• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN PEMERINTAH DALAM MEMBINA IRTP

Beberapa masalah keamanan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah 1) pangan yang tidak memenuhi standar yang disyaratkan; 2) kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan yang tidak terlaporkan dan tidak diketahui penyebabnya; 3) terbatasnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan terutama industri kecil terhadap mutu dan keamanan pangan; 4) rendahnya pengetahuan konsumen pangan dan keterbatasan akses untuk mendapatkan pangan yang bermutu tinggi dan aman (Rahayu dan Nababan 2011). Keamanan produk IRTP di Indonesia masih menjadi masalah karena sebagian besar IRTP belum mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku. Ketidakpatuhan ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, kesadaran, motivasi, dan kemampuan finansial IRTP; belum menerapkan sistem manajemen formal; dan belum menerapkan CPPB sebagaimana mestinya.

Pemerintah (BPOM) telah melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesadaran tentang keamanan pangan, seperti surveilan keamanan pangan pada rantai pangan dan surveilan KLB keracunan pangan. Selain itu juga dilakukan pelatihan surveilan keamanan pangan dan pelatihan sampling pangan untuk meningkatkan kompetensi petugas. BPOM juga membangun jejaring intelijen pangan, sistem kewaspadaan dan penanggulangan keamanan pangan, direktori keamanan pangan nasional, dan food watch.

BPOM telah melakukan berbagai kegiatan dalam rangka promosi keamanan pangan. Kegiatan- kegiatan tersebut antara lain menerbitkan buletin keamanan pangan; mengadakan talkshow keamanan pangan di radio dan televisi, memutakhirkan data dan materi promosi keamanan pangan; membangun Jejaring Promosi Keamanan Pangan (JPKP); meluncurkan maskot keamanan pangan (PomPi dan keluarga); mengadakan pelatihan dan praktek kampanye keamanan pangan; mengadakan bimbingan teknis (Bimtek) promosi keamanan pangan; serta melakukan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) melalui pameran. Upaya KIE terhadap konsumen telah dilakukan dengan pembuatan produk informasi keamanan pangan seperti poster, leaflet, stiker, buku pedoman, komik jajanan anak sekolah, komik keamanan pangan, komik PoMpi, buku pangan segar, buku pangan siap saji, buku surveilan keamanan pangan, dan gimmick (wadah telepon genggam, weker, stiker, token, kaos). Pembagian materi edukasi keamanan pangan masih terbatas sehingga pemerintah daerah perlu mengupayakan perbanyakan produksi produk KIE dan penyebaran yang lebih luas.

Serangkaian kegiatan yang telah dilakukan BPOM dalam hal penyuluhan keamanan pangan, antara lain: pengembangan SDM, pelatihan, pelaksanaan Bimtek pada IRTP, review dan penyusunan peraturan untuk IRTP, serta penyusunan dan pengembangan pedoman/ modul untuk IRTP. Upaya aktif lainnya yang sudah dilakukan pemerintah (BPOM) adalah membina tenaga Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) dan tenaga pengawas pangan Kabupaten/Kota /District Food Inspector (DFI) di Kabupaten/ Kota. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan penyuluhan keamanan pangan dan menerapkan sertifikasi produksi pangan industri rumah tangga (SPP-IRT) di Kabupaten/ Kota serta memberdayakan pengawas pangan Kabupaten/ Kota untuk melakukan pengawasan dan sampling pangan produksi IRTP dan Industri Pangan Siap Saji (IPSS). Jumlah tenaga PKP sampai dengan tahun 2010 adalah 2635 orang dan 1987 orang tenaga DFI. Pemenuhan tenaga PKP baru mencapai 43,92%, dan pemenuhan tenaga DFI baru mencapai 33,12% dari total tenaga PKP dan DFI yang dibutuhkan di seluruh Indonesia. Kendala yang ditemukan dalam hal ini yaitu mutasi yang cepat terhadap tenaga terlatih dan belum diberdayakan tenaga PKP dan DFI secara maksimal. Pemerintah daerah perlu terus

26 mengupayakan regenerasi tenaga PKP dan DFI dengan menyelenggarakan pelatihan sesuai dengan persyaratan kompetensi yang ditetapkan.

Pemerintah (BPOM) juga telah menyelenggarakan kegiatan Piagam Bintang Keamanan Pangan (PBKP). PBKP adalah program yang bersifat sukarela untuk mendorong industri pangan menerapkan prinsip-prinsip keamanan pangan. Piagam Bintang Satu Keamanan Pangan (PB1KP) memberikan pengetahuan tentang keamanan pangan dan higiene sanitasi bagi pelaku usaha, baik karyawan yang mengawasi pangan maupun karyawan yang menangani pangan. Piagam Bintang Dua Keamanan Pangan (PB2KP) menunjukkan bangunan dan peralatan yang digunakan telah mengikuti prosedur kerja sesuai persyaratan dan lembar kerja diterapkan dengan baik. Piagam Bintang Tiga Keamanan Pangan (PB3KP) diberikan kepada IRTP yang telah mampu menerapkan manajemen keamanan pangan berdasarkan prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)

Dari paparan di atas tampak bahwa pemerintah telah melakukan serangkaian upaya untuk membina produsen IRTP, namun ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan khususnya pada produsen IRTP berbasis tepung.

E.

Intervensi Pemerintah dalam Pembinaan IRTP Berbasis Tepung

Berdasarkan potensi-potensi bahaya pada produk IRTP berbasis tepung maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk mencegah dari bahaya yang akan tumbuh. Potensi bahaya yang pertama adalah penggunaan tepung yang tidak sesuai SNI. Pemerintah bisa mengarahkan produsen untuk menggunakan tepung yang sesuai SNI agar produk yang dihasilkan lebih aman dan bermutu. Pemerintah diharapkan dapat membantu pengadaan tepung yang baik dan berkualitas serta memberikan pelatihan tentang cara penyimpanan tepung yang benar (cara peletakan, kondisi ruang penyimpanan, suhu, ventilasi, sanitasi). Dalam melakukan pembinaan, pemerintah sebaiknya memisahkan jenis pelatihan yang diberikan berdasarkan jenis produknya. Sebagai contoh, pada pembinaan produk roti tidak dicampur dengan produsen kerupuk.

Potensi bahaya kedua yaitu penggunaan BB, BTP berlebih, dan cemaran mikroba. Pemerintah wajib memberikan penyuluhan tetang bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan BB, BTP berlebih, dan cemaran mikroba. Pemerintah diharapkan bisa memberikan informasi tentang BTP yang benar dan batasan penggunaannya, BB yang dilarang digunakan untuk pangan, dan hal-hal yang mengakibatkan terjadinya cemaran mikroba seperti kondisi sanitasi yang buruk dan cara pengolahan pangan yang tidak higienis. Pemerintah sebaiknya membantu pengadaan BTP yang diijinkan untuk pangan agar masyarakat mudah mendapatkannya dengan harga yang relatif murah. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan inspeksi rutin terhadap IRTP yang terdapat di Jawa Barat dan memberikan sanksi tegas bagi IRTP yang melakukan pelanggaran, berupa penyitaan produk, pencabutan ijin usaha, dan pemberian sanksi pidana agar memberikan efek jera.

Potensi bahaya ketiga yaitu proses pengolahan yang salah. Pembinaan dan pengawasan bisa dilakukan dengan memberikan penyuluhan agar IRTP menerapkan CPPB dengan benar, sanitasi yang baik, serta penggunaan peralatan yang benar. Materi modul pelatihan dapat berisi teknik penggorengan yang tepat, penggunaan minyak yang benar, proses pengolahan yang benar, potensi bahaya yang ditimbulkan, dan peraturan-peraturan yang mengatur hal tersebut. Solusi yang dapat diberikan untuk menghilangkan bahaya akrilamid akibat proses pengolahan bisa dilakukan dengan penggorengan vakum. Intervensi pemerintah dalam hal ini bisa dengan membantu memberikan kredit untuk pembelian alat pengorengan vakum bagi IRTP agar lebih ringan.

Potensi bahaya keempat yaitu pengemasan dan pelabelan yang salah. Hal ini bisa ditanggulangi dengan menginformasikan jenis bahan pengemas sesuai dengan karakteristik produk, serta potensi bahaya yang ditimbulkan akibat adanya migrasi komponen berbahaya pada plastik. Pengadaan bahan

pengemas yang aman dan murah juga akan sangat membantu produsen P-IRT. Sosialisasi mengenai cara pelabelan yang tepat juga sangat penting untuk diperhatikan. Ketika IRTP mendaftarkan produknya ke Dinas Kesehatan untuk mendapat nomor registrasi P-IRT harus lebih diperhatikan pemenuhan syarat pengemasan dan pelabelan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Untuk industri- industri yang tidak lolos mendapatkan nomor registrasi, sebaiknya dilakukan pembinaan pengetahuan tentang bahaya serta sanksi tegas jika melakukan pelanggaran dalam pengemasan dan pelabelan, akan menimbulkan kesadaran dan motivasi produsen untuk menggunakan pengemas dan label yang benar dan sesuai aturan.

Potensi bahaya kelima yaitu penyimpanan produk yang salah. Bagian kritis yang harus diperhatikan dalam hal ini yaitu ruang penyimpanan produk setelah di proses, dan suhu. Letak ruang penyimpanan sebaiknya jauh dari tempat sampah, tempat penyimpanan bahan baku, atau bahan-bahan yang menimbulkan bau agar tidak terjadi kontaminasi silang. Suhu ruang penyimpanan akan mempengaruhi karakteristik dari produk yang dihasilkan.

Penyimpangan yang terjadi pada produk berbasis tepung pada IRTP di Jawa Barat dapat dicegah dengan mempertegas peraturan mengenai perolehan nomor P-IRT. Pemerintah daerah seharusnya lebih selektif dalam memberikan nomor P-IRT. Produk-produk seperti bakso yang diproduksi dengan skala industri rumahan tidak bisa mendapatkan nomor P-IRT. IRTP penghasil bakso, naget, otak-otak, dan batagor disarankan untuk mendaftarkan produknya sebagai pangan siap saji. Selain itu, untuk produk-produk yang tidak sesuai dengan definisi produk dalam SNI dan/ atau kategori pangan sebaiknya dibuatkan nama baru. Sebagai contoh pada produk abon oncom bisa dibuatkan nama baru menjadi oncom suir atau produk bakso dengan kandungan daging kurang dari 50% dinamakan bakso aci/ bakso tepung/ bola tepung. Nama-nama ini sebaiknya disosialisasikan oleh pemerintah agar pelaku usaha tidak rancu dengan definisi yang terdapat dalam SNI atau kategori pangan.

VI.

SIMPULAN DAN SARAN

A.

Simpulan

Di Indonesia industri rumah tangga pangan (IRTP) sangat banyak jumlahnya dan jumlah yang paling banyak terdapat di Jawa Barat yaitu sebesar 2537 industri rumah tangga. Data dari dinas kesehatan menunjukkan bahwa produk IRTP di Jawa Barat pada tahun 2010 cukup beragam dan mencakup 14 kategori pangan. Produk yang paling banyak diproduksi oleh IRTP di Jawa Barat berasal dari tepung dan hasil olahnya sebanyak 58 produk dengan persentase sebesar 39,46%. Ada 4 jenis tepung yang digunakan oleh IRTP untuk menghasilkan produknya yaitu tepung terigu, tepung beras, tepung kanji/ tepung tapioka, dan tepung ketan. Jenis tepung yang paling banyak digunakan adalah tepung terigu sebesar 57%.

Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan beberapa produk IRTP yang menyimpang di Jawa Barat. Terdapat dua kategori penyimpangan pada produk IRTP yaitu kategori produk yang didaftarkan sebagai P-IRT seperti bakso, naget (daging), batagor, otak-otak yang sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai P-IRT, dan produk IRTP yang tidak sesuai dengan definisi produk yang tertera pada SNI dan/ atau kategori pangan yaitu bakso, naget (tepung), dan abon oncom. Selain itu, potensi bahaya yang ditemukan pada produk IRTP berbasis tepung adalah penggunaan tepung yang rusak, penggunaan bahan berbahaya, BTP berlebih, dan cemaran mikroba selama proses pengolahan produk berbasis tepung, proses pengolahan yang salah, pengemasan dan pelabelan yang salah, dan penyimpanan produk pangan yang salah.

Rekomendasi yang dapat diberikan untuk masalah ini yaitu: 1) pemerintah daerah harus lebih proaktif dalam mengembangkan produk yang potensial di wilayah kerjanya seperti mengadakan pembinaan untuk produk-produk berbasis tepung mengingat IRTP dengan jenis pangan ini sangat banyak dan potensial untuk dikembangkan di Jawa Barat; 2) membantu pengadaan tepung yang baik dan berkualitas; 3) pemerintah sebaiknya tidak mencampurkan IRTP untuk satu produk dengan produk lainnya ketika melakukan pembinaan; 4) pemerintah harus lebih tegas kepada produsen yang melakukan pelanggaran; 5) pengadaan BTP harus mudah diperoleh dipasaran dengan harga yang relatif murah, agar tidak memberatkan produsen dalam biaya produksi; 6) memberikan info/ penyuluhan mengenai cara memilih bahan kemasan yang aman; 7) pemerintah daerah lebih memperketat dan memperhatikan IRTP ketika mendaftarkan produknya ke Dinas Kesehatan setempat untuk mendapat nomor registrasi P-IRT; 8) untuk IRTP penghasil bakso, naget, otak-otak, dan batagor perlu dibina sebagai produsen pangan siap saji; 9) untuk IRTP penghasil bakso, naget, dan abon oncom yang tidak sesuai dengan definisi produk tersebut dalam SNI dan/ atau kategori pangan sesuai dengan SK Kepala BPOM No. HK.00.05.52.40.40 tahun 2006 sebaiknya dibuatkan nama baru, seperti abon oncom menjadi oncom suir atau produk bakso dengan kandungan daging kurang dari 50% mungkin dinamakan dengan bakso aci/ bakso tepung/ bola tepung dan kemudian nama-nama ini disosialisasikan oleh pemerintah agar pelaku usaha tidak rancu terhadap definisi yang terdapat dalam SNI dan/ atau kategori pangan.

Dokumen terkait