah maka dapat dilakukan pengajuan discount sewa modal dan biaya lainnya sesuai kebijakan direksi yang diatur dalam peraturan direksi tersendiri.
7. Tahapan pelaksanaan lelang adalah persiapan lelang, pelaksanaan lelang, dan pelaporan lelang.69
Pihak pegadaian sendiri juga menyadari tidak semua nasabah akan menerima barangnya dilelang ataupun barang tersebut mengalami kerusakan, sehingga untuk menyelesaikan persoalan tersebut pihak pegadaian menempuh dua cara penyelesaian yaitu :
a. Secara damai (non litigasi)
Pelaksanaan penyelesaian masalah secara damai merupakan cara yang diutamakan oleh pihak pegadaian. Hal ini juga diatur dalam poin 18 Surat Bukti Kredit. Upaya perdamaian dilakukan dengan melakukan negosiasi langsung dengan nasabah yang merasa dirinya dirugikan oleh pihak pegadaian.
b. Melalui jalur hukum (litigasi)
Penyelesaian masalah melalui jalur hukum merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan apabila penyelesaian melalui perdamaian tidak berhasil dilakukan. Penyelesaian melalui jalur hukum memerlukan waktu yang cukup lama dengan prosedur yang rumit.
69 Hasil wawancara dengan Bapak Ananda Jakaria selaku Legal Officer Pegadaian Kantor Wilayah I Medan, tanggal 10 Desember 2018
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH DALAM PERJANJIAN GADAI DI PT.PEGADAIAN KANTOR WILAYAH I
MEDAN
A. Kasus Posisi
Berdasarkan pada perjanjian gadai yang terdapat dalam Surat Bukti Kredit, maka dapat dijabarkan sebagai berikut :
Pada tanggal 13 November 2017, Tuan XXX yang beralamat di Jalan XXX No. XX Kelurahan Pulo Brayan Bengkel Medan mendatangi kantor Pegadaian CP. Gaharu untuk menggadaikan barang berupa satu cincin emas mata kaca dan satu gelang emas beserta dua cincin ukir emas. Sesampainya di kantor Pegadaian, Tuan XXX disambut oleh petugas keamanan kantor dan ditanyakan kepentingannya. Lalu oleh petugas keamanan, Tuan XXX diarahkan untuk mengisi Formulir Pengajuan Kredit (FPK) yang tersedia seperti nama lengkap, alamat lengkap, nomor identitas KTP, tujuan menggadaikan barang, jenis barang yang digadaikan dan nilai pinjaman yang diinginkan dan membubuhkan tanda tangan. Lalu Tuan XXX memberikan FPK yang telah diisi berserta foto copy KTP dan barang yang akan dijaminkan. Barang tersebut akan ditaksir oleh penaksir barang dan meminta Tuan XXX untuk menunggu. Setelah selesai menaksir barang kemudian penaksir memanggil Tuan XXX. Oleh penaksir barang jaminan tersebut ditaksir bahwa satu cincin mata kaca ditaksir perhiasan emas 16 karat berat 3.5 gram dan satu gelang serta dua cincin ukir ditaksir perhiasan emas 17 karat berat 13.8 karat. Oleh penaksir keseluruhan perhiasan emas tersebut ditaksir
seharga Rp. 6.367.048 termasuk golongan C1 dan menanyakan apakah Tuan XXX setuju dengan nilai taksiran. Tuan XXX menyetujui harga taksiran tersebut dan akan mengajukan pinjaman sebesar Rp.5.850.000. Setelah Tuan XXX setuju maka dibuatlah Surat Bukti Kredit. Pada pembuatan SBK, Tuan XXX diminta untuk menunggu di ruang tunggu yang telah disediakan. Didalam SBK, akan tercantum informasi tentang nama pegadaian, nomor SBK, identitas nasabah, keterangan barang jaminan, tanggal pengajuan kredit, tanggal jatuh tempo, taksiran nilai barang jaminan, besarnya uang jaminan, kolom berisi perhatian, dan tanda tangan nasabah serta petugas penaksir. Sedangkan di sisi sebaliknya SBK mencantumkan informasi terkait ketentuan perjanjian utang piutang untuk jaminan gadai yang harus disetujui oleh nasabah. Setelah proses pembuatan SBK yang memerlukan waktu beberapa menit lalu Tuan XXX dipanggil ke loket kasir.
Petugas kasir menjelaskan kepada Tuan XXX bahwa jangka waktu pinjaman adalah maksimal 120 hari atau 4 bulan dan tanggal jatuh tempo pinjamannya adalah 12 Maret 2018. Namun petugas kasir menginfokan bahwa Tuan XXX harus membayar biaya administrasi sebesar Rp.40.000 dikarenakan pinjaman Tuan XXX termasuk dalam golongan C1. Kasir menginfokan bahwa Tuan XXX dapat memilih apakah akan membayar tunai uang adminstrasi tersebut atau dipotong dari uang pinjaman, dan Tuan XXX setuju dan membayar tunai biaya administrasi tersebut. Selanjutnya kasir memberikan uang pinjaman yang telah diajukan oleh Tuan XXX. Setelah beberapa bulan berlalu, Pegadaian menghubungi Tuan XXX melalui sms dengan nomor telepon yang dicantumkan dalam SBK untuk memberitahu bahwa waktu tempo pinjaman akan segera berakhir yaitu tanggal 12 Maret 2018. Pegadaian menawarkan kepada Tuan XXX
apakah ingin melakukan pelunasan atau melakukan gadai ulang. Tuan XXX menyatakan untuk melakukan gadai ulang dan mendatangi pegadaian pada tanggal 21 Februari 2018. Pada 21 Februari 2018 tersebut Tuan XXX melakukan transaksi kedua untuk barang jaminan gadai yang dimilikinya. Lalu untuk transaksi gadai kedua, Pegadaian kembali menghubungi Tuan XXX, namun kali ini Tuan XXX menyatakan bahwa ia tidak mampu melunasi pinjaman dan barang jaminan yang digadaikan akan dilelang. Kemudian pegadaian menetapkan tanggal lelang yaitu 27 Agustus 2018 dengan mengirimkan surat pelaksanaan lelang kepada Tuan XXX dan menempelkan pegumuman lelang di papan pengumuman kantor pegadaian. Barang jaminan Tuan XXX berupa perhiasan mendapat harga lelang Rp. 6.870.000. Hasil lelang tersebut kemudian dikurang dengan uang pinjaman Tuan XXX yaitu sebesar Rp.5.850.000 dan baiya sewa modal senilai Rp. 538.200. Dalam pelaksanaan lelang tentulah membutuhkan bea lelang yaitu bea lelang pembeli senilai Rp.67.353 dan bea lelang penjual Rp.67.353 serta dibutuhkannya biaya proses lelang senilai Rp.234.00. Sehingga dari hasil pengurang di atas maka terdapat uang kelebihan sebanyak Rp.113.094,-. Dan uang kelebihan tersebut telah diserahkan kepada Tuan XXX pada 28 Agustus 2018 di kantor pegadaian.
B. Analisis Kasus
Paparan di atas dapat diketahui bahwa benar pegadaian menerima barang jaminan berupa benda bergerak. Dalam kasus di atas barang jaminan tersebut berupa emas perhiasan. Disaat nasabah datang untuk menyerahkan barang jaminannya dan telah menyetujui seluruh ketentuan yang berlaku maka barang jaminan tersebut telah keluar dari kuasa si debitur, hal ini sesuai dengan
unsur-unsur terjadinya gadai. Langkah-langkah dan syarat-syarat untuk pemberian pinjaman dengan jaminan gadai telah sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Tuan XXX selaku debitur dalam perjanjian gadai disaat telah setuju dengan perjanjian yang dibuat oleh pihak kreditur dalam hal ini merupakan pegadaian dan menyerahkan barang jaminannya, maka secara otomatis barang jaminan tersebut telah diasuransikan oleh pihak pegadaian sesuai dengan peraturan yang berlaku sesuai dengan PERDIR No.41/DIR I/2017. Lembaga asuransi yang bekerja sama dengan pihak Pegadaian adalah Sarana Janesia Utama.70
Barang jaminan tersebut disimpan oleh pegadaian di tempat yang aman, sedangkan pengasuransian barang jaminan yang dilakukan oleh pihak pegadaian bertujuan untuk menghindari nasabah dari kerugian yang dapat terjadi di masa yang akan datang.
Lazim halnya dalam suatu perjanjian tentulah kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Dalam hal ini yang akan dirinci adalah hak debitur selaku nasabah dalam perjanjian gadai.
Nasabah termasuk juga konsumen di bidang jasa sehingga memiliki hak dasar yang diakui secara umum yaitu sebagai berikut :
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety) 2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed) 3. Hak untuk memilih ( the right to choose )
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety) 2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed) 3. Hak untuk memilih ( the right to choose )