• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktek Pelabelan di IRTP

Dalam dokumen IV. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 42-50)

4.4.1 Pencantuman keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada label

Pelabelan pangan termasuk produk pangan IRTP wajib dilakukan oleh produsen IRTP selama produk tersebut dikemas untuk dijual/diperdagangkan kepada konsumen atau untuk katering (CAC 2007, PP Pelabelan 1999 bab II pasal 2 ayat 1, dan UU

Pangan Bab IV pasal 30 ayat 1). Bagaimana batasan dikemas, diperdagangkan, dan keterangan lain yang mengatur kewajiban pelabelan pangan khususnya pangan IRTP, akan dibahas sebagai berikut.

Pengertian kemasan menurut PP No. 28 tahun 2004 bab I poin 20 adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Sedangkan pengemasan itu sendiri dapat diartikan sebagai segala usaha untuk mewadahi dan/atau membungkus pangan, termasuk pembungkusan, pembotolan, pengalengan, pengepakan, pewadahan, dan pelilinan baik yang sifatnya langsung kontak dengan pangan maupun tidak (Rahayu et al. 2003). Tujuan pokok pengemasan adalah melindungi produk dari kontaminasi, kerusakan fisik, memudahkan penanganan selama distribusi dan kepraktisan penggunaannya, serta fungsi pemasaran/promosi (Rahayu et al. 2003). Masih menurut Rahayu et al. (2003), bahan kemasan dapat berupa plastik fleksibel, logam, kayu, kertas, karton, kardus, dan gelas/kaca. Dalam praktek sehari-hari di lapangan juga dijumpai kemasan berbahan daun seperti daun jati, daun pisang, daun jagung (klobot), dan daun bambu. Contoh produk yang menggunakan bahan alami sebagai kemasan tersebut adalah gethuk pisang, dodol garut, buras, dan bacang (Novinar et al., 2008).

Pengertian perdagangan pangan adalah setiap kegiatan/serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan atau pembelian pangan, termasuk penawaran untuk menjual pangan, dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan pangan dengan memperoleh imbalan (PP No. 28 2004 bab I poin 13).

Pengertian label adalah setiap keterangan mengenai pangan baik yang berbentuk tulisan, gambar, atau kombinasi keduanya yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan, dicetak, atau merupakan bagian kemasan (PP No. 69 tahun 1999).

Beberapa batasan tentang ”dikemas”, ”dijual”, dan ”label” di atas jika dihubungkan dengan kewajiban pelabelan (PP Pelabelan pasal 2 ayat 1) dapat disimpulkan bahwa setiap produk pangan termasuk produk IRTP yang dikemas baik yang bersentuhan langsung dengan produk pangan maupun yang tidak, untuk kemudian diperdagangkan dalam arti luas (untuk mendapatkan keuntungan) harus melakukan pelabelan pangan. Namun pelabelan pangan tidak wajib dilakukan oleh produk pangan termasuk produk IRTP yang kemasannya terlalu kecil sehingga tidak mungkin untuk mencantumkan seluruh keterangan minimal, pangan yang dijual dan

dikemas langsung dihadapan pembeli dalam jumlah kecil-kecilan, dan pangan yang dijual dalam jumlah besar (curah) (PP Pelabelan bab VII pasal 63). Namun dijelaskan lebih lanjut dalam PP Pelabelan pasal 63, bahwa produk pangan yang kemasannya terlalu kecil tersebut tetap diwajibkan memuat nama dan alamat produsen/importir. Sedangkan batasan pangan yang dijual dalam jumlah besar/curah adalah lebih daripada 500 kg atau liter.

Sementara dalam PP No. 28 tahun 2004 bab V pasal 44 dijelaskan bahwa produk pangan termasuk produk IRTP yang masa simpannya kurang dari 7 hari bebas dari kewajiban pendaftaran produk. PP No. 28 tahun 2004 bab VII Pasal 53 tentang ketentuan peralihan menyatakan bahwa dengan berlakunya PP No. 28 tahun 2004, maka semua ketentuan mengenai keamanan, mutu, dan gizi pangan yang diatur dengan peraturan perundangan di bawah Undang-Undang masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam PP no. 28 tahun 2004. Hal ini menegaskan kembali tentang keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label yang telah diatur dalam PP No. 69 tahun 1999 yang diantaranya menyebutkan bahwa keterangan nomor pendaftaran merupakan keterangan yang wajib dicantumkan pada label jika produknya tergolong produk yang wajib memiliki nomor pendaftaran.

Kajian terhadap peraturan pelabelan maupun peraturan lain yang terkait (misalnya UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen, PP Keamanan Mutu dan Gizi Pangan, Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan, ataupun pedoman pelabelan dari CAC) tidak menunjukkan adanya keterangan yang mengatur tentang batasan boleh atau tidaknya suatu produsen pangan melakukan pengemasan terhadap produknya. Keterangan tentang pengemasan produk yang relevan adalah yang telah dibahas di atas.

Jadi, kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa pernyataan di atas adalah bahwa tidak semua produk IRTP wajib melakukan pelabelan. Produk IRTP yang boleh tidak melakukan pelabelan adalah : 1) Produk pangan yang kemasannya terlalu kecil sehingga tidak mungkin mencantumkan seluruh keterangan minimal yang diwajibkan dicantumkan pada label. Namun tetap harus mencantumkan nama dan alamat produsen/importir, 2) Produk yang dijual dan dikemas langsung di hadapan konsumen dalam jumlah kecil-kecilan, 3) Produk yang dijual dalam jumlah besar/curah, minimal 500 kg atau liter. Sedangkan produk yang masa simpannya kurang dari tujuh hari boleh tidak mencantumkan nomor pendaftaran/NIE jika tidak memiliki nomor pendaftaran. Di luar batasan tersebut, produk IRTP yang dikemas

dan dijual kepada konsumen harus melakukan pelabelan. Hal ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak aman. Selain itu juga untuk menciptakan iklim perdagangan yang jujur dan adil. Hal lainnya adalah untuk pendidikan bagi masyarakat atau konsumen tentang pangan.

Responden dalam penelitian ini memiliki karakteristik status kemasan, skala penjualan/produksi, ukuran kemasan (berdasarkan berat bersih per kemasan), masa simpan (berdasarkan perkiraan/pengalaman), kewajiban memiliki NIE, dan jenis/status NIE. Karakteristik ini berguna untuk melihat status wajib tidaknya produk pangan yang bersangkutan melakukan pelabelan. Data karakteristik produk responden tersebut dapat dilihat pada Lampiran 8.

Lampiran 8 menunjukkan bahwa dari 161 responden yang diamati, terdapat 91 (56.5%) responden yang wajib melakukan pelabelan, 36 (22.4%) responden tidak wajib melakukan pelabelan dan 34 (21.1%) responden tidak dapat diketahui apakah tergolong wajib ataukah tidak wajib. Status kewajiban pelabelan dilakukan dengan cara analisa terhadap karakteristik responden berdasarkan jenis pangan, masa simpan, kapasitas produksi, status kemasan, nomor pendaftaran, dan apakah dijual dan dikemas langsung di hadapan pembeli. Analisa apakah dijual dan dikemas langsung di hadapan pembeli dilakukan berdasarkan pengalaman dan masa simpannya.

Dari 91 responden yang wajib melakukan pelabelan, diketahui 91 (100%) responden melakukan pelabelan, namun hanya 2 (2.2%) responden yang melakukan pelabelan khususnya pencantuman keterangan minimal pada label dengan benar. Memang terdapat beberapa jenis pangan yang tidak wajib memiliki NIE, namun memiliki NIE, sehingga kesalahan pelabelan bukan karena tidak mencantumkan NIE saja, tetapi keterangan lain yang seharusnya wajib dicantumkan tidak dilakukan.

Dari 36 responden yang tidak wajib melakukan pelabelan, terdapat 35 (97.2%) responden yang melakukan pelabelan dan 1 (2.8%) tidak melakukan pelabelan. Produk yang tidak melakukan pelabelan tersebut adalah geplak merk geplak jaya di kabupaten Bantul. Sedangkan dari 35 responden yang melakukan pelabelan, tidak ada satupun yang sesuai dengan persyaratan pencantuman keterangan minimal.

Dari 34 responden yang tidak diketahui apakah wajib ataukah tidak melakukan pelabelan, 34 (100%) melakukan pelabelan dan terdapat 1 (2.9%) yang melakukan pelabelan dengan benar, sisanya tidak sesuai persyaratan pencantuman keterangan minimal. Contoh label responden IRTP yang benar dapat dilihat pada Lampiran 9. Sedangkan contoh label responden IRTP yang salah dapat dilihat pada Lampiran 10.

Pengamatan terhadap praktek pencantuman keterangan minimal pada produk pangan, juga menunjukkan bahwa diantara 7 keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label, keterangan tanggal/kode produksi merupakan keterangan yang paling jarang/sedikit (5.6 %) dicantumkan pada label. Hal ini dapat disebabkan oleh masa simpan produk yang singkat, penjualan produk hanya berdasarkan pesanan, dan dijual di toko sekitar atau di rumah. Sebagai contoh adalah produk bakpia. Produk bakpia mempunyai masa simpan kurang lebih 3-4 hari dan umumnya dijual di rumah atau di toko yang lokasinya tidak jauh dari rumah tempat produksi. Alasan inilah yang diutarakan oleh produsen bakpia menagapa label pada kemasan tidak mencantumkan tanggal produksi. Kecenderungan pencantuman 7 keterangan minimal dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Kecenderungan pencantuman keterangan minimal pada label yang dilakukan oleh responden IRTP.

4.4.2 Pencantuman keterangan halal

Data pengamatan terhadap praktek pelabelan menunjukkan bahwa label yang mencantumkan keterangan halal adalah sebanyak 35 label (21.7%), dimana dari 35 label tersebut 26 label (74.3%) mencantumkan keterangan halal sesuai dengan persyaratan sedangkan 9 label (25.7%) tidak memenuhi persyaratan pencantuman keterangan halal. Pelanggaran pencantuman halal sudah dilakukan sejak lama mengingat kebiasaan produsen menjamin halal pangannya sebelum peraturan diterbitkan. Namun seiring dengan sosialisasi peraturan pencantuman halal dari pemerintah yang dilakukan secara terus menerus disertai dengan tuntutan konsumen

159 146 136 123 64 29 9 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 Nam a pr oduk Nam a da n a lam at p rodu se Nom or p enda ftar an Ko mpos isi/d afta r ba ha Bera t bers ih/is i bers ih Kete rang an keda luw ars Tan ggal /ko de p rod uks Ke te rangan m inim al J um la h ( re s ponde n) n = 159

terhadap kebenaran keterangan halal, maka semakin banyak produsen pangan yang mengikuti sertifikasi halal.

Masih dijumpainya pencantuman keterangan halal yang tidak memenuhi persyaratan (25.7%) menujukkan bahwa aspek pelabelan masih belum dipahami dengan baik oleh responden IRTP. Responden tentu ingin menyatakan bahwa produknya halal bagi umat Islam yang merupakan mayoritas konsumen produk yang bersangkutan. Namun mungkin beberapa kendala yang dihadapi oleh produsen IRTP maka tidak dapat memenuhi persyaratan pelabelan halal.

Beberapa kendala yang mungkin dihadapi oleh responden IRTP dalam memenuhi persyaratan pencantuman halal adalah ; 1) kurangnya pengetahuan persyaratan pencantuman halal, 2) kurangnya pengawasan oleh petugas pemerintah terhadap prelabelan produk IRTP baik sebelum maupun sesudah beredar di pasar, 3) kurangnya biaya untuk sertifikasi halal. Dalam penelitian ini tidak tersedia data tentang tingkat pengetahuan produsen IRTP terhadap persyaratan pencantuman keterangan halal pada label. Namun dalam kajian pengetahuan produsen IRTP terhadap persyaratan minimal pelabelan dapat diketahui bahwa pengetahuan responden sangat rendah (1.2%). Pengetahuan yang diukur adalah jenis PP Pelabelan dan keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label. Rendahnya pengetahuan responden terhadap pelabelan dapat dijadikan indikator bahwa pengetahuan responden terhadap persyaratan pencantuman halal juga rendah. Namun hal ini perlu diuji lagi dalam penelitian yang lain.

Faktor lain yang mempengaruhi pelanggaran terhadap praktek pencantuman halal adalah kurangnya pengawasan oleh petugas pemerintah terhadap pelabelan. Pengawasan terhadap pelabelan produk IRTP selama ini dilakukan oleh Pemda (dinkes) sebelum produk beredar. Namun karena dalam prakteknya ternyata masih dijumpai pelanggaran terhadap pencantuman keterangan halal, maka dapat diduga disebabkan oleh lemahnya pengawasan petugas pemda sebelum produk tersebut beredar. Namun dugaan ini perlu dipastikan lagi dalam penelitian lainnya. Dalam penelitian ini tidak dikaji kompetensi petugas pemerintah dalam melakukan pengawasan label.

Pengawasan label oleh pemerintah (Badan POM) sesudah produk tersebut beredar di pasar pada tahun 2007 menunjukkan bahwa dari 2823 sampel label yang diamati/diawasi 44.6% adalah label produk IRTP. Dari 44.6% label IRTP tersebut terdiri dari jenis NIE P-IRT 28.52%, NIE SP 57.9%, tidak terdaftar (TT) 19.7%. Dari

28.52% label P-IRT yang memenuhi syarat pelabelan sebanyak 58 (16.8%) label. Dari 57.9% label SP yang memenuhi syarat 74 (11.3%) label. Dari 19.7% label TT tidak ada satupun yang memenuhi syarat. Hasil pengawasan label oleh BPOM selalu dilaporkan kepada pemda setempat. Namun pemda sebagai pihak yang berwenang melakukan pengambilan tindakan administratif terhadap label yang salah mungkin kurang konsisten menjalankan tugas, sehingga masih saja terjadi pelanggaran pelabelan, khususnya pencantuman halal yang salah.

Faktor lain yang mempengaruhi pencantuman keterangan halal yang salah adalah kurangnya biaya yang dimiliki oleh produsen IRTP. Menurut informasi dari LPPOM MUI Propinsi DIY besarnya biaya sertifikasi halal unutk produk IRTP berbeda-beda, tergantung dari jarak produsen IRTP dengan kantor LPPOM MUI Propinsi DIY dan jumlah produk yang akan disertifikasi. IRTP yang lokasinya tergolong dekat dengan kantor LPPOM MUI biaya sertifikasinya sebesar Rp. 400.000,- per jenis produk. Sedangkan yang tergolong jauh (+/- 30 km) bisa mencapai Rp. 800.000,- per jenis produk. Besarnya biaya sertifikasi halal untuk IRTP yang berada jauh dari kota/propinsi, maka menjadi kendala bagi IRTP untuk melakukan sertifikasi halal.

Sertifikasi pencantuman halal penting bagi konsumen untuk mengetahui bahwa produk yang bersangkutan halal untuk dikonsumsi. Tanpa adanya sertifikasi maka pernyataan produsen tentang halal secara sepihak dapat disalahgunakan oleh produsen. Pada tanggal 1 Juni 2005, BPOM melaporkan bahwa terdapat produk abon dan dendeng sapi yang tidak halal, positif mengandung DNA babi. Abon dan dendeng sapi yang tercemar DNA babi adalah produk IRTP yang terdiri dari 25% SP dan 75% P IRT. Produk-produk tersebut tidak memiliki sertifikasi halal dari MUI namun mencantumkan klaim halal pada produk pangannya. Hal ini menunjukkan bahwa produsen IRTP dapat saja melakukan klaim halal pada label produknya namun klaim tersebut tidak disertai bukti/sertifikasi halal yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sebagai akibatnya terdapat klaim halal yang tidak jujur. Dalam rangka melindungi konsumen muslim maka sertifikasi halal mutlak diperlukan.

4.4.3 Pelanggaran pelabelan

Pengamatan terhadap praktek pelabelan juga menghasilkan penemuan pelanggaran terhadap peraturan pelabelan. Jenis-jenis pelanggaran yang ditemukan disajikan dalam Gambar 8.

Gambar 8 Jenis pelanggaran pelabelan yang ditemukan terhadap praktek pelabelan.

Gambar 8 memperlihatkan bahwa jenis pelanggaran keterangan minimal yang tidak lengkap, merupakan jenis pelanggaran paling sering dijumpai yaitu sebesar 156 label (96.9 %), sedangkan pelanggaran yang paling jarang dijumpai adalah klaim fungsi zat gizi, klaim khasiat pangan sebagai obat, dan klaim terbuat dari buah asli masing-masing sebanyak 1 label (0.6 %). Jenis pelanggaran lainnya adalah keterangan tanpa BTP tertentu, nomor pendaftaran yang salah, keterangan halal yang salah, keterangan gambar yang menyesatkan, cetakan label luntur, menyebutkan instansi tertentu, dan klaim kesehatan. Meningkatnya perkembangan ilmu dan teknologi pangan juga mempengaruhi perkembangan pelabelan produk IRTP. Semakin banyak dijumpai produk IRTP yang mendesain kemasan dengan bagus dan memberikan informasi tertentu mengenai produk pangannya. Pelanggaran yang dijumpai pada praktek pelabelan pangan IRTP di Propinsi DI Yogyakarta menunjukkan perkembangan pelabelan IRTP yang cukup pesat.

Namun materi pelabelan dalam Penyuluhan Keamanan Pangan tidak memuat hal-hal yang dilanggar oleh responden, seperti klaim tanpa menggunakan BTP tertentu, klaim khasiat sebagai obat, klaim mengandung zat gizi tertentu, klaim alami/asli, dan klaim kesehatan. Sebenarnya hal-hal tersebut telah diatur dalam PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Oleh karena itu sudah

156 20 12 9 3 3 3 2 1 1 1 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 Ket er anga n m ini m al ti dak l engk ap Ket e rang an t a n p a BT P t e rt en tu N o m or p endaf tar an y ang s a lah Ket e ranga n h a la l ya n g sa la h Ket er anga n g am b ar ya n g sa la h C et a k an l a bel k a bur /l unt ur M eny eb ut k an i ns tan s i te rt e n tu K la im ke se h a ta n Kl ai m f ungs i z a t g iz i Kl ai m k h a s ia t s e b agai o bat Kl ai m bu ah as li y ang sa la h Jenis pelanggaran J um la h ( re s po nde n) N = 159

saatnya materi pelabelan dalam Penyuluhan Keamanan Pangan direvisi, disesuaikan dengan perkembangan praktek pelabelan.

4.5 Praktek Sanitasi di IRTP

Dalam dokumen IV. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 42-50)