• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Keamanan Produk Berbasis Tepung pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Keamanan Produk Berbasis Tepung pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Jawa Barat"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KEAMANAN PRODUK BERBASIS TEPUNG PADA

INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP)

DI JAWA BARAT

SKRIPSI

HESTY SOFIANDARI

F24080082

(2)

SAFETY ASSESSMENT ON FLOUR-BASED PRODUCTS OF

HOME INDUSTRY IN WEST JAVA

Hesty Sofiandari[1], Dias Indrasti[1], Bosar Pardede[2]

1

Departement of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220

Bogor, West Java, Indonesia

Phone: 6281 310 463 141, e-mail: hestysofiandari@gmail.com

2

The National Agency of Drug and Food Control Jl. Percetakan Negara No. 23, PO BOX 10560 Jakarta, Indonesia

ABSTRACT

Agricultural products as source of food must be safe to protect people from poisoning. According to the data, processed food become the source of food poisoning in 2001-2011. In Indonesia, processed food mostly produced by home industry. Therefore, it was necessary to study the safety assessment of food products produced by home industry. The method applied in this study was problem statement, collecting data and data analysis (determination of area of study, food product and issues on food production in home industry). The data showed that most home industry located in West Java. The products covered all types of NADFC food category and mostly flour-based products. Potential hazard found in flour-based products in West Java were the use of improper flour; use of hazardous materials, food additives excess, and microbial contamination; incorrect processing; packaging and labeling; and storage of food products. It found two types of product that should not categorized as products of home industry and did not comply with national standard.

(3)

HESTY SOFIANDARI. F24080082. Kajian Keamanan Produk Berbasis Tepung pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Jawa Barat. Di bawah bimbingan Dias Indrasti dan Bosar Pardede. 2013.

RINGKASAN

Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Produk pertanian sebagai sumber pangan, baik pangan segar maupun olahan, harus selalu terjamin keamanannya agar masyarakat terhindar dari bahaya yang disebabkan oleh pangan yang tidak aman. Permasalahan keamanan pangan masih banyak dijumpai di Indonesia, seperti cemaran mikroba karena kondisi higiene dan sanitasi yang buruk, penyalahgunaan bahan berbahaya untuk pangan, serta penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) melebihi batas maksimum yang diijinkan. Berdasarkan data KLB (Kejadian Luar Biasa) keracunan pangan yang dilaporkan tahun 2001-2011, produk pangan olahan menjadi salah satu penyebab kasus keracunan pangan. Pangan olahan umumnya diproduksi oleh IRTP. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa keamanan produk IRTP harus diperhatikan mengingat Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) merupakan aset pemerintah. Peranan IRTP sangat strategis dalam perekonomian Indonesia, dilihat dari kemampuan IRTP dalam penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan hasil pertanian sebagai bahan baku, serta pemenuhan konsumsi dalam negeri yang dapat diandalkan.

Tujuan penelitian adalah 1) memetakan produk IRTP di Jawa Barat berdasarkan teknologi dan kategori produk; 2) memetakan penyimpangan kategori pangan produk IRTP di Jawa Barat; 3) memetakan potensi bahaya pada produk IRTP berbasis tepung di Jawa Barat; 4) merekomendasikan fokus pembinaan dan pengawasan keamanan dan mutu produk IRTP berbasis tepung di Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan di Sub Direktorat Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga, Direktorat Surveilan Penyuluhan dan Keamanan Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI), Jakarta, pada bulan Februari sampai Juni 2012.

Metode yang diterapkan sebagai usaha untuk menghasilkan data dan analisa yang tepat dalam penelitian mengenai kajian keamanan pangan produk industri rumah tangga, antara lain: analisis masalah, pengumpulan data, analisis data (penentuan daerah, penentuan produk, identifikasi masalah IRTP), dan pengkajian masalah. Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi dan wawancara dengan pihak-pihak terkait, serta melakukan studi pustaka untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Data yang diperoleh kemudian dibuat suatu bentuk pemetaan berdasarkan produk yang dihasilkan dan teknologi yang digunakan yang kemudian diidentifikasi untuk mencari masalah-masalah yang terdapat pada IRTP. Selain itu, pemetaan ini juga sangat membantu di dalam menentukan intervensi yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah IRTP.

Berdasarkan data dari dinas kesehatan yang terdapat di BPOM, diperoleh data jumlah industri rumah tangga yang paling banyak berada di Jawa Barat yaitu sebesar 2537 IRTP. Data tersebut juga menunjukkan bahwa kategori produk pangan yang paling banyak di Jawa Barat adalah tepung dan hasil olahannya. Ada 4 jenis tepung yang digunakan pada pembuatan produk IRTP di Jawa Barat yaitu tepung terigu, tepung tapioka/ kanji, tepung beras, dan tepung ketan. Jenis tepung yang paling banyak digunakan yaitu tepung terigu sebesar 57%.

Potensi bahaya yang ditemukan pada kajian produk IRTP berbasis tepung di Jawa Barat adalah 1) penggunaan tepung yang rusak; 2) penggunaan bahan berbahaya, BTP berlebih, dan cemaran mikroba selama proses pengolahan produk berbasis tepung; 3) proses pengolahan yang salah; 4) pengemasan dan pelabelan yang salah; dan 5) penyimpanan produk pangan yang salah. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa teknologi proses yang paling banyak digunakan untuk memproduksi produk IRTP yaitu teknologi penggorengan sebesar 48%. Potensi bahaya yang timbul dalam hal ini yaitu pada penggunaan minyak dan potensi terbentuknya akrilamid.

(4)
(5)

KAJIAN KEAMANAN PRODUK BERBASIS TEPUNG PADA

INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP)

DI JAWA BARAT

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

HESTY SOFIANDARI F24080082

(6)

Judul Skripsi : Kajian Keamanan Produk Berbasis Tepung pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Jawa Barat

Nama : Hesty Sofiandari NIM : F24080082

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dias Indrasti, STP MSc.) (Drs. Bosar Pardede, Apt MSi.) NIP 19820308.200501.2.001 NIP 19600614.198803.1.003

Mengetahui :

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

(Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc.) NIP 19680526.199303.1.004

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Keamanan Produk Berbasis Tepung pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Jawa Barat adalah hasil karya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan dosen pembimbing lapang, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013 Yang membuat pernyataan

(8)

©Hak cipta milik Hesty Sofiandari, tahun 2013 Hak cipta dilindungi

(9)

BIODATA PENULIS

(10)

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kajian Keamanan Produk Berbasis Tepung pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Jawa Barat dilaksanakan di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Jakarta sejak bulan Februari sampai Juni 2012.

Skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan, dukungan, dan doa berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dias Indrasti, STP M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, masukan, motivasi, dan bimbingannya selama masa perkuliahan dan penelitian, hingga penyusunan tugas akhir.

2. Bapak Halim Nababan yang telah memberikan saya kesempatan untuk melakukan kegiatan magang serta terimakasih telah banyak memberikan ilmu, pengalaman, bimbingan dan nasihat dalam melakukan tugas akhir.

3. Drs. Bosar Pardede, Apt M.Si selaku pembimbing lapang yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulis melakukan tugas akhir.

4. Retno Anggrina, S.Si Apt. selaku dosen penguji atas kesediaan waktu dan memberikan masukan yang membangun pada saat persidangan, serta bimbingan dan pengarahan selama penyusunan tugas akhir.

5. Ibunda tercinta dan kedua kakakku yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan banyak dukungan baik fisik maupun moril kepada penulis

6. Badan POM RI Jakarta yang telah memberikan kesempatan magang dan seluruh pegawai BPOM khususnya staf Direktorat Deputi III BPOM yang telah memberikan bimbingannya selama kegiatan magang.

7. Dosen, staf Departemen ITP, serta staf UPT yang telah memberikan ilmunya dan segala informasi yang sangat berharga kepada penulis.

8. Windu Rahmat yang senantiasa tak pernah berhenti memberikan doa, cinta, kasih sayang, dukungan fisik maupun moril kepada penulis.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan di BPOM: Diah Ayu Kartika, Anggi Sri D, Rendy Maulana, dan Ivan Mustakim. Terimakasih atas semangat dan motivasinya.

10.Sahabat-sahabat seperjuangan di ITP: Fitria Rizkyka, Arum Marya, Dini Quentasari, Iin Wahyuni, Nurul Kurnia Sari, Karno Saputra, Astrid Diniari, Ahmadun, Taufik Rais, dan seluruh teman ITP 45, terimakasih atas semangat, motivasi, bantuan yang pernah diberikan. .

11.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu dan teknologi pangan.

Bogor, Januari 2013

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………. iii

DAFTAR TABEL……… v

DAFTAR GAMBAR……… vi

DAFTAR LAMPIRAN……… vii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG……… 1

B. TUJUAN……… 2

II. KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BPOM RI………. 3

B. VISI, MISI, DAN FUNGSI BPOM RI……….. 3

C. STRUKTUR ORGANISASI BPOM RI……… 4

D. SUB DIREKTORAT PENYULUHAN MAKANAN SIAP SAJI DAN INDUSTRI RUMAH TANGGA……… 4

III.TINJAUAN PUSTAKA A. KEAMANAN PANGAN……….. 6

B. INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (ITRP)………. 8

C. PRODUK IRTP BERBASIS TEPUNG……… 9

D. BAHAN KIMIA DALAM PRODUK PANGAN………. 10

IV.METODOLOGI A. ANALISIS MASALAH……… 13

B. PENGUMPULAN DATA………. 13

C. ANALISIS DATA………. 13

D. PENGKAJIAN MASALAH………... 14

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROFIL INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP)……….. 15

B. POTENSI BAHAYA PRODUK IRTP BERBASIS TEPUNG DI JAWA BARAT…... 17

C. PENYIMPANGAN PRODUK IRTP DI JAWA BARAT……… 23

D. UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN PEMERINTAH DALAM MEMBINA IRTP. 25 E. INTERVENSI PEMERINTAH DALAM MEMBINA PRODUK IRTP BERBASIS TEPUNG……… 26

VI.SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN……… 28

B. SARAN………... 28

DAFTAR PUSTAKA……… 29

(12)

v

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Jumlah produk IRTP di Jawa Barat tahun 2010 berdasarkan jenis pangan………….. 16

Tabel 2. Data penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan jajanan anak sekolah

(PJAS) tahun 2010……… 18

Tabel 3. Hasil sampling BPOM tahun 2011 untuk produk pangan yang TMS………... 19

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Metodologi kegiatan magang……… 14

Gambar 2. Proporsi penggunaan jenis tepung pada produk IRTP di Jawa Barat ………. 16

Gambar 3. Persentase produk IRTP berbasis tepung berdasarkan teknologi yang

(14)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Struktur organisasi Badan POM RI………... 34

Lampiran 2. Struktur organisasi direktorat surveilan dan penyuluhan keamanan pangan

BPOM RI………... 35

Lampiran 3. Data KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001-2011………. 36

Lampiran 4. Pemetaan IRTP di Jawa Barat………... 38

Lampiran 5. Lampiran Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri

(15)

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Ketersediaan pangan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya, terus diupayakan oleh pemerintah antara lain melalui program ketahanan pangan. Melalui program tersebut diharapkan masyarakat dapat memperoleh pangan yang cukup, aman, bergizi, sehat, dan halal untuk dikonsumsi. Produk pertanian sebagai sumber pangan, baik pangan segar maupun olahan, harus selalu terjamin keamanannya agar masyarakat terhindar dari bahaya.

Permasalahan keamanan pangan masih banyak dijumpai di Indonesia seperti cemaran mikroba karena kondisi higiene dan sanitasi yang buruk, penyalahgunaan bahan berbahaya untuk pangan, serta penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) melebihi batas maksimum yang diijinkan. Berdasarkan hasil survei monitoring dan verifikasi Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dalam rangka peningkatan keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2009 diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden tentang kebersihan dan sanitasi masih rendah. Laporan tersebut menyebutkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik hingga baik sekali tentang kebersihan dan sanitasi masih di bawah 50%. Selain itu dilaporkan masih adanya penggunaan pemanis buatan (sakarin dan siklamat) dan pengawet (benzoat dan sorbat) yang melebihi batas yang ditetapkan. Penyalahgunaan bahan berbahaya, seperti formalin, boraks, Rhodamin B dan methanyl yellow pada produk IRTP juga masih banyak ditemukan. Jaminan atas keamanan, mutu, dan gizi pangan berkontribusi besar pada pembentukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sehingga secara tidak langsung akan menentukan daya saing bangsa di tingkat dunia.

Makanan yang sudah tercemar secara visual tidak terlihat karena memiliki penampakan yang normal serta tidak menunjukkan tanda kerusakan baik dari segi rasa, warna, dan aroma. Hal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya kasus keracunan makanan yang terjadi di Indonesia (BPOM 2007). Penyakit akibat pangan oleh World Health Organization (WHO) didefinisikan sebagai penyakit-penyakit infeksi atau toksin yang disebabkan oleh konsumsi pangan termasuk air yang telah terkontaminasi (Sharp dan Reilly 2000). Menurut WHO (2007), secara global terjadi 1.8 milyar gangguan kesehatan karena makanan dan 3 juta di antaranya meninggal tiap tahun dengan jumlah yang cenderung meningkat.

(16)

2

mengingat IRTP merupakan aset pemerintah. Peranan IRTP sangat strategis dalam perekonomian Indonesia, dilihat dari kemampuan IRTP dalam penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan hasil pertanian sebagai bahan baku, serta pemenuhan konsumsi dalam negeri yang dapat diandalkan. Beberapa produk IRTP juga merupakan komoditi ekspor. IRTP yang memiliki pengaruh signifikan bagi perekonomian masyarakat di daerah. Berdasarkan hal tersebut pada Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 pasal 43 BPOM diamanatkan untuk menetapkan Pedoman Pemberian Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) serta melakukan pembinaan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dalam pengawasan IRTP di wilayah kerjanya masing-masing. Dengan demikian produsen dapat meningkatkan mutu dan keamanan produk IRTP yang secara tidak langsung akan memberi dampak positif pada kehidupan sosial ekonomi daerah.

B.

Tujuan

(17)

II.

KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG

A.

Sejarah dan Perkembangan BPOM RI

Kemajuan teknologi telah membawa perubahan yang cepat dan signifikan pada industri obat, kosmetik, alat kesehatan, dan makanan. Banyak industri telah memiliki teknologi untuk menghasilkan produk dalam skala besar dengan waktu yang singkat. Selain itu, dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi, banyak produk-produk serupa dari luar negeri ikut meramaikan pasar di Indonesia.

Peredaran produk obat, kosmetik, alat kesehatan dan makanan perlu mendapatkan pengawasan dari pemerintah. Jika tidak, akan banyak beredar produk-produk yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kelayakan dan keamanannya. Produk yang tidak layak dan tidak aman tersebut bisa berupa produk rusak atau mengandung bahan berbahaya pada proses produksi, distribusi, maupun konsumsinya.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah membentuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang bertugas mengawasi obat dan makanan sehingga dapat melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan produk obat dan makanan. Pengawasan ini sebelumnya ditangani oleh Kementerian Kesehatan, tetapi karena bertambah kompleksnya permasalahan yang ada dan kebijakan-kebijakan yang harus diambil maka tugas ini perlu ditangani secara khusus. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 116 tahun 2000, BPOM ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) yang bertanggung jawab kepada Presiden dan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial.

Dalam melaksanakan tugasnya, BPOM diberi kewenangan untuk menyusun rencana nasional dan kebijakan nasional secara makro di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan standar penggunaan bahan tambahan tertentu untuk makanan dan pedoman untuk mengawasinya, memberi ijin peredaran obat serta mengawasi industri-industri farmasi, dan menetapkan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan, dan pengawasan tanaman obat.

B.

Visi, Misi, dan Fungsi BPOM RI

(18)

4

C.

Struktur Organisasi BPOM RI

BPOM RI ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 166 tahun 2000 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja LPND, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 173 tahun 2000. Pembentukan BPOM RI ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala BPOM No. 02001/SK/KBADAN POM RI, tanggal 26 Februari tahun 2001, tentang organisasi dan tata kerja BPOM setelah mendapatkan persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 34/M.PAN/2/2001 tanggal 1 Februari 2001. Struktur organisasi BPOM terdiri atas 1) Kepala BPOM; 2) Sekretariat Utama; 3) Inspektorat; 4) Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA); 5) Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen; 6) Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya; 7) Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional; 8) Pusat Penyidikan Obat dan Makanan; 9) Pusat Riset Obat dan Makanan; 10) Pusat Informasi Obat dan Makanan; dan 11) Unit Pelaksana Teknis BPOM. Struktur organisasi BPOM dalam bentuk skema dapat dilihat pada Lampiran 1.

D.

Sub Direktorat Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah

Tangga

BPOM dipimpin oleh seorang kepala badan yang membawahi sekretariat utama, inspektorat, dan tiga deputi. Deputi tersebut yaitu Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen, Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.

Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya bertugas untuk merumuskan kebijakan di bidang pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya secara menyeluruh (total food safety and hazardous control). Pengawasan pangan atau bahan berbahaya dilakukan mulai dari bahan mentah hingga siap dikonsumsi (from farm to table) dengan pendekatan terhadap produsen, distributor, pengecer, jasa boga, eksportir, importir, dan instansi-instansi terkait di luar BPOM yang bertugas untuk mengawasi mata rantai produksi. Deputi ini dibantu oleh lima Direktorat yaitu, Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Direktorat Standarisasi Produk Pangan, Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya, dan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.

(19)

Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan, Sub Direktorat Promosi Keamanan Pangan, dan Sub Direktorat Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga. Struktur organisasi Direktorat SPKP secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2.

(20)

III.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Keamanan Pangan

Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan, mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan minuman. Sedangkan keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan bahan lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Aman untuk dikonsumsi dapat diartikan bahwa produk pangan tidak mengandung bahan yang dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia, yaitu bahan yang dapat menimbulkan penyakit atau keracunan. Di samping itu produk pangan juga harus layak untuk dikonsumsi. Maksudnya produk tersebut harus dalam keadaan normal, tidak menyimpang seperti busuk, kotor, dan menjijikkan.

Ada beberapa masalah keamanan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini antara lain 1) pangan yang tidak memenuhi standar yang disyaratkan; 2) kasus KLB keracunan pangan yang tidak terlaporkan dan tidak diketahui penyebabnya; 3) terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan terutama dari skala kecil terhadap keamanan dan mutu pangan; 4) rendahnya pengetahuan konsumen pangan dan keterbatasan akses untuk mendapatkan pangan yang bermutu tinggi dan aman (Rahayu dan Nababan 2011).

Berdasarkan hasil sampling yang dilakukan oleh BPOM tahun 2011 ditemukan sebanyak 18000 lebih sampel makanan yang memenuhi syarat keamanan pangan dan sebanyak 2000 lebih sampel makanan yang tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Makanan yang memenuhi syarat adalah makanan yang tidak mengandung bahan berbahaya, BTP berlebih, atau cemaran mikroba. Sedangkan makanan yang tidak memehuhi syarat adalah makanan yang mengandung bahan berbahaya, BTP berlebih, atau cemaran mikroba yang apabila dikonsumsi dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Jenis temuan pada makanan yang tidak memenuhi syarat adalah penggunaan formalin, boraks, Rhodamin B, methanil yellow, auramin, cemaran mikroba, serta penggunaan pengawet benzoat dan pemanis buatan melebihi batas yang ditetapkan. Hasil sampling menunjukkan bahwa jenis temuan yang paling banyak pada produk pangan yang tidak memenuhi syarat adalah cemaran mikroba sebesar 1102 produk.

Masalah keamanan pangan lainnya yang masih terjadi di Indonesia saat ini antara lain kasus keracunan, ditemukannya pangan tercemar oleh kontaminan mikrobiologi dan kontaminan kimia, penggunaan bahan tambahan pangan ilegal, dan penggunaan BTP melebihi batas yang diijinkan. Berdasarkan data KLB keracunan pangan yang terlaporkan berdasarkan laporan Balai Besar/ Balai POM tahun 2001-2011 sebanyak 1392 kejadian di 30 provinsi. Jumlah korban yang meninggal dunia adalah 407 orang. KLB keracunan pangan terbanyak di provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 216 kejadian (15,52 %). Ditinjau dari sumbernya, kasus keracunan pangan pada tahun 2001-2011 terjadi pada makanan rumah tangga sebanyak 620 kasus (44,54%), pangan olahan sebanyak 221 kasus (15,88%), pangan jasa boga sebanyak 301 kasus (21,62%), pangan jajanan sebanyak 202 kasus (14,51%), lain-lain sebanyak 23 kasus (1,65%), dan tidak dilaporkan sebanyak 25 kasus (1,80%). Data lengkap untuk KLB di masing-masing tahun dapat dilihat pada Lampiran 3.

(21)

efek jera. Penuntasan masalah keamanan pangan memerlukan suatu kebijakan dan strategi yang tepat. Untuk dapat mengeluarkan kebijakan dan strategi yang tepat maka dibutuhkan dukungan berupa hasil kajian surveilan keamanan pangan, keputusan manajerial dan komunikasi resiko yang efektif. Hal ini yang mendasari perlunya suatu kebijakan dan strategi keamanan pangan dilandaskan pada prinsip-prinsip analisis resiko (Rahayu 2007).

Menurut Hariyadi (2007), nilai strategis keamanan, mutu, dan gizi pangan ini akan semakin nyata ketika dikaitkan dengan persaingan pasar global. Masuknya era perdagangan bebas mengakibatkan masalah mutu dan keamanan pangan memegang peranan yang sangat penting. Perhatian masyarakat internasional terhadap keamanan pangan yang dikonsumsinya sudah sangat tinggi, sehingga mereka mensyaratkan standar yang tinggi pada bahan pangan yang akan diterima dan dikonsumsinya. Bila masyarakat Indonesia terutama para eksportir bahan pangan belum memahami pentingnya keamanan pada pangan yang dijualnya, maka akan terjadi banyak kasus penolakan dari negara importir.

Dalam perdagangan internasional, pangan yang terkontaminasi (tidak aman) tidak akan diterima oleh negara pengimpor. Sebagai contoh pada tahun 1987 komoditi ekspor pangan Indonesia yang ditahan di Amerika Serikat (AS) senilai 21 juta dolar AS dan pada tahun 2001 meningkat menjadi beberapa puluh kali lipatnya. Penolakan terjadi karena kandungan Salmonella, kotor (filthy), tanpa proses, tidak saniter, memerlukan asam atau es, beracun, mengandung Listeria, kandungan histamin, atau penggunaan pewarna yang tidak aman. Secara umum dalam perdagangan internasional, jumlah terbesar dari penolakan produk impor berasal dari negara-negara berkembang. Pelanggaran yang paling sering dituduhkan adalah terdapatnya serangga, kontaminasi mikroba, dan level residu pestisida yang berlebihan (Sulaeman dan Syarief 2007).

Menurut data US-FDA mulai dari Januari 2001 sampai dengan September 2005, setiap tahunnya tercatat lebih dari 300 kasus penolakan produk Indonesia untuk masuk ke AS. Keamanan pangan digunakan oleh US-FDA sebagai alasan penolakan produk-produk pangan Indonesia. Kinerja produk Indonesia untuk menembus pasar AS, dilihat dari aspek mutu masih sangat memprihatinkan. Apalagi ternyata sebagian besar penolakan karena alasan keamanan pangan tersebut, yaitu sekitar 33080 produk, ditolak karena alasan filthy. Secara umum filthy diartikan bahwa produk tersebut mengandung sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam produk tersebut. Penyebab adanya filhty adalah karena masih kurang atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip penanganan dan pengolahan yang baik (Hariyadi 2007).

Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budi daya hingga pangan tersebut siap disantap. Penerapan sistem keamanan pangan pada setiap tahap produksi harus dilakukan dengan baik agar pangan yang dikonsumsi benar-benar aman. Pada tahap budi daya perlu diterapkan Good Farming Practices (GFP), pada tahap pascapanen diterapkan Good Handling Practices (GHP), pada tahap pengolahan diterapkan Good Manufacture Practices (GMP), dan pada tahap distribusi harus diterapkan Good Distribution Practices (GDP) agar produk pertanian maupun makanan siap saji sampai ke konsumen dalam keadaan aman (Djaafar dan Rahayu 2007). Menurut Rahayu (2002), setiap tahap pengolahan pangan dilakukan dengan tujuan tertentu yang berkaitan dengan keamanan dan mutu produk pangan yang dihasilkan. Setiap tahap pengolahan ini berperan dalam menentukan keamanan dan mutu produk pangan yang dihasilkan, sehingga setiap tahap pengolahan ini harus selalu dikendalikan supaya benar.

(22)

8 tahun 2012 disebutkan bahwa setiap IRTP dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatannya wajib menerapkan CPPB-IRT.

B.

Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP)

Badan Pusat Statistik (2005) menggolongkan industri pengolahan di Indonesia ke dalam empat kategori berdasarkan jumlah pekerja yang dimiliki. Kategori industri tersebut adalah :

1) Industri kerajinan rumah tangga yaitu usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 1-4 orang.

2) Industri kecil yaitu perusahan/ usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 5-19 orang. 3) Industri sedang yaitu perusahaan/ usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 20-99

orang.

4) Industri besar yaitu perusahaan/ usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 100 orang atau lebih.

Berdasarkan Undang-Undang (UU) RI No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang dimaksud usaha mikro adalah usaha produktif milik perorangan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro yaitu a) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta). Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Kriteria usaha kecil tersebut yaitu a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,- (lima puluh juta) sampai Rp 500.000.000,- (lima ratus juta) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta) sampai Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta). Sedangkan usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan. Adapun kriteria usaha menengah yaitu a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,- (lima ratus juta) sampai Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta) sampai Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar). Jika dilihat dalam definisi UMKM seperti pada UU RI No. 20 tahun 2008 tersebut maka IRTP masuk dalam UMKM yang bergerak di bidang pangan.

(23)

C.

Produk IRTP Berbasis Tepung

Menurut Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang CPPB-IRT, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan pembuatan makanan atau minuman. Produk Industri Rumah Tangga (P-IRT) adalah pangan olahan hasil produksi industri rumah tangga yang diedarkan dalam kemasan eceran dan berlabel. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

Berdasarkan laporan Profil Keamanan Pangan IRT di Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan (SPKP) Deputi III BPOM tahun 2009, jenis pangan yang paling banyak diolah adalah tepung dan hasil olahnya sebesar 5502 (38%) dan jenis pangan yang paling sedikit adalah jem dan sejenisnya sebesar 60 (0.4%). Tepung merupakan hasil olahan biji-bijian atau daging buah kering yang dihaluskan. Contoh tepung yaitu tepung beras, tepung maizena, tepung terigu, tepung tapioka, dan tepung sagu. Butiran tepung sangat halus sehingga menyebabkan permukaan bidangnya menjadi sangat lebar. Hal ini menyebabkan bahan bersifat higroskopis yaitu mudah sekali menjadi lembab karena mudah menyerap uap air (Dwiari 2008). Sifat mudah menyerap uap air di udara atau sifat higroskopis yang dimiliki dapat memudahkan tepung mengalami penurunan mutu dan mengalami kerusakan. Pengaruh kadar air dan aktivitas penyerapan air akan mempengaruhi sifat-sifat fisik tepung (misalnya warna dan tekstur), perubahan-perubahan kimia (misalnya reaksi pencoklatan), dan kerusakkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri dan jamur (Buckle et al. 2007).

Menurut Salim (2011), tepung terigu merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia karena dipakai oleh rumah tangga dan industri-industri makanan. Sedangkan menurut Purnama (2002), tepung terigu merupakan bahan makanan pokok yang paling bergizi diantara berbagai jenis makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Tepung terigu menurut SNI 3751:2009 merupakan tepung yang terbuat dari endosperm biji gandum Triticum aestivum L. (club wheat) atau Triticum compactum Host atau campuran keduanya dengan penambahan Fe, Zn, vitamin B2 dan asam folat sebagai fortifikan. Berdasarkan kadar proteinnya, Salim (2011) mengklasifikasikan terigu menjadi 3 yaitu:

1. Tepung berprotein tinggi (bread flour), memiliki kadar protein 11%-13%, sangat baik sebagai bahan pembuat roti, mi, pasta, donat, dan roti yang membutuhkan kekenyalan tinggi

2. Tepung berprotein sedang/ serbaguna (all purpose flour), memiliki kadar protein 8%-10%, cocok sebagai bahan pembuat cake

3. Tepung berprotein rendah (pastry flour), memiliki kadar protein 6%-8%, sesuai untuk membuat kue renyah, seperti biskuit, kulit gorengan, atau keripik dan lain-lain.

Selain tepung terigu, produk industri makanan juga dapat dihasilkan dari jenis tepung lainnya seperti tepung tapioka, tepung beras, dan tepung ketan. Menurut SNI 3549:2009, tepung beras merupakan tepung yang diperoleh dari penggilingan atau penumbukan beras dari tanaman padi (Oryza sativa Linn). Adapun contoh produk yang dapat dihasilkan dari tepung beras adalah bihun, cendol, rempeyek, dan kue akar kelapa. Definisi tepung ketan menurut SNI 01-4447-1998 adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling beras ketan (Oryza glutinosa) yang baik dan bersih. Adapun produk yang dapat dihasilkan dari tepung ketan adalah dodol, jawadah, kolontong.

(24)

10 makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain-lain (Esti dan Prihatman 2000). Adapun contoh produk industri rumah tangga yang dihasilkan dari tepung tapioka adalah kue aci, kue telur gabus, bika ambon, kerupuk aci, kerupuk jengkol, kue seroja, dan kue semprong.

Tepung dan hasil olahnya merupakan salah satu jenis pangan yang diijinkan untuk memperoleh SPP-IRT. Dalam Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 disebutkan bahwa produk IRTP berbasis tepung yang diijinkan untuk memperoleh SPP-IRT adalah bihun, biskuit, bagelan, dodol/ jenang/ galamai, kerupuk, kue brem, kue kering, makaroni, mie kering, tapioka, tepung aren, tepung arcis, tepung beras/ ketan, tepung gandum (bukan tepung terigu yang wajib SNI), tepung hunkuwe, tepung kedele, tepung kelapa, tepung kentang, tepung pisang, tepung sagu, tepung sukun, roti/ bluder, rempeyek/ peyek, sohun, bakpao, bakpia/ pia, nika ambon, cakue, cendol, cimol, cone/ wadah es krim yang dapat dimakan (edible), kulit lumpia/ pangsit, moci, molen/ bolen, mutiara/ pacar cina, pilus, dan yangko.

D.

Bahan Kimia dalam Produk Pangan

1. Bahan Tambahan Pangan (BTP)

BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi (BPOM 2004). Sedangkan menurut definisi Peraturan Menteri Kesehatan RI No.033 tahun 2012, BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. BTP yang diperkenankan untuk digunakan di Indonesia berdasarkan peraturan tersebut dikelompokkan ke dalam jenis-jenis BTP yaitu antibuih, antikempal, antioksidan, bahan pengkarbonasi, garam pengemulsi, gas untuk kemasan, humektan, pelapis, pemanis, pembawa (carrier), pembentuk gel, pembuih, pengatur keasaman, pengawet, pengembang, pengemulsi, pengental, pengeras, penguat rasa, peningkat volume, penstabil, peretensi warna, flavouring, perlakuan tepung (flour treatment agent), pewarna, propelan, dan sekuestran.

Ketidakpahaman akan sifat dan karakteristik BTP dapat menyebabkan kesalahan dalam penggunaannya, misalnya penggunaan BTP berlebih dan penggunaan BTP yang keliru atau senyawa yang tidak tergolongan BTP. Pemakaian yang berlebihan dan senyawa bukan BTP jelas akan membahayakan bagi kesehatan. Permasalahan utama dalam penggunaan BTP lebih terletak pada masalah estetika dan dosis (Wijaya dan Mulyono 2009). Menurut Winarno (2004), batas maksimum penggunaan BTP yang aman dapat dihitung berdasarkan nilai Acceptable Daily Intake (ADI), jumlah makanan harian yang dikonsumsi yang mengandung BTP, dan berat badan rata-rata dari konsumen dewasa dalam kilogram. ADI adalah batasan seberapa banyak konsumsi BTP yang dapat diterima dan dicerna setiap hari sepanjang hayat tanpa mengalami resiko kesehatan. ADI dihitung berdasarkan berat badan konsumen.

2. Penyalahgunaan Bahan Kimia

Sering tidak disadari bahwa dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari ternyata banyak mengandung zat-zat kimia yang bersifat racun, baik sebagai pewarna, penyedap rasa, dan bahan campuran lain. Zat-zat kimia ini sangat berpengaruh terhadap tubuh dalam level sel, sehingga dampak bagi tubuh akan diketahui dalam waktu yang lama setelah makanan dikonsumsi. Dampak negatif yang bisa terjadi berupa kanker, kelainan genetik, cacat bawaan, dan lain-lain. Selain banyak tersedia di pasaran, bahan-bahan tersebut juga memiliki harga yang relatif murah. Berikut contoh penyalahgunaan bahan berbahaya pada produk pangan:

(25)

Formalin adalah nama dagang larutan formaldehida dalam air dengan kadar 36-40%. Formalin biasanya juga mengandung alkohol (metanol) sebanyak 10-15%. Di pasaran formalin diperoleh dalam bentuk yang sudah diencerkan, yaitu kadar formaldehida 30, 20, dan 10% (Winarno 2004). Konsentrasi yang tinggi dalam tubuh dapat menimbulkan reaksi kimia dengan hampir semua zat di dalam sel, sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kerusakan organ tubuh. Kerusakan di dalam sel terjadi karena formalin mengkoagulasi protein yang terdapat pada protoplasma dan nukleus. Formalin yang terkonsumsi dalam jumlah yang berlebih dalam tubuh akan bersifat toksik. Hal ini akan menyebabkan gangguan fisiologis dan metabolisme dalam tubuh (Cahyadi 2006). Menurut International Programme on Chemical Safety, ambang batas aman formalin di dalam tubuh adalah 1 mg/L. Efek pemberian formaldehid per oral dengan dosis 100 mg/kg berat badan selama 2 bulan melalui air minum pada hewan percobaan menunjukkan terhambatnya pertumbuhan berat badan, produksi urin menurun, dan penipisan bagian depan lambung (Saraswati dkk. 2009).

Menurut Rahayu dan Mulyani (2011), produsen makanan yang tidak bertanggung jawab menggunakan formalin sebagai bahan tambahan untuk pengawet pada produk ikan asin, ikan basah, mi basah, tahu, ayam, buah-buahan dan lain-lainnya. Ciri-ciri produk mi basah berformalin antara lain 1) tidak rusak sampai 2 hari pada suhu kamar (25oC) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10oC); 2) bau agak menyengat, bau formalin; 3) tidak lengket dan mi lebih mengkilap dibanding mi normal.

b) Boraks

Menurut Winarno (2004), boraks merupakan garam Na2B4O7 10 H2O yang banyak

digunakan di berbagai industri non pangan, khususnya industri kertas, gelas, kayu, dan keramik. Daya pengawet boraks disebabkan karena adanya senyawa aktif asam borat (H3BO3). Larutan

asam borat dalam air (3%) banyak digunakan sebagai obat cuci mata yang dikenal sebagai

boorwater. Asam borat juga digunakan sebagai obat kumur, obat semprot hidung, dan salep luka. Tetapi bahan ini tidak boleh diminum atau digunakan pada luka luas karena beracun bila terserap masuk tubuh. Boraks sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi atau kerupuk gendar. Di beberapa daerah di Jawa boraks dikenal dengan nama karak atau lempeng. Boraks juga digunakan dalam pembuatan mi, lontong, ketupat, bakso, dan kecap.

Menurut Cahyadi (2008), efek farmakologi dan toksisitas senyawa boron atau asam borat merupakan bakterisida lemah. Walaupun demikian, pemakaian berulang atau absorpsi berlebihan dapat mengakibatkan toksik (keracunan). Kematian pada orang dewasa dapat terjadi pada dosis 15-25 gram. Sedangkan kematian pada anak dapat terjadi pada dosis 5-6 gram.

c) Metanyl Yellow (Pewarna Kuning)

Metanyl Yellow merupakan pewarna kuning yang sering disalahgunakan sebagai pewarna mi, tahu, kue basah, kerupuk, jeli, agar-agar, dan manisan mangga. Penggunaan metanyl yellow

dilaporkan dapat merusak hati, kandung kemih, saluran pencernaan, dan kulit (Kusmayadi dan Sukandar 2009). Pemakaian pewarna ini harus diganti dengan pewarna alami dari kelompok karotenoid atau pewarna sintetis, seperti tartrazin, kuning kuinon, dan kuning FCF.

d) Rhodamin B (Pewarna Merah)

(26)

12 menyebabkan iritasi kulit; 3) bila terkena mata, menyebabkan iritasi mata, mata memerah, dan inflamasi pada kelopak mata; 4) bila tertelan, akan terjadi keracunan dan urin berwarna merah.

Bahan kimia berbahaya lainnya yang termasuk dalam bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam pangan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.033 tahun 2012 tentang BTP adalah 1) asam salisilat dan garamnya; 2) dietilpirokarbonat; 3) dulsin; 4) kalium bromat; 5) kalium klorat; 6) kloramfenikol; 7) minyak nabati yang dibrominasi; 8) nitrofurazon; 9) dulkamara; 10) kokain; 11) nitrobenzene; 12) sinamil antranilat; 13) dihidrosafrol; 14) biji tonka; 15) minyak kalamus; 16) minyak tansi; 17) minyak sasafras.

3. Residu Kimia dalam Kemasan Plastik

Saat ini kemasan plastik sudah mendominasi industri makanan di Indonesia. Bahan kemasan plastik dibuat menggunakan bahan mentah monomer yang tersusun sambung-menyambung menjadi bentuk polimer. Masalah yang timbul adalah adanya dua bahan plastik utama yaitu polyvinyl cloride

dan copolimer akrilonitril tinggi memiliki monomer-monomer yang cukup beracun dan diduga keras sebagai senyawa karsinogenik (penyebab kanker). Beberapa monomer yang berbahaya adalah vynil

klorida, akrilonitril, betacrylonitril, vinylidene klorida serta styrene. Dalam plastik juga berisi beberapa aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat fisiko kimia plastik itu sendiri. Bahan aditif yang ditambahkan tersebut disebut komponen non plastik berupa senyawa anorganik atau organik yang memiliki berat molekul rendah seperti filler, stabilizer, plasticizer, dan pewarna. Bahan aditif ini pada umumnya bersifat racun (Winarno 2004).

Kelemahan kemasan plastik adalah adanya zat-zat monomer dan molekul kecil lain dari plastik yang dapat bermigrasi ke dalam bahan makanan yang dikemas. Fenomena interaksi antara kemasan dengan bahan pangan merupakan hal penting. Fenomena tersebut salah satunya adalah proses transfer atau migrasi senyawa-senyawa yang berasal dari kemasan ke dalam produk pangan khususnya kemasan yang berbahan dasar plastik (BPOM 2005). Secara garis besar, interaksi produk pangan dengan kemasannya meliputi 1) migrasi komponen kemasan ke dalam pangan; 2) permeabilitas gas dan uap air melaui kemasan; 3) penyerapan uap organik dari pangan ke bahan kemasan; 4) transfer interaktif akibat dari transmisi cahaya; dan 5) flavor scalping (sorbtion) yaitu proses penyerapan rasa, aroma atau zat pewarna dari bahan pangan ke bahan kemasan. Interaksi ini terjadi karena adanya kontak langsung antara bahan kemasan dengan produk pangan yang adanya di dalamnya. Interaksi antara kemasan dan pangan yang dikemas ini menimbulkan adanya pengaruh kesehatan dalam jangka panjang bagi seseorang yang mengkonsumensi zat-zat kimia tersebut (Anonim 2006).

(27)

IV.

METODOLOGI

Metodologi disusun untuk mempermudah langkah kegiatan magang dan penyelesaian program yang akan dilakukan. Secara keseluruhan pelaksanaan kegiatan magang dilakukan di Sub Direktorat Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga, Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, BPOM RI. Kegiatan magang terbagi atas beberapa tahapan kerja, yaitu analisis masalah, pengumpulan data, analisis data (penentuan daerah, penentuan produk, identifikasi masalah IRTP), dan pengkajian masalah. Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi dan wawancara dengan pihak-pihak terkait, serta melakukan studi pustaka untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Metodologi kegiatan magang yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1.

A.

Analisis Masalah

Analisis masalah dilakukan untuk mempermudah perumusan masalah dan mencari pemecahannya. Analisis masalah dilakukan di tempat magang yaitu di BPOM, Sub Direktorat Penyuluhan Pangan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga. Masalah yang dianalisis pada kegiatan magang ini adalah produk industri rumah tangga pangan dilihat dari segi keamanan pangannya.

B.

Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam kegiatan magang ini merupakan data sekunder yaitu rekapan data berbagai produk pangan industri rumah tangga yang berasal dari dinas-dinas kesehatan di seluruh Indonesia, data jenis temuan pada pangan yang tidak memenuhi syarat, serta data pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) terhadap penggunaan BB. Data berbagai produk pangan industri rumah tangga yang berasal dari dinas-dinas kesehatan tersebut berisi nama pangan, komposisi, proses, kemasan primer, umur simpan, jenis kategori pangan, dan daerah. Selain itu, pengumpulan data dilakukan dengan diskusi langsung dengan Direktur Direktorat SPKP, Kepala Sub Direktorat Penyuluhan Pangan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga, serta beberapa staf Direktorat SPKP, BPOM RI.

C.

Analisis Data

(28)

14

D.

Pengkajian Masalah

Pengkajian masalah dilakukan dengan cara studi pustaka yang dilakukan dengan mencari referensi/ literatur yang berkaitan dengan kegiatan magang yang dilakukan, sehingga diperoleh informasi yang tepat sebagai acuan dalam mengartikan/ menarik kesimpulan yang diperoleh dari pengolahan data. Dalam kegiatan magang ini, studi pustaka dilakukan untuk membuat pemetaan yaitu untuk menentukan teknologi proses yang digunakan pada produk IRTP terpilih, dan menentukan produk tersebut bisa dikategorikan sebagai IRTP atau tidak. Selain itu, dari hasil analisis data juga ditentukan potensi bahaya dan penyimpangan produk yang terdapat pada produk-produk IRTP terpilih.

Gambar 1. Metodologi kegiatan magang

Penentuan Penyimpangan produk

Intervensi Pemerintah Analisis Masalah

Pengumpulan Data

Penentuan Daerah

Penentuan Produk

Identifikasi Masalah pada Produk IRTP terpilih

(29)

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Profil Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Jawa Barat

Laporan Profil Keamanan Pangan IRT di Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat SPKP Deputi III BPOM tahun 2009, menunjukkan bahwa Jawa Barat memiliki jumlah IRTP paling banyak dibandingkan dengan provinsi lainnya yaitu sebesar 2537 IRTP. Banyaknya jumlah IRTP di Jawa Barat dikarenakan jumlah penduduk Jawa Barat paling banyak dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia yaitu sebesar 43.053.732 jiwa (BPS 2010). Aspek iklim menunjukkan bahwa Jawa Barat merupakan daerah yang hampir selalu basah dengan curah hujan berkisar antara 1.000 - 6.000 mm/ tahun, dengan pengecualian untuk daerah pesisir yang berubah menjadi kering pada musim kemarau (Anonim 2010). Hal ini mengakibatkan Jawa Barat menjadi wilayah yang strategis untuk pertanian, sehingga banyak IRTP berkembang di Jawa Barat mengingat produk IRTP pada umumnya dihasilkan dari sumber pertanian. Tetapi sebaliknya, Jawa Barat juga merupakan provinsi dengan kasus keracunan pangan tertinggi di Indonesia yaitu sebanyak 216 kejadian (15,52 %) yang dilaporkan pada tahun 2001-2011 (BPOM 2012).

Banyaknya IRTP dan kasus keracunan pangan tertinggi inilah yang mendasari pemilihan IRTP di Jawa Barat untuk dikaji keamanan produknya. Selain itu, berdasarkan data IRTP dari Dinas Kesehatan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa produk industri rumah tangga (P-IRT) di Jawa Barat sangat beragam dan hampir memenuhi 16 kategori pangan. Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian SPP-IRT, 16 kategori pangan yang dimaksud adalah olahan daging kering; hasil olahan ikan kering; hasil olahan unggas kering; sayur asin dan sayur kering; hasil olahan kelapa; tepung dan hasil olahnya; minyak dan lemak; selai, jeli dan sejenisnya; gula, kembang gula dan madu; kopi, teh, coklat kering atau campurannya; bumbu; rempah-rempah; minuman ringan, minuman serbuk; hasil olahan buah; hasil olahan biji-bijian dan umbi; lain-lain.

(30)
[image:30.595.130.493.95.293.2]

16

Tabel 1. Jumlah produk IRTP di Jawa Barat tahun 2010 berdasarkan jenis pangan No Jenis Pangan Jumlah produk IRTP Persentase (%)

1 Tepung dan hasil olahnya 58 39.46 2 Biji-bijian & umbi-umbian 29 19.73 3 Minuman ringan 12 8.16 4 Buah dan hasil olahnya 11 7.48 5 Daging dan hasil olahnya 7 4.76 6 Unggas dan hasil olahnya 4 2.72

7 Bumbu 4 2.76

8 Ikan dan hasil olahnya 3 2.04 9 Kelapa dan hasil olahnya 3 2.04 10 Sayur dan hasil olahnya 3 2.04 11 Kopi, coklat, teh 3 2.04 12 Jem dan sejenisnya 3 2.04

13 Es 2 1.36

14 Gula, madu, kembang gula 2 1.36

15 Lain-lain 3 2.04

Pembagian jenis pangan pada tabel di atas sesuai dengan Peraturan Kepala BPOM RI nomor HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian SPP-IRT. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa produk IRTP di Jawa Barat pada tahun 2010 cukup beragam. Produk yang paling banyak diproduksi oleh IRTP berasal dari tepung dan hasil olahnya, yaitu sebanyak 58 produk IRTP (39,46%). Sedangkan produk IRTP yang paling sedikit yaitu produk gula, madu, kembang gula, dan es yaitu sebanyak 2 produk IRTP (1,36%). Banyaknya penggunaan tepung dikarenakan tepung mudah diolah, penanganan yang mudah karena termasuk ke dalam bahan pangan kering, sifatnya yang low risk (beresiko rendah) (Muchtadi 2008).

Hasil pemetaan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa dari 58 produk IRTP dengan jenis pangan tepung dan hasil olahnya di Jawa Barat, ada 4 jenis tepung yang digunakan untuk menghasilkan produknya yaitu tepung terigu, tepung beras, tepung kanji/ tepung tapioka, dan tepung ketan. Jenis tepung yang paling banyak digunakan adalah tepung terigu sebesar 57%. Sedangkan jenis tepung yang paling sedikit digunakan adalah tepung beras sebesar 9%. Proporsi penggunaan masing-masing jenis tepung pada produk IRTP di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 2. Tepung terigu banyak digunakan oleh IRTP di Jawa Barat karena tepung terigu dapat menghasilkan berbagai macam produk dengan karakteristik yang berbeda. Sebagai contoh, tepung terigu berprotein tinggi sebagai bahan pembuat roti, mi, pasta, dan donat yang membutuhkan kekenyalan tinggi; tepung berprotein sedang atau serbaguna sebagai bahan pembuat cake; dan tepung berprotein rendah untuk membuat kue renyah, seperti biskuit, kulit gorengan, atau keripik (Salim 2011).

Gambar 2. Proporsi penggunaan jenis tepung pada produk IRTP di Jawa Barat 57%

24%

10% 9% terigu

tapioka/ kanji ketan

[image:30.595.149.462.592.734.2]
(31)

B.

Potensi Bahaya pada Produk Berbasis Tepung

Tepung merupakan salah satu contoh bahan pangan kering yang tidak mudah rusak. Tepung banyak digunakan dalam pembuatan produk IRTP (Tabel 1). Meskipun memiliki tingkat resiko yang rendah, namun tepung juga memiliki potensi untuk menimbulkan bahaya. Potensi bahaya pada produk berbasis tepung adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan Tepung yang Rusak

Tepung memiliki syarat mutu SNI yang berbeda-beda untuk masing-masing jenisnya. Adapun syarat mutu SNI yang dimaksud tertera pada SNI 3751:2009 untuk syarat mutu tepung terigu, SNI 3549:2009 untuk syarat mutu tepung beras, SNI 01-4447-1998 untuk syarat mutu tepung ketan, dan SNI 3451-2011 untuk syarat mutu tepung tapioka. Ciri-ciri tepung yang rusak antara lain berdasarkan faktor fisik adalah warna berubah menjadi kecoklatan, terdapat kutu atau serangga lainnya, serta terjadinya gumpalan-gumpalan pada tepung. Dalam syarat mutu SNI tepung terigu, tepung beras, tepung tapioka, dan jenis tepung lainnya tercantum bahwa serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak tidak boleh ada dalam tepung. Dari faktor kimia, tepung terigu yang rusak memiliki pH > 5 dan kadar air > 14.5%; tepung beras yang rusak memiliki 5 > pH > 7 dan kadar air > 13%; tepung ketan yang rusak memiliki pH > 4 dan kadar air 12%; dan tepung tapioka yang rusak memiliki pH > 4 dan kadar air > 14%. Sedangkan dari faktor mikrobiologi, tepung yang rusak biasanya terkontaminasi oleh bakteri escherecia coli, bacillus cereus, dan kapang.

Pada industri rumah tangga biasanya kerusakan tepung diakibatkan karena kesalahan dalam penyimpanan/ penggudangan, belum menerapkan cara produksi pangan yang baik untuk industri rumah tangga (CPPB-IRT), proses produksi yang tidak higienis, dan tempat penyimpanan tepung yang tidak higienis. Menurut Rahayu dan Nababan (2011) sebagian besar IRTP belum menerapkan CPPB sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, kesadaran, motivasi, kemampuan finansial, dan belum diterapkannya sistem manajemen formal pada IRTP.

Penyimpanan yang salah dapat mengakibatkan bahan pangan menjadi rusak dan terserang hama serangga bahkan tikus. Menurut Amy (2010), cemaran serangga pada tepung terjadi akibat proses produksi tepung dan tempat penyimpanan tepung yang tidak higienis, serta kondisi tempat penyimpanan yang mendukung pertumbuhan kutu. Kutu yang mengkontaminasi tepung dapat meninggalkan feces (kotoran) dan telur. Tepung yang sudah tercemar karena banyak mengandung larva akan berubah warna menjadi keabu-abuan dan cepat berjamur.

Telur-telur kutu atau serangga lainnya dapat tertinggal di dalam makanan sebelum atau setelah pengolahan. Untuk menghancurkan telur-telur serangga tersebut biasanya tepung dilewatkan di dalam centrifuge. Benturan-benturan yang keras dari dinding centrifuge

mengakibatkan telur-telur serangga menjadi pecah. Meskipun sudah pecah, telur-telur tersebut masih tetap tertinggal di dalam tepung tetapi tidak dapat digunakan untuk memperbanyak diri (Muchtadi 2008). Adanya kontaminasi serangga jelas sangat berkaitan dengan sanitasi sebagai masalah utama yang selalu dihadapi dan kurang diperhatikan oleh industri rumah tangga.

Kerusakan tepung sebenarnya dapat dicegah dengan mengendalikan faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan tepung. Kerusakan tepung yang diakibatkan karena faktor fisik, kimia, dan mikrobiologi dapat dicegah dengan memperhatikan dan menerapkan cara penyimpanan tepung yang baik dan benar.

(32)

18 sinar matahari langsung, udara tidak boleh terlalu kering atau terlalu lembab, dan suhu berkisar antara 19oC-24oC. Tepung mudah menyerap bau-bauan sehingga harus disimpan terpisah dari bahan-bahan yang mengeluarkan bau, seperti bensin, minyak tanah, rempah-rempah, bawang, dan berbagai bumbu. Tepung yang akan disimpan harus sudah terbebas dari serangga. Selain itu pengambilan tepung harus diatur dengan sistem FIFO artinya tepung yang masuk terlebih dahulu harus dikeluarkan atau digunakan lebih dulu atau FEFO artinya tepung yang masa kedaluwarsanya lebih pendek harus dikeluarkan lebih dulu. Oleh karena itu, kondisi ruang penyimpanan seperti suhu dan letak dari ruang penyimpanan sangat penting untuk diperhatikan oleh IRTP agar tepung yang akan digunakan sebagai bahan baku produk terhindar dari kerusakan yang dapat berpotensi menimbulkan bahaya dan akan mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan.

Selain mengatur cara penyimpanan dan pengambilan tepung, faktor lain yang harus diperhatikan adalah pemilihan bahan baku dari suplier/ produsen tepung yang baik, inspeksi/ pemeriksaan tepung saat penerimaan, dan memperhatikan kondisi tepung sebelum digunakan. Parameter yang harus diperhatikan dalam hal ini antara lain, tepung harus memiliki bentuk halus atau tidak ada gumpalan, bau yang normal/ tidak berbau apek/ tidak berbau asing, warna putih khas tepung, tidak boleh ada benda asing, dan tidak boleh ada kutu/ serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak. Bila pada saat inspeksi/ pemeriksaan tepung didapatkan tepung yang tidak memenuhi syarat, maka tepung tersebut tidak boleh digunakan karena akan berpotensi menimbulkan bahaya dan akan mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan.

2. Penyalahgunaan Bahan Berbahaya, BTP Berlebih, dan Cemaran Mikroba selama Proses Pengolahan Produk Berbasis Tepung

Pada dasarnya produk tepung memiliki tingkat bahaya yang rendah apabila IRTP yang menghasilkan produk tersebut menerapkan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB). Penyebab utama produk tepung menjadi bahaya biasanya karena penyalahgunaan bahan-bahan berbahaya pada pengolahan pangan. Saat ini banyak produsen nakal yang memproduksi produk berbasis tepung dengan penambahan Bahan Berbahaya (BB) seperti pewarna Rhodamin B atau metanil yellow yang digunakan pada produk kerupuk, formalin pada produk mi, dan boraks pada produk bakso.

[image:32.595.106.524.596.694.2]

Berdasarkan data hasil pengawasan PJAS pada IRTP tahun 2010, masih ditemukan beberapa sampel yang mengandung bahan berbahaya seperti formalin, boraks, dan Rhodamin B. Data lengkap hasil pengawasan PJAS tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data penyalahgunaan bahan berbahaya pada PJAS tahun 2010 Jenis bahan

berbahaya (BB)

Total sampel

Jumlah sampel MS*

Jumlah sampel TMS**

Jelly Minuman Es Kudapan/

Makanan ringan Mi Bakso

Rhodamin B 2643 2579 1 5 22 36 - -

Boraks 2056 1914 - - - 97 14 31

Formalin 2056 1998 - - - 17 36 5 *MS : memenuhi syarat

(33)

Sampel yang memenuhi syarat (MS) adalah makanan yang tidak mengandung bahan berbahaya, BTP berlebih, atau cemaran mikroba. Sedangkan sampel yang tidak memehuhi syarat (TMS) adalah makanan yang mengandung bahan berbahaya, BTP berlebih, atau cemaran mikroba yang apabila dikonsumsi dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sampel TMS untuk setiap jenis bahan berbahaya yang ditemukan lebih sedikit dibandingkan dengan sampel MS. Meskipun demikian, kondisi ini tetap harus diperhatikan mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bahan-bahan berbahaya yang digunakan, misalnya keracunan.

PJAS merupakan makanan yang dikonsumsi oleh anak sekolah. PJAS juga berkontribusi dalam memberikan asupan energi dan gizi bagi anak-anak usia sekolah. Tingkat keamanan PJAS yang masih buruk, jika tidak ditanggulangi akan memperparah masalah rendahnya status gizi anak-anak sekolah. Apalagi dampak mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan kimia berbahaya secara terus menerus baru akan terlihat dalam jangka panjang. Hal ini akan berdampak pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia pada masa yang akan datang. Andarwulan (2009) menyatakan bahwa kualitas SDM yang menjadi penggerak pembangunan di masa yang akan datang ditentukan oleh pengembangan SDM saat ini, termasuk pada usia sekolah. Pembentukan kualitas SDM sejak masa sekolah akan mempengaruhi kualitasnya pada saat mereka mencapai usia produktif. Dengan demikian, kualitas anak sekolah penting untuk diperhatikan karena masa ini merupakan masa pertumbuhan anak dan sangat pentingnya asupan zat gizi serta keamanan makanan yang dikonsumsi di sekolahnya.

Pada Tabel 2 terlihat kandungan Rhodamin B positif ditemukan pada produk jelly, minuman, es, dan kudapan/ makanan ringan. Boraks dan formalin positif ditemukan pada produk kudapan/ makanan ringan, mi, dan bakso. Produk pangan yang paling banyak mengandung boraks adalah kudapan/ makanan ringan sebanyak 97 sampel dan produk yang paling sedikit mengandung boraks adalah mi sebanyak 14 sampel. Penggunaan formalin paling banyak ditemukan pada mi yaitu 36 sampel dan paling sedikit pada bakso yaitu 5 sampel. Penggunaan Rhodamin B paling banyak pada kudapan/ makanan ringan sebanyak 36 sampel dan paling sedikit pada produk jelly sebanyak 1 sampel.

[image:33.595.162.470.571.706.2]

Pada tahun 2011 BPOM kembali melakukan sampling untuk produk pangan. Sebanyak 18000 lebih sampel makanan dinyatakan memenuhi syarat keamanan pangan dan ditemukan 2000 lebih sampel makanan yang tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Jenis temuan pada makanan IRTP yang tidak memenuhi syarat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil sampling BPOM tahun 2011 untuk produk pangan yang TMS No Kandungan bahan pada produk yang TMS Jumlah

1 Formalin 151

2 Boraks 138

3 Rhodamin B 197

4 Metanil Yellow 3

5 Auramin 1

6 Cemaran Mikroba 1102 7 Pengawet Benzoat 205

8 Pemanis 416

(34)

20 sampel yang mengandung bahan berbahaya seperti formalin, boraks, Rhodamin B, metanil yellow, dan auramin yaitu sebesar 490 sampel. Sedangkan total sampel yang menggunakan BTP berlebih seperti pengawet benzoat dan pemanis yaitu sebesar 621 sampel. Dengan demikian, sampel yang mengandung BB masih dalam jumlah yang paling sedikit dibandingkan sampel yang mengandung cemaran mikroba atau sampel yang menggunakan BTP berlebih. Hal tersebut tetap perlu mendapat perhatian serius. Menurut Cahyadi (2008), pangan yang mengandung BB umumnya tidak terlihat dampaknya karena pengaruhnya baru terlihat dalam waktu yang relatif panjang. Pengaruh yang terjadi dapat berupa kerusakan ginjal, kelainan reproduksi, dan kanker. Jika hal ini sampai terabaikan maka mungkin suatu saat akan terjadi “booming” penyakit degeneratif akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung BB.

3. Proses Pengolahan yang Salah

Proses pengolahan juga dapat menimbulkan potensi bahaya. Salah satu contohnya adalah proses pengolahan tepung. Peneliti di Badan Pengawas Makanan Nasional Swedia (Swedish National Food Administration) dan Stockhlom University, pada April 2002 melaporkan penemuan akrilamida dalam berbagai makanan yang dipanggang atau digoreng, seperti keripik kentang, kentang goreng, pop corn, sereal, dan biskuit (Felicia 2009). Menurut Stadler et al. (2002), akrilamida terbentuk akibat pengolahan pada suhu tinggi terhadap asam amino tertentu (seperti asparagin), terutama apabila dikombinasikan dengan gula pereduksi. Pada tahapan intermediet reaksi Maillard, asam amino mengalami dekarboksilasi dan deaminasi untuk membentuk senyawa aldehid yang selanjutnya akan membentuk senyawa akrilamida (Zyzak et al. 2003).

Menurut Oktafrina (2009), akrilamida terbentuk dari reaksi antara gula dan asam amino asparagin dengan melibatkan panas. Senyawa ini dapat direduksi dengan cara mengolah makanan di bawah suhu 120oC. Menurut hasil penelitiannya, semakin tinggi suhu dan lama waktu penggorengan pada pengolahan keripik pisang maka jumlah akrilamida yang terbentuk akan semakin tinggi. Maka dari itu, upaya mereduksi akrilamida saat pengolahan biasanya dilakukan dengan memodifikasi kondisi proses pengolahan. Parameter yang dimodifikasi berupa suhu dan waktu pengolahan (Zhang dan Zhang 2007). Pengolahan makanan dengan modifikasi proses pengolahan dapat dilakukan dengan penggorengan vakum. Hasil penelitian Granda et al. (2004) menunjukkan bahwa penggorengan vakum mampu mengurangi pembentukan akrilamida dalam keripik kentang sampai sekitar 94% dibandingkan dengan penggorengan tradisional (kondisi atmosfer).

(35)

Harahap (2006) menyatakan bahwa akrilamida bersifat iritan dan toksik. Uji klinis menunjukkan bahwa paparan akrilamida dosis tinggi akan memicu gangguan saraf pusat, sedangkan paparan akrilamida dalam jangka waktu yang lama dengan dosis yang lebih kecil dapat memicu gangguan pada sistem saraf tepi.

[image:35.595.126.489.175.393.2]

Ada 5 jenis proses pengolahan yang digunakan oleh IRTP di Jawa Barat. Proses pengolahan tersebut adalah penggorengan, pemanggangan, pencampuran, perebusan dan pengeringan. Data menunjukkan bahwa proses pengolahan pangan untuk menghasilkan produk IRTP yang paling berkembang di Jawa Barat adalah proses penggorengan yaitu sebesar 48%. Persentase proses pengolahan produk IRTP di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Persentase produk IRTP berbasis tepung berdasarkan teknologi yang digunakan

Dalam proses penggorengan, minyak umumnya menjadi penyebab utama timbulnya bahaya. Penggorengan merupakan fenomena transfer panas yang terjadi secara simultan yaitu transfer panas, transfer massa air dan transfer minyak. Panas ditransfer dari minyak ke bahan, massa air diuapkan dari bahan, dan minyak diserap oleh bahan (Sahin et al. 1999). Menurut Muchtadi (2008), minyak goreng sebagai media pemindah panas akan mengalami degradasi, perubahan warna, aroma dan viskositas akibat proses penggorengan. Selama proses penggorengan minyak bereaksi dengan oksigen membentuk hiperklorida yang nantinya akan membentuk radikal bebas atau terhidrasi menjadi senyawa keton. Hasil degradasi minyak ini bersifat toksik dan kemungkinan mutagenik yang dapat memberikan resiko negatif terhadap kesehatan. Winarrno (2004) menyatakan bahwa penggorengan pada suhu tinggi (sekitar 196oC) yang menggunakan minyak bekas penggorengan berkali-kali dapat mengakibatkan terjadinya oksidasi, polimerisasi dan perubahan konfigurasi minyak sehingga menghasilkan asam lemak trans. Kualitas minyak jelantah menurun dari minyak goreng baru.

4. Pengemasan dan Pelabelan yang Salah

Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang CPPB-IRT, produk industri rumah tangga (P-IRT) adalah pangan olahan hasil produksi industri rumah tangga yang diedarkan dalam kemasan eceran dan berlabel. Kemasan plastik adalah jenis kemasan yang paling banyak digunakan oleh industri pangan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan, transparan, kuat, mudah dibentuk, warna dan bentuk relatif disukai konsumen (Buckle et al. 2007). Winarno (2004) memberikan beberapa contoh penggunaan plastik sesuai kebutuhan produknya. Roti tawar sangat memerlukan

48%

35% 10%

5% 2%

(36)

22 perlindungan terhadap kelembaban sehingga memerlukan kemasan yang memiliki barrier

terhadap uap seperti LDPE. Keripik memerlukan kemasan yang memiliki barrier terhadap oksigen, uap air, serta tahan lemak. Kemasan yang tepat untuk keripik adalah PVDC (polyvinyllidene chloride) yang dilapisi selofan, dilaminasi aluminium atau PVDC-glassin.

Proses pengemasan sebagai tahap akhir proses pengolahan merupakan tahap paling kritis. karena kemasan hanya dapat menahan kontaminasi dari luar. Disamping itu, zat-zat dalam bahan kemasan juga berpotensi mengkontaminasi produk pangan yang ada di dalamnya. Menurut Miguel

et al. (1997) selama proses pengemasan dan penyimpanan makanan, kemungkinan terjadi migrasi (pemindahan) bahan plastik pengemas dari bungkus ke makanan yang dikemas. Bahan yang berpindah dapat berupa residu polimer (monomer), katalis maupun aditif lain seperti filler,

stabilizer, plasticizer, flalameretardant, serta pewarna. Aditif ini pada umumnya bersifat racun, terikat secara kimia atau fisika pada polimer dalam bentuk asli atau modifikasi.

Cara pengemasan yang salah juga bisa berpotensi menimbulkan bahaya. Produk yang langsung dikemas dalam kondisi masih panas dengan pengemas yang tidak tahan panas akan menyebabkan terjadinya migrasi. Menurut Castle (2000), semakin tinggi suhu makanan maka semakin banyak zat plastik yang mengalami migrasi ke dalam makanan.

Pencantuman tanggal kedaluwarsa sangat penting dalam pelabelan. Pada umumnya masih banyak dijumpai praktek pelabelan P-IRT yang belum sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Berdasarkan hasil survei monitoring dan verifikasi IRTP dalam rangka peningkatan keamanan PJAS yang dilakukan oleh BPOM tahun 2009, diperoleh data hanya 32% IRTP yang memiliki pemahaman baik hingga baik sekali tentang pelabelan pangan, dan 68% IRTP yang memiliki pemahaman kurang hingga kurang sekali. Selain itu ditemukan sebanyak 82,05% produk pangan IRTP diberi label, 17,60% tidak diberi label dan 0,35% tidak diketahui. Dari produk-produk yang berlabel, sebanyak 95,25% label produk pangan IRTP tidak sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dan 4,75% sudah sesuai dengan persyaratan label pangan. Hal ini dikarenakan masih kurangnya pemahaman pemilik IRTP terhadap pelabelan produk pangan.

Berdasarkan hasil survei tersebut, sebanyak 85% penanggungjawab/ pemilik IRTP tidak dapat menyebutkan informasi yang yang wajib dicantumkan di label secara lengkap dan 15% dapat menyebutkan informasi yang yang wajib dicantumkan di label secara lengkap. Keterangan wajib yang paling banyak dicantumkan pada label produk pangan IRTP yang tidak memenuhi persyaratan pelabelan berturut-turut adalah nama produk (79%), nomor pendaftaran (67%), nama dan alamat produsen (58%), komposisi (51%), berat bersih (36%), tanggal kedaluwarsa (33%) dan tanggal & kode produksi (8%). Selain temuan tersebut, ada juga P-IRT yang mencantumkan klaim tanpa BTP dan klaim kesehatan pada label dengan persentase masing-masing di bawah 5%. Ketidaksesuaian lain yang ditemukan adalah penggunaan label yang mudah lepas (13%), dan label mudah luntur dan rusak (12%). Data ini menunjukkan bahwa pelabelan dalam IRTP masih belum baik. Meskipun sudah banyak IRTP yang menggunakan label pada produknya, namun hanya sedikit yang sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam PP No. 69 tahun 1999.

(37)

yang pada label hanya tercantum sebagai pengawet atau bahkan tidak dicantumkan dalam label pangan (Wijaya dan Mulyono 2009).

5. Penyimpanan Produk Pangan yang Salah

Produk berbasis tepung yang dihasilkan oleh IRTP pada umumnya kering sehingga tidak mudah mengalami kerusakan, seperti mi, kerupuk, keripik, bakpia, bihun, dan dodol. Meskipun dodol tidak memiliki penampakan kering, namun dodol memiliki aw yang rendah sehingga produk

ini awet dalam waktu lama. Menurut Haliza (1992) dodol mempunyai sifat-sifat umum yaitu plastis, padat, mempunyai aw 0.6-0.9, dan kadar air 10%-40%. Menurut Muchtadi (2008) keadaan

ini tidak efektif untuk pertumbuhan bakteri karena bakteri tumbuh pada aw diatas 0.9.

Meskipun produk tepung tidak mudah rusak, kesalahan dalam penyimpanan dapat menjadi salah satu penyebab produk menjadi cepat rusak dan kedaluwarsa. Contohnya pada produk roti yang disimpan pada ruang penyimpanan yang terlalu hangat atau lembab akan mengakibatkan pertumbuhan mikroba pada produk. Jika jumlah cemaran mikroba sudah melebihi batas aman, maka produk tersebut berpotensi menimbulkan bahaya. Menurut Sulchan dan Nur (2007), produk roti tawar membutuhkan perlindungan terhadap kelembaban. Pada proses produksinya, roti yang matang harus melewati proses pendinginan terlebih dahulu sebelum dikemas. Proses pendinginan bertujuan agar uap air yang terdapat pada roti dapat keluar secara optimal. Apabila roti dikemas dalam kondisi panas akan menyebabkan roti mudah berjamur. Pada roti akan terjadi perubahan warna, bau, dan rasa yang disebabkan oleh perubahan senyawa kimia hasil aktivitas enzim.

Ruang penyimpanan harus dapat mencegah kontaminasi. Pangan harus disimpan jauh dari ruang pencucian/ pengumpulan sampah dan tidak disimpan pada suhu “danger zone” (5oC-60oC). Beberapa hal yang harus diterapkan dalam ruang penyimpanan antara lain 1) menggunakan sistem FIFO (first in first out); 2) melakukan pencatatan tanggal kedaluwarsa, tanggal penerimaan atau tanggal penyimpanan setelah pengolahan; 3) menjaga ruang penyimpanan tetap dingin, kering, dan berventilasi baik; 4) suhu ruang penyimpanan 10o-20oC dan kelembaban 50-60%; 5) mengatur jarak minimal penyimpanan pangan dari lantai 20cm dan menghindari sinar matahari langsung (Rahayu 2011).

C.

Penyimpangan Produk IRTP di Jawa Barat

(38)

24

Tabel 4. Penyimpangan Produk IRTP di Jawa Barat tahun 2010

No Kategori Penyimpangan

Nama Produk

Dasar Pengambilan Keputusan

1 Didaftarkan sebagai P-IRT

Bakso Peraturan Kepala BPOM RI No.HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012

Naget (daging) Batagor Otak-otak

2 Produk IRTP yang tidak sesuai definisi dan/ atau kategori pangan

Bakso SNI 01-3818-1995, dan SK Kepala BPOM No. HK.00.05.52.40.40 tahun 2006

Naget (tepung) SNI 01-6683-2002, Abon oncom SNI 01-3707-1995,

Berdasarkan tabel di atas terlihat adanya produk yang didaftarkan sebagai P-IRT, namun sebenarnya tidak bisa didaftarkan sebagai P-IRT yaitu otak-otak, bakso, batagor dan naget daging/ ikan. Pengkategorian ini yaitu berdasarkan Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian SPP-IRT. Pada pasal 6 di dalam peraturan tersebut disebutkan jenis-jenis pangan yang

Gambar

Tabel 1. Jumlah produk IRTP  di Jawa Barat tahun 2010 berdasarkan jenis pangan…………..
Gambar 1.  Metodologi kegiatan magang……………………………………………………
Gambar 1. Metodologi kegiatan magang
Tabel 1. Jumlah produk IRTP di Jawa Barat tahun 2010 berdasarkan jenis pangan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa pelaku industri rumah tangga dalam bidang produksi olahan pangan, yang produk olahan pangannya diatur

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut peneliti, tertarik untuk melakukan penelitian terkait kebijakan sertifikasi produk pangan industri rumah tangga

Pengawasan Hak Konsumen Atas Informasi Dan Keamanan Dalam Mengkonsumsi Pangan Industri Rumah Tangga (Studi di Dinas Kesehatan Kota Malang) Variabel : Pencantuman

Ketersediaan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPPIRT) merupakan hal yang sangat penting dimiliki pelaku usaha industri rumah tangga, karena berkaitan dengan

KONSUMENTERHADAP PRODUK PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA ( MAKANAN DAN MINUMAN) YANG TIDAK BERLABEL DI KABUPATEN KUDUS” ini secara umum bertujuan untuk mengetahui alasan

Industri rumah tangga pengupasan rajungan merupakan usaha rumah tangga yang menghasilkan produk daging rajungan matang ( fresh meat crabs ), yang selanjutnya dijual

Dengan penuh kesadaran diri, peneliti mengetahui bahwasannya dalam proses penulisan tugas akhir yang berjudul “PENGAWASAN TERHADAP PRODUK PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA OLEH

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) di Industri Rumah Tangga (IRT) Produk Tahu