• Tidak ada hasil yang ditemukan

P. cincin Pc.tonda Total cincin Pc.tonda Total

4.11. Analisis Perikanan Budidaya

4.11.3. Upaya Rehabilitasi Tambak

Hingga penelitian ini dilakukan, upaya rehabilitasi telah mulai dilakukan baik oleh NGOs, pribadi, dan pemerintah, hanya saja upaya tersebut dinilai belum optimal, karena belum terkoordinasi dengan baik. Lemahnya koordinasi ini, maka para donor dan pelaksana proyek (NGOs) bekerja masing-masing secara parsial, akibatnya bantuan tidak terdistribusi dengan baik dan bahkan tidak jarang ditemukan overlapping bantuan dan perebutan lokasi sasaran oleh para NGOs. Beberapa NGOs yang concern pada perikanan budidaya (tambak) dan hutan mangrove di daerah studi antara lain adalah Yayasan Serasih, Alice, Mercy Corp, Oxfam, Terre des Hommes, World Wildlife Fund (WWF), World Aquaculture Society, Islamic Relief, France Red Cross, Indonesia Rescue Network, Yayasan Bina Aneuk Nanggroe, dan lain-lain. Sedangkan donor antara lain UNDP, ADB, ACIAR, Japan, France, Netherlands, NACA, FAO, Pemerintah Indonesia (DKP),

dan lain-lain. DKP akan melakukan berbagai program rehabilitasi dan rekonstruksi tambak di Aceh pada 2005 – 2009 dengan total anggaran sebesar Rp 952 milyar (DKP 2005).

Biaya Rehabilitasi Tambak dan Operasional

Walaupun telah banyak NGO dan Instansi (termasuk BRR) yang melakukan rehabilitasi tambak, namun hingga studi ini dilakukan belum ditemui secara rinci kebutuhan biaya untuk merehabilitasi tambak-tambak tersebut. Perhitungan ini penting dilakukan untuk memberikan informasi kepada berbagai pihak dalam rangka merehabilitasi tambak di Aceh, agar proses rehabilitasi tersebut berjalan lancar. Estimasi kebutuhan biaya dimaksud dapat dilihat pada Tabel 34.

Tabel 34 menunjukkan bahwa kebutuhan biaya untuk merehabilitasi tambak di daerah studi berkisar antara 5.9 juta – 32.8 juta, dimana besar kecilnya biaya tersebut sangat tergantung pada tingkat kerusakan tambak. Tambak-tambak dengan tingkat kerusakan berat (severely damages) harus diperbaiki dengan menggunakan mesin (back hoe) dan tidak mungkin diperbaiki dengan manual (tenaga manusia). Kasus-kasus seperti ini ditemukan pada hampir semua tambak- tambak yang berlokasi Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan tambak-tambak yang rusak sedang dan ringan bisa diperbaiki dengan mesin (back hoe) atau tenaga manusia, namun sebagian dari tambak-tambak tersebut terpaksa menggunakan mesin karena banyaknya sampah tsunami (beton, seng, dan lain- lain) yang terbenam di dasar tambak.

Disamping kebutuhan biaya rehabilitasi, biaya operasional (working capital required ) per hektar tambak berdasarkan jenis teknologi yang digunakan juga penting untuk diketahui. Hal ini bermanfaat dalam rangka menjalankan kembali aktivitas ekonomi (livelihood) masyarakat pesisir yang sebagian dari mereka memperoleh income dari aktivitas tambak. Jenis teknologi yang dimaksudkan adalah tambak dengan teknologi tradisional, tradisional plus, dan semi intensif. Sedangkan tambak dengan teknologi intensif, dengan alasan

tertentu, tidak dimasukkan dalam perhitungan ini dan akan dibahas secara khusus pada bagian lain.

Tabel 34. Estimasi kebutuhan biaya rehabilitasi tambak berdasarkan tingkat kerusakan.

Biaya (Rp/ha)

Rusak Sedang Rusak Ringan

Komponen Biaya Rusak

Berat Capital Intensive Labor intensive Capital Intensive Labor intensive

1. Material dan Mesin

- Sewa Back Hoe dan service 18 600 000 10 050 000 0 5 775 000 0

- Minyak - Oli 3 986 910 2 154 218 0 1 237 871 0 - Material : balok (20 x 12 x 300) 1 500 000 1 500 000 1 500 000 600 000 600 000 papan (20 x 2 x 300) 1 050 000 1 050 000 1 050 000 525 000 525 000 paku 16 000 16 000 16 000 16 000 16 000 plastik 90 000 90 000 90 000 90 000 90 000 - Material Gubuk (4 x 4)m2 balok (10 x 5 x 300) 600 000 600 000 600 000 300 000 300 000 balok (20 x 12 x 300) 400 000 400 000 400 000 400 000 400 000 papan 700 000 700 000 700 000 350 000 350 000 atap 800 000 800 000 800 000 400 000 400 000 Sub total (1) 27 742 910 17 360 218 5 156 000 9 693 871 2 681 000 2. Tenaga Kerja

- Kontruksi pematang (3 orang,

6 hari) 1 050 000 900 000 900 000 750 000 750 000

- Pembuatan gubuk (3 orang, 6

hari) 1 050 000 900 000 900 000 750 000 750 000

- Finishing rekontruksi tambak

(2 orang, 6 hari) 1 050 000 700 000 600 000 600 000 600 000

- Operator Back hoe (7

jam/hari) 885 714 478 571 760 000 275 000 380 000

- Pembantu Operator Back hoe

(7 jam/hari) 442 857 239 286 3 800 000 137 500 475 000

- Petugas jaga malam back hoe 542 857 339 286 250 000 166 250 250 000

Sub total (2) 5 021 428 3 557 143 7 210 000 2 678 750 3 205 000

Total Biaya 32 764 339 20 917 360 12 366 000 12 372 621 5 886 000

Sumber : data primer (diolah), tahun 2005

Besarnya biaya operasional berdasarkan tingkat teknologi yang digunakan pada budidaya tambak dapat dilihat pada Gambar 45. Dari grafik tersebut terlihat bahwa estimasi kebutuhan working capital pada budidaya tambak ditentukan oleh tingkat penggunaan teknologi dalam pengelolaan tambak. Untuk tambak tradisional kebutuhan working capital adalah Rp 12.62 juta per hektar per musim tanam, tradisional plus Rp.17.95 juta per hektar per musim tanam, dan semi

intensif Rp.26.77 juta per hektar per musim tanam. Nilai working capital ini juga menunjukkan tingkat kehilangan modal pembudidaya tambak.

(dalam juta rupiah)

12.62 17.95 26.77 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00

Traditional Traditional Plus Semi-intensive

Gambar 45. Kebutuhan biaya operasional budidaya tambak berdasarkan tingkat teknologi di daerah studi.

Kebutuhan Tenaga Kerja

Seperti telah disinggung di atas, kebutuhan tenaga kerja pada budidaya tambak relatif besar. Jika kebutuhan tenaga kerja tersebut tidak terpenuhi oleh angkatan kerja desa setempat, maka akan terjadi 2 hal sebagai konsekwensinya : (1) akan masuk tenaga kerja dari luar untuk memenuhi permintaan tenaga kerja yang tinggi, (2) karena permintaan tinggi dan ketersediaan (supply) tenaga kerja sedikit, maka tidak bisa dihindari akan terjadi peningkatan upah tenaga kerja. Namun, hingga laporan ini disusun, belum diketahui angka angkatan kerja di wilayah tersebut, karena banyak yang sudah meninggal/hilang ketika tsunami. Rincian kebutuhan tenaga kerja pada budidaya tambak di daerah studi dapat dilihat pada Tabel 35.

Tabel 35. Kebutuhan tenaga kerja (hok) untuk rehabilitasi dan operasional pada budidaya tambak menurut teknologi dan tingkat kerusakan tambak.

Tingkat kerusakan

Rusak sedang Rusak ringan Teknologi

Tambak

Kebutuhan Tenaga

Kerja Rusak Berat Capital intensive Labor Intensive Capital intensive Labor Intensive Traditional Rehabilitasi 85 66 144 52 64 Operational 395 395 395 395 395 Traditional Plus Rehabilitasi 85 66 144 52 64 Operational 488 488 488 488 488 Semi- intensive Rehabilitasi 85 66 144 52 64 Operational 705 705 705 705 705

Sumber : Data primer (diolah 2005)

Tabel 35 terlihat bahwa tingkat kebutuhan tenaga kerja untuk rehabilitasi tambak bergantung kepada tingkat kerusakan tambak. Untuk tambak yang rusak berat membutuhkan 85 HOK, rusak sedang (capital intensive) 66 HOK, rusak sedang (labor intensive) 144 HOK, rusak ringan (capital intensif) 52 HOK, dan rusak ringan (labor intensive) 64 HOK. Sedangkan kebutuhan tenaga kerja operasional bergantung pada teknologi tambak. Untuk tambak tradisional membutuhkan 395 HOK, tradisional plus 489 HOK, dan semi intensif 705 HOK. Kebutuhan tenaga kerja skill semakin meningkat seiring dengan meningkatnya teknologi pengelolaan tambak.

Setelah mengetahui kebutuhan tenaga kerja, hal lain yang sangat penting untuk diketahui adalah return to labor. Tambak semi intensif menghasilkan return to labor yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua teknologi lainnya, dengan tingkat return to labor berkisar antara Rp 60 721 – Rp 70 512. Sedangkan

return to labor untuk tambak tradisional berkisar antara Rp 36 449 – Rp 44 308 dan tambak tradisional plus Rp 48 780 – Rp 58 953 (Tabel 36).

Tabel 36. Nilai return to labor (Rp/hok) budidaya tambak menurut jenis teknologi tambak dan tingkat kerusakan di daerah studi.

Tingkat Kerusakan Tradisional Tradisional

Plus

Semi Intensif

Rusak berat (capital intensif) 36 449 48 780 60 721

Rusak sedang (capital intensive) 41 302 53 242 64 994

Rusak sedang (labor intensive) 44 487 55 635 66 868

Rusak ringan (capital intensive) 44 948 56 597 63 611

Rusak ringan (labor intensive) 44 308 58 953 70 512

Nilai return to labor tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan return to labor dari usahatani padi sawah tadah hujan Rp 5 795 dan padi sawah irigasi Rp 25 326 dan juga lebih besar dari rata-rata nilai upah kerja per hari (HOK) sektor pertanian di daerah studi, yaitu sebesar Rp 30 000 per HOK. Artinya, budidaya tambak dengan berbagai teknologi cukup menguntungkan atau memberikan balas jasa yang cukup tinggi terhadap korbanan tenaga kerja. Jika return to labor ini lebih kecil dari rata-rata upah kerja per HOK, maka budidaya tersebut tidak layak dan pembudidaya lebih baik bekerja sebagai buruh tani (cash for work) dengan tingkat upah yang lebih tinggi. Perbedaan return to labor budidaya tambak dengan berbagai teknologi dan tingkat kerusakan dapat dilihat pada Gambar 46.

0 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 Severely damage Medium damage_cap intensive Medium damage_lab intensive Minor damage_cap intensive Minor damage_lab intensive Tradisional Tradisional Plus Semi Intensif

Gambar 46. Nilai return to labor dari budidaya tambak pada berbagai tingkat penggunaan teknologi dan tingkat kerusakan tambak di daerah studi

Dokumen terkait