• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Perlindungan Hukum terhadap saksi dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

1. Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau criminal policy merupakan usaha

yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terehadap kejahatan. Sebagai

bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) kebijakan

penggulangan kejahatan harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau memberikan partisipasi yang aktif dalam penanggulangan .kejahatan. Oleh karena itu kebijakan

22

penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan

menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan.23

Kebijakan penal atau sering disebut politik hukum pidana merupakan upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini berkaitan dengan

konseptualitas hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan.24 Usaha dan

kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan, juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana. Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang - undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha

perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha mencapai kesejahteraan

masyarakat (sosial walfare). Dua masalah sentral dalam kebijakan criminal

dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan antara lain :25

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana,

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar

Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai, terlebih bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia

23

. Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Halaman 46.

24

. Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy, Pustaka Bangsa Perss, Medan, Halaman 66.

25

. Barda Nawawi Arif, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditiya Bakti, Bandung, Halaman 21.

seutuhnya. Penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan pada sipelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, tetapi harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai - nilai kemanusiaan dan nilai pergaulan hidup masyarakat.

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal atau hukum pidana lebih menitik beratkan pada sifat refresif yaitu berupa pemberantasan atau penumpasan sesudah kejahatan terjadi. Upaya ini dilakukan apabila preventif atau upaya pencegahan belum mampu untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya penal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan baik dilaporkan masyarakat maupun temuan kepolisian akan dilakukan tindakan tegas atau penegakan hukum secara tuntas dengan tujuan agar para pelaku menjadi sadar dan jera untuk berbuat kembali. Selain itu menjatuhkan hukuman yang maksimal yang sesuai dengan ketentuan KUHPidana kepada pelaku pembunuhan. Kebijakan hukum yang dapat dijatuhkan bagi para pelaku pembunuhan mengacu pada KUHPidana yang disesuaikan dengan pasal-pasal pembunuhan terhadap jiwa orang berdasarkan perbuatan pelaku dengan korban dalam pembuktian kasus disesuaikan dengan pembuktian kasus sesuai dengan pembuktian KUHPidana.

Kebijakan hukum yang dapat dijatuhkan pada kasus pembunuhan yang akan diterima adalah hukuman pidana maksimal berbagai pertimbangan, juga mengaju pada Pasal 338 KUHPidana. Namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati - hati dann berotientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana).

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejateraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.26

Kebijakan dengan menggunakan sarana penal, yaitu menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materill, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan - tujuan tertentu. Tujuan - tujuan tersebut, dalam jangka pendek adalah resosialisasi (memasyarakatkan kembali) pelaku tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam jangka panjang yang merupakan tujuan akhir adalah untuk mencapai

kesejahteraan sosial.27

Menurut Sudarto, kebijakan kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya

perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan

masyarakat (social welfare). Tujuan dari politik kriminal adalah “perlindungan

masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Dalam upaya

26

. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori - teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, Halaman 148.

27

. M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal aman 49.

penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti, yaitu:

a. Ada keterpaduan (intergralitas) antara politik kriminal dan politik sosial;

b. Ada keterpaduan (intergralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan

dengan “penal” dan “non penal”

Kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang - undangan pidana agar sesuai dengan keadaan

pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum).

Namun, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit, karena sebagai suatu system hukum pidana terdiri dari budaya (cultural), stuktur (structur), dan substansi (substansive) hukum. Karena undang - undang merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan hukum pidana, disamping memperbaharui perundang - undangan juga mencakup pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana.

Menurut Marc Ancel, penal policy merupakan ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Peraturan hukum positif diartikan sebagai peraturan perundang - undangan hukum pidana. Usaha dan kebijakan membuat peraturan hukum pidana yang baik, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain, dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana identik dengan

pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.28

Kebijakan penal dalam UU PSK ini dirumuskan dalam Bab V mulai Pasal 37 sampai Pasal 43. Kebijakan penal dalam UU PSK ini dimulai dengan Pasal 37 (1) yang mengancam pidana kepada setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara - cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d, (a. hak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; d. hak mendapat penerjemah) sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling

Dalam rangka melindungi dan menciptakan kesejahteraan masyarakat, hukum pidana mempunyai posisi sentral untuk menyelesaikan konflik (kejahatan) yang terjadi. Masyarakat Indonesia yang heterogen, baik horizontal (suku, agama, ras) maupun vertical (perbedaan kekayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi), pada hakikatnya dapat menjadi faktor kriminogen, terutama jika terjadi ketidakadilan dan diskriminasi dalam menangani masyarakat. Dengan demikian, hukum pidana menjadi penting perannya, sekarang dan di masa mendatang, bagi masyarakat sebagai control social untuk mencegah timbulnya disorder, khususnya sebagai pengendali kejahatan.

28

. Barda Nawawi Arief, 2008, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, Halaman 1.

banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pada ayat (2)-nya disebutkan, apabila pemaksaan kehendak itu menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, maka pelaku diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Sementara itu, apabila pemaksaan kehendak itu mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban (ayat 3), maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat

5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Sementara itu, Pasal 38, mengancam setiap orang yang menghalang - halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Tujuan dari Pasal 38 ini memiliki kemiripan dengan Pasal 37, akan tetapi tidak harus ada unsur akibat pada saksi dan/atau korban, baik berupa luka, luka berat, atau kematian, sehingga Pasal 38 ini relatif lebih fleksibel dan berjangkauan luas. Untuk menjamin supaya saksi dan/atau korban atau keluarganya kehilangan

pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, maka Pasal 39 mengancam pidana setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan palingbanyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Ketentuan yang demikian diharapkan akan menjadi warning, supaya seseorang tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan hilangnya pekerjaan saksi dan/atau korban atau keluarganya karena memberikan kesaksian perkara pidana, walaupun ini sangat potensial dilakukan oleh mereka yang punya

posisi kuat dalam lingkungan kerja atau masyarakat (power full). Dengan

demikian saksi dan/atau korban tidak akan khawatir kehilangan pekerjaan karena akan, sedang, atau telah berkontribusi dalam menegakkan hukum pidana dengan menjadi bersedia menjadi saksi. Untuk memberikan perlindungan bagi saksi dan/atau korban dari kemungkinan dirugikan atau dikuranginya hak-hak saksi, hal mana justru sangat potensial dilakukan oleh aparat penegak hukum, maka Pasal 40 mengancam setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak - hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Salah satu bentuk perlindungan kepada saksi dan/korban

adalah dengan merahasiakan keberadaan saksi dan/atau korban yang sedang dalam perlindungan LPSK.

Diketahuinya keberadaan saksi dan/atau korban yang dalam status perlindungan dapat membahayakan keselamatan saksi dan/atau korban. Untuk menjamin supaya orang tidak membuka rahasia keberadaan saksi dan/atau korban, maka dirumuskanlah Pasal 41 yang mengancam pidana bagi setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ketentuan pidana dalam Pasal 42 UU PSK ini juga mengenal pemberatan pidana dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 di atas dilakukan oleh pejabat publik, maka ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu pertiga). Pasal 43 UU PSK juga mengatur bagaimana apabila pidana denda yang tidak mampu dibayar oleh terpidana. Di mana apabila terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 42 maka pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun (ayat (1)). Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim (ayat (2)).

Apabila mencermati ketentuan pidana yang terdapat dalam pasal - pasal di atas, maka diketahui bahwa kebijakan penal yang dianut, dalam beberapa hal,

mengatur secara spesifik atau menyimpang (lex specialist) dari ketentuan umum

yang dianut oleh KUHP. Lex specialist dimaksud di antaranya adalah berkaitan

dengan sistem ancaman pidananya. UU PSK menganut sistem ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus, artinya tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal - pasal itu masing-masing mengancam pidana minimum dan maksimum yang secara khusus bisa dijatuhkan hakim terhadap terdakwa yang terbukti bersalah, baik untuk ancaman pidana penjara maupun pidana dendanya. Sementara KUHP menganut sistem ancaman pidana maksimum khusus, artinya KUHP membuat batas atas / maksimum ancaman pidana terhadap masing - masing tindak pidana yang dapat dijatuhkan terhadap terdakwa.

Menurut Marthin Simangunsong, pemerintah seharusnya menyiapkan anggaran dan sumber daya manusia ke tiap - tiap daerah sebagai perwakilan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban agar tidak terjadi kendala dalam mendapatkan perlindungan hukum terhadap saksi, sehingga Undang - Undang

Perlindungan Saksi dapat terealisasi dengan baik. 29

Upaya non penal atau upaya diluar hukum pidana lebih menitik beratkan pada sifat preventif yaitu pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama dari upaya ini adalah menangani faktor-faktor 2. Non Penal

29

kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor - faktor kodusif antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi - kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik criminal secara makro dan global maka non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik criminal. Upaya non penal yang paling strategis adalah upaya untuk manjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang

sehat secara materil dan imateril dari faktor-faktor krominoge.30

Upaya non penal atau upaya diluar hukum pidana lebih menitik beratkan pada sifat preventif yaitu pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama dari upaya ini adalah menangani faktor - faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor - faktor kodusif antara lain berpudat pada masalah - masalah atau kondisi - kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik criminal secara makro dan

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor - faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi - kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan.

30

global maka non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.

Upaya non penal yang paling strategis adalah upaya untuk manjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat secara

materil dan imateril dari faktor - faktor krominoge.31

Pertanggungawaban terhadap segala tugas yang dijalankan sebagai alat Negara, maka yang bertanggungjawab atas tugas kenegaraan tesebut adalah Negara. Dan terhadap oknum penegak hukum, yang dipandang mungkin perlu dikoreksi atau dianggap tidak cakap menjalankan tugasnya, maka hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing instansi.

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani factor - faktor kondusif terjadinya kejahatan. Faktor - faktor kondusif penyebab terjadinya peradilan sesat terhadap kekeliruan penangkapan dan tidak berdasarkan undang-undang, diantaranya rendahnya budaya hukum aparat penegak hukum yang berimplikasi terhadap penegakan hukum.

32

Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara - perkara pidana, pada peradilan tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkara terdakwa : Suratno als. Nano, umur 25 tahun, jenis kelamin laki - laki, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Jalan Cempaka Ujung Lingkungan III No. 69 BL Kelurahan Tanjung

31

. Barda Nawawi Arif, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditiya Bakti, Bandung, Halaman 49.

32

. Martiman Prodjohamidjojo, 1986, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, Halaman 28.

Gusta Kecamatan Medan Helvetia, agama Islam, pekerjaan buruh bangunan, pendidikan SMP.

Kronologis

Terdakwa Suratno als Nano baik secara sendiri - sendiri maupun bersama - sama dengan Ifin (DPO) pada hari Jumat tanggal 30 Agustus 2013 sekira pukul 21.25 wib atau setidak - tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2013 bertempat di Jalan Cempaka Kelurahan Tan jung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia tepatnya di jalan umum atau setidak - tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, yang dilakukan terdakwa.

Dakwaan

Terdakwa didakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1e KUHPidana.

Pertimbangan hakim Bahwa untuk membuktikan dakwaanya, Jaksa Penuntut Umum telah menghadapkan enam orang saksi yang telah didengarkan keterangannya dibawah sumpah dipersidangan masing-masing memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Saksi Misri Nurhayati

Saksi mengetahui tindak pidana pembunuhan terhadap korban terjadi pada hari Jumat tanggal 30 Agustus 2013 pukul 21.25 di Jalan Cempaka Kelurahan Tanjung Gusta Kecamatan Medan Helvetia (Jalan umum) setelah saksi dihubungi dan mendatangi petugas kepolisian yang ada di Pos Polisi Kampung Lalang.

Saat itu sekira pukul 22.00 wib saksi dihubungi seorang laki-laki yang saksi tidak kenal via handphone korban (suami saksi), kemudian saksi dan kakak iparnya berangkat ke Polsek Kampung Lalang dan bertemu dengan petugas polisi dan mengatakan bahwa suami dari saksi telah meninggal dunia dan sekarang berada di rumah sakit pringadi, mendengar hal tersebur saksi langsung bergegas ke rumah sakit sementara kakak ipar saksi pergi ke rumah untuk memberitahu kepada keluarga, setelah saksi sampai di rumah sakit dan menemui jenazah korban yang berada di dalam ruang mayat dengan terlentang ditutupi dengan kain panjang, setelah korban diperiksa secara medis terus dibawa pulang ke rumah dan pada saat dimandikan saksi melihat ada luka disekujur tubuh suami saksi.

Bahwa terdakwa sebelum pada hari kejadian saksi tidak pernah melihat terdakwa sebelumnya namun pada hari kejadian dari pagi sampai malam terdakwa ada beberapa kali mendatangi rumah korban dan rumah kakak korban di Asrama Abdul Hamid bersama beberapa orang lain.

Bahwa pada saat sebelum kejadian saksi melihat suaminya dijemput dua orang dari rumah korban dengan ciri-ciri satu orang badan tegap (kekar) muka bulat, kulit agak hitam, kaos warna hitam, pakai celana pendek jenis jeans lee yang salah satunya adalah terdakwa.

Bahwa benar posisi terdakwa pada saat itu duduk diboncengan bagian tengah sedangkan teman terdakwa yang ahak kurus membawa sepeda motor dan terdakwa duduk dibagian belakang.

Bahwa benar kepada saksi ditunjukkan barang bukti dan saksi membenarkan barang bukti berupa kaos warna merah, jaket warna merah, celana

ponggol kotak - kotak warna merah, jam tangan adalah milik korban sedangkan barang bukti yang lainnya tidak diketahui saksi.

2. Saksi Dian Ekawati

Bahwa saksi menerangkan bahwa sekitar pukul 22.00 wib saksi didatangi oleh saksi 1 Misri Nuryanti (istri korban) selanjutnya saksi 1 menerangkan bahwa dianya dihubungi via handpone korban oleh seseorang yang mengaku polisi yang menyuruh saksi 1 untuk datang ke Pos Polisi Kampung Lalang selanjutnya saksi 1 pergi ke Pos Polisi Kampung Lalang dan setiba disana bertemu dengan petugas

3. Saksi Sriani alias Sri

Bahwa saksi menerangkan tindak pidana pembunuhan terhadap korban terjadi pada hari jumat tanggal 30 Agustus 2013 pukul 21.25 Wib di Jalan Cempaka Kelurahan Tanjung Gusta Kecamatan Medan Helvetia (jalan umum)

Bahwa pada saat itu adik ipar istri korban dan istri korban datang ke rumah sambil menangis dan pada saat itu saksi menanyakan kepada korban, istri korban menyatakan kalau yang menelepon bukanlah Dedy melainkan pihak kepolisian, dan pada saat itu juga saksi dan istri korban dan adik ipar istri korban bergegas ke pos polisi Kampung Lalang setelah sampai disana mengatakan bahwa korban telah meninggal dunia dan sekarang berada di RS Pringadi

Bahwa benar mendengar hal tersebut istri korban langsung bergegas ke rumah sakit sementara kakak istri korban pergi kerumah untuk memberitahu kepada keluarga, setelah istri korban sampai dirumah sakit dan menemui jenazah korban yang berada di dalam ruang mayat dengan terlentang ditutupi dengan kain

panjang, setelah korban diperiksa secara medis terus dibawa pulang kerumah dan pada saat dimandikan saksi melihat ada luka disekujur tubuh suami istri korban

Bahwa pada saat sebelum kejadian istri koban melihat suaminya dijemput 2 (dua) orang dari rumah korban dengan ciri-ciri satu orang badan tegap (kekar) muka bulat, kulit agak hitam, kaos warna hitam, pakai celana pendek jenis jeans lee yang salah satunya adalah terdakwa

Bahwa pada hari kejadian sekitar pukul 11.00 Wib, saksi melihat terdakwa dan temannya berdiri di depan pintu pagar rumah saksi di Komplek Abdul Hamid Medan dan saksi pada saat itu sedang berkeliling komplek melihat terdakwa dan temannya lalu terdakwa berkata pada saksi “apa kak kok liat - liat” yang dijawab saksi “saya yang seharusnya bertanya kenapa kalian berdiri di depan pagar rumah saya” lalu seseorang mengajak pergi naik sepeda motor terakhir di antara laki-laki dan duduk di box depan rumah laki-laki tersebut tidak ada ngomong, selanjutnya terdakwa dan teman-temannya silih berganti datang ke rumah saksi

Bahwa benar sebelum hari kejadian saksi tidak pernah melihat terdakwa datang atau bermain ke rumah saksi

4. Saksi Afrizal Afdani alias Ijal alias Igoy

Bahwa saksi tidak melihat bagaimana perbuatan terdakwa membunuh korban. Bahwa benar pada hari jumat tanggal 30 Agustus 2013 sekira pukul 08.30 Wib, ketika saksi bekerja di doorsmeer terdakwa datang dan mengatakan kepada saksi dimana ada menjual shabu-shabu yang di jawab saksi “di Asrama Abdul Hamid

Dokumen terkait