• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya untuk Mewujudkan

Dalam dokumen PASAR GULA DUNIA MENUJU KESEIMBANGAN BAR (Halaman 30-36)

MENUJU KE ARAH KEJAYAAN INDUSTRI GULA NASIONAL

4.3 Upaya untuk Mewujudkan

Mengacu pada Departemen Pertaniajn (2005), dalam upaya mengembalikan kejayaan industri gula nasional, maka strategi dasar pembangunan perkebunan pergulaan Indonesia adalah:

Peningkatan produktivitas dan efisiensi baik pada tingkat usahatani maupun pengolahan (PG). Peningkatan produktivitas dalam bentuk ton tebu/ha, rendemen, serta pengolahan di PG merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan kejayaan industri gula Nasional.

Perluasan industri gula ke luar Jawa. Dengan keterbatasan lahan serta persaingan yang tinggi dalam pengunaan lahan di Jawa, pencapaian swasembada atau kembali sebagai eksportir akan sangat ditentukan oleh kemampuan mengembangkan industri gula di luar Jawa.

Pengembangan industri berbasis tebu secara terintegrasi. Di samping untuk memperoleh nilai tambah yang lebih besar serta sebagai bentuk diversifikasi untuk mengurangi resiko, diversifikasi horisontal ini juga merupakan strategi keharusan. Pengembangan PDT yang sinergik telah terbukti mampu memberikan dukungan finansial yang cukup berarti. Profit yang diperoleh dari PDT bisa mencapai 65 % dari total profit perusahaan (Rao, 1997). Berbagai produk berbasis tebu atau produk

derivat tebu (PDT) seperti ethanol (asam asetat, ethyl asetat), ragi roti, PST (inactive yeast), Ca-sitrat, listrik wafer pucuk tebu, papan partikel, papan serat, pulp, kertas, asam sitrat, Ca-sitrat, jamur harus menjadi bagian terintegrasi dalam pembangunan industri gula nasional. Penciptaan medan persaingan yang fair bagi industri gula nasional.

Sebagai industri dan perdagangan dengan tingkat distorsi terbesar kedua setelah beras, pemerintah perlu memberikan dukungan kebijakan yang membuat industri gula nasional bersaing pada medan persaingan yang fair. Kebijakan tersebut perlu konsisten diterapkan untuk memberi kepastian pada investor. Karena tujuannya menciptakan fairness, maka kebijakan tersebut dapat berubah sesuai dengan dinamika di pasar internasional.

Keberhasilan strategi dalam mencapai swasembada atau bahkan sebagai negara ekspotir perlu diukur. Dari beberapa sumber termasuk Departemen Pertanian (2005), beberapa indikator pencapaian sasaran tersebut adalah:

 Produktivitas gula nasional rata-rata 8 ton hablur/ha;

 Rata-rata biaya produksi gula nasional dibawah Rp 3000/kg;  Minimal 75% kelembagaan petani sudah kuat dan mandiri;  Terbangunnya minimal 2 PG di luar Jawa;

 Terbangunnya minimal 2 PG yang sudah mengembangkan PPGT secara terintergrasi;

 Pendapatan petani minimal Rp 8 juta/ha;

Program Kerja

Mengacu pada Program Akselarasi Peningkatan Produksi Gula Nasional, maka empat strategi tersebut perlu diterjemahkan dalam beberapa program berikut : 1. Rehabilitasi atau peremajaan tanaman dengan menggunakan bibit unggul dan

standar teknis yang efesien.

2. Rehabilitasi, konsolidasi dan modernisasi teknologi pabrik gula. 3. Perluasan areal tebu di Jawa dan luar Jawa.

4. Peningkatan investasi untuk pengembangan industri gula yang terintegrasi dengan berbagai produk PDT, baik di Jawa maupun di luar Jawa.

5. Penyediaan fasilitas berproduksi (tax holiday untuk angka waktu tertentu) 6. Program pengembangan sistem pembiayaan bagi petani tebu dan pelaku usaha

pergulaan

7. Program penguatan lembaga penelitian dan pengembangan serta lembaga pendidikan pergulaan, termasuk pengembangan sinergi antar lembaga dimaksud

8. Program pengembangan infrastruktur (irigasi, jalan, pelabuhan) untuk mendukung pengembangan sistem industri gula terpadu, termasuk spin off pen pembentukan SBU untuk masing-masing PG

Kebutuhan Investasi dan Dukungan Kebijakan

Tujuan untuk mencapai swsembada ataupun untuk kembali menjadi negara eksportir gula memerlukan investasi yang cukup besar. Tim Badan Litbang Pertanian (2005) memperkirakan bahwa hanya untuk mencapai swasembada gula diperlukan investasi sekitar Rp 8.25 triliun. Investasi terbesar merupakan investasi dari perusahaan yang mencapai sekitar Rp 6.9 triliun, sedangkan rumah tangga sekitar Rp 1.13 triliun. Investasi yang menjadi beban pemerintah secara keseluruhan adalah sekitar Rp 208 miliar. Untuk kembali sebagai negara eksportir, investasi yang dibutuhkan diperkirakan sekitar Rp 20 triliun.

Untuk swasembada investasi di bidang usaha primer (usahatani) memerlukan investasi sekitar Rp 1 triliun. Investasi yang sangat besar diperlukan di bidang pengolahan dan industri hilirnya termasuk pengembagan PDT memerlukan investasi sekitar Rp 7 triliun. Komponen terbesar adalah pendirian dua pabrik gula di luar Jawa (kemungkinan di Merauke ) untuk mengolah tebu dari luasan sekitar 40 ribu ha dengan nilai investasi sekitar Rp 2 triliun. Komponen untuk melakukan rehabilitasi 52 PG di Jawa juga cukup besar dengan nilai Rp 2.163 triliun. Pendirian 2 pabrik ethanol, particle board, dan energi listrik juga menelan biaya lebih dari Rp 1 triliun.

Agar investor bersedia menanamkan modalnya, maka lingkungan bisnis untuk industri gula harus ditata sehingga kondusif untuk menarik investor. Mengacu pada Badan Litbang Pertanian (2005) serta kondisi masa pergulaan dunia, beberapa kebijakan yang perlu ditekankan adalah sebagai berikut.

Konsistensi kebijakan pemerintah. Karena investasi pada industri gula memerlukan investasi yang sangat besar dan jangka panjang, konsistensi kebijakan menjadi salah satu kebijakan kunci. Berbagai kebijakan pergulaan baik itu kebijakan produksi, perdagangan, dan investasi seyogyanya konsisten dijalankan dengan perspektif jangka panjang. Penciptaan fairness untuk produsen maupun konsumen dan stabilitas harga

gula domestik. Di satu sisi, karena perdagangan gula di pasar internasional distortif, maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang dapat menciptakan medan persaingan yang adil atau dengan menerapkan kombinasi untuk industri gula nasional. Di sisi lain, harga gula dalam negeri juga perlu di kendalikan tidak terlalu tinggi (fair) yang dapat membebani secara berlebihan baik konsumen maupun industri makanan dan minuman. Kebijakan yang kini diterapkan (tataniaga impor) yang pada esensinya adalah kebijakan tariff-rate quota yang dikombinasikan dengan kebijakan jaminan harga, patut dipertahankan esensinya dengan beberapa penekanan sebagai berikut.

(1) Tugas untuk mengendalikan harga terendah sehingga harga di tingkat petani tidak dibawah jaminan harga lebih banyak menjadi tanggung jawab eksportir terdaftar dan pihak penjamin harga (sering disebut investor) yang ummnya adalah mitra PTPN dan petani. Harga minimum di tingkat petani yang kini berlaku adalah Rp 3800/kg. Dengan kenakan harga BBM dan input lainnya, harga minimum tersebut perlu ditinjau kembali. Harga minimum sekitar Rp 4500 dapat menjadi satu alternatif.

(2) Tugas untuk mengendalikan agar harga di tingkat konsumen agar tidak terlalu tinggi merupakan tanggung jawab ET, investor dan pemerintah. Kerjasama ketiga lembaga tersebut seperti lembaga penyangga untuk menjaga batas atas harga di tingkat konsumen. Bekerjasama dengan ET dan investor, pemerintah dapat menugaskan badan penyangga yang memiliki kemampuan melakukan penyanggaan dan distribusi yang handal untuk mengemban tugas tersebut. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah untuk memberi tugas kepada Bulog ataupun

lembaga lainnya untuk memegang sejumlah tertentu stok gula dapat dijustifikasi.

(3) Tingkat proteksi yang diberikan pemerintah harus dibuat dinamis mengikuti dinamika kebijakan industri dan perdagangan di dpasar dunia. Jika kebijakan di negara lain, seperti EU dan Amerika mengalami reformasi, kebijakan Indonesia perlu diturunkan tingkat proteksinya, walaupun esensinya masih tetap sama untuk tetap menjaga asas fairness.

0 Pemberian insentif untuk pengembangan industri di luar jawa dan produk derivatif gula. Karena industri gula memerlukan investasi yang besar dan mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia, maka pengembangan industri gula di luar Jawa perlu didorong. Hal ini akan terwujud bila pemerintah memberikan insentif dan kemudahan seperti jaminan keamanan dalam berusaha, keringanan perpajakan, kemudahan perijinan, kemudahan dalam memperoleh lahan, dan dukungan infrastruktur.

1 Dukungan pendanaan untuk rehabilitasi atau konsolidasi PG. Keterbatasan dana yang dimiliki PG-PG di Jawa untuk melakukan rehabilitasi dan konsolidasi memerlukan dukungan pendanaan dari pemerintah. Hanya memberikan dukungan pendanaan bagi petani tanpa juga mendukung pendanaan untuk rehabilitasi PG akan membuat upaya peningkatan efisiensi akan tidak optimal.

2 Dukungan untuk memudahkan privatisasi. Dengan kondusifnya situasi pergulaan nasional, pihak swasta pada dasarnya berminat untuk menanamkan modalnya, termasuk untuk melakukan rehabiliatsi PG. Swasta akan mengucurkan dana mereka bila dana tersebut langsung untuk merehabilitasi PG, tidak lewat perusahaan holding-nya (PTPN). Dengan demikian pemerintah perlu mempermudah proses spin-off atau membuat PG menjadi semacam SBU yang mandiri.

PENUTUP

Dari berbagai perspektif, industri gula nasional pada saat ini sebenarnya memang berada pada momentum atau peluang emas untuk bangkit kembali, bahkan untuk berjaya seperti era tahun 1930-an, di mana Indonesia berposisi sebagai salah satu eksportir gula terbesar. Berkobarnya momentum emas ini paling tidak dapat

dilihat dari lima sisi yaitu (i) menguatnya political will dan dukungan kebijakan pemerintah; (ii) kesepakatan untuk mengakhiri subsidi pertanian pada tahun 2003 yang dicapai pada Hongkong Ministerial Meeting; (iii) Rencana reformasi kebijakan pergulaan dunia, khususnya EU dan Amerika sebagai pemain utama; serta, (v) kenaikan harga minyak dan kecenderungan kebijakan energi di negara maju. Oleh karena itu, sinergi dari seluruh stakeholder industri gula nasional kini sangat dibutuhkan untuk mewujudkan hal tersebut. Inilah saatnya bagi mereka untuk dicatat dengan tinta emas sejarah kebangkitan industri gula Indonesia

Dalam dokumen PASAR GULA DUNIA MENUJU KESEIMBANGAN BAR (Halaman 30-36)

Dokumen terkait