4.3.3 Pengetahuan Responden Tentang Sanitasi 4.3.3.1 Umum
Pengetahuan responden tentang sanitasi secara umum dapat diukur dari jawaban responden yang diberikan terhadap pertanyaan tentang sanitasi pada kuesioner Blok III nomor 1, 2, 3, 5, 7, 16, 24, 28, 31, 32, 33, 34 35, 36. Pertanyaan yang dimaksud dalam blok III tersebut dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Jawaban/pengetahuan responden terhadap pertanyaan tentang sanitasi Pertanyaan blok III Jawaban (%, n = 161) No
No Isi Benar Salah
1 1 Air yang dapat digunakan sebagai bahan baku 39.1 60.9 2 2 Air yang dapat digunakan untuk mencuci
peralatan
97.5 2.5
3 3 Bagaimana penggunaan air di industri pangan 88.8 11.2 4 5 Bolehkah menggunakan air sungai untuk
mencuci peralatan atau bahan makanan
92.5 7.5
5 7 Air apakah yang anda gunakan untuk membuat makanan/minuman
68.3 31.7
6 16 Apakah ruangan pengolahan harus dibersihkan secara teratur
92.5 7.5
7 24 Bolehkah ternak/hewan peliharaan seperti kucing dan burung atau anjing berkeliaran di area pengolahan
97.5 2.5
8 28 Kapan karyawan harus mencuci tangan 25.5 74.5 9 31 Apakah diperlukan petugas khusus yang
bertanggungjawab terhadap kegiatan sanitasi
20.5 79.5
10 32 Bolehkah karyawan makan atau minum sambil mengolah pangan
91.9 8.1
11 33 Bolehkah karyawan menggunakan perhiasan ketika mengolah pangan
88.2 11.8
12 34 Bolehkah batuk/bersin menghadap pangan 98.1 1.9 13 35 Apakah karyawan harus dalam keadaan bersih 97.5 2.5 14 36 Apakah baju kerja karyawan harus bersih dan
lengkap
Sebanyak 1 responden (0.6%) yang dapat menjawab semua pertanyaan (14) tentang sanitasi dengan benar. Sisanya tidak dapat menjawab seluruh pertanyaan dengan benar. Dari 14 pertanyaan tentang sanitasi yang diajukan, pertanyaan nomor 31 tentang perlunya petugas khusus untuk mengawasi kegiatan sanitasi merupakan pertanyaan yang paling sedikit dijawab benar oleh responden. Hal ini dikarenakan jumlah pekerja IRTP umumnya hanya 1-5 orang saja, sehingga kegiatan sanitasi diawasi langsung oleh pemilik tanpa memerlukan petugas khusus. Pertanyaan yang juga mendapatkan sedikit jawaban benar adalah pertanyaan nomor 28 tentang kapan mencuci tangan. Hanya 40 responden (25.5%) yang dapat menjawab dengan benar. Umumnya responden hanya memberikan jawaban yang sebagian dari keseluruhan jawaban yang dianggap benar. Jawaban dianggap benar jika responden menjawab seluruh waktu yang diperlukan untuk mencuci tangan, yaitu saat akan mengolah pangan, sesudah mengolah pangan, saat kotor, setelah menyentuh sampah/kotoran, setelah keluar dari toilet, setelah menyentuh pangan mentah dan akan menangani pangan matang. Sedikitnya (40) responden yang menjawab dengan benar kapan karyawan harus mencuci tangan menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap waktu mencuci tangan sangat rendah. Hal ini harus menjadi perhatian lebih bagi pemerintah selaku pembina IRTP, agar dalam materi penyuluhan lebih ditekankan mengenai waktu mencuci tangan. Mencuci tangan dengan benar pada waktu yang tepat sangat membantu usaha untuk mengurangi potensi terjadinya pencemaran/kontaminasi terhadap pangan (Rahayu et al. 2003).
Namun secara umum, Tabel 20 menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang sanitasi. Kecuali jawaban responden terhadap pertanyaan nomor 1, 28, dan 31, 66.5% - 98.1% responden dapat menjawab benar 11 pertanyaan lainnya atau rata-rata 89% responden dapat menjawab benar 11 pertanyaan.
Pengetahuan responden tentang sanitasi dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan materi penyuluhan yang didapatkannya. Untuk menguji apakah terdapat perbedaan yang nyata antara pengetahuan responden dengan tingkat pendidikan ataupun dengan jenis NIE yang dimiliki, maka digunakan uji statistik. Hasil uji statitistik Npar tests dengan metode Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antara pengetahuan responden tentang sanitasi dengan tingkat pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden yang
berbeda-beda mempengaruhi secara nyata terhadap pengetahuan responden tentang sanitasi. Pertanyaan yang diajukan memang mudah dijawab dengan benar, sehingga jawaban yang diberikan oleh responden sebagian besar benar. Hanya beberapa pertanyaan yang menguji benar terhadap pengetahuan responden yang dijawab benar oleh sebagian kecil responden. Pertanyaan tersebut adalah nomor 1, 28, dan 31 (lihat Tabel 20). Namun uji statistik menunjukkan bahwa jawaban responden dengan tingkat pendidikan S1 memiliki ranking yang paling tinggi dibanding responden dengan tingkat pendidikan lainnya. Hasil uji statistik secara keseluruhan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden berpengaruh nyata terhadap pengetahuannya.
Hasil uji statistik lainnya tidak menunjukkan adanya beda nyata antara pengetahuan responden dengan jenis NIE yang dimiliki responden (p>0.05). Hal ini mungkin disebabkan karena jenis pertanyaan yang diajukan, seperti terlihat pada Tabel 20, mudah dijawab dengan benar oleh responden hanya dengan kebiasaan hidup bersih/etika kebersihan, sehingga penyuluhan sanitasi yang diikuti oleh responden yang memiliki NIE SP dan P-IRT tidak mempengaruhi terhadap jawaban yang diberikan secara signifikan. Demikian juga jawaban yang diberikan oleh responden yang tidak memiliki nomor pendftaran (TT), tidak berbeda nyata dengan jawaban yang diberikan oleh responden yang terdaftar. Hasil uji statistik selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.
Oleh karena itu, perancangan pertanyaan dalam rangka memperoleh tingkat pengetahuan responden sangat penting. Pertanyaan yang diajukan sebaiknya tidak menggiring responden untuk dapat dengan mudah memilih jawaban yang benar. Seperti misalnya pertanyaan blok III nomor 36 yang berbunyi ” Apakah baju kerja karyawan harus bersih dan lengkap?”. Pertanyaan ini bersifat mengarahkan/menggiring responden untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan benar, walaupun responden tersebut berbeda karakteristik tingkat pendidikannya dan jenis penyuluhan yang diperoleh. Mestinya pertanyaan yang benar adalah ”menurut anda, apa saja kelengkapan baju kerja pengolah pangan saat bekerja?”. Pertanyaan ini baru benar-benar menggali pengetahuan responden, tidak mengarahkan pada suatu jawaban yang mudah ditebak. Harus diakui bahwa disain kuesioner kurang sempurna.
4.3.3.2 Sumber Air
Pengetahuan responden terhadap sanitasi air diperoleh dari pertanyaan blok III nomor 4. Jawaban responden menunjukkan bahwa 26.1% responden menggunakan
air yang memenuhi persyaratan air minum sebagai bahan baku pangan. Sedangkan 76.3% menyatakan bahwa air sumur dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan pangan. Tidak ada satu responden pun yang menyatakan bahwa air sungai dapat digunakan sebagai bahan baku pengolahan pangan. Responden yang menyatakan tidak menggunakan air sebanyak 0.6%. Produk responden yang tidak menggunakan air sebagai bahan baku adalah kelopak bunga rosela. Pengolahan kelopak bunga rosela hanya pengeringan, tanpa proses lainnya.
Penggunaan air sumur sebagai bahan baku perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Hal ini dikarenakan kebiasaan pengusaha IRTP menggunakan air sumur sebagai bahan baku dalam produksi pangan IRTP berpotensi menyebabkan terjadinya keracunan pangan akibat pangan yang dihasilkan tidak aman. Seperti yang sudah diketahui secara luas, bahwa air sumur atau air bawah tanah berpotensi tercemar oleh bahan kimia berbahaya seperti logam berat misalnya mercury (Hg) dari limbah penambangan emas, timbal (Pb) dari kontaminasi limbah industri batere (lead
acid) (Winarno 1997). Logam berat lainnya yang dapat mencemari air tanah adalah
kadmium, arsen, tembaga, dan timah. Air tanah juga berpotensi tercemar oleh mikroba patogen seperti Salmonella yang berasal dari air buangan atau kotoran ternak, E.coli yang berasal dari kotoran manusia atau Clostridium perfringens yang berasal dari tanah/lumpur (Rahayu et al 2003). Oleh karena itu kualitas air sumur/air tanah sangat dipengaruhi oleh lokasi sumber air tanah tersebut. Air sumur atau air tanah sebaiknya tidak berdekatan dengan sumber cemaran logam berat maupun mikroba patogen seperti limbah pabrik, limbah penambangan emas, tempat akhir pembuangan sampah, septic tank atau tempat pembuangan kotoran ternak.
Penggunaan air dalam industri pangan sudah diatur dalam Pedoman Cara Produksi Pangan Yang Baik untuk IRTP (SK Kepala Badan POM Nomor : HK.00.05.5.1639) maupun Code of Practice General Principles of Food Higiene,
CAC/RCP1-1969, Rev. 4 (2003). Dalam persyaratan nasional dan internasional
tersebut air yang digunakan sebagai bahan baku atau yang kontak dengan pangan dipersyaratkan memenuhi persyaratan air minum.
Penggunaan air sumur sebagai salah satu bahan baku pembuatan produk IRTP, harus memenuhi persyaratan air minum. Air sumur yang diperoleh dari tanah yang tidak tercemar oleh limbah pabrik maupun limbah kotoran manusia tau ternak, dapat memenuhi persyaratan air minum. Selain itu, mutu air tanah ditentukan dari kualitas tanah dan lokasi sumur/sumber air. Ciri-ciri fisik air sumur yang memenuhi
persyaratan air minum adalah tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Rahayu
et al 2003). Namun lebih baik lagi jika air sumur tersebut diperiksakan keamanannya
di laboratorium pemerintah daerah (puskesmas/dinas kesehatan) untuk memastikan bahwa air sumur yang digunakan memenuhi persyaratan air minum.
Penggunaan air yang salah akan dapat menyebabkan tingginya potensi pencemaran pangan oleh cemaran mikroba. Disamping itu, pengaruh penggunaan air sumur ataupun air sungai sebagai bahan baku pengolahan pangan akan turut memperpendek umur simpan produk pangan yang dihasilkan (Rahayu et al. 2003).
4.3.3.3 Cara Mencuci Tangan Yang Benar
Terdapat beberapa sumber yang menjelaskan tata cara mencuci tangan yang benar dengan berbagai macam versi. Tata cara mencuci tangan yang benar minimal memuat langkah-langkah yang berurutan yaitu : (1) membasahi tangan secara merata, (2) menyabuni, (3) menggosok tangan, (4) membilas, (5) mengeringkan tangan (BPOM RI 2004).
Dari wawancara dengan responden mengenai tata cara mencuci tangan yang benar, tidak ada satupun responden yang dapat menjelaskan prosedur mencuci tangan dengan benar. Terdapat berbagai macam jawaban responden terhadap pertanyaan yang meminta responden untuk menjelaskan prosedur mencuci tangan dengan benar. Dari sekian banyak jawaban, yang paling mendekati kebenarannya adalah (1) basahi dengan air, (2) sabuni, (3) gosok, (4) bilas tanpa menyebutkan tahapan mengeringkan tangan.
Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang prosedur mencuci tangan yang benar sangat kurang. Padahal kebiasaan mencuci tangan yang benar, sangat besar manfaatnya bagi pencegahan terjadinya kontaminasi silang lewat tangan pekerja (Rahayu et al. 2004).
Rendahnya pengetahuan responden terhadap prosedur mencuci tangan yang benar dapat dipengaruhi oleh muatan materi penyuluhan tentang higiene dan sanitasi pengolahan pangan yang diikuti oleh responden. Dalam materi penyuluhan tentang higiene dan sanitasi pengolahan pangan, prosedur mencuci tangan yang benar tidak disinggung sama sekali sehingga responden tidak mengetahui adanya prosedur mencuci tangan yang benar. Modul higiene dan sanitasi pengolahan pangan hanya membahas tentang pentingnya mencuci tangan dan kapan mencuci tangan dilakukan.
4.3.3.4 Fasilitas Sanitasi
Kebutuhan akan fasilitas sanitasi yang memadai ditanyakan dalam kuesioner blok III nomor 20 tentang kecukupan toilet dan nomor 22 tentang lokasi toilet. Menurut penerapan CPMB (Cara Produksi Makanan Yang Baik), perbandingan jumlah toilet dengan karyawan adalah 1-9 orang diperlukan 1 toilet, 10 – 25 orang diperlukan 2 toilet, 26 – 50 orang diperlukan 3 toilet, 51 – 100 diperlukan 4 toilet dan setiap kelebihan 50 orang diperlukan 1 toilet. Lokasi toilet sebaiknya terpisah dari ruang pengolahan, atau minimal pintu tidak terbuka langsung ke ruang pengolahan.
Dari jawaban responden, diketahui 161 responden menyatakan jumlah toiletnya. Setelah dilakukan perbandingan dengan jumlah karyawannya, sebanyak 156 responden (96.8%) memiliki toilet dengan jumlah yang cukup. Sedangkan 5 responden (3.1%) memiliki jumlah toilet yang kurang. Dari karakteristik responden diketahui bahwa umumnya (72.3%) jumlah karyawan responden adalah 1-5 orang. Jumlah toilet yang diperlukan umumnya hanya 1 buah saja. Sedangkan responden yang tidak memiliki toilet dengan jumlah yang mencukupi, memiliki jumlah karyawan yang lebih dari 5 orang.
Mengenai lokasi toilet, sebanyak 158 responden (98.1%) memiliki toilet di lokasi yang terpisah dari ruang pengolahan baik di luar maupun di dalam rumah. Sedangkan 3 responden ( 1.9 %), memiliki toilet di dalam ruang pengolahan.
Data ini menunjukkan bahwa umumnya responden telah memiliki toilet dengan jumlah yang mencukupi dan dalam lokasi yang sesuai dengan persyaratan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden akan fasilitas sanitasi khususnya toilet sudah mencukupi. Pentingnya penyediaan fasilitas toilet yang cukup dan berlokasi terpisah dari ruang pengolahan dan atau tidak terbuka langsung ke arah ruang pengolahan dimaksudkan untuk meminimalisasi terjadinya kontaminasi mikroba patogen yang berasal dari kotoran manusia yaitu Escheria coli O157: H7 lewat tangan pekerja (Winarno 1997).