• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Pengadilan Negeri Medan) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Pengadilan Negeri Medan) Chapter III V"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

Saksi dan korban dalam mengungkapkan suatu tindak pidana, rentan sekali

mendapatkan acaman yang membahayakan diri, keluarga maupun harta bendanya

yang bisa saja mempengaruhi keterangan di persidangan. Dengan adaya ancaman

yang ditujukan terhadap saksi dan korban, maka sudah sepatutnya saksi dan

korban mendapatakan perlindungan.

Perlindungan saksi dan korban ini bertujuan memberikan rasa aman

terhadap saksi dan korban dalam memberikan keterangan dalam setiap proses

peradilan pidana. Perlindungan yang diberikan kepada diri saksi dan korban

tentunya berdasarkan asas - asas yang sesuai dengan undang - undang

Perlindungan Saksi dan korban yaitu :

1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia

2. Rasa aman

3. Keadilan

4. Tidak diskriminatif

5. Kepastian hukum

Asas - asas tersebut harus dapat tercermin dan dapat diadopsi dalam isi

pasal-pasal Undang-undang Perlindungan Saksi dan korban tersebut, asas-asas

tersebut harus dapat dipegang ataupun dipatuhi. Hakikat dari asas-asas tersbut

(2)

pada hakikatnya pun memiliki harkat dan martabat yang harus dilindungi dan

diperhatikan.

Pada prinsipnya perlindungan akan hak - hak seseorang sebagai saksi telah

diakomodasikan dalam KUHAP, tetapi mengingat jenis tindak pidana yang

semakin beragam dan menimbulkan efek atau akibat bagi keselamatan jiwa dari

saksi/korban atau keluarganya, sehingga ada hal - hal khusus yang diatur .

Perlindungan khusus bagi saksi atau pelapor diberikan Negara untuk

mengatasi kemungkinan ancaman yang sangat besar. Saksi pelapor tindak pidana

memerlukan perlindungan khusus karena tidak semuanya menghadapi ancaman.

Perlindungan khusus menurut Undang - Undang RI Nomor 31 Tahun 2014

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat dalam Pasal 5. Perlindungan

khusus ini meliputi juga perlindungan terhadap harta kekayaan si pelapor bahkan

keluarganya. Perlindungan saksi yang diatur diluar KUHAP sebagaimana diatur

dalam Bab II Pasal 5 Undang - Undang RI Nomor 31 Tahun 2014

menyebutkan :11

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya

KUHAP, tidak ada satu pasal pun yang secara khusus ditujukan untuk

memberikan perlindungan atas keselamatan dan keamanan saksi dan keluarganya.

Akan tetapi, beberapa pasal yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan

terhadap keselamatan orang dapat didayagunakan (potensial) juga untuk

11

(3)

melindungi saksi, walaupun dengan ancaman pidana yang sama dengan apabila

ditujukan terhadap orang lain yang bukan saksi perkara pidana. Pasal - pasal

potensial dimaksud antara lain:

a. Pasal 170 KUHP, yang berbunyi:

(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama

menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Yang bersalah diancam:

a. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja

menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan

mengakibatkan luka - luka;

b. Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan

mengakibatkan luka berat;

c. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan

mengakibatkan maut.

Konteks perlindungan terhadap saksi dalam pasal ini, baik secara preventif

maupun represif, dapat melindungi keselamatan saksi dan barang - barang

miliknya dari kejahatan kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan tenaga

bersama, baik berkaitan dengan kesaksian yang akan, telah, atau mungkin akan

(4)

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan

dan dukungan keamanan

Keberadaan saksi dalam suatu proses persidangan sangatlah penting sebagai

salah satu pertimbangan dalam membantu proses perkara yang sedang berjalan di

persidangan. Keberadaan saksi tersebut menimbulkan tekanan tersendiri yang

mengakibatkan keterangan saksi memerlukan perlindungan dan dukungan

keamanan hingga proses perkara putus di persidangan. Keterangan saksi menjadi

salah satu cara majelis hakim, jaksa penuntut umum melihat dan menimbang serta

hakim yang memutuskan dapat bersikap adil dan bijaksana.

3. Memberikan Keterangan tanpa Tekanan

Salah satu aspek perlindungan hukum warga negara Indonesia adalah

kebebasan beraktifitas dan berbicara sesuai fakta kebenaran atas sesuatu serta

bertanggungjawab dihadapan hukum, sehingga hak dan kewajiban asasi manusia

dalam hidup dan kehidupan di muka bumi ini merupakan anugrah Tuhan Yang

Maha Esa, yang perwujudannya tidak dapat dihilangkan oleh dan sesama umat

manusia.12

12

Tindak pidana kemanusiaan adalah seperangkat ketentuan peraturan

yang bertujuan untuk memberikan sanksi akibat tindakan hukum seseorang yang

terbukti telah menghapus dan mengurangi kepastian perlindungan serta penegakan

hak asasi manusia. Salah satu jenis tindak pidana kemanusiaan adalah

diskriminasi dan ancaman keamanan fisik maupun psykhologi atas diri dan

keluarga serta harta benda termasuk penghasilan terhadap Saksi dan Korban yang

terkait dengan keterangan yang sedang akan atau telah diberikan dalam

(5)

pengungkapan kebenaran kasus pidana atau dalam proses Peradilan Pidana,

sebagaimana diatur dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 43, Undang - Undang

Nomor : 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Ketentuan

mana merupakan ketentuan yang bersifat operatif dan implementatif serta

korelatif kaitannya dengan Undang - Undang Nomor : 39 Tahun 1999 Tentang

Hak Asasi Manusia serta Undang - Undang lainnya yang meliputi tindak pidana

diskriminasi ras dan etnis serta tindak pidana perdagangan orang; sistim peradilan

pidana anak ;

Perlindungan dimaksud adalah segala upaya pemenuhan hak dan

pemberian Bantuan untuk memberikan rasa Aman kepada Saksi dan atau Korban,

yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (Pasal 1

angka 8, Undang - Undang Tentang Perlindungan Saksi dan Korban).

4. Mendapat Penerjemah

Pasal 167 RUU KUHAP dinyatakan bahwa Jika terdakwa atau saksi tidak

memahami atau tidak bisa berbahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk

seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menerjemahkan dengan

benar semua yang harus diterjemahkan. Dengan catatan bahwa Dalam hal jika

seseorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara, maka yang

bersangkutan dilarang menjadi juru bahasa dalam perkara itu.

Pasal 168 RUU KUHAP juga dinyatakan bahwa jika terdakwa atau saksi

bisu, tuli, atau tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat orang yang

pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi tersebut sebagai penerjemah. Namun

(6)

menyampaikan semua pertanyaan atau teguran secara tertulis kepada terdakwa

atau saksi tersebut untuk diperintahkan menulis jawabannya dan selanjutnya

semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.

Hak penerjemahan bagi saksi yang diatur diatas masih sangat terbatas,

RUU KUHAP hanya menegaskan bahwa Hak penerjemah bagi saksi korban

hanya di berikan terbatas dalam ruang - ruang persidangan. Padahal keterangan

saksi korban juga penting dalam tahap penyidikan atau pra penuntutan. Dalam

banyak kasus justru dalam tahap-tahap tersebut akses saksi korban atas

penerjemahan yang layak tidak diberikan oleh aparat penegak hukum. Demikian

pula akses saksi korban dalam Pasal 168 RUU KUHAP yang penekanannya

masih di ruang persidangan. Oleh karena itu rancangan KUHAP harus

memperluas akses penerjemah ini tidak hanya dalam ruang lingkup persidangan

namun juga dalam lingkup penyidikan atau pra penuntutan

5. Bebas dari Pertanyaan yang Menjerat

Pasal 155 RUU KUHAP dinyatakan bahwa Pertanyaan yang bersifat

menjerat dilarang diajukan kepada saksi atau ahli, atau kepada terdakwa. Dalam

penjelasan Pasal 155RUU KUHAP diterangkan bahwa yang dimaksud dengan

“pertanyaan yang bersifat menjerat” misalnya hakim dalam salah satu pertanyaan

menyebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui telah dilakukan oleh terdakwa

atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah - olah diakui atau

dinyatakan. Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan kepada

(7)

Ketentuan ini sesuai dengan prinsip bahwa keterangan terdakwa atau saksi

harus diberikan secara bebas di semua tingkat pemeriksaan. Dalam pemeriksaan

di sidang pengadilan hakim, penuntut umum, atau penasihat hukum tidak boleh

melakukan tekanan dengan cara apapun, misalnya dengan mengancam yang

mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan keterangan hal yang berbeda dari

hal yang dapat dianggap sebagai pernyataan pemikirannya yang bebas.

6. Informasi Perkembangan Kasus

Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan

proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban,

pemberian informasi ini memegang peran yang sangat penting dalam upaya

menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi

inilah diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat

berjalan dengan baik.

7. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan

Seorang saksi dalam memberikan kesaksian harus mendapat informasi

mengenai putusan pengadilan.

8. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan

Pemberian informasi terhadap terpidana apabila warga binaan akan segera

bebas terhadap perkara yang sedang dijalani maka hak dari warga binaan

mengajukan Pembebasan bersyarat (PB) sebagai salah satu cara pengajuan masa

tahanan, sehingga warga binaan memerlukan penjamin sebagai salah satu syarat

dalam pengajuan Pembebasan bersyarat bilamana warga binaan tersebut

(8)

9. Dirahasiakan identitasnya

Saksi dalam memberikan kesaksiannya identitasnya harus dirahasiakan

agar dalam memberikan kesaksiannya tidak mendapat tekanan dari pihak

manapun.

10.Mendapat identitas baru

Hak untuk mendapatkan identitas baru bagi saksi dan korban yang berada

dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) masih sulit

direalisasikan. Meskipun hal ini diatur jelas dalam Pasal 5 Undang - Undang (UU)

No 31 Tahun 2014 Atas Perubahan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban, pengubahan identitas bukanlah perkara mudah, mengingat

budaya yang berlaku di tengah masyarakat Indonesia.

11.Mendapat tempat kediaman sementara

Apabila keterangan saksi dirasa penting dalam membantu proses

persidangan maka saksi itu sendiri dapat mengajukan bantuan selama proses

persidangan tersebut berlangsung sebagai salah satu cara membatu Jaksa Penuntut

Umum dan Majelis Hakim dalam memutus perkara.

12.Mendapat tempat kediaman baru

Saat ini sekalipun LPSK telah ada, namun dalam praktiknya tidaklah

mudah. Memasukkan saksi atau saksi korban ke dalam program perlindungan

saksi sangat banyak kendalanya, hal ini dikarenakan masalah kesulitan kesediaan

dari saksi atau dari saksi korban untuk masuk ikut program perlindungan saksi

dari LPSK. Ketika seorang saksi atau korban menyatakan diri ikut masuk program

(9)

ditentapkan oleh Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam upaya

perlindungan saksi LPSK tersebut, saksi/korban harus bersedia memutuskan

hubungan dengan setiap orang yang dikenalnya jika keadaan menghendaki. Hal

ini sejalan dengan maksud di dalam pasal 30 ayat (2) huruf c UU No.31 Tahun

2014, dimana saksi atau korban yang berada dalam program perlindungan akan

dipindahkan ke tempat persembunyian yang benar-benar aman dan akan

memutuskan hubungan dengan siapapun sehingga tidak ada orang lain yang

mengenalnya, meskipun keluarga inti (suami, isteri dan anaknya) dimungkinkan

diikutsertakan dalam persembunyian. Pemutusan hubungan dengan orang lain,

sangat dimungkinkan bahkan termasuk memberikan saksi/korban beserta

keluarganya mendapat kehidupan baru dengan mengubah indentitas dan tempat

tinggal yang baru setelah mereka bersaksi di persidangan

Pemberian indentitas baru ini dimaksudkan agar pelaku kehilangan jejak

untuk tidak dapat mencelakakan saksi atau saksi korban pada saat / waktu pelaku

bebas dari hukuman penjara. Mengingat risiko atau konsekuensi yang lumayan

besar, maka sekalipun seorang saksi atau saksi korban telah menyatakan bersedia

masuk program perlindungan saksi, belum tentu setiap saksi atau saksi korban

bersedia untuk mengorbankan kehidupan yang sebesar itu, sehingga UU No.31

tahun 2014 dan lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam

praktiknya akan mendapatkan kesulitan bahkan dilema dari para saksi dan/atau

saksi korban itu sendiri yang membuat LPSK kurang dapat menjalankan program

perlindungan saksi sesuai dengan maksud dan tujuan UU No.31 Tahun 2014

(10)

perlindungan saksi yang tersedia, serta Sumber Daya Manusia yang ada di LPSK

yang karena lembaga tersebut masih baru tentu “belum profesional” dalam

menangani perlindungan saksi. Masalah lain yang mungkin dihadapi oleh LPSK

adalah menyangkut tekanan psikologis yang dirasakan saksi/korban yang ada

dalam perlindungannya sebagai akibat diputusnya hubungan saksi dengan pihak

lain, termasuk keluarga. Dan masih banyak lagi potensi yang menjadi kendala

bagi LPSK.

13.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan

Restitusi dan Kompensasi merupakan yang istilah dalam penggunaannya

sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun, menurut Stephen Schafer,

perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih bersifat keperdataan.

Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau

merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negera (the responsible

of society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan

pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana (the responsibility of the offender).

14.Mendapat nasihat hukum.

Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada seorang

Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun

orang yang mewakilinya kepada LPSK.

a. LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau

Korban.

b. Dalam hal Saksi dan/atau Korban layak diberi bantuan, LPSK menentukan

(11)

c. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) serta jangka waktu dan besaran biaya sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada Saksi dan/atau

Korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam

waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut.

15.Memperoleh bantuan hidup sementara sampai balas waktu perlindungan

berakhir

Jika saksi dianggap sangat berkopeten dan keterangan saksi sangat

diperlukan maka saksiyang diajukan dalam proses persidangan tersebut harus lah

mendapatkan perlindungan dari awal persidang hingga perkara yang memerlukan

keterangan saksi putus dan memiliki kekuatan hukum tetap.

16.Mendapat pendampingan

Pendampingan dilakukan antara lain melalui pemantauan dan pengawasan

terhadap pemenuhan hak Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan.13

13

(12)

PEMBUNUHAN BERENCANA

A. Hambatan dalam mendapatkan Perlindungan Hukum Bagi Saksi

Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban mencangkup seluruh hak - hak dan perlindungan saksi bagi korban

kejahatan. Penerapan Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2014 tidak terlepas dari

hambatan – hambatan karena disatu sisi memberikan perlindungan dan hak-hak

kepada saksi dan korban tetapi disisi lain kurang memperhatikan proses

pelaksanaan dari perlindungan saksi dan korban tersebut, seperti pengurangan

hukuman dan mendapat penghargaan. Adapun hambatan dalam mendapatkan

perlindungan hukum antara lain :

1. Internal

Perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta (Whistleblower) dalam

perkara Tindak Pidana pembunuhan pada paraktiknya di lapangan mendapat

banyak kendala dan hambatan. Tentunya kendala - kendala dan hambatan -

hambatan tersebut disebabkan oleh berbagai macam faktor, sehingga

perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta belum maksimal.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang

paling potensial dan mempunyai kewenangan untuk memberikan perlindungan

(13)

dan Korban dinilai belum maksimal dan masih terdapat banyak kekurangan, baik

itu dari LPSK sendiri maupun undang-undang yang mengaturnya

Pembatasan tugas dan wewenang lembaga perlindungan saksi dan korban.

UU LPSK secara tegas menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri.14

Pekerjaan LPSK tidak akan terlepas dari keberadaan beberapa lembaga

penegak hukum yang ada. Dari segi politik hal ini membutuhkan seni dan cara

penempatan yang baik agar bisa menempatkan diri pada posisi tersebut. Oleh

karena itu LPSK secara jelas harus membangun posisi kelembagaannya yang

berada diantara dua posisi kepentingan yakni kepentingan pertama yang

dimandatkan oleh UU PSK sebagai lembaga yang bersifat mandiri, dan memiliki

kepentingan kedua yakni untuk menjalankan program yang juga harus didukung Kemandirian LPSK yang dimaksud oleh undang - undang ini, adalah sebuah

lembaga yang independen tanpa campur tangan dari pihak manapun. Oleh karena

idealnya sebuah lembaga yang mandiri inilah maka UU PSK tidak meletakkan

struktur LPSK berada di bawah institusi manapun, baik itu instansi pemerintah

(eksekutif) misalnya kepolisian, kejaksaan, departemen pemerintahan, maupun

lembaga independen lainnya seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi

Pemberantasan Korupsi, dan komisi - komisi negara lainnya. UU PSK

menetapkan model lembaga ini hampir sarna dengan berbagai lembaga yang telah

ada seperti : Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya. Hal ini

menunjukkan pula bahwa lembaga tersebut merupakan sebuah state auxiliaries.

14

(14)

oleh instansi terkait yang dalam praktiknya nanti akan menimbulkan keterkaitan

kewenangan.15

1. Definisi dan Status Saksi yang terbatas di dalam Undang - Undang Nomor 31

Tahun 2014

Faktor-faktor internal penghambat perlindungan hukum terhadap saksi

antara lain :

Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2014 masih terdapat beberapa aturan

atau pasal-pasal yang belum memadai untuk memberikan jaminan perlindungan

kepada saksi. Diantaranya mengenai “definisi saksi” yang terbatas. Dalam

konteks “definisi saksi” yang terbatas tersebut, UU No. 31 Tahun 2014 juga (tidak

ada ditemukan/diatur) melupakan orang-orang yang memberikan bantuan kepada

aparat penegak hukum untuk keterangan dan membantu proses pemeriksaan

pidana yang berstatus ahli (orang yang memiliki keahlian khusus).

2. Inkonsistensi pasal - pasal di dalam Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2014

Di dalam UU No. 31 Tahun 2014 jangka waktu yang diberikan tidak

konsisten. Yang dimaksudkan dalam Perlindungan dalam UU ini adalah segala

upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman

kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga

lainnya sesuai dengan ketentuan undang - undang ini. Namun undang - undang ini

memberikan perlindungan pada saksi dan korban terbatas hanya dalam semua

tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Pasal ini akan

membatasi jangka waktu perlindungan karena pengertian tahap proses peradilan

15

(15)

pidana ini hanya mencakup tahap penyelidikan sampai dengan pemberian putusan

yang final, padahal dalam kondisi tertentu dimana kejahatan yang ada sifatnya

serius proteksi perlindungan saksi harus diberikan pula pada tahapan setelah

proses peradilan pidana. Lagi pula Pasal - pasal tersebut tidak konsisten bila

dikaitkan dengan Pasal 5 huruf f, huruf h, huruf i yang memberikan kepada saksi

hak untuk untuk mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, hak

mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan dan hak identitas baru.

Hak - hak ini diberbagai negara dalam prakteknya justru diberikan setelah

kasus selesai di proses dalam peradilan pidana, bahkan untuk perlindungan

dengan cara penggantian identitas maupun relokasi yang permanen bagi saksi,

tahapan pemberiannya seharusnya menjangkau waktu yang sangat lama atau

diberikan secara permanen (seumur hidup).16

3. Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK) yang belum memiliki

perwakilan di daerah dan kurangnya sosialisasi

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) masih memiliki

beberapa kekurangan sehingga belum maksimal dalam menjalankan tugasnya.

Diantaranya yaitu lembaga tersebut yang hanya berkedudukan di Ibu Kota Negara

Republik Indonesia. LPSK tidak memiliki perwakilan di daerah - daerah, hal

tersebut menyulitkan LPSK dalam menjangkau daerah - daerah lain mengingat

wilayah Negara Indonesia yang sangat luas.

16

(16)

Pasal 29 UU nomor 31 Tahun 2014 menjelaskan permohonan

perlindungan ke LPSK di lakukan secara tertulis atas inisiatif sendiri maupun

pejabat yang berwenang. Pasal tersebut tentunya menyulitkan dan membebani

bagi para saksi yang berada di luar Jakarta, karena jarak yang terlampau jauh dan

terkadang saksi juga belum mengetahui mekanisme bersurat ke LPSK karena

kurangnya sosialisasi dan eksistensi dari lembaga tersebut. Tentang pihak yang

dapat meminta perlindungan juga menjadi kendala, selama ini permohonan hanya

dapat dilakukan atas inisiatif saksi itu sendiri maupun pejabat yang berwenang,

seharusnya permohonan dapat diminta oleh keluarga atau pihak yang mengenal

saksi.

4. Belum Adanya Mekanisme “Perlindungan Sementara bagi Saksi dalam

Kondisi Darurat

Berkaitan dengan tata cara pemberian perlindungan saksi, UU ini sengaja

tidak memasukkan mekanisme perlindungan sementara terhadap saksi dalam

kondisi mendesak seperti yang telah dipraktekkan lembaga perlindungan saksi di

berbagai Negara argumentasinya mungkin karena jangka waktu putusan

pemberian perlindungan oleh LPSK cukup pendek yakni 7 hari, maka tidak

diperlukan perlindungan yang mendesak. Mekanisme perlindungan mendesak ini

sangatlah penting, karena kadangkala dalam sebuah kasus, baik intimidasi dan

ancaman kadangkala diberikan secara cepat sesaat seorang saksi akan

(17)

yang cepat (diluar cara-cara biasa) untuk melindungi saksi - saksi dalam kondisi

seperti ini.17

5. Pembatasan Tugas dan Wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

UU PSK secara tegas menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang

mandiri. Kemandirian LPSK yang dimaksud oleh undang - undang ini, adalah

sebuah lembaga yang independen tanpa campur tangan dari pihak manapun. Oleh

karena idealnya sebuah lembaga yang mandiri inilah maka UU PSK tidak

meletakkan struktur LPSK berada di bawah institusi manapun, baik itu instansi

pemerintah (eksekutif) misalnya kepolisian, kejaksaan, departemen pemerintahan,

maupun lembaga independen lainnya seperti Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan komisi - komisi negara lainnya.

UU LPSK menetapkan model lembaga ini hampir sarna dengan berbagai lembaga

yang telah ada seperti : Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya. Hal ini

menunjukkan pula bahwa lembaga tersebut merupakan sebuah state auxiliaries.

UU No 31 Tahun 2014 dalam ketentuan umumnya telah menyatakan

bahwa Lembaga Perlindungan Saksidan Korban, LPSK, adalah lembaga yang

bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak - hak lain

kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang - Undang.

Namun UU LPSK tidak merinci tugas dan kewenangan dari LPSK tersebut lebih

lanjut18

17

. Supriyadi Widodo Eddyono, 2006, Undang - Undang Perlindungan Saksi Belum Progresif, Koalisi Perlindungan Saksi & Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, Halaman 20.

18

(18)

6. Ketidaksepahaman Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Dengan Pihak -

Pihak Terkait

Pasal 36 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 berbunyi, “dalam melaksanakan

pemberian perlindungan dan bantuan LPSK dapat bekerjasama dengan instansi

terkait yang berwenang”. Hal ini menjelaskan bahwa masalah dalam melakukan

perlindungan saksi dapat terlaksana secara efektif jika ada kerjasama yang baik

antar instansi terkait yang berwenang antar instansi terkait yang berwenang.19

Salah satu pihak yang sangat ingin agar LPSK tumpul adalah pihak dari

terdakwa itu sendiri. Ini dikarenakan terdakwalah yang sering melakukan

intimidasi dan teror kepada saksi agar tindak pidana yang dilakukan oleh nya

tidak dapat terbukti. Hal ini wajar mengingat sudah sangat sering kita melihat

bahwa terdakwa yang melakukan tindak pidana dibebaskan karena keterangan dengan LPSK. Kerjasama ini diperlukan karena tidak mungkin LPSK berjalan

sendiri dalam melindungi saksi sementara beberapa pihak ada yang menginginkan

agar LPSK tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya.

Seiring berjalannya waktu LPSK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya

tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Banyak hal yang terjadi

sehingga menimbulkan masalah di dalam segala kegiatan LPSK dalam

melindungi saksi terutama saksi dalam tindak pidana korupsi. Salah satu masalah

yang terjadi adalah timbulnya ketidaksepahaman antara LPSK dengan pihak -

pihak terkait yang berwenang. Hal ini tentu akan menghambat tugas paling utama

dari LPSK yaitu melindungi saksi dan atau korban.

19

(19)

saksi tidak memberatkan atau sama sekali sengaja sudah diatur oleh terdakwa itu

sendiri agar saksi bungkam di pengadilan setelah sebelumnya mengancam saksi.

7. Permasalahan Internal Kelembagaan LPSK

UU LPSK menyatakan LPSK terdiri atas, Pimpinan dan Anggota.20

Hal ini diperkuat dengan Marthin Simangunsong, meskipun ada Undang –

Undang Perlindungan Saksi dan Korban belum dapat menampung keinginan dan

menjalankan Undang – Undang itu secara menyeluruh karena sampai saat ini

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban hanya terdapat di Jakarta sehingga di

daerah – daerah lain yang membutuhkan perlindungan kurang mendapatkan

perlindungan hukum. Apabila terhadap pembunuhan berencana, saksi takut Pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota

yang dipilih dari dan oleh anggota LPSK Mengenai tata cara pemilihan Pimpinan

LPSK akan diatur dengan peraturan internal LPSK nantinya. Sedangkan masa

jabatan Ketua dan Wakil Ketua LPSK ditetapkan oleh UU selama 5 (lima) tahun

dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sarna, hanya untuk 1

(satu) kali masa jabatan berikutnya. Undang - Undang, anggota dari LPSK terdiri

atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai

pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum

dan hak asasi manusia. UU LPSK juga telah menetapkan siapa saja (representasi)

yang berhak menjadi anggota dari lembaga ini yakni representasi dari : kepolisian,

kejaksaan. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM, advokat,

akademisi atau lembaga swadaya masyarakat.

20

(20)

mendapatkan ancaman dari si pelaku ataupun pihak terdekat dari si pelaku dalam

memberikan keterangan atas kesaksiannya. Bisa juga polisi menyudutkan saksi

sehingga saksi takut memberikan keterangannya di depan persidangan. Masalah

yang biasanya timbul terjadi yaitu adanya sumber anggaran dan sumber daya

manusia yang minim sehingga perlindungan hukum yang diatur dalam Undang –

Undang perlindungan saksi dan korban kurang efektif dalam penerapannya.21

2. Eksternal

Pengertian saksi yang telah dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

yang dimaksud dengan saksi adalah “orang yang dapat memberikan keterangan

guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri, dan/atau ia alami sendiri.

Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa : “Hak sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus

tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.” Pasal 5 ayat (2) hanya memberikan hak

sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) kepada saksi dan/atau korban tindak

pidana dalam kasus - kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Di sini yang

dimaksud dengan kasus - kasus tertentu sebagaimana penjelasan pasal demi pasal

antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak

21

(21)

pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi

dan/atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.

Menurut Marthin Simangunsong, Hambatan eksternal dalam perlindungan

saksi disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :

1. Masih rendahnya tingkat pendidikan

2. Faktor ekonomi

3. Rasa takut bertemu dengan penyidik atau Polisi

4. Tidak mengetahui adanya undang - undang perlindungan saksi

5. Adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu22

B. Upaya Perlindungan Hukum terhadap saksi dalam Perkara Tindak

Pidana Pembunuhan Berencana

1. Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau criminal policy merupakan usaha

yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terehadap kejahatan. Sebagai

bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) kebijakan

penggulangan kejahatan harus mampu menempatkan setiap komponen sistem

hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan,

termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau memberikan

partisipasi yang aktif dalam penanggulangan .kejahatan. Oleh karena itu kebijakan

22

(22)

penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan

menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan.23

Kebijakan penal atau sering disebut politik hukum pidana merupakan

upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa

yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini berkaitan dengan

konseptualitas hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan.24 Usaha dan

kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya

tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan, juga merupakan

bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana.

Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang -

undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha

perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha mencapai kesejahteraan

masyarakat (sosial walfare). Dua masalah sentral dalam kebijakan criminal

dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan

antara lain :25

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana,

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar

Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai,

terlebih bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan

pembangunan nasionalnya bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia

23

. Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Halaman 46.

24

. Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy, Pustaka Bangsa Perss, Medan, Halaman 66.

25

(23)

seutuhnya. Penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang

dikenakan pada sipelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang

beradab, tetapi harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai -

nilai kemanusiaan dan nilai pergaulan hidup masyarakat.

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal atau hukum pidana

lebih menitik beratkan pada sifat refresif yaitu berupa pemberantasan atau

penumpasan sesudah kejahatan terjadi. Upaya ini dilakukan apabila preventif atau

upaya pencegahan belum mampu untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya

penal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan baik dilaporkan

masyarakat maupun temuan kepolisian akan dilakukan tindakan tegas atau

penegakan hukum secara tuntas dengan tujuan agar para pelaku menjadi sadar dan

jera untuk berbuat kembali. Selain itu menjatuhkan hukuman yang maksimal yang

sesuai dengan ketentuan KUHPidana kepada pelaku pembunuhan. Kebijakan

hukum yang dapat dijatuhkan bagi para pelaku pembunuhan mengacu pada

KUHPidana yang disesuaikan dengan pasal-pasal pembunuhan terhadap jiwa

orang berdasarkan perbuatan pelaku dengan korban dalam pembuktian kasus

disesuaikan dengan pembuktian kasus sesuai dengan pembuktian KUHPidana.

Kebijakan hukum yang dapat dijatuhkan pada kasus pembunuhan yang

akan diterima adalah hukuman pidana maksimal berbagai pertimbangan, juga

mengaju pada Pasal 338 KUHPidana. Namun dalam penerapannya diharapkan

bersifat selektif, hati - hati dann berotientasi juga pada perlindungan/kepentingan

(24)

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu

upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan

penegakan hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai

kesejateraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum

itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.26

Kebijakan dengan menggunakan sarana penal, yaitu menggunakan hukum

pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materill, hukum pidana

formil maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem

peradilan pidana untuk mencapai tujuan - tujuan tertentu. Tujuan - tujuan tersebut,

dalam jangka pendek adalah resosialisasi (memasyarakatkan kembali) pelaku

tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam

jangka panjang yang merupakan tujuan akhir adalah untuk mencapai

kesejahteraan sosial.27

Menurut Sudarto, kebijakan kriminal merupakan “suatu usaha yang

rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Kebijakan atau upaya

penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya

perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan

masyarakat (social welfare). Tujuan dari politik kriminal adalah “perlindungan

masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Dalam upaya

26

. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori - teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, Halaman 148.

27

(25)

penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam

arti, yaitu:

a. Ada keterpaduan (intergralitas) antara politik kriminal dan politik sosial;

b. Ada keterpaduan (intergralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan

dengan “penal” dan “non penal”

Kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk

mewujudkan peraturan perundang - undangan pidana agar sesuai dengan keadaan

pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum).

Namun, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit,

karena sebagai suatu system hukum pidana terdiri dari budaya (cultural), stuktur

(structur), dan substansi (substansive) hukum. Karena undang - undang

merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan hukum pidana, disamping

memperbaharui perundang - undangan juga mencakup pembaharuan ide dasar dan

ilmu hukum pidana.

Menurut Marc Ancel, penal policy merupakan ilmu sekaligus seni yang

bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih

baik. Peraturan hukum positif diartikan sebagai peraturan perundang - undangan

hukum pidana. Usaha dan kebijakan membuat peraturan hukum pidana yang baik,

pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana bagian dari politik kriminal. Dengan

(26)

pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.28

Kebijakan penal dalam UU PSK ini dirumuskan dalam Bab V mulai Pasal

37 sampai Pasal 43. Kebijakan penal dalam UU PSK ini dimulai dengan Pasal 37

(1) yang mengancam pidana kepada setiap orang yang memaksakan kehendaknya

baik menggunakan kekerasan maupun cara - cara tertentu, yang menyebabkan

Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d, (a. hak memperoleh perlindungan atas

keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang

berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; d. hak

mendapat penerjemah) sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan

kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana

denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling Dalam

rangka melindungi dan menciptakan kesejahteraan masyarakat, hukum pidana

mempunyai posisi sentral untuk menyelesaikan konflik (kejahatan) yang terjadi.

Masyarakat Indonesia yang heterogen, baik horizontal (suku, agama, ras) maupun

vertical (perbedaan kekayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi), pada hakikatnya

dapat menjadi faktor kriminogen, terutama jika terjadi ketidakadilan dan

diskriminasi dalam menangani masyarakat. Dengan demikian, hukum pidana

menjadi penting perannya, sekarang dan di masa mendatang, bagi masyarakat

sebagai control social untuk mencegah timbulnya disorder, khususnya sebagai

pengendali kejahatan.

28

(27)

banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pada ayat (2)-nya disebutkan,

apabila pemaksaan kehendak itu menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau

Korban, maka pelaku diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun

dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00

(delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah).

Sementara itu, apabila pemaksaan kehendak itu mengakibatkan matinya

Saksi dan/atau Korban (ayat 3), maka pelaku dipidana dengan pidana penjara

paling singkat

5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp.

80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah).

Sementara itu, Pasal 38, mengancam setiap orang yang menghalang -

halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh

perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a

dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Tujuan dari Pasal 38 ini memiliki kemiripan dengan Pasal 37, akan tetapi

tidak harus ada unsur akibat pada saksi dan/atau korban, baik berupa luka, luka

berat, atau kematian, sehingga Pasal 38 ini relatif lebih fleksibel dan berjangkauan

(28)

pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang

benar dalam proses peradilan, maka Pasal 39 mengancam pidana setiap orang

yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan

dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta

rupiah) dan palingbanyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Ketentuan yang demikian diharapkan akan menjadi warning, supaya

seseorang tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan hilangnya

pekerjaan saksi dan/atau korban atau keluarganya karena memberikan kesaksian

perkara pidana, walaupun ini sangat potensial dilakukan oleh mereka yang punya

posisi kuat dalam lingkungan kerja atau masyarakat (power full). Dengan

demikian saksi dan/atau korban tidak akan khawatir kehilangan pekerjaan karena

akan, sedang, atau telah berkontribusi dalam menegakkan hukum pidana dengan

menjadi bersedia menjadi saksi. Untuk memberikan perlindungan bagi saksi

dan/atau korban dari kemungkinan dirugikan atau dikuranginya hak-hak saksi, hal

mana justru sangat potensial dilakukan oleh aparat penegak hukum, maka Pasal

40 mengancam setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya

hak - hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6,

atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang

benar dalam proses peradilan, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 1

(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp

30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00

(29)

adalah dengan merahasiakan keberadaan saksi dan/atau korban yang sedang

dalam perlindungan LPSK.

Diketahuinya keberadaan saksi dan/atau korban yang dalam status

perlindungan dapat membahayakan keselamatan saksi dan/atau korban. Untuk

menjamin supaya orang tidak membuka rahasia keberadaan saksi dan/atau korban,

maka dirumuskanlah Pasal 41 yang mengancam pidana bagi setiap orang yang

memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam

suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp

80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah). Ketentuan pidana dalam Pasal 42 UU PSK ini juga

mengenal pemberatan pidana dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 di atas dilakukan oleh pejabat

publik, maka ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu pertiga). Pasal 43

UU PSK juga mengatur bagaimana apabila pidana denda yang tidak mampu

dibayar oleh terpidana. Di mana apabila terpidana tidak mampu membayar pidana

denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal

41, dan Pasal 42 maka pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun (ayat (1)). Pidana penjara

sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

(30)

Apabila mencermati ketentuan pidana yang terdapat dalam pasal - pasal di

atas, maka diketahui bahwa kebijakan penal yang dianut, dalam beberapa hal,

mengatur secara spesifik atau menyimpang (lex specialist) dari ketentuan umum

yang dianut oleh KUHP. Lex specialist dimaksud di antaranya adalah berkaitan

dengan sistem ancaman pidananya. UU PSK menganut sistem ancaman pidana

minimum khusus dan maksimum khusus, artinya tindak pidana yang dirumuskan

dalam pasal - pasal itu masing-masing mengancam pidana minimum dan

maksimum yang secara khusus bisa dijatuhkan hakim terhadap terdakwa yang

terbukti bersalah, baik untuk ancaman pidana penjara maupun pidana dendanya.

Sementara KUHP menganut sistem ancaman pidana maksimum khusus, artinya

KUHP membuat batas atas / maksimum ancaman pidana terhadap masing -

masing tindak pidana yang dapat dijatuhkan terhadap terdakwa.

Menurut Marthin Simangunsong, pemerintah seharusnya menyiapkan

anggaran dan sumber daya manusia ke tiap - tiap daerah sebagai perwakilan dari

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban agar tidak terjadi kendala dalam

mendapatkan perlindungan hukum terhadap saksi, sehingga Undang - Undang

Perlindungan Saksi dapat terealisasi dengan baik. 29

Upaya non penal atau upaya diluar hukum pidana lebih menitik beratkan

pada sifat preventif yaitu pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum

kejahatan terjadi. Sasaran utama dari upaya ini adalah menangani faktor-faktor 2. Non Penal

29

(31)

kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor - faktor kodusif antara lain

berpusat pada masalah-masalah atau kondisi - kondisi sosial yang secara langsung

atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.

Dengan demikian, dilihat dari sudut politik criminal secara makro dan global

maka non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya

politik criminal. Upaya non penal yang paling strategis adalah upaya untuk

manjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang

sehat secara materil dan imateril dari faktor-faktor krominoge.30

Upaya non penal atau upaya diluar hukum pidana lebih menitik beratkan

pada sifat preventif yaitu pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum

kejahatan terjadi. Sasaran utama dari upaya ini adalah menangani faktor - faktor

kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor - faktor kodusif antara lain

berpudat pada masalah - masalah atau kondisi - kondisi sosial yang secara

langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan

kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik criminal secara makro dan Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat

tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran

utamanya adalah menangani faktor - faktor kondusif penyebab terjadinya

kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi - kondisi sosial yang

secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh

suburkan kejahatan.

30

(32)

global maka non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan

upaya politik kriminal.

Upaya non penal yang paling strategis adalah upaya untuk manjadikan

masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat secara

materil dan imateril dari faktor - faktor krominoge.31

Pertanggungawaban terhadap segala tugas yang dijalankan sebagai alat

Negara, maka yang bertanggungjawab atas tugas kenegaraan tesebut adalah

Negara. Dan terhadap oknum penegak hukum, yang dipandang mungkin perlu

dikoreksi atau dianggap tidak cakap menjalankan tugasnya, maka hal tersebut

diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing instansi.

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih

bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya

adalah menangani factor - faktor kondusif terjadinya kejahatan. Faktor - faktor

kondusif penyebab terjadinya peradilan sesat terhadap kekeliruan penangkapan

dan tidak berdasarkan undang-undang, diantaranya rendahnya budaya hukum

aparat penegak hukum yang berimplikasi terhadap penegakan hukum.

32

Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara -

perkara pidana, pada peradilan tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa

telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkara terdakwa : Suratno als.

Nano, umur 25 tahun, jenis kelamin laki - laki, kebangsaan Indonesia, tempat

tinggal Jalan Cempaka Ujung Lingkungan III No. 69 BL Kelurahan Tanjung

31

. Barda Nawawi Arif, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditiya Bakti, Bandung, Halaman 49.

32

(33)

Gusta Kecamatan Medan Helvetia, agama Islam, pekerjaan buruh bangunan,

pendidikan SMP.

Kronologis

Terdakwa Suratno als Nano baik secara sendiri - sendiri maupun bersama

- sama dengan Ifin (DPO) pada hari Jumat tanggal 30 Agustus 2013 sekira pukul

21.25 wib atau setidak - tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2013 bertempat

di Jalan Cempaka Kelurahan Tan jung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia

tepatnya di jalan umum atau setidak - tidaknya di suatu tempat yang masih

termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan dengan sengaja dan

dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, yang

dilakukan terdakwa.

Dakwaan

Terdakwa didakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal

340 jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1e KUHPidana.

Pertimbangan hakim Bahwa untuk membuktikan dakwaanya, Jaksa Penuntut

Umum telah menghadapkan enam orang saksi yang telah didengarkan

keterangannya dibawah sumpah dipersidangan masing-masing memberikan

keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Saksi Misri Nurhayati

Saksi mengetahui tindak pidana pembunuhan terhadap korban terjadi pada

hari Jumat tanggal 30 Agustus 2013 pukul 21.25 di Jalan Cempaka Kelurahan

Tanjung Gusta Kecamatan Medan Helvetia (Jalan umum) setelah saksi dihubungi

(34)

Saat itu sekira pukul 22.00 wib saksi dihubungi seorang laki-laki yang

saksi tidak kenal via handphone korban (suami saksi), kemudian saksi dan kakak

iparnya berangkat ke Polsek Kampung Lalang dan bertemu dengan petugas polisi

dan mengatakan bahwa suami dari saksi telah meninggal dunia dan sekarang

berada di rumah sakit pringadi, mendengar hal tersebur saksi langsung bergegas

ke rumah sakit sementara kakak ipar saksi pergi ke rumah untuk memberitahu

kepada keluarga, setelah saksi sampai di rumah sakit dan menemui jenazah

korban yang berada di dalam ruang mayat dengan terlentang ditutupi dengan kain

panjang, setelah korban diperiksa secara medis terus dibawa pulang ke rumah dan

pada saat dimandikan saksi melihat ada luka disekujur tubuh suami saksi.

Bahwa terdakwa sebelum pada hari kejadian saksi tidak pernah melihat

terdakwa sebelumnya namun pada hari kejadian dari pagi sampai malam terdakwa

ada beberapa kali mendatangi rumah korban dan rumah kakak korban di Asrama

Abdul Hamid bersama beberapa orang lain.

Bahwa pada saat sebelum kejadian saksi melihat suaminya dijemput dua

orang dari rumah korban dengan ciri-ciri satu orang badan tegap (kekar) muka

bulat, kulit agak hitam, kaos warna hitam, pakai celana pendek jenis jeans lee

yang salah satunya adalah terdakwa.

Bahwa benar posisi terdakwa pada saat itu duduk diboncengan bagian

tengah sedangkan teman terdakwa yang ahak kurus membawa sepeda motor dan

terdakwa duduk dibagian belakang.

Bahwa benar kepada saksi ditunjukkan barang bukti dan saksi

(35)

ponggol kotak - kotak warna merah, jam tangan adalah milik korban sedangkan

barang bukti yang lainnya tidak diketahui saksi.

2. Saksi Dian Ekawati

Bahwa saksi menerangkan bahwa sekitar pukul 22.00 wib saksi didatangi

oleh saksi 1 Misri Nuryanti (istri korban) selanjutnya saksi 1 menerangkan bahwa

dianya dihubungi via handpone korban oleh seseorang yang mengaku polisi yang

menyuruh saksi 1 untuk datang ke Pos Polisi Kampung Lalang selanjutnya saksi 1

pergi ke Pos Polisi Kampung Lalang dan setiba disana bertemu dengan petugas

3. Saksi Sriani alias Sri

Bahwa saksi menerangkan tindak pidana pembunuhan terhadap korban

terjadi pada hari jumat tanggal 30 Agustus 2013 pukul 21.25 Wib di Jalan

Cempaka Kelurahan Tanjung Gusta Kecamatan Medan Helvetia (jalan umum)

Bahwa pada saat itu adik ipar istri korban dan istri korban datang ke

rumah sambil menangis dan pada saat itu saksi menanyakan kepada korban, istri

korban menyatakan kalau yang menelepon bukanlah Dedy melainkan pihak

kepolisian, dan pada saat itu juga saksi dan istri korban dan adik ipar istri korban

bergegas ke pos polisi Kampung Lalang setelah sampai disana mengatakan bahwa

korban telah meninggal dunia dan sekarang berada di RS Pringadi

Bahwa benar mendengar hal tersebut istri korban langsung bergegas ke

rumah sakit sementara kakak istri korban pergi kerumah untuk memberitahu

kepada keluarga, setelah istri korban sampai dirumah sakit dan menemui jenazah

(36)

panjang, setelah korban diperiksa secara medis terus dibawa pulang kerumah dan

pada saat dimandikan saksi melihat ada luka disekujur tubuh suami istri korban

Bahwa pada saat sebelum kejadian istri koban melihat suaminya dijemput

2 (dua) orang dari rumah korban dengan ciri-ciri satu orang badan tegap (kekar)

muka bulat, kulit agak hitam, kaos warna hitam, pakai celana pendek jenis jeans

lee yang salah satunya adalah terdakwa

Bahwa pada hari kejadian sekitar pukul 11.00 Wib, saksi melihat terdakwa

dan temannya berdiri di depan pintu pagar rumah saksi di Komplek Abdul Hamid

Medan dan saksi pada saat itu sedang berkeliling komplek melihat terdakwa dan

temannya lalu terdakwa berkata pada saksi “apa kak kok liat - liat” yang dijawab

saksi “saya yang seharusnya bertanya kenapa kalian berdiri di depan pagar rumah

saya” lalu seseorang mengajak pergi naik sepeda motor terakhir di antara laki-laki

dan duduk di box depan rumah laki-laki tersebut tidak ada ngomong, selanjutnya

terdakwa dan teman-temannya silih berganti datang ke rumah saksi

Bahwa benar sebelum hari kejadian saksi tidak pernah melihat terdakwa

datang atau bermain ke rumah saksi

4. Saksi Afrizal Afdani alias Ijal alias Igoy

Bahwa saksi tidak melihat bagaimana perbuatan terdakwa membunuh korban.

Bahwa benar pada hari jumat tanggal 30 Agustus 2013 sekira pukul 08.30 Wib,

ketika saksi bekerja di doorsmeer terdakwa datang dan mengatakan kepada saksi

dimana ada menjual shabu-shabu yang di jawab saksi “di Asrama Abdul Hamid

(37)

Bahwa terdakwa dan korban bertemu lalu saksi mendengar bahwa

terdakwa mengatakan “bang ada barang” dijawab korban “ada, berapa” kemudian

terdakwa mengatakan “1 jie harganya berapa? “dijawab korban “Rp 1.000.000,-

(satu juta rupiah)” terus terdakwa membuka dompet mengambil uang pecahan

seratus ribu rupiah dan pecahan lima puluh ribu rupiah selanjutnya menyerahkan

kepada korban Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)

Bahwa korban mengatakan tunggu sebentar biar kuambil barangnya,

selanjutnya korban keluar rumah melalui pintu samping setengah jam kemudian

korban balik dengan membawa 1(satu) plastik warna putih berisikan butiran putih

dan menyerahkan dan setelah barang di tangannya, terdakwa mengatakan “berapa

ini bang, berapa titik ini bang ? “dijawab korban “ sembilan titik” oleh terdakwa

mengatakan paling ada separuh atau lebih dikit, terus korban mengatakan “tunggu

aku tambah” lalu korban pergi keluar rumah melalui pintu samping

Bahwa tak seberapa lama korban membawa 1 (satu) paketan kecil lalu

terdakwa jawab “bagaimana ini bang” yang dijawab korban “bawa aja dulu nanti

kalau kurang datang kesini “maka saksi bersama terdakwa pulang menuju rumah

terdakwa dan etelah ditimbang ternyata benar kurang

Bahwa selanjutnya sekira pukul 11..00 Wib terdakwa membawa

timbangan narkotika dan mengajak saksi kerumah korban dan setelah ketemu

terdakwa mengatakan bahwa timbangannya kurang dan korban mengambil barang

tersebut dan mengatakan “tunggulah sebentar biar kutambah” lalu saksi bersama

(38)

Bahwa kemudian terdakwa menghubungi teman terdakwa melalui

handphone untuk menjemput terdakwa dan sekira pukul 15.30 Wib terdakwa

dijemput temannya dan pergi naik sepeda motor sementara saksi disuruh

menunggu hingga korban datang

Bahwa karena jenuh, saksi lalu pulang ke doorsmeer sekira pukul 16.15

Wib, saksi dihubungi oleh terdakwa marah kemudian karena takut maka saksi

pergi lagi ke rumah korban dan kakak korban mengatakan korban belum pulang,

lalu sekira pukul 18.00 Wib saksi pulang ke rumah dan mandi kemudian balik lagi

ketempat kerja jaga parkir di Jalan Cempaka rumah makan Holpet

Bahwa terdakwa mengatakan “dimana kau”, yang dijawab saksi “iya udah

kesana dan keliling mencari dia tidak ketemu” padahal saksi masih dilokasi

parker.

Bahwa sekira pukul 20.00 Wib saksi minta tolong kepada temannya

Irwansyah untuk mengantar saksi kerumah korban dan di Jalan Abdul Hamid

saksi bertemu dengan terdakwa dan temannya separuh baya lalu saksi disuruh

berhenti oleh terdakwa dan mengatakan “kau tunggu aja disitu” lalu dijawab saksi

“ bagaimana kalau dia sampai pagi tidak ada, biarlah ku ganti uangnya dengan

cara nyicil” oleh terdakwa mengatakan “kau jangan lepas tangan” kau mau aku

mengambil tindakan sendiri, nanti kau yang kumatikan disini, nggak percaya kau

(sambil menunjukkan pisau dipinggangnya)’ lalu saksi menjawab “percaya,

(39)

Bahwa saksi bertanya pada keluarganya “dimana korban dan keluarga

korban mengatakan “ belum pulang dia tak usah kalian cari dia” lalu saksi

menyuruh teman saksi pulang dan saksi menunggu korban

Bahwa sekira pukul 21.35 Wib, saksi dihubungi oleh terdakwa dengan

mengatakan “pulang kau nanti ketangkap”, kemudian dengan berjalan kaki saksi

pulang menuju rumah di Jalan Cempaka Ujung Kelurahan Tanjung Gusta Medan

Helvetia dan tepatnya di Jalan Banten Kelurahan Tanjung Gusta Medan, saksi

melihat orang rame-rame lalu saksi menanyakan “ada apa bang” yang dijawab

masyarakat yang ada disitu ada rampok yang dibunuh namun karena badan saksi

sakit, sksi langsung pulang kerumah dan istirahat

5. Saksi Adi Darma alias Adi

Bahwa pada saat saksi sedang berdiri di Jalan Cempaka depan toko

Indomaret melihat-lihat orang pasang tenda teratak pesta, pada saat saksi berdiri

saksi mendengar teriakan orang “maling-maling” spontan saksi berpaling kearah

suara tersebut dan melihat korban lari ke arah saksi dan saksi langsung

menangkap bajunya, kemudian korban mengaku bahwa dirinya bukan maling

hanya masalah utang-piutang dan pada waktu bersamaan datang terdakwa

memegang kelewang mengatakan maling, terus korban berbalik atau berlindung

kemudian terdakwa mengatakan jangan ada yang menghalangi nanti ku tebas

sambil mengayunkan klewang.

Bahwa mendengar perkataan terdakwa maka saksi merasa ketakutan, lalu

saksi menolakkan korban dan saksi jatuh, saksi jatuh kearah selatan dan korban

(40)

menikam dengan menggunakan pisau ke arah korban dan korban menghindar dan

berusaha lari namun terdakwa membacok kaki korban, kemudian korban yang

merasakan sakit dikakinya berusaha lari menyelamatkan diri namun tepat diantara

mobil parkir sampai tengah jalanan teman terdakwa yang bernama Ifin (DPO)

menikam dan membacok korban lalu korban dengan posisi setengan jongkok

bersandar pada sepeda motor yang parkir yang membuat korban jatuh dan

tertimpa sepeda motor tersebut

6. saksi Irwansyah Daulay

Bahwa pada hari jumat tanggal 30 Agustus 2013 sekira pukul 19.55 Wib,

saksi dihubungi oleh saksi Afrizal dan meminta saksi untuk mengantarnya ke

Jalan Abdul Hamid Medan bahwa ketika di Jalan Abdul Hamid Medan, saksi

bertemu denga terdakwa dan terdakwa mengatakan saksi Afrizal berhenti dan apa

pembicaraan terdakwa dengan saksi Afrizal saksi tidak mengetahuinya bahwa

kemudian saksi dan saksi Afrizal pergi menuju rumah korban dan menunggu

korban, lalu keluarga korban mengatakan bahwa korban tidak pulang lagi

kerumah, kemudian saksi dihubungi oleh orang tua saksi lalu saksi pulang dan

meninggalkan saksi Afrizal bahwa cirri - ciri teman terdakwa adalah pendek dan

kecil.

Menimbang, bahwa karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum Berbentuk

Dakwaan Susidairitas, maka Majelis Hakim terlebih dahulu akan

mempertimbangkan tentang Dakwaan Primair : melanggar pasal 340 jo. Pasal 55

ayat (1) ke – 1e, yang unsur-unsurnya sebagai berikut :

(41)

2. Dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu

3. Menghilangkan jiwa orang lain

4. Dilakukan secara bersama-sama

1. Unsur “Barang siapa”

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan ‘barang siapa” adalah setiap

orang sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum :

Bahwa dari hasil pemeriksaan dipersidangan, identitas terdakwa

sebagaimana diuraikan dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum benarlah

terdakwalah orangnya yang sehat jasmani dan rohani serta dapat bertanggung

jawab secara hukum ;

Menimbang, bahwa apakah terdakwa dapat dipersalahkan telah melakukan

perbuatan pidana sebagaimana didakwakan kepadanya, masih harus

dipertimbangkan pada unsur selanjutnya;

2. Unsur “Dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu”

Menimbang, bahwa Dengan sengaja dalam ketentuan pasal ini

dimaksudkan adalah sengaja sebagai maksud, dimana akibat dari perbuatan

tersebut adalah dikehendaki yang termasuk dalam niatnya, sedangkan pengertian

“dengan direncanakan lebih dahulu” maksudnya antara timbulnya maksud untuk

melakukan suatu perbuatan dengan pelaksanaannya, masih ada tempo bagi si

pelaku untuk dengan tenang memikirkan dengan cara bagaimana perbuatan itu

akan dilakukan

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan

(42)

alias Igoy , Sriani alias sri dan Irwansyah Daulay serta adanya barang bukti dan

visum et Repertum dihubungkan dengan keterangan terdakwa, benar pada hari

jumat tanggal 30 Agustus 2013 sekira pukul 08.30 Wib, terdakwa menjumpai

saksi Afrizal Afdani alias Ijal alias Igoy dan menanyakan dimana ada jual

shabu-shabu yang dijawab saksi Afrizal Afdani alias Ijal alias Igoy “di Asrama Abdul

Hamid sama Dedi” kemudian sekira pukul 09.00 Wib, terdakwa dan saksi Afrizal

Afdani alias Ijal alias Igoy sampai di Komplek Abdul Hamid Blok IX Nomor : 68

Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Kabupaten Deli Serdang dan menemui

korban Dedy Syahputra dan membeli shabu-shabu seharga Rp.1.100.000,- (satu

juta seratus rubu rupiah) kemudian korban pergi keluar dari samping rumah

korban dan membawa uang sebesar Rp.1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah)

tersebut untuk mengambil shabu-shabu dan memberikan kepada terdakwa, setelah

di pegang oleh terdakwa, ternyata kurang dan terdakwa mengatakan ini hanya

setengah lalu di jawab korban “ kalau nanti kurang datang aja lagi kesini biar aku

tambah” lalu terdakwa dan saksi Afrizal Afdani alias Ijal alias Igoy lalu pulang

ke rumah terdakwa dan sesampainya di rumah terdakwa, terdakwa menimbang

shabu-shabu tersebut dan ternyata kurang setengah, kemudian terdakwa mengajak

Afrizal Afdani alias Ijal alias Igoy pergi lagi ke rumah korban dan terdakwa

mengatakan kepada korban bahwa shabu-shabu tersebut kurang setengah,

kemudian korban mengambil shabu-shabu itu dan mengatakan kepada terdakwa “

tunggu sebentar biar kutambah”, selanjutnya sekira pukul 15.30 wib, korban tidak

datang juga, kemudian terdakwa menghubungi Ifin (DPO) dan memintanya untuk

(43)

dengan Ifin sedangkan saksi Afrizal Afdani alias Ijal alias Igoy disuruh terdakwa

untuk menunggu korban, kemudian Ifin (DPO) kembali bekerja lalu selesai

makan, terdakwa kembali menjumpai Ifin (DPO) dan memintanya mengantarkan

terdakwa mencari korban ke rumah namun tidak ketemu sehingga Ifin (DPO)

kembali bekerja dan terdakwa bersama Afrizal Afdani alias Ijal alias Igoy tetap

menunggu korban, selanjutnya sekira pukul 16.00 wib, terdakwa menanyakan

kepada kakak korban dimana korban dan nomor handphonenya akan tetapi kakak

korban mengatakan “Dedi tidak ada dan dia tidak punya hp”, lalu terdakwa

menanyakan keberadaan korban kepada tetangganya namun tetangganya tidak

tahu, kemudian terdakwa menghubungi Ifin (DPO) untuk menjemputnya dan Ifin

(DPO) menjemput terdakwa dan mengatakan bahwa ianya baru dipukuli oleh

Pemuda Komplek Abdul Hamid mengakibatkan tulang rusuk patah lalu terdakwa

mengajak Ifin (DPO) ke rumah setelah terdakwa di rumah, Ifin (DPO) kembali

bekerja di doorsmeer karena merasa kesakitan akibat dipukuli , mendengar hal itu

terdakwa lalu meminjam Sepeda Motor Yamaha Vega R Milik adek dan kembali

ke rumah mengambil 1 (satu) buah kelewang dan sebilah pisau, kelewang tersebut

terbuat dari besi panjang kurang lebih 70 cm dalam keadaan berkarat dengan

sengaja terdakwa menyimpannya di knalpot sepeda motor sedang sebilah pisau

terdakwa selipkan di pinggang sebelah kiri selanjutnya terdakwa menjumpai Ifin

(DPO) di doorsmeer dan mengajak mencari korban ketika diperjalanan terdakwa

mengatakan kepada Ifin (DPO) pegang ini bang untuk jaga-jaga lalu Ifin (DPO)

menerimanya dan menyelipkan diperut dekat pusat, dimana terdakwa dengan

(44)

alat menyakiti korban jika korban tidak menepati janjinya melakukan perlawanan

terhadap terdakwa dan temannya lalu memberikan pisau tersebut kepda Ifin

(DPO) lalu mencari korban diseputaran Komplek Abdul Hamid dan diperjalanan

terdakwa melihat Afrizal Afdani alias Ijal alias Igoy bersama iwan sedang naik

sepeda motor lalu menyuruh mereka berhenti dan menanyakan kepada saksi

Afrizal Afdani alias Ijal alias Igoy “kemana kau kan ku suruh kau nunggu Dedi”

dijawab saksi Afrizal Afdani alias Ijal alias Igoy “ aku masih mencari dia”

kemudian terdakwa mengatakan kepada saksi Afrizal Afdani alias Ijal alias Igoy

“jangan kau lepas tangan, nanti aku bertindak sama kau, nggak percaya kau:

sambil memegang pinggang seolah-olah mencabut pisau kemudian saksi Afrizal

Afdani alias Ijal alias Igoy “iya, aku percaya”, terus pergi ke rumah korban,

kemudian terdakwa dan Ifin (DPO) lalu mencari korban dan mendapatkan

informasi bahwa rumah korban di Jalan Pinang Baris GG. Pancasila Nomor 1

Kelurahan Lalang Kecamatan Medan Sunggal, Medan dan sekira pukul 20.15

wib, terdakwa dan Ifin (DPO) pergi ke rumah korban dengan mengendarai sepeda

motor lalu mendatangi alamat tersebut dan pemilik rumah mengatakan bahwa

rumah korban berada di belakang, kemudian terdakwa dan Ifin (DPO) lalu

menuju rumah korban korban dan terdakwa memanggil korban “bang dedi” lalu

isteri korban mengatakan “siapa, bentar bang Dedi masih mandi”, dan tak

seberapa lama kemudian korban membuka pintu dan terdakwa berkata kepada

korban “mana shabu-shabunya, kalau gak ada shabu-shabunya uang saja

kembalikan, oleh korban mengatakan “ tidak bisalah soalnya barang berikut

(45)

mengajaknya ke Jalan Asrama Abdul Hamid untuk meminta uang tersebut namun

korban tidak mau, lalu terdakwa mengatakan, “jangan macam-macam ayolah

bang kita minta uangnya” sehingga korban mau ikut, pada saat itu Ifin (DPO)

langsung memutar sepeda motornya lalu korban duduk di tengah-tengah dan

terdakwa duduk dibelakang, lalu diperjalanan korban meronta-ronta dan ketika

berada di Jalan Cempaka Kelurahan Tanjung Gusta Kecamatan Medan Helvetia

tepatnya jalan umum , korban melompat dari sepeda motor, melarikan diri

sehingga terdakwa mengejar korban dan meneriaki korban “maling”, kemudian

terdakwa memukulkan kelewang yang dipegangnya sebanyak 3 (tiga) kali ke

kepala korban dan Ifin (DPO) menikam dada korban dari arah depan, lalu

menikam punggung korban sebanyak 2 (dua) kali dari belakang dan menikam

tulang rusuk korban dari samping kanan dan menikam kepala korban dari atas

lalu terdakwa membacok kaki kiri korban hingga korban berusaha melarikan diri

dengan berjalan terseret-seret dan bersandar pada sepeda motor yang parkir yang

akhirnya sepeda motor tersebut menimpa korban

Menimbang, bahwa dari rangkaian kejadian tersebut diatas yaitu sejak

terdakwa ada merasa kecewa atau marah terhadap perbuatan korban yang menjual

shabu-shabu kepada terdakwa tidak pas ukuran, lalu menyuruh saksi Afrizal

Afdani menunggu dan mencari korban dirumahnya di komplek Abdul Hamid,

kemudian berusaha mencari korban di Komplek Abdul Hamid bersama-sama

dengan Ifin, dan setelahdapat informasi bahwa rumah korban adalah di Jalan

Pinang Baris Gang Pancasila Nomor 1 Kelurahan Lalang, Kecamatan Medan

Referensi

Dokumen terkait

Setelah rangkaian sensor force sensitive resistor selesai dirangkai pada arduino maka program di upload pada arduino. Kemudian dipasang pada instrumen pengujian yaitu pada

Beberapa jenis layanan bimbingan dan konseling itu diantaranya adalah sebagai berikut: (a) layanan orientasi, (b) layanan informasi, (c) layanan penempatan/penyaluran,

Apakah proses komunikasi baik komunikasi verbal (bahasa) maupun komunikasi nonverbal (bahasa tubuh) seperti kontak mata, senyuman, sentuhan, intonasi suara, dan lainnya

Intensitas anda menonton tayangan berita tentang “ Demo Ahok di

Setelah mengamati langkah-langkah pembuatan karya, siswa dapat mengidentifikasi pemanfaatan tanah dan atau batuan dalam membuat karya kerajinan (misalnya dari tanah liat atau

Hasil penelitian berkaitan dengan intraday information / volatility spillover menunjukkan bahwa adanya intraday volatility spillover yang signifikan dari pasar saham Hong

Setelah mengamati, siswa dapat mendata kegiatan berkaitan dengan aturan tentang benda-benda yang ada di rumah dengan benar.. Setelah mengamati, siswa dapat mengidentifikasi

Variasi musiman arus permukaan di Perairan Samudra Hindia Selatan Jawa pada Musim Barat bergerak dari arah Barat Laut menuju Tenggara dengan kecepatan arus permukaan kuat berada