• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGKAJIAN ASPEK PELABELAN DAN SANITASI PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP) DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA FAUZI ACHMADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGKAJIAN ASPEK PELABELAN DAN SANITASI PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP) DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA FAUZI ACHMADI"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

PENGKAJIAN ASPEK PELABELAN DAN SANITASI

PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP)

DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

FAUZI ACHMADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(2)

DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

FAUZI ACHMADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengkajian Aspek Pelabelan dan Praktek Sanitasi pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2009

Fauzi Achmadi

(4)

Food Industries in Yogyakarta Province. Under direction of Lilis Nuraida and Harsi D Kusumaningrum.

Everyone has the right to adequate food. Indonesian government must fulfill the right by providing safe food. Small-scale food industries (IRTP) as one of the commonest food producers must receive control and education by the government in order to assure the safe and quality of their products. Several problems faced by the industries are food labeling as well as sanitation practices.

The study aimed to identify the cause of poor food labeling practices as well as to figure out the condition of sanitation practices by IRTP. The steps of this study were assessing labeling regulation, assessing IRTP education materials, collecting primary data on respondent’s knowledge about food labeling, respondent’s knowledge about sanitation, practice of food labeling, sanitation practices, discussions and providing recommendations.

The study identified an information gap between labeling regulation in Food Act as well as Government Regulation on Labeling/General Guideline on Food Labeling. The gap was about minimal information on food label. The study also figured out the lack of labeling aspect in small scale food industries education material and the gap information about minimal information on food label. However, the study showed that small scale industries sanitation and hygiene education materials already fit with CAC/RCP1-1969, Rev. 4 (2003). Respondents' knowledge about the labeling indicates that only 2 respondents (1,2%) have knowledge of the correct food labeling, especially on the Government Regulation on Food Labeling and minimal information on the label. The lack of knowledge on those aspects was influenced by the education materials.

Generally, respondent’s knowledge on sanitation practices was good. However, the knowledge on how to use water and hand washing procedure were still poor. The lack of knowledge on those aspects was influenced by the education materials. The materials did not mention about good hand washing practices. The study also described that few respondents practiced according the Government Regulation on Food Labeling (2,2%). There were 11 types food labeling practices not according The Regulations. Poor practice of Food Labeling was due to poor knowledge of the industry. Poor knowledge was caused by poor education materials to the industries. The observation on the workers sanitation practices showed that the major respondents (65,2%) have already practices whole or main aspects of sanitation practices correctly. The main recommendation was

IRTP counseling should be done with food safety education and assistance of the industries. The technical recommendation were : (1) revising education materials on food labeling and making technical instructions food labeling for IRTP, (2) making posters about hand washing procedures, (3) making posters about the use of water, (4) guidance and supervision of on going, (5) increasing staff competency assessors IRTP labels.

Key words : food labeling, sanitation, small-scale food industries (IRTP), knowledge.

(5)

RINGKASAN

FAUZI ACHMADI. Pengkajian Aspek Pelabelan dan Sanitasi pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh Lilis Nuraida dan Harsi D Kusumaningrum.

Setiap orang berhak mendapatkan pangan yang aman dan layak untuk dikonsumsi. Pemerintah Indonesia wajib memenuhi pangan yang aman bagi rakyatnya. Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) sebagai salah satu penghasil pangan dengan jumlah 780.631 industri (BPS 2005) dan tersebar di pelosok nusantara, harus mendapatkan pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah agar produk pangan IRTP aman dikonsumsi. Salah satu kendala yang dihadapi IRTP adalah masalah pelabelan pangan dan masalah sanitasi. Laporan audit sarana IRTP terhadap 4194 sarana IRTP (oleh BPOM RI) tahun 2003-2006 menunjukkan bahwa aspek pelabelan masih dalam kondisi yang tidak sesuai dengan PP Pelabelan Pangan. Sedangkan kondisi praktek sanitasi dilaporkan rata-rata dalam kondisi cukup (selang penilaian terdiri atas Baik, Cukup, dan Kurang) . Informasi tentang kondisi praktek sanitasi ini berbeda dengan informasi dalam Kebijakan dan Program Nasional Keamanan Pangan Industri Rumah Tangga, 2003 yang menyatakan bahwa kondisi praktek sanitasi IRTP masih rendah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab rendahnya praktek pelabelan IRTP dan mengetahui kondisi sebenarnya praktek sanitasi di IRTP. Tahapan dalam penelitian ini adalah mengkaji peraturan pelabelan, mengakaji materi penyuluhan IRTP, pengumpulan data primer (meliputi data pengetahuan responden tentang pelabelan pangan, data pengetahuan responden tentang sanitasi, data praktek pelabelan pangan IRTP, data praktek sanitasi di IRTP), pengolahan data, pembahasan dan penyusunan rekomendasi.

Manfaat penelitian adalah memberikan masukan kepada pemerintah tentang penyebab terjadinya pelanggaran pelabelan IRTP. Manfaat lainnya adalah memberikan masukan kepada pemerintah untuk penyusunan program pembinaan dan pengawasan IRTP. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait dengan masalah pelabelan produk pangan IRT dan masalah sanitasi di IRTP.

Penelitian dilaksanakan di kantor Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Jakarta serta di lima (5) kabupaten/kota di Propinsi DI Yogyakarta selama bulan Juli 2008 - Pebruari 2009.

Tahapan penelitian ini adalah mengkaji aspek peraturan pelabelan di IRTP, mengkaji materi penyuluhan tentang pelabelan dan sanitasi bagi IRTP, pengumpulan data primer yang meliputi : (a) pengembangan kuesioner, (b) penentuan sampel IRTP,

(c) pemilihan dan pelatihan enumerator, (d) pelaksanaan survey, (e) pengolahan data, pembahasan umum dan pembuatan rekomendasi. Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus slovin, yaitu diperoleh jumlah sampel 152 IRTP dari populasi 596 IRTP. Pengambilan sampel dilakukan secara acak per kabupaten/kota di Propinsi DI Yogyakarta. Survey dilakukan dengan cara wawancara kepada responden untuk mengetahui tingkat pengetahuannya dan pengamatan terhadap praktek pelabelan pangan dan sanitasi di sarana produksinya.

Kajian terhadap peraturan pelabelan pangan yang ada menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan informasi tentang aspek keterangan minimal antara UU Pangan (UU No. 7 1996) dengan PP Pelabelan (PP No. 69 1999) maupun Pedoman Umum

(6)

2 produksi dan nomor pendaftaran/Nomor Izin Edar tidak disebutkan sebagai keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label. Hal ini berbeda dengan informasi tentang keterangan minimal yang disebutkan dalam PP pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Dalam PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan keterangan halal tidak dikategorikan sebagai keterangan minimal pada label, namun keterangan tanggal atau kode produksi dikategorikan sebagai keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label. Dalam PP Pelabelan, keterangan nomor pendaftaran baru merupakan keterangan yang wajib dicantumkan pada label bagi produk pangan, termasuk IRTP, jika produk tersebut tergolong dalam produk yang wajib memiliki nomor pendaftaran. Produk yang wajib memiliki nomor pendaftaran adalah produk pangan olahan yang akan diperdagangkan dengan masa simpan lebih dari tujuh hari (PP 28 tahun 2004). Sedangkan poduk pangan yang masa simpannya kurang dari 7 (tujuh) hari tidak diwajibkan memiliki nomor pendaftaran. Namun dalam Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan, keterangan nomor pendaftaran dikategorikan sebagai keterangan yang wajib dicantumkan pada label.

Kajian terhadap materi penyuluhan bagi IRTP tentang pelabelan menunjukkan bahwa keterangan minimal pada label yang disebutkan dalam materi penyuluhan berbeda dengan yang disebutkan dalam PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Selain itu, muatan materi pelabelan dalam materi penyuluhan masih sangat kurang (14.8%) jika dibandingkan dengan muatan materi pelabelan dalam PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan.

Kajian terhadap materi penyuluhan bagi IRTP tentang sanitasi menunjukkan bahwa muatan materi penyuluhan sudah sesuai dengan muatan higiene pangan dalam

CAC/RCP1-1969, Rev. 4 (2003). Materi penyuluhan tentang sanitasi telah dilengkapi

dengan toeri dan petunjuk praktis.

Wawancara terhadap responden menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang pelabelan masih sangat kurang. Hanya 2 responden (1.2%) yang memiliki pengetahuan pelabelan yang benar, khususnya tentang Peraturan Pemerintah yang mengatur Pelabelan Pangan dan tentang keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label. Dari dua hal yang ditanyakan, Peraturan Pemerintah tentang Pelabelan paling banyak tidak diketahui oleh responden. Pengetahuan responden tentang pelabelan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan responden serta mutu materi pelatihan tentang pelabelan.

Wawancara terhadap responden juga menunjukkan bahwa umumnya pengetahuan responden tentang sanitasi sudah bagus. Tetapi untuk aspek penggunaan air dan prosedur mencuci tangan, pengetahuan responden terhadap dua hal tersebut masih rendah. Pengetahuan responden terhadap aspek sanitasi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan responden.

Pengamatan terhadap praktek pelabelan menunjukkan bahwa hanya 2.2% label responden yang wajib melakukan pelabelan sesuai dengan peryaratan pencantuman keterangan minimal. Terdapat 11 jenis pelanggaran pelabelan terhadap PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Rendahnya praktek pelabelan dipengaruhi oleh rendahnya pengetahuan responden. Rendahnya pengetahuan responden dipengaruhi oleh rendahnya materi pelabelan.

(7)

3 Pengamatan terhadap praktek sanitasi pekerja menunjukkan bahwa sebagian besar (65,2%) responden telah mempraktekkan seluruh atau sebagian besar aspek sanitasi pekerja. Aspek yang paling banyak tidak dilakukan oleh pekerja adalah penggunaan penutup kepala selama bekerja.

Rekomendasi utama adalah perlu dilakukannya pembinaan terhadap IRTP dengan cara penyuluhan dan pendampingan/fasilitasi. Penyuluhan dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan pemilik IRTP tentang keamanan pangan, khususnya pelabelan dan higiene sanitasi. Mengingat masih dijumpainya pemilik IRTP yang memiliki latar belakang pendidikan dasar (SD dan SLTP), maka materi penyuluhan sebaiknya disusun sedemikian rupa sehingga mudah dipahami, menarik, namun tetap utuh dan lengkap. Pendampingan dimaksudkan untuk memfasilitasi IRTP dalam mempraktekkan prinsip-prinsip keamanan pangan di sarana produksinya, termasuk pelabalan pangan dan higiene sanitasi sehingga IRTP dapat mempraktekkan pelabelan dan higiene sanitasi secara benar sesuai persyaratan.

Rekomendasi teknis lainnya adalah : (1) perlu dilakukannya revisi terhadap materi penyuluhan baik materi pelabelan maupun sanitasi, (2) perlu dibuatkan poster tentang praktek higiene sanitasi khususnya penggunaan air dan prosedur mencuci tangan, (3) perlu dilakukannya pembinaan dan pengawasan terhadap IRTP secara terus menerus, (4) perlu dilakukannya peningkatan kompetensi petugas penilai label, (5) pengembangan program pembinaan yang bersifat persuasif untuk mendorong IRTP memenuhi persyaratan pelabelan dan higiene sanitasi.

(8)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(9)

PENGKAJIAN ASPEK PELABELAN DAN SANITASI

PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP)

DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

FAUZI ACHMADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(10)
(11)

Judul Tesis : Pengkajian Aspek Pelabelan dan Sanitasi pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Nama : Fauzi Achmadi

NRP : F 252 060 075

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, MSc. (Ketua) (Anggota)

Diketahui,

Ketua Program Studi a/n Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Magister Profesi Teknologi Pangan Sekretaris Program Magister

Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MSi

(12)

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Magister Profesional Teknologi Pangan. Tema penelitian ini diangkat dari masalah yang dijumpai oleh peneliti dalam pekerjaan sehari-hari. Tesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca khususnya pemerintah yang berkompeten.

Terima kasih yang mendalam penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc. dan Dr. Ir. Harsi D Kusumaningrum, MSc. selaku komisi pembimbing yang telah membimbing penulis dengan sabar dalam menyusun tesis ini, mulai dari awal hingga akhir. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ir. Sutrisno Koswara, Msi. yang telah banyak memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Kesehatan di Kota Yogyakarta, Kab. Gunungkidul, Kab. Bantul, Kab. Sleman, dan Kab. Kulonprogo yang telah membantu kelancaran pelaksanaan pengambilan data primer. Terimakasih juga kepada para enumerator yang telah bekerja keras dalam membantu pelaksanaan pengumpulan data primer.

Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih juga kepada seluruh dosen pengajar di Program Studi Teknologi Pangan yang telah mencurahkan pengetahuan kepada penulis selama menjalani kuliah di sekolah pascasarjana Magister Profesi Teknologi Pangan. Tidak lupa terima kasih juga kepada mbak Tika dan Bu Mar.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Winiati Puji Rahayu, MS. selaku Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, karena penulis diberikan kesempatan yang luas untuk menimba ilmu khususnya di bidang pangan hingga ke jenjang pendidikan pascasarjana di kampus tercinta, IPB. Lewat beliau pula penulis mendapatkan bantuan biaya penelitian dari Mrs. Carole Theobald, konsultan bagi Australian Agency for International Development (AusAID) yang pernah bekerja sama dengan Badan POM. Terimakasih Mrs. Carole Theobald.

Tak lupa kepada Dra. Dewi Prawitasari, MKes., selaku Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Drs. Halim Nababan, MM., Drs. Bosar Pardede, Apt., Kasubdit Penyuluhan IRTP, penulis ucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya atas dukungannya selama ini. Terimakasih juga kepada teman-teman seperti Pak Nyo, Mbak Novi, Didik, Nugi, Teti, Ita, Ratna, Anita dan pasukan SPKP lainnya yang telah memberikan motivasi kepada penulis. Juga kepada teman-teman MPTP batch 3, terimakasih semua.

Khusus kepada istri tercinta, Dyah Laksmi Nurjannah, ananda Fahmi Daud Abdillah dan Sofia Dwi Anggraini, kalian telah memberikan motivasi luar biasa kepada penulis. Alhamdulillaahi Jazakumullaahu Khoiro. Kepada semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih.

Akhir kata, karya ilmiah ini belum sempurna, sehingga penulis lain dapat melanjutkan untuk penyempurnaannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2009

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Jombang Jawa Timur pada tanggal 1 Agustus 1973 dari ayah Moh. Sodiq dan Ibu Toeafifah. Penulis merupakan putra kedelapan dari sembilan bersaudara.

Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Jombang dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur PMDK (Penulusuran Minat dan Bakat) IPB. Penulis memilih Program Studi Mekanisasi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1998.

Setelah lulus sarjana, pada tahun 1998 penulis diterima bekerja di PT Nippon Indosari Corp. (perusahaan roti merk Sari Roti) di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat hingga 2003 sebagai QC Field, QC Coordinator, Product Development

Specialist, dan Project Coordinator. Tahun 2003 hingga sekarang penulis bekerja

sebagai staf di Sub Direktorat Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga, Badan POM RI. Sehari-hari penulis berprofesi sebagai penyuluh keamanan pangan bagi IRTP dan auditor Piagam Bintang Keamanan Pangan. Berbagai pelatihan, seminar, dan tugas-tugas kantor tentang keamanan pangan telah dilalui oleh penulis selama bekerja di Badan POM RI.

Kesempatan untuk menambah ilmu dan pengetahuan di bidang pangan lebih dalam penulis dapatkan ketika mendapatkan beasiswa sekolah Program Magister Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2006. Penulis memilih Program Magister Profesional Teknologi Pangan. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan POM RI periode 2007-2009.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL...iv DAFTAR LAMPIRAN...vi I. PENDAHULUAN ...1 1.1 Latar Belakang ...1 1.2 Ruang Lingkup...3 1.3 Tujuan ...4 1.4 Manfaat ...4

II. TINJAUAN PUSTAKA ...5

2.1 Peraturan Pelabelan Produk Pangan...5

2.2 Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP)...7

2.3 IRTP di Propinsi DI Yogyakarta...9

2.4 Sanitasi Pangan ...11

2.5 Program Pembinaan IRTP ...13

2.6 Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) ...15

2.7 Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan IRT...16

2.8 Sistem Pendataan dan Pelaporan...21

III. METODE PENELITIAN...22

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...22

3.2 Metode Penelitian ...22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...29

4.1 Kajian Peraturan Pelabelan Produk Pangan IRTP ...29

4.2 Kajian Materi Penyuluhan IRTP...43

4.3 Pengetahuan Responden Terhadap Pelabelan dan Sanitasi ...49

(15)

ii

4.3.2 Pengetahuan Responden Tentang Pelabelan...60

4.3.3 Pengetahuan Responden Tentang Sanitasi...66

4.4 Praktek Pelabelan di IRTP ...71

4.5 Praktek Sanitasi di IRTP ...79

4.6 Pembahasan Umum dan Rekomendasi ...84

V. KESIMPULAN DAN SARAN...92

5.1 Kesimpulan ...91

5.2 Saran...93

DAFTAR PUSTAKA ...94

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jumlah Industri Kecil dan Industri Kecil Rumah Tangga di Indonesia golongan pokok usaha 15 (makanan dan minuman) ...8 Tabel 2 Luas wilayah, ketinggian, dan jarak lurus ke ibu kota propinsi

menurut kab./kota di Propinsi DI Yogyakarta ...10 Tabel 3 Jumlah IRTP yang mengikuti PKP dalam rangka SPP-IRT di

Propinsi DI Yogyakarta tahun 2003 sampai dengan tahun 2007...10 Tabel 4 Jenis pangan IRTP yang memiliki nilai K (Kurang) pada parameter I

(pelabelan) di Propinsi DI Yogyakarta tahun 2007. ...20 Tabel 5 Jumlah IRTP di Propinsi DI Yogyakarta menurut jenis pangannya

sampai tahun 2007 ...21 Tabel 6 Rencana penarikan sampel per kabupaten kota ...26 Tabel 7 Pernyataan tentang keterangan minimal pada label pangan dalam

beberapa sumber peraturan label ...30 Tabel 8 Pencantuman keterangan halal pada beberapa sumber peraturan

pelabelan ...35 Tabel 9 Ketentuan pencantuman informasi nilai gizi pada label dalam

beberapa sumber peraturan pelabelan ...38 Tabel 10 Muatan materi pelabelan dalam modul pengemasan, penyimpanan,

dan pelabelan ...43 Tabel 11 Perbandingan muatan materi pelabelan antara materi penyuluhan

IRTP termasuk hand outnya dengan sumber peraturan pelabelan...45 Tabel 12 Perbandingan cakupan materi sanitasi antara modul higiene dan

sanitasi dengan Code of Practice Food Hygiene...47 Tabel 13 Hasil identifikasi terhadap muatan materi sanitasi dalam modul

Higiene dan Sanitasi Pengolahan Pangan ...48 Tabel 14 Perbandingan jumlah sampel responden IRTP terhadap populasi

menurut jenis pangannya ...54 Tabel 15 Karakteristik responden berdasarkan jumlah karyawan yang dimiliki...56

(17)

v Tabel 16 Perbandingan materi Penyuluhan Keamanan Pangan dalam rangka

pemberian Nomor Izin Edar P-IRT dan SP ...58

Tabel 17 Cakupan materi higiene dan sanitasi dan materi pelabelan pangan dalam rangka pemberian Nomor Izin Edar (NIE) P-IRT dan SP ...58

Tabel 18 Jawaban responden terhadap pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui persepsi responden terhadap pelabelan pangan...61

Tabel 19 Tingkat pengetahuan responden terhadap pelabelan ...64

Tabel 20 Jawaban/pengetahuan responden terhadap pertanyaan tentang sanitasi...66

Tabel 21 Penilaian terhadap praktek sanitasi pekerja ...79

Tabel 22 Praktek sanitasi pekerja responden IRTP ...80

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Grafik nilai 13 parameter/grup CPPB-IRT di 21 Propinsi tahun

2003-2005 ...19 Gambar 2 Grafik nilai rata-rata 13 parameter/grup CPPB-IRT di Propinsi

DI Yogyakarta 2004, 2005, 2007...20 Gambar 3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikannya. ...50 Gambar 4 Proporsi jumlah responden berdasarkan jabatannya...52 Gambar 5 Proporsi jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis

pangan yang diproduksi ...54 Gambar 6 Karakteristik responden berdasarkan jenis Nomor Izin Edar

yang dimiliki ...57 Gambar 7 Kecenderungan pencantuman keterangan minimal pada label

yang dilakukan oleh responden IRTP...75 Gambar 8 Jenis pelanggaran pelabelan yang ditemukan terhadap praktek

(19)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

. Lampiran 1 Form audit/pemeriksaan sarana IRTP (audit CPPB-IRT)

Lampiran 2 Form kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi

Lampiran 3 Jumlah responden per kabupaten/kota menurut jenis pangannya Lampiran 4 Daftar enumerator per kabupaten/kota

Lampiran 5 Data Karakteristik IRTP Responden

Lampiran 6 Karakteristik responden berdasarkan jenis pangan yang diproduksi Lampiran 7 Hasil uji statistik

Lampiran 8 Status kewajiban pelabelan IRTP berdasarkan karakteristiknya

Lampiran 9 Contoh disain kemasan dan label kelompok responden yang mencantumkan keterangan minimal dengan lengkap pada label

Lampiran 10 Contoh kemasan dan label kelompok responden yang tidak mencantumkan keterangan minimal pada label dengan benar

Lampiran 11 Hasil pengamatan praktek sanitasi terhadap 161 responden

Lampiran 12 Dokumentasi kegiatan wawancara dan pengamatan terhadap praktek sanitasi di IRTP di Propinsi DI Yogyakarta

(20)

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah penduduk

kurang lebih 220 juta (BPS 2002). Setiap penduduk Indonesia memiliki hak azazi

untuk mendapatkan pangan yang aman. Pangan yang aman adalah pangan yang tidak

mengandung bahaya atau mengandung bahaya dalam jumlah yang tidak

membahayakan kesehatan manusia (Rahayu

et al

. 2003).

Pemerintah RI telah berupaya untuk melindungi kesehatan penduduk Indonesia

dari pangan yang tidak aman dengan cara mengatur, membina, dan mengawasi

pangan sesuai UU Pangan no 7 tahun 1996. Salah satu kegiatan pengaturan,

pembinaan, dan pengawasan pangan adalah penyelenggaraan Sertifikasi Produksi

Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) seperti yang telah dimuat dalam Surat

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.05.5.1640

tanggal 30 April 2003. Kegiatan SPP-IRT telah mulai diselenggarakan dari tahun

2003 hingga tahun 2007 dengan pembiayaan dari pemerintah pusat. Namun sejak

tahun 2008 pembiayaan dibebankan kepada masing-masing industri rumah tangga

atau masing-masing pemerintah kabupaten/kota.

Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) adalah perusahaan yang memiliki

tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga

semi otomatis (Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu

dan Gizi Pangan). Mengingat IRTP merupakan salah satu penggerak ekonomi yang

mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, sedangkan di sisi lain produk

pangan IRTP masih berpotensi menyebabkan keracunan pangan, maka pemerintah

harus lebih memperhatikan dalam menuntaskan masalah yang dihadapi oleh IRTP.

Masalah yang dihadapi IRTP diantaranya adalah rendahnya praktek pelabelan

pangan dan praktek sanitasi. Laporan audit terhadap 4194 sarana IRTP dalam rangka

SPP-IRT tahun 2003-2006 menyebutkan bahwa praktek pelabelan IRTP rata-rata

masih belum sesuai dengan Peraturan Pemerintah. Laporan tersebut juga

menjelaskan bahwa praktek sanitasi IRTP rata-rata dalam kondisi cukup, dimana

(21)

2

selang penilaian praktek sanitasi adalah baik, cukup, dan kurang. Sedangkan menurut

pernyataan pemerintah (Badan POM) dalam Kebijakan dan Program Nasional

Keamanan Pangan IRT tahun 2003, praktek sanitasi IRTP dalam kondisi kurang.

Perbedaan pernyataan ini harus dikaji lebih jauh untuk melihat bagaimana kondisi

praktek sanitasi sebenarnya.

Saat ini pelabelan pangan telah menjadi isu global. Dalam rangka melindungi

konsumen dari ketidaksengajaan mengkonsumsi produk pangan yang mengandung

alergen pangan, pada bulan Agustus 2004 Amerika Serikat (FDA) telah mengesahkan

Undang-Undang Pelabelan Alergen dan Perlindungan Konsumen (

Food Allergen

Labeling and Consumer Protection Act

). Alergen pangan diyakini menjadi penyebab

masalah alergi bagi sekitar 11 juta manusia dewasa dan anak-anak di Amerika

(Hariyadi P 2008). Menurut laporan

Journal of Allergy and Clinical Immunology

, di

Amerika terdapat 29.000 orang harus dirawat di rumah sakit dan 150-200 orang

meninggal setiap tahunnya karena reaksi alergi yang diakibatkan mengkonsumsi

produk pangan yang mengandung alergen. Di Inggris, masalah alergi ini dialami oleh

sekitar 1-2% populasi penduduk dewasa dan sekitar 5-7% populasi anak-anak atau

sekitar 1,5 juta penduduk Inggris. Sedangkan angka populasi yang mengalami

masalah alergi ini di Indonesia belum diketahui.

Mengingat pentingnya aspek pelabelan pangan dalam melindungi konsumen,

pemerintah Indonesia telah menerbitkan peraturan perundangan untuk mengatur

masalah pelabelan pangan seperti UU no 7 tahun 1996 tentang Pangan, PP no 69

tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan Surat Keputusan Kepala Badan POM

RI tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Label pangan juga

disinggung dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen no. 8 tahun 1999

terutama kaitannya dengan perlindungan hak konsumen untuk mendapatkan

informasi yang benar terhadap produk yang bersangkutan. PP No. 28 tahun 2004

juga sedikit memberikan batasan produk-produk yang boleh tidak memiliki nomor

pendaftaran, sebagai salah satu keterangan minimal yang harus dicantumkan pada

label. Walaupun sudah diterbitkan peraturan mengenai pelabelan pangan dan bahkan

telah dilakukan pembinaan berupa penyuluhan kepada IRTP, namun praktek

(22)

pelabelan pangan terutama produk pangan IRTP, masih rendah/kurang. Untuk itu

perlu dicari akar masalah penyebab tidak dipatuhinya peraturan pelabelan ini,

sehingga diharapkan dapat dirumuskan strategi pembinaan IRTP dalam mengatasi

masalah pelabelan.

Salah satu kemungkinan penyebab utama terjadinya pelanggaran pelabelan

pangan IRTP adalah kurangnya pengetahuan produsen IRTP tentang pelabelan

pangan. Hal ini akan diuji atau dibuktikan kebenarannya melalui penelitian ini.

Dalam penelitian ini juga akan dipelajari faktor-faktor penyebab rendahnya

pengetahuan pelaku usaha IRTP.

Masalah lain yang dihadapi oleh IRTP adalah praktek sanitasi. Terdapat

perbedaan informasi antara pernyataan praktek higiene dan sanitasi yang masih

rendah (dalam Kebijakan dan Program Nasional Keamanan Pangan IRT tahun 2003)

dengan data audit sarana IRTP tahun 2003 yang menunjukkan bahwa kondisi sarana

IRTP rata-rata dalam kondisi cukup. Perbedaan informasi ini perlu dikaji lebih lanjut

agar didapatkan informasi tentang fakta praktek sanitasi di IRTP. Selain itu,

penelitian ini juga akan melihat tingkat pengetahuan pelaku usaha IRTP tentang

sanitasi.

1.2

Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian aspek peraturan pelabelan IRTP,

kajian materi pembinaan/penyuluhan IRTP khususnya aspek pelabelan dan praktek

sanitasi serta pengamatan terhadap praktek sanitasi dan praktek pelabelan di sarana

produksi IRTP. Penelitian meliputi kajian peraturan pelabelan pangan, kajian materi

pembinaan/penyuluhan IRTP, penggalian fakta tentang pengetahuan produsen IRTP

terhadap pelabelan pangan dan sanitasi pangan, observasi/pengamatan terhadap

praktek pelabelan dan sanitasi, dan perumusan rekomendasi. Pengambilan data

primer dilakukan di Propinsi DI Yogyakarta. Pemilihan Propinsi DI Yogyakarta

didasarkan pada pertimbangan bahwa Propinsi DI Yogyakarta cq. Balai Besar POM

di DI Yogyakarta merupakan propinsi yang paling lengkap menyediakan data

penyelenggaraan SPP-IRT dibandingkan propinsi lainnya. Selain itu jenis dan

(23)

4

jumlah IRTP di Propinsi DI Yogyakarta yang beragam merupakan salah satu alasan

pemilihan Propinsi DI Yogyakarta. Cakupan wilayah Propinsi DI Yogyakarta yang

tidak terlalu besar juga menjadi pertimbangan tersendiri, sehingga pengambilan

sampel IRTP dapat dilakukan di seluruh kabupaten/kota di Propinsi DI Yogyakarta.

1.3. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1.

Mengkaji kecukupan peraturan pelabelan di IRTP

2.

Mengkaji muatan materi pembinaan/ penyuluhan IRTP dan melakukan analisa

kecukupannya

3.

Mengkaji tingkat pengetahuan produsen IRTP tentang pelabelan

4.

Mengkaji tingkat pengetahuan produsen IRTP tentang sanitasi

5.

Mengkaji pemenuhan praktek pelabelan IRTP terhadap persayaratannya

6.

Mengkaji pemenuhan praktek sanitasi IRTP terhadap persayaratannya

7.

Menyusun rekomendasi untuk pemecahan masalah pelabelan pangan IRT dan

praktek pelabelan pangan IRT.

1.4 Manfaat

Manfaat dari kajian ini adalah untuk:

1.

Memberi masukan kepada pemerintah tentang penyebab terjadinya pelanggaran

pelabelan IRTP selama ini.

2.

Memberi masukan kepada pemerintah tentang kondisi sebenarnya praktek

sanitasi di IRTP.

3.

Memberi rekomendasi kepada pemerintah mengenai program/strategi untuk

mengatasi masalah IRTP, terutama masalah pelabelan pangan dan praktek

sanitasi.

(24)

2.1 Peraturan Pelabelan Produk Pangan

Label adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk tulisan, gambar atau kombinasi keduanya yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan, dicetak atau merupakan bagian kemasan (PP no. 69 1999). Tujuan utama pelabelan adalah memberikan informasi tentang identitas produk dalam kemasan sehingga konsumen dapat mengetahuinya tanpa harus membuka kemasan sehingga konsumen terlindung dari pangan yang kedaluarsa maupun yang mengandung bahan berbahaya termasuk allergen pangan. Tujuan lainnya adalah menarik minat pembeli dan sebagai alat komunikasi antara produsen dan konsumen.

Dasar hukum peraturan perundangan tentang pelabelan pangan adalah Undang-Undang Pangan No. 7 tahun 1996 Bab IV pasal 30-35, Peraturan Pemerintah no. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Surat Keputusan Kepala Badan POM RI no. HK 00.05.52.43.21 tanggal 4 Desember 2003 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Selain itu UU Perlindungan Konsumen Bab III pasal 4 juga menyatakan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang dan jasa. Pasal 7 menyatakan bahwa kewajiban pelaku usaha diantaranya adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang. Pasal 8 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi barang yang tidak sesuai dengan janji di label, tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa, tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal seperti dalam label, tidak memasang label/membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, berat bersih, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat produsen.

Kewajiban pelabelan pangan bagi produsen pangan telah dijelaskan dalam PP No. 69 tahun 1999 Bab II bagian pertama pasal 2 ayat 1. Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Yang dimaksud

(25)

6

dengan setiap orang dalam PP Pelabelan (Bab I, Ketentuan Umum) adalah perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak. Namun tidak semua produk pangan termasuk produk IRTP wajib melakukan pelabelan pangan. Produk pangan yang tidak harus melakukan pelabelan pangan adalah : (1) pangan yang kemasannya terlalu kecil sehingga tidak mungkin dicantumkan seluruh keterangan minimal pada label, (2) pangan yang dijual dan dikemas secara langsung di hadapan pembeli dalam jumlah kecil-kecilan, (3) pangan yang dijual dalam jumlah besar (curah) (PP No. 69 1999 Bab VII pasal 63). Dalam penjelasannya, PP No. 69 1999 menyatakan bahwa produk pangan yang kemasannya terlalu kecil, tetap wajib mencantumkan nama dan alamat produsen. Ketentuan produk yang dijual curah dalam jumlah besar adalah minimal 500 lt atau 500 kg. Keterangan tentang keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada label juga didapat dalam PP No. 28 tahun 2004 pasal 44 yang menyebutkan bahwa produk pangan yang masa simpannya kurang dari tujuh hari pada suhu kamar tidak harus memiliki nomor pendaftaran. Hal ini berarti produk tersebut tidak wajib mencantumkan nomor pendaftaran pada labelnya, jika produk tersebut tergolong dalam produk yang wajib melakukan pelabelan. Produk pangan lain yang tidak wajib memiliki nomor pendaftaran adalah produk yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan permohonan surat persetujuan pendaftaran, penelitian atau konsumsi sendiri. Kewajiban pelabelan bagi produk pangan juga diatur dalam UU Pangan Bab IV pasal 30 ayat 1.

Persyaratan umum pelabelan adalah label harus jelas, mudah terlihat, dan berisi informasi yang benar, jujur dan akurat. Sedangkan persyaratan teknis pelabelan adalah dibuat cukup besar agar memuat informasi penting mengenai produk, tidak mudah lepas, luntur atau lekang oleh air, gosokan atau sinar matahari, dan jika ditempelkan dengan lem, lem tidak boleh mempengaruhi mutu kemasan (misalnya menyebabkan karat) dan mutu label.

Keterangan minimal yang harus ada dalam label menurut PP no. 69 tahun 1999 dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan adalah :

1. Nama makanan dan/atau merek dagang 2. Komposisi

(26)

3. Berat atau Isi netto/bersih

4. Nama dan alamat perusahaan yang memproduksi atau yang mengedarkannya 5. Nomor pendaftaran, bagi produk pangan yang wajib memiliki nomor

pendaftaran

6. Tanggal dan atau kode produksi 7. Keterangan kadaluarsa

Keterangan atau peringatan yang disebutkan pada label tidak boleh menyesatkan konsumen. Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 ini akan dikenai sanksi administratif berupa :

1. Peringatan secara tertulis (sebanyak tiga kali)

2. Larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran

3. Pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia 4. Penghentian produksi untuk sementara waktu

5. Pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin produksi dan izin usaha.

2.2 Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP)

Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) adalah industri yang mengolah pangan yang bertempat di rumah tempat tinggal dengan peralatan manual hingga semi otomatis (Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No : HK.00.05.5.1639, tahun 2003 dan PP no 28 tahun 2004). Definisi lain yang menjelaskan tentang industri rumah tangga adalah definisi oleh Badan Pusat Statistik (dalam Publikasi Statistik Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga/Small Scale and Household Industry Statistics, BPS, 2005) yang menggolongkan usaha industri pengolahan di Indonesia ke dalam empat kategori berdasarkan jumlah pekerja yang dimiliki oleh suatu usaha tanpa memperhatikan besarnya modal yang ditanam ataupun kekuatan mesin yang digunakan. Empat kategori tersebut adalah :

(27)

8

1. Industri kerajinan rumah tangga yaitu usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 1-4 orang.

2. Industri kecil yaitu perusahaan/usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 5-19 orang.

3. Industri sedang yaitu perusahaan/usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 20-99 orang

4. Industri besar yaitu perusahaan/usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 100 orang atau lebih

Selanjutnya, BPS menggolongkan jenis-jenis usaha seperti industri makanan minuman (golongan pokok 15), industri pengolahan tembakau (golongan pokok 16), industri tekstil (golongan pokok 17), industri pakaian jadi (golongan pokok 18), dll. Dalam hal ini IRTP masuk dalam golongan pokok 15.

Buku publikasi Statistik Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga tahun 2005 jumlah industri kerajinan rumah tangga golongan 15/makanan minuman yang dipublikasikan adalah jumlah per golongan per Indonesia, tidak dirinci per propinsi, sehingga untuk mengetahui jumlah IRTP di suatu propinsi tidak dapat menggunakan data BPS ini. Namun demikian, data ini dapat digunakan sebagai gambaran kondisi jumlah IRTP di Indonesia. Jumlah Industri Kecil (IK) dan Industri Kecil Rumah Tangga (IKR) dari tahun 2003 hingga tahun 2005 di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah Industri Kecil dan Industri Kecil Rumah Tangga di Indonesia golongan pokok usaha 15 (makanan dan minuman)

Jumlah Usaha (Unit) No Tahun

IK IKR Total

1 2003 71.932 801.105 873.037

2 2004 67.822 802.555 870.377

3 2005 60.174 720.457 780.631

Sumber : Statistik Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga, BPS, 2005.Keterangan : IK = Industri Kecil, IKR = Industri Kerajinan Rumah Tangga

(28)

Definisi IRTP lainnya adalah berdasarkan UU RI No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil. Dalam UU ini dijelaskan bahwa yang dimaksud usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam UU. Sedangkan kriteria usaha kecil adalah sebagai berikut :

1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau

2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)

3. Milik Warga Negara Indonesia

4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar

5. Berbentuk orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi.

Jika dilihat dalam definisi usaha kecil seperti pada UU RI No 9 tahun 1995 tersebut maka IRTP masuk dalam usaha kecil yang bergerak di bidang pangan.

2.3 IRTP di Propinsi DI Yogyakarta

Propinsi DI Yogyakarta merupakan dataran tinggi dengan ketinggian dari 45-185 m di atas permukaan laut, terletak pada posisi 7.00 °, 33.00’ LS – 8.00 °, 12.00’ LS. Luas wilayah propinsi DI Yogyakarta berdasarkan SK Gubernur Nomor 1227 tahun 1989 adalah berupa daratan seluas 318.580 km2 dan berupa lautan 6.977,5 km2. Wilayah administrasi Propinsi DI Yogyakarta terbagi menjadi 4 wilayah kabupaten dan 1 kota yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo. Persentase luas wilayah menurut kabupaten/kota di Propinsi DI Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 2.

(29)

10

Tabel 2 Luas wilayah, ketinggian, dan jarak lurus ke ibu kota propinsi menurut kab./kota di Propinsi DI Yogyakarta

No Kabupaten/Kota Ibu kota Keting gian Luas (km2) Jarak (km) Persentase (%) 1 Yogyakarta Yogyakarta 75 32,5 2 1.02 2 Sleman Sleman 145 574,82 9 18.04 3 Gunungkidul Wonosari 185 1.485,36 30 46.62 4 Bantul Bantul 45 506,85 12 15.91

5 Kulon Progo Wates 50 586,27 22 18.4

Sumber : BPS DIY, 2006.

Wilayah administrasi Propinsi DI Yogyakarta di sebelah timur berbatasan dengan Klaten, di sebelah barat berbatasan dengan Purworejo, di sebelah utara berbatasan dengan Klaten dan di sebelah selatan berbatasan dengan lautan Indonesia.

Pemerintah Propinsi DI Yogyakarta c.q. Dinas Kesehatan kabupaten/kota telah menyelenggarakan SPP-IRT sejak tahun 2003 hingga sekarang. Dari kegiatan SPP-IRT tersebut telah dihasilkan 596 IRTP yang telah mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan dalam rangka SPP-IRT dan 163 IRTP telah diaudit sarana produksinya. Namun yang telah mendapatkan nomor P-IRT baru 117 IRTP.

Selain BPS, pengelolaan data IRTP juga dilakukan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. PP no 28 tahun 2004 pasal 43 mengamanatkan pembinaan dan pengawasan pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga pada Bupati/ Walikota. Oleh karena itu penggunaan data IRTP di suatu propinsi untuk suatu penelitian tentang pengawasan pangan lebih tepat jika menggunakan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Jumlah IRTP di Propinsi DI Yogyakarta yang mengikuti PKP dalam rangka SPP-IRT dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah IRTP yang mengikuti PKP dalam rangka SPP-IRT di Propinsi DI Yogyakarta tahun 2003 sampai dengan tahun 2007

Jumlah (IRTP) per Tahun No Kab/Kota

2003 2004 2005 2006 2007 Total

1 Yogyakarta 72 30 30 19 30 181

(30)

Jumlah (IRTP) per Tahun No Kab/Kota 2003 2004 2005 2006 2007 Total 3 Gunungkidul 0 30 35 0 30 95 4 Bantul 42 30 30 6 30 138 5 Kulonprogo 0 30 32 0 30 92 Total 114 150 157 25 150 596

Sumber : Laporan penyelenggaraan SPP-IRT oleh Dinas Kesehatan Kab./Kota di Propinsi DI Yogyakarta, 2003 hingga 2007.

2.4 Sanitasi Pangan

Sanitasi adalah upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia (UU Pangan no. 7 tahun 1996).

Program sanitasi meliputi sanitasi pekerja antara lain kesehatan umum, kebersihan dan perlengkapan umum, sedangkan program sanitasi pangan meliputi proses pengolahan pangan sampai dengan penanganan limbah & fasilitas umum. UU Pangan pasal 5 (1) menyebutkan bahwa sarana dan prasarana wajib memenuhi persyaratan sanitasi. Setiap orang yang berkaitan dengan pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi (ps. 6). Orang perseorangan yang menangani langsung atau berada langsung dalam lingkungan proses produksi wajib memenuhi persyaratan sanitasi (ps. 7). Peraturan Pemerintah no. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan Bab II pasal 2 (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang berkaitan dengan pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi.

Sumber kontaminasi mikroorganisme ke bahan pangan antara lain berasal dari pekerja pengolah pangan, hewan yang meliputi ternak besar, unggas, hewan peliharaan, binatang pengerat, dan serangga. Sumber kontaminasi mikroorganisme lainnya adalah air buangan/limbah, tanah, udara, bahan pangan, dinding, lantai, dan langit-langit (Rahayu et al. 2003).

Higiene pengolah pangan meliputi hal-hal antara lain penjagaan kebersihan badan pekerja pengolah pangan, penggunaan pakaian kerja yang bersih dan lengkap, penerapan prosedur mencuci tangan dengan benar, penghindaran terhadap kebiasaan pekerja yang tidak higienis dan kebiasaan buruk, dan

(31)

12

penjagaan kesehatan tubuh. Pekerja pengolah pangan sebagai salah satu sumber pencemaran mikroorganisme ke pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga terjadinya pencemaran ke pangan dapat diminimalisasi (Rahayu et al. 2003)

Sanitasi pangan harus mampu mengurangi jumlah mikroba atau menghilangkan mikroba berbahaya pada pangan. Sanitasi pangan meliputi sanitasi pengolahan pangan, sanitasi peralatan, sanitasi air, sanitasi hama dan lingkungan, dan penanganan limbah. Sanitasi pengolahan pangan ditujukan untuk mengontrol pertumbuhan mikroba dalam pangan. Metode untuk mengontrol pertumbuhan mikroba dalam pangan dapat meliputi pengaturan suhu pemasakan selama pengolahan pangan (Food Control Handbook, BPOM RI 2003).

Sanitasi peralatan dapat mengurangi jumlah mikroba sehingga memperkecil peluang terjadinya kontaminasi mikroba kepada pangan. Sanitasi peralatan dilakukan terhadap semua permukaan peralatan dan mesin yang kontak langsung dengan pangan. Sebelum peralatan disanitasi terlebih dahulu harus dibersihkan dari kotoran yang menempel pada peralatan tersebut. Sanitasi peralatan ditujukan untuk membunuh sel mikroba vegetatif yang tertinggal pada permukaan alat. Untuk membantu proses sanitasi, sering digunakan bahan sanitaiser seperti air panas, UV, ozon, dan bahan kimia yang meliputi antara lain klorin, iodin, dan quats (Rahayu et al. 2003).

Sanitasi air merupakan salah satu aspek sanitasi di dalam sanitasi pangan yang penting untuk diperhatikan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menangani air di industri pangan adalah air yang kontak langsung dengan produk pangan haruslah memenuhi persyaratan air minum (BPOM RI, 2003 dan CAC,

Basic Text on Food Hygiene 2003). Air untuk keperluan khusus sebagai contoh

air untuk industri pengalengan makanan yang secara rutin akan digunakan dalam proses-proses perendaman, pencucian, pengupasan, blansir, dan lain-lain juga memerlukan persyaratan tertentu, khususnya mengenai batas-batas kandungan kimianya seperti besi (Fe), sulfur (S), dan tingkat kesadahannya.

Aktivitas sanitasi yang lainnya dalam sanitasi pangan adalah sanitasi hama. Hama dan serangga merupakan vektor terhadap pencemaran mikroba patogen dalam pangan. Oleh karena itu industri pangan harus memperhatikan terhadap masuknya hama ke dalam ruang pengolahan pangan, termasuk gudang

(32)

penyimpanan. Pengendalian hama terdiri dari usaha pencegahan agar hama tidak masuk ke dalam ruang pengolahan dan pembasmian hama di dalam ruang pengolahan. Hama dan serangga yang perlu diwaspadai diantaranya adalah tikus, kecoa, lalat, dan nyamuk (CAC, Basic Text on Food Hygiene 2003).

Limbah sebagai sisa pangan, akan menjadi daya tarik bagi hama dan serangga. Oleh karena itu limbah atau sampah harus selalu dibuang secara teratur, dikeluarkan dari ruang pengolahan secara teratur. Tempat sampah dan limbah harus dalam kondisi tertutup.

Agar pelaksanaan praktek pembersihan dan sanitasi di industri pangan berjalan dengan tertib dan teratur, maka perlu dibuatkan jadwal pembersihan dan sanitasi yang meliputi pembersihan fasilitas bangunan dan peralatan. Pembersihan bangunan meliputi pembersihan dinding, lantai, dan langit-langit. Sedangkan pembersihan dan sanitasi permukaan peralatan dan mesin yang kontak dengan pangan meliputi peralatan yang kecil (portable) dan mesin yang tetap

(fixed). Jadwal pembersihan dan sanitasi harus memuat apa yang dibersihkan,

siapa petugas yang membersihkan, kapan pembersihan dilakukan dan bagaimana pekerjaan dilakukan. Dengan dibuatnya jadwal yang tetap, jika perlu dibuat juga prosedur pembersihan dan sanitasi, maka kegiatan/praktek higiene dan sanitasi di industri pangan khususnya di IRTP dapat berjalan dengan lebih tertib dan teratur (CAC, Basic Text on Food Hygiene 2003).

2.5 Program Pembinaan IRTP

Program pembinaan IRTP utamanya dalam hal keamanan pangan yang dihasilkan oleh IRTP banyak dilakukan oleh Badan POM yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan setempat. PP no 28 tahun 2004 pasal 43 mengamanatkan pengawasan dan pembinaan IRTP kepada Bupati/ Walikota. Kepala Badan POM RI berkewajibkan menetapkan pedoman pembinaan IRTP dan melaksanakan pembinaan terhadap pemda dan masyarakat.

Pembinaan teknologi dan peralatan/permesinan juga dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Pembinaan keamanan pangan oleh Badan POM bekerjasama dengan

(33)

14

Dinas Kesehatan diantaranya adalah penyuluhan keamanan pangan dalam rangka sertifikasi Produksi Pangan IRTP (SPP-IRT) (PP no 28 2004). Penyuluhan keamanan pangan ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan kepada penanggung jawab IRTP agar mempunyai komitmen dan kompetensi menghasilkan pangan yang aman dan bermutu bagi konsumen. Dalam hal ini Badan POM berperan sebagai fasilitator dengan cara membuat kurikulum pelatihan dan mencetak tenaga Penyuluh Keamanan Pangan di tingkat pusat, propinsi dan daerah kabupaten/kota. Tenaga Penyuluh Keamanan Pangan ini bertugas menyuluh IRTP. Selain itu Badan POM juga mencetak tenaga District

Food Inspector (DFI) atau tenaga pengawas pangan kabupaten/kota dari dinas

kesehatan. Tenaga DFI ini yang nantinya berkompetensi untuk mengaudit sarana produksi IRTP agar memenuhi persyaratan keamanan pangan (SK Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1640 tanggal 30 April 2003, tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, Jakarta, 2003)

Program lainnya adalah pemberian Piagam Bintang Keamanan Pangan oleh Badan POM kepada IRTP yang mau dan konsisten menerapkan prinsip-prinsip keamanan pangan. Tujuan program Piagam Bintang Keamanan Pangan adalah mendorong industri pangan khususnya IRTP untuk menerapkan sistem jaminan mutu keamanan pangan secara bertahap sehingga mampu memenuhi persyaratan internasional. Piagam Bintang Keamanan Pangan terdiri atas tiga tahap yaitu Piagam Bintang Satu, Dua, dan Tiga. Piagam Bintang Keamanan Pangan ini merupakan kerjasama antara Badan POM dengan pemerintah daerah cq. dinas kesehatan.

Program pembinaan IRTP yang lain adalah mengenai aspek pendanaan, persaingan, prasarana, informasi, kemitraan, perizinan usaha dan perlindungan (UU RI No. 9 tahun 1995 Bab IV tentang Iklim Usaha).

Walaupun program-program pembinaan IRTP sudah dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi IRTP masih menjumpai permasalahan-permasalahan dalam memproduksi pangan yang aman dan bermutu. Beberapa

(34)

kendala yang dijumpai IRTP adalah (Kebijakan dan Program Nasional Keamanan Pangan Industri Rumah Tangga /IRT 2003) :

1. Mutu produk yang kurang konsisten dan tidak seragam

2. Masalah higiene dan sanitasi yang masih kurang konsisten dijalankan

3. Masalah modal kerja yang terbatas sehingga mengurangi kemampuan berinvestasi

4. Terbatasnya tempat usaha, sehingga alur kerja menjadi sumber masalah kontaminasi silang

5. Kurangnya pemasaran produk jadi.

6. Masalah pelabelan yang belum sesuai dengan persyaratan pelabelan seperti yang diatur dalam PP no. 69 tahun 1999.

2.6 Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) adalah salah satu bentuk kebijakan pemerintah cq. Badan POM RI dalam mengatur, membina dan mengawasi pangan di Indonesia khususnya pangan hasil produksi Industri Rumah Tangga (IRT). Tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan adalah tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia, terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, dan terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat (UU Pangan No. 7 tahun 1996 Ps. 3.)

Pada tahun 2003, pemerintah cq. Badan POM RI telah menerbitkan Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) yang tertuang dalam Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.5.1640 tanggal 30 April 2003. Dalam pedoman ini diatur cara penyelenggaraan sertifikasi produksi pangan IRTP dan tujuannya.

Salah satu alasan penting mengapa perlu dilakukan SPP-IRT adalah bahwa setiap perusahaan wajib mengetahui dan mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang pangan. Upaya untuk memasyarakatkan higiene dan peraturan

(35)

16

perundang-undangan di bidang pangan perlu dilakukan baik melalui jalur pendidikan formal maupun informal (BPOM RI 2003).

Secara nasional, SPP-IRT telah diselenggarakan sejak tahun 2003 hingga sekarang. Dari penyelenggaraan SPP-IRT tersebut dihasilkan 8076 IRTP telah mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan dan 4254 IRTP telah diaudit sarana pengolahannya, namun yang telah mendapatkan nomor P-IRT baru 3952 IRTP (BPOM RI 2008).

2.7 Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga

2.7.1 Pengajuan Permohonan

Permohonan untuk mendapatkan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) diajukan kepada Pemerintah Daerah c.q. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Permohonan tidak dapat dipenuhi apabila pangan yang diproduksi berupa susu dan hasil olahannya, daging, ikan, unggas dan hasil olahannya yang memerlukan proses dan atau penyimpanan beku, pangan kaleng, pangan bayi, minuman beralkohol, air minum dalam kemasan (AMDK), pangan lain yang wajib memenuhi persyaratan SNI, pangan lain yang ditetapkan oleh Badan POM. Pemohon diwajibkan mengikuti penyuluhan keamanan pangan dan diperiksa sarana produksinya (BPOM RI 2003).

2.7.2 Penyelenggaraan dan Pelaksanaan Penyuluhan Keamanan Pangan

Penyelenggara Penyuluhan Keamanan Pangan dalam rangka SPP-IRT adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota c.q. Dinas Kesehatan. Pelaksanaan Penyuluhan Keamanan Pangan dapat dilaksanakan secara bersama-sama oleh beberapa Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Penyuluhan Keamanan Pangan bagi IRTP ini merupakan salah satu bentuk pembinaan dan pengawasan IRTP oleh Bupati /Walikota (PP no 28 2004).

Tenaga Penyuluh Keamanan Pangan adalah adalah petugas yang telah memiliki Sertifikat Penyuluh Keamanan Pangan yang dikeluarkan oleh Badan POM c.q. Balai Besar/Balai POM. Sertifikat tersebut diperoleh melalui Pelatihan

(36)

Penyuluhan Keamanan Pangan yang diselenggarakan oleh Badan POM c.q. Balai Besar/Balai POM (BPOM RI 2003).

Peserta Penyuluhan Keamanan Pangan adalah pemilik atau penanggung jawab Produsen Pangan IRT. Peserta yang telah lulus Penyuluhan Keamanan Pangan diberikan Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan. Materi utama Penyuluhan Keamanan Pangan adalah :

• Berbagai Jenis Bahaya (Biologis, Kimia, dan Fisik), Cara Menghindari dan Memusnahkannya.

• Pengawetan Pangan.

ƒ Higiene dan Sanitasi Sarana Produsen Pangan-IRT

ƒ Cara Produksi Pangan Yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT).

ƒ Peraturan Perundang-undangan terutama tentang Keamanan Pangan, Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP), Label dan Iklan Pangan.

Materi pelengkap/pendukung dapat dikembangkan sesuai kebutuhan Perusahaan Pangan Industri Rumah Tangga, misalnya :

ƒ Pengemasan dan Penyimpanan Produk Pangan Industri Rumah Tangga

ƒ Pengembangan Usaha Perusahaan Pangan Industri Rumah Tangga, termasuk Etika Bisnis.

Materi penyuluhan keamanan pangan disampaikan dalam bentuk ceramah,diskusi, demonstrasi/peragaan simulasi, pemutaran video dan cara-cara lain yang dianggap perlu. Jumlah waktu yang diperlukan untuk melaksanakan Penyuluhan Keamanan Pangan sekurang-kurangnya 2 (dua) hari kerja @ 5 (lima) jam .

2.7.3 Pemeriksaan/Audit Sarana Produksi

Setelah melaksanakan Penyuluhan Keamanan Pangan, petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pemeriksaan ke sarana produksi produsen pangan IRT. Petugas yang melakukan pemeriksaan sarana produksi harus mempunyai Sertifikat Inspektur Pangan Kabupaten/Kota yang dikeluarkan oleh Badan POM c.q. Balai Besar/Balai POM. Sertifikat tersebut diperoleh melalui

(37)

18

Pelatihan Inspektur Pangan Kabupaten/Kota yang diselenggarakan oleh Badan POM c.q. Balai Besar/Balai POM. Pemeriksaan sarana produksi harus mengikuti Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.05.5.1641 tanggal 30 April 2003 tentang Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi IRT. Hasil pemeriksaan sarana produksi IRT dengan hasil minimal

cukup merupakan salah satu persyaratan utama untuk mendapatkan sertifikat

produksi pangan IRT. Pemeriksaan sarana produksi IRT merupakan penilaian kesesuaian sarana produksi IRT terhadap pedoman Cara Produksi Pangan Yang Baik-Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT). Formulir/checklist yang digunakan untuk mengaudit/memeriksa sarana produksi IRTP dapat dilihat pada Lampiran 1.

Parameter yang dinilai dalam CPPB-IRT adalah Lingkungan Produksi (Grup A), Bangunan dan Fasilitas (Grup B), Peralatan Produksi (Grup C), Suplai Air (Grup D), Fasilitas dan Kegiatan Higiene dan Sanitasi (Grup E), Pengendalian Hama (Grup F), Kesehatan dan Higiene Karyawan (Grup G), Pengendalian Proses (Grup H), Label Pangan (Grup I), Penyimpanan (Grup J), Manajemen Pengawasan (Grup K), Pencatatan dan Dokumentasi (Grup L), dan Pelatihan Karyawan (Grup M). Masing-masing parameter dapat memiliki nilai 1 yang berarti Kurang (K), 2 yang berarti Cukup (C), dan 3 yang berarti Baik (B). Nilai sarana produksi IRTP dapat berupa huruf mutu B yang berarti sarana produksi IRTP dalam kondisi Baik, C berarti sarana produksi IRTP dalam kondisi Cukup dan K yang berarti sarana produksi IRTP dalam kondisi Kurang. Penilaian ini tergantung dari nilai audit 13 parameter dalam CPPB-IRT dimana jika 4 grup/parameter utama bernilai B dan maksimal 2 parameter lainnya bernilai K maka sarana IRTP mendapat nilai B. Jika 4 grup/parameter utama bernilai B atau C dan maksimal 4 grup/parameter lainnya bernilai K maka sarana IRTP mendapat nilai C, dan jika di bawah B dan C maka sarana IRTP mendapat nilai K. Yang dimaksud 4 Grup/parameter Utama adalah Suplai Air (Grup D), Pengendalian hama (Grup F), Kesehatan dan higiene Karyawan (Grup G), dan Pengendalian Proses (Grup H). Laporan penilaian sarana pengolahan pangan oleh inspektur pangan kabupaten/kota menunjukkan bahwa masalah utama dalam penerapan CPPB-IRT adalah diantaranya masalah Pelabelan (Grup I) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Hal ini ditunjukkan dengan nilai parameter/group I

(38)

(pelabelan pangan) yang masih berada di bawah 2 (Cukup) seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Nilai 13 parameter/grup CPPB-IRT di 21 propinsi tahun 2003-2005. Form audit/pemeriksaan sarana produksi IRTP, untuk parameter Pelabelan hanya terdapat dua nilai yaitu B (Baik) jika memenuhi persyaratan Pelabelan dan K (Kurang) jika tidak memenuhi persyaratan Pelabelan. Persyaratan Pelabelan yang dimaksud adalah persyaratan minimal seperti yang dipersyaratkan oleh PP no 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Form audit/pemeriksaan sarana IRTP dapat dilihat pada Lampiran 1.

Hasil audit sarana IRTP di Propinsi DI Yogyakarta menunjukkan bahwa Industri Rumah Tangga Pangan di Propinsi DI Yogyakarta mengalami permasalahan pada parameter pelabelan (Group I) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.

Grafik Garis Nilai Rata-Rata 13 Parameter/Grup CPPB-IRT di 21 Propinsi tahun 2003-2005

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 Grup AGrup BGrup C Grup D Grup E Grup F Grup G Gru p H Grup I Gru p J Grup K Grup L Gru p M Grup N ila i Prov. Jambi Prov. Bali Prov. Bant en Prov. DI Yogjakart a

Prov. DKI Jakarta

Prov. Goront alo

Prov. Jawa Barat Prov. Jawa Tengah

Prov. Jawa Timur

Prov. Kalimant an Barat

Prov. Kalimant an Tengah

Prov. Kalimant an Timur

Prov. Lampung

Prov. M aluku

Prov. Nanggroe Aceh Darussalam Prov. Nusa Tenggara Timur

Prov. Sulawesi Barat

Prov. Sulawesi Selat an

Prov. Sulawesi Ut ara

Prov. Sumat era Barat

Prov. Sumat era Ut ara

(39)

20 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 N ila i G roup A N ilai G rou p B N ilai G rou p C N ilai G rou p D N ilai G ro up E N ilai G ro up F N ila i G roup G N ilai G rou p H N ila i G roup I N ilai G roup J N ilai G rou p K N ilai G ro up L N ila i G roup M

Gambar 2 Grafik nilai rata-rata 13 parameter/grup CPPB –IRT di Propinsi DI Yogyakarta tahun 2004, 2005, dan 2007 (N=157).

Berdasarkan hasil pemeriksaan/audit sarana produksi IRTP di Propinsi DI Yogyakarta dapat dilihat bahwa IRTP yang memiliki nilai K ( Kurang ) pada parameter I (Pelabelan) memiliki jenis pangan seperti pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis pangan IRTP yang memiliki nilai K (Kurang) pada parameter I (pelabelan) di Propinsi DI Yogyakarta sampai dengan tahun 2007

No Jenis Pangan Jumlah (Unit)

1 Daging dan hasil olahnya 4

2 Ikan dan hasil olahnya 1

3 Unggas dan hasil olahnya 3

4 Kelapa dan hasil olahnya 2

5 Tepung dan hasil olahnya 95

6 Minyak goreng 2

7 Gula, madu, kembang gula 5

8 Coklat, kopi, teh 2

9 Minuman Ringan, jus 9

10 Buah dan hasil olahnya 7

11 Biji-bijian dan umbi-umbian 16

12 Es 3

13 Tidak diketahui 3

Jumlah 152

(40)

Sedangkan jumlah IRTP di Propinsi DI Yogyakarta menurut jenis pangannya per kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah IRTP di Propinsi DI Yogyakarta menurut jenis pangannya sampai dengan tahun 2007

No Jenis Pangan Jumlah (Unit)

1 Daging dan hasil olahnya 5

2 Ikan dan hasil olahnya 4

3 Unggas dan hasil olahnya 8

4 Sayur dan hasil olahnya 2

5 Kelapa dan hasil olahnya 24

6 Tepung dan hasil olahnya 196

7 Minyak goreng 0

8 Jem dan sejenisnya 0

9 Gula, madu, kembang gula 15

10 Coklat, kopi, the 6

11 Bumbu 5

12 Rempah-rempah 4

13 Minuman ringan, jus 20

14 Buah dab hasil olahnya 15

15 Biji-bijian dan umbi-umbian 40

16 Es 3

17 Tidak diketahui 249

Jumlah 596

Sumber : Laporan penyelenggaraan SPP-IRT di Propinsi DIY, BPOM, 2004,2005,2007

2.8 Sistem Pendataan Dan Pelaporan

Penyelenggaraan SPP-IRT harus dilaporkan Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota kepada Badan POM c.q. Balai Besar/Balai POM setempat dengan melampirkan tembusan Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan dan Sertifikat Produksi Pangan IRT dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi terkait selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah penyelenggaraan.

Pencabutan/pembatalan sertifikat serta perubahan dan penambahan jenis produk pangan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota harus dilaporkan kepada Badan POM c.q. Balai Besar POM/Balai POM dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi terkait.

Balai Besar / Balai POM melaporkan rekapitulasi penerbitan SPP-IRT kepada Badan POM.

(41)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian

Kegiatan pengkajian aspek pelabelan dan praktek sanitasi pada IRTP dilaksanakan di Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Jakarta, selama 8 (tiga) bulan, yaitu mulai dari bulan Juli 2008 sampai dengan Pebruari 2009.

Data primer dikumpulkan dari 5 kabupaten/kota di Propinsi DI Yogyakarta. 3.2 Metode Penelitian

Tahapan penelitian ini adalah mengkaji peraturan pelabelan, mengkaji materi pembinaan IRTP, pengumpulan data primer, pengolahan data, dan penyusunan rekomendasi.

3.2.1 Mengkaji aspek peraturan pelabelan di IRTP.

Pengkajian aspek peraturan pelabelan dimaksudkan untuk mempelajari muatan materi pelabelan yang tercakup dalam semua peraturan pelabelan yang berlaku di Indonesia. Pengkajian difokuskan pada aspek-aspek pelabelan pangan yang sering dihadapi oleh IRTP antara lain aspek keterangan minimal yang harus tercantum pada label pangan, aspek pencantuman keterangan halal, aspek pencantuman informasi nilai gizi, aspek klaim pada label terutama klaim fungsi pangan sebagai obat, dan aspek pencantuman gambar yang menyesatkan. Sedangkan peraturan pelabelan yang dipelajari adalah pelabelan pangan dalam Undang-Undang Pangan (UU Pangan) No. 7 tahun 1996, Peraturan Pemerintah (PP) No. 69 tahun 1999 tentang Pelabelan dan Iklan Pangan, Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK. 00.05.52.4321 tahun 2004 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Selain itu juga akan dikaji kaitan pelabelan pangan dengan kebijakan pemerintah dalam PP No. 28 tahun 2004 tentang pembebasan sertifikasi produk IRTP yang masa simpannya kurang daripada tujuh hari dan atau yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan permohonan surat persetujuan pendaftaran, penelitian atau konsumsi sendiri.

(42)

3.2.2 Mengkaji Materi Penyuluhan Keamanan Pangan bagi IRTP.

Tujuan pengkajian materi Penyuluhan Keamanan Pangan bagi IRTP adalah mempelajari kecukupan materi yang digunakan untuk membina/menyuluh IRTP. Materi yang dipelajari adalah materi pelabelan dan sanitasi pangan. Materi penyuluhan IRTP tentang pelabelan adalah modul pengemasan, penyimpanan dan pelabelan dan materi presentasi hand out dalam bentuk power point presentation . Materi pembinaan IRTP tentang sanitasi adalah modul higiene dan sanitasi beserta materi presentasi hand out dalam bentuk power point presentation. Sumber peraturan sanitasi bisa mengacu pada Code of Practice General Principles of

Food Higiene, CAC/RCP1-1969, Rev. 4 (2003) atau Kepmenkes RI No.

23/Men.Kes/SK/I/1978 tentang Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB).

3.2.3 Pengumpulan data primer 3.2.3.1 Pengembangan kuesioner

Kuesioner dikembangkan untuk menggali informasi tentang pengetahuan responden terhadap pelabelan pangan, pengetahuan terhadap sanitasi, praktek pelabelan dan praktek higiene sanitasi. Yang dimaksud responden adalah pemilik IRTP atau karyawan yang diberi tanggung jawab terhadap IRTP. Responden juga dapat mewakili IRTP yang bersangkutan, terutama ketika pertanyaan dalam kuesioner ditujukan untuk menggali informasi/fakta tentang praktek sanitasi dan pelabelan.

Selanjutnya dalam tulisan ini digunakan dua istilah responden yaitu responden dan responden IRTP. Istilah responden mewakili pemilik IRTP, sedangkan istilah responden IRTP mewakili IRTP sebagai sarana pengolahan pangan. Contoh kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 2.

Kuisioner terdiri dari lima (5) blok. Blok I berisi pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui karakterisik responden, yang meliputi jabatan responden, jenis pangan yang diproduksi, Nomor Izin Edar, kapasitas produksi, jumlah karyawan dan tingkat pendidikan.

(43)

24

Blok II berisi 12 pertanyaan, yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan responden tentang pelabelan pangan. Pertanyaan nomor 1 sampai nomor 6 dan nomor 8 bertujuan untuk mengetahui persepsi responden akan pelabelan. Pertanyaan nomor 7 bertujuan untuk mengetahui pengetahuan responden akan keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label.

Blok III berisi 36 pertanyaan, yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan responden tentang higiene dan sanitasi pangan yang meliputi persepsi responden tentang air, cara mencuci peralatan, penggunaan bahan sanitaiser, perlunya jadwal pembersihan dan pencucian, pembersihan ruang pengolahan, persepsi responden tentang perlunya petugas khusus kegiatan higiene sanitasi, perlunya toilet yang cukup, perlunya karyawan membiasakan hidup bersih, pengendalian hama,dan higiene karyawan. Pertanyaan nomor 1-7 bertujuan untuk mengetahui persepsi responden tentang air. Pertanyaan nomor 8-10 bertujuan untuk mengetahui pengetahuan responden tentang cara mencuci peralatan. Pertanyaan nomor 11-13 bertujuan untuk mengetahui pengetahuan responden tentang penggunaan bahan sanitaiser. Pertanyaan nomor 14, 15, 17 bertujuan untuk mengetahui pengetahuan responden tentang perlunya jadwal pembersihan dan pencucian. Pertanyaan nomor 16 bertujuan untuk mengetahui pengetahuan responden tentang pembersihan ruang pengolahan. Pertanyaan nomor 19 bertujuan untuk mengetahui persepsi responden tentang perlunya petugas khusus kegiatan higiene sanitasi. Pertanyaan nomor 20 dan 22 bertujuan untuk mengetahui pengetahuan responden tentang perlunya toilet dalam jumlah yang cukup. Pertanyaan nomor 23 bertujuan untuk mengetahui persepsi responden tentang perlunya karyawan membiasakan hidup bersih. Pertanyaan nomor 24 bertujuan untuk mengetahui pengetahuan responden tentang pengendalian hama. Pertanyaan nomor 25-36 bertujuan untuk mengetahui pengetahuan responden terhadap higiene karyawan.

Blok IV berisi tujuh (7) kegiatan praktek pelabelan yang perlu diamati dari label pangan IRTP. Praktek pelabelan yang diamati adalah pencantuman keterangan minimal, pencantuman informasi nilai gizi, klaim kesehatan, klaim khasiat pangan sebagai obat, klaim halal, pencantuman gambar buah, dan klaim alami.

Gambar

Tabel 2  Luas wilayah, ketinggian, dan jarak lurus ke ibu kota propinsi menurut  kab./kota di Propinsi DI Yogyakarta
Gambar 1  Nilai 13 parameter/grup CPPB-IRT di 21 propinsi tahun 2003-2005.  Form audit/pemeriksaan sarana produksi IRTP, untuk parameter Pelabelan  hanya terdapat dua nilai yaitu B (Baik) jika memenuhi persyaratan Pelabelan dan  K (Kurang) jika tidak memen
Gambar 2    Grafik nilai rata-rata 13 parameter/grup CPPB –IRT di Propinsi DI  Yogyakarta tahun 2004, 2005, dan 2007 (N=157)
Tabel 5  Jumlah IRTP di Propinsi DI Yogyakarta menurut jenis pangannya   sampai dengan tahun 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu cara yang dapat dilakukan auditor dalam mendeteksi ada tidaknya fraud adalah dengan menggunakan Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK). Penggunaan TABK

Kata depan yang tepat untuk melengkapi kalimat di atas adalah....a. Isilah titik-titik di bawah ini

Berdasarkan uraian sebagaimana terungkap dalam poin 1, 2, 3 dan 4 di atas, maka terhadap kemungkinan respon dan berdampak negatif di masa yang akan datang terhadap operasional

Dari hadits diatas dapat dipahami, sebagaimana proses pelaksanaan eksekusi yang dilakukan Pengadilan Agama Sidoarjo, dilakukan tanpa kehadiran tergugat, maka sesuai

[r]

Mungkin bagi orang lain ini adalah hari yang biasa, namun bagiku tidak.. Hari ini pasti akan menjadi hari yang

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan

Melihat adanya pengaruh pola keberagamaan terhadap perilaku sosial yang saling mempengaruhi disini peneliti melihat pola keberagamaan melalui demensi-demensi