• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Kajian Peraturan Pelabelan Produk Pangan IRTP

Aspek-aspek peraturan pelabelan yang dikaji adalah aspek yang umumnya dilakukan oleh industri pangan seperti status kewajiban pelabelan pangan, keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label pangan, aspek pencantuman keterangan halal, aspek pencantuman informasi nilai gizi, aspek klaim pada label terutama klaim fungsi pangan sebagai obat, dan aspek pencantuman gambar yang menyesatkan. 4.1.1 Status kewajiban pelabelan pangan

Peraturan pelabelan produk pangan IRTP mengacu pada peraturan pelabelan pangan yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, SK Kepala Badan POM RI No. HK 00.05.52.43.21 tanggal 4 Desember 2003 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Peraturan lain yang juga dijadikan sumber dalam kajian peraturan pelabelan pangan adalah PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Dalam penelitian ini juga digunakan Pedoman Pelabelan Pangan/Food Labeling yang dikeluarkan oleh CAC (Codex Alimentarius Commission) tahun 2007 sebagai sumber informasi lainnya. Food Labeling merupakan kumpulan peraturan pelabelan yang telah diterbitkan oleh CAC pada tahun-tahun sebelumnya.

Masalah pelabelan pangan sudah menjadi isu global sejak lama. CAC sendiri telah menerbitkan sekumpulan peraturan pelabelan diantaranya adalah General

Standard for the Labeling of Prepackaged Foods (Codex Stand 1-1985), General Standard for The Labeling of Food Additives When Sold as Such (Codex Stan 107-1981), General Standard for The Labeling of and Claims for Prepackaged Foods for Special Dietary Uses (Codex Stan 146-1985), General Guidelines on Claims (CAC/GL 1-1979), Guidelines on Nutrition Labeling (CAC/GL 2-1985), Guidelines for Use of Nutrition and Health Claims (CAC/GL 23-1997), and General Guidelines for Use of The Term Halal (CAC/GL 24-1997). Mengingat pentingnya aspek

pelabelan untuk melindungi kesehatan konsumen serta melindungi hak-hak konsumen, maka Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan sekumpulan peraturan perundangan pelabelan seperti yang telah disebutkan di atas.

(2)

Dalam UU Pangan bab IV pasal 30 ayat 1 dan dalam PP Label bab II bagian pertama pasal 2 ayat 1 telah dinyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pangan di dalam, dan atau di kemasan pangan. Pernyataan tentang wajibnya pelabelan pangan ini berlaku bagi semua pangan yang dikemas untuk diperdagangkan, baik pangan yang diproduksi oleh industri pangan berskala besar, menengah, maupun kecil atau Industri Rumah Tangga (IRTP). Tujuan dari kewajiban pelabelan ini adalah untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak aman untuk dikonsumsi (Hariyadi P 2008) maupun untuk melindungi hak konsumen dalam mendapatkan informasi yang benar dari produk pangan sesuai yang tertera pada labelnya (UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Bab III pasal 4 dan Codex Stand 1-1985). Selain itu, pelabelan pangan juga dimaksudkan untuk menciptakan iklim perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab (PP No. 69 1999).

4.1.2 Aspek keterangan minimal yang harus tercantum pada label pangan.

Kewajiban utama pelabelan yang harus dilakukan oleh produsen pangan adalah pencantuman keterangan minimal pada label. Penjelasan mengenai keterangan minimal berbeda-beda antara UU Pangan, PP Label, maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Perbedaan/kesenjangan informasi tentang keterangan minimal dalam peraturan perundangan pelabelan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Pernyataan tentang keterangan minimal pada label dalam sumber peraturan pelabelan pangan di Indonesia

No Peraturan Bab/Pasal Isi Peraturan/Keterangan 1 UU No. 7 tahun

1996 tentang Pangan

Bab IV ps.

30:2 1. Nama produk 2. Berat bersih/isi bersih

3. Nama dan alamat produsen/importer 4. Komposisi/daftar bahan

5. Keterangan halal

6. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa

2 PP No. 69 tahun 1999 tentang Pelabelan dan Iklan Pangan

Bab II ps. 3:2, ps. 30, ps. 31.

1. Nama produk

2. Berat bersih/isi bersih

3. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia

4. Nomor pendaftaran (bagi yang wajib mendaftarkan produknya)

(3)

Tabel 7 menunjukkan bahwa antara UU Pangan, PP Pelabelan dan Pedoman Pelabelan Produk Pangan terdapat kesenjangan isi peraturan yang mengatur aspek keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label pangan. UU Pangan mensyaratkan keterangan halal sebagai salah satu keterangan yang harus tercantum pada label pangan, namun PP Pelabelan tidak mensyaratkannya. UU Pangan tidak mensyaratkan nomor pendaftaran dan tanggal/kode produksi sebagai keterangan yang harus tercantum pada label pangan, namun PP Pelabelan mensyaratkannya dengan catatan bahwa nomor pendaftaran baru merupakan keterangan yang wajib dicantumkan pada label jika produk pangan yang bersangkutan tergolong dalam produk yang wajib memiliki nomor pendaftaran. Ketentuan mengenai produk pangan yang tidak wajib memiliki nomor pendaftaran diatur dalam PP No. 28 tahun 2004 Bab V pasal 44.

Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan bab I poin 3 yang menyatakan bahwa nomor pendaftaran dikategorikan sebagai keterangan yang wajib dicantumkan dalam label, tanpa ada penjelasan apakah produk tertentu yang tidak wajib memiliki nomor pendaftaran boleh tidak mencantumkan nomor pendaftaran. Padahal di dalam pendahuluan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan, dijelaskan bahwa Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan merupakan pelaksanaan PP Pelabelan. Namun pada kenyataannya terdapat keterangan tentang status pencantuman nomor pendaftaran yang bertentangan dengan PP Pelabelan. Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan sebagai produk hukum yang bersifat petunjuk teknis penerapan peraturan pelabelan baik dari UU Pangan maupun PP Pelabelan, seharusnya informasinya tidak bertentangan dengan UU Pangan maupun PP Pelabelan.

5. Komposisi/daftar bahan 6. Keterangan kedaluwarsa

7. Tanggal dan atau kode produksi 3 SK Kepala Badan POM No. HK 00.05.52.43.21 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan Bab I poin

3 1. Nama produk 2. Berat bersih/isi bersih

3. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia

4. Nomor pendaftaran 5. Komposisi/daftar bahan 6. Keterangan kedaluwarsa 7. Tanggal dan atau kode produksi

(4)

Kesenjangan antara UU Pangan dan PP Pelabelan masih dapat ditolelir mengingat UU Pangan lebih bersifat sebagai payung besar bagi peraturan pelabelan sehingga dapat dianggap bukan merupakan sumber peraturan yang bersifat teknis. Selain itu, UU Pangan sendiri telah menyatakan bahwa jika dipandang perlu, maka pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang dianggap wajib dicantumkan pada label atau sebaliknya, melarang keterangan tertentu untuk dicantumkan pada label (Bab IV pasal 30:3). Untuk itu, PP Pelabelan sebagai produk hukum di bawah UU Pangan dapat dijadikan sumber peraturan pelabelan yang lebih relevan. Dengan demikian materi Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan khususnya bab I poin 3 yang menjelaskan tentang keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label perlu dikaji ulang, supaya informasinya tidak bertentangan dengan PP Pelabelan dan PP No. 28 tahun 2004. Hal ini diperkuat dengan Bab IV PP Pelabelan tentang ketentuan peralihan yang menyebutkan bahwa semua peraturan perundangan tentang label dan iklan yang telah ada dan bertentangan dengan PP Pelabelan dinyatakan tidak berlaku.

Penerapan pencantuman keterangan minimal pada label mengalami kendala ketika kemasan produk pangan sangat kecil sehingga tidak memungkinkan untuk mencantumkan seluruh keterangan minimal yang dimaksud dalam peraturan. Contoh yang tepat mengenai produk yang demikian adalah permen. Umumnya permen yang berisi 1 pcs per kemasan dengan berat bersih kira-kira 2.8 gr, memiliki kemasan yang ukurannya kecil (kira-kira 5x3 cm). Ukuran kemasan yang kecil ini tidak memungkinkan untuk mencantumkan seluruh keterangan minimal (6-7 hal) pada kemasannya.

Kendala lain dalam penerapan pencantuman keterangan minimal pada label adalah jika produk pangan yang bersangkutan dijual dan dikemas langsung dihadapan konsumen dalam jumlah kecil-kecilan. Walaupun produk ini memenuhi kriteria ”dikemas” dan ”dijual/diperdagangkan”, sehingga menurut PP Label pasal 2 ayat 1 harus melakukan pelabelan, namun hal ini masih sulit dilakukan oleh produsen. Sebagai contoh, produk roti manis yang diproduksi dengan skala kecil dan dijual dan dikemas langsung di hadapan pembeli. Umumnya kemasan yang digunakan untuk produk ini adalah kardus/karton yang sederhana. Dalam kemasan ini, biasanya hanya dicantumkan nama produk, merk dagang, komposisi, dan keterangan halal.

Kendala lain dalam penerapan pencantuman keterangan minimal pada label adalah ukuran kemasan yang besar karena produk dijual dalam bentuk curah,

(5)

misalnya seperti gula pasir, tepung terigu, susu bubuk dan lain-lain. Sebetulnya produk-produk ini bisa dilabel pada kemasannya. Namun jika kemasannya tidak memungkinkan, seperti dalam container atau silo, misalnya produk tepung terigu yang biasanya dijual ke pabrik-pabrik pangan berbahan dasar tepung terigu berskala besar. Mempertimbangkan kendala-kendala tersebut, pemerintah Indonesia telah memberikan batasan penerapan kewajiban pelabelan pada produk-produk pangan tertentu. Pemerintah menyatakan bahwa produk pangan yang tidak wajib melakukan pelabelan pangan adalah : 1) pangan yang kemasannya terlalu kecil sehingga tidak mungkin dicantumkan seluruh keterangan minimal yang dimaksud dalam peraturan, 2) pangan yang dijual dan dikemas langsung dihadapan pembeli dalam jumlah kecil-kecilan, dan 3) pangan yang dijual dalam jumlah besar/curah yaitu lebih dari 500 kg atau liter per kemasannya (PP Label bab VII pasal 63). Namun demikian produk yang ukuran kemasannya kecil sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 63 tersebut, tetap harus mencantumkan nama dan alamat produsen.

Kebijakan pemerintah lain yang terkait dengan kewajiban pencantuman keterangan minimal adalah dibebaskannya produk pangan yang memiliki masa simpan kurang dari tujuh hari dan atau dimasukkan dalam wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan penelitian, permohonan nomor pendaftaran atau keperluan sendiri, dibebaskan dari pendaftaran produk (PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan bab V pasal 44 th 2004). Bab VII pasal 53 tentang ketentuan peralihan menjelaskan bahwa dengan berlakunya PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan 2004, maka semua ketentuan mengenai keamanan, mutu dan gizi pangan yang diatur dengan peraturan perundangan di bawah Undang-Undang masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Penjelasan ini merevisi pernyataan keterangan minimal yang wajib dicantumkan dalam Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan th 1999 yang diantaranya menyebutkan bahwa keterangan nomor pendaftaran harus dicantumkan dalam label. Padahal menurut PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan terdapat produk pangan, termasuk produk IRTP, yang boleh tidak memiliki nomor pendaftaran. Seharusnya produk yang tidak memiliki nomor pendaftaran seperti yang dimaksud dalam PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan boleh tidak mencantumkan nomor pendaftaran karena memang tidak memiliki.

(6)

4.1.3 Pencantuman keterangan alergen pangan

Penetapan keterangan minimal pada label pangan di Indonesia mengacu pada peraturan global seperti dalam General Standard for the Labeling of Prepackaged

Foods (Codex Stand 1-1985). Dalam pedoman pelabelan pangan yang dipublikasikan

oleh CAC tersebut disebutkan bahwa yang tergolong dalam keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada label adalah : 1) nama produk, 2) komposisi, 3) isi bersih, 4) nama dan alamat produsen/importer, 5) negara asal, 6) keterangan lot sebagai riwayat produksi, 7) tanggal kedaluarsa dan instruksi penyimpanan, 8) petunjuk penggunaan jika perlu. Dalam pedoman pelabelan global tersebut dijelaskan bahwa untuk produk pangan yang mengandung alergen pangan, maka harus dijelaskan pada kemasannya tepatnya di bagian komposisi, bahwa produk pangan yang bersangkutan mengandung alergen pangan tertentu. Alergen pangan yang dimaksud adalah gluten, kerang dan hasil olahnya, telur dan hasil olahnya, ikan dan hasil olahnya, kacang tanah, kacang kedelai dan hasil olahnya, susu dan hasil olahnya, biji-bijian (pala, kelapa dsb), sulfite dalam konsentrasi lebih dari 10 mg/kg atau lebih. Jika dibandingkan dengan pedoman pelabelan pangan terkemas (CAC 1985), peraturan pelabelan di Indonesia menambahkan keterangan nomor pendaftaran sebagai salah satu keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada label, khusus bagi produk pangan yang tergolong wajib memiliki nomor pendaftaran (PP Label 1969 ps. 30). Sedangkan masalah alergen pangan yang harus dinyatakan dengan jelas dalam label, tidak mendapatkan perhatian. Hal ini mungkin dikarenakan masalah alergen pangan di Indonesia belum banyak data yang mengungkapkan tentang terjadinya kasus keracunan pangan akibat mengkonsumsi alergen pangan. Sebenarnya hal ini harus diberikan perhatian oleh pemerintah Indonesia, karena di negara maju seperti Amerika Serikat, pelabelan alergen pangan sudah dituangkan dalam Undang-Undang Pelabelan Alergen dan Perlindungan Konsumen (Food Allergen Labeling and Consumer Protection Act) pada tahun 2004.

Dalam era perdagangan global saat ini, produsen pangan harus mengetahui dan sebisa mungkin memenuhi persyaratan pelabelan, khususnya alergen pangan. Jika tidak, akan dijumpai penolakan produk pangan asal Indonesia yang diekspor ke negara yang memiliki aturan pelabelan alergen pangan, seperti Amerika Serikat, karena pelabelan pangannya tidak memenuhi persyaratan pelabelan alergen. Menurut data FDA yang dicatatkan melalui sistem Oasis (Operational and Administratif

(7)

berturut-turut terjadi pelonjakan kasus penolakan produk pangan asal Indonesia karena tidak memenuhi persyaratan pelabelan alergen pangan. Bulan Mei terjadi 6 kasus penolakan (karena label yang salah) dari total 50 kasus penolakan, bulan Juni terjadi 8 kasus dari total 43 kasus penolakan, dan bulan Juli terjadi 5 kasus dari 41 kasus penolakan. Kasus penolakan ini dapat dihindari jika pemerintah Indonesia juga setidaknya mencantumkan pernyataan kewajiban pencantuman alergen pangan pada peraturan pelabelan pangan. Jika perlu, dapat diterbitkan Pedoman Pelabelan Alergen Pangan sehingga dapat menjadi sumber informasi yang dapat mengikat bagi produsen pangan. Selain itu, dalam rangka mendapatkan data yang akurat tentang kejadian keracunan pangan akibat alergen pangan, maka pemerintah dapat melakukan program surveilan terhadap masalah ini.

4.1.4 Pencantuman keterangan halal

Pencantuman keterangan halal pada label pangan telah diatur dalam peraturan perundangan tentang pelabelan pangan, baik UU Pangan, PP Pelabelan Pangan, maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Isi peraturan pencantuman keterangan halal dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Pencantuman keterangan halal pada beberapa sumber peraturan No Peraturan Bab/Pasal Isi peraturan/Keterangan

Bab IV ps. 30:2

Keterangan halal merupakan salah satu keterangan yang harus dicantumkan pada label. 1 UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan Bab IV ps. 34:1

Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut

Bab II ps.

10:1 Pencantuman keterangan halal harus dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya

Bab II ps 11:

1,2,3 Keterangan halal harus didukung dengan pernyataan halal oleh lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi oleh KAN

2 PP No. 69 tahun 1999 tentang Pelabelan dan Iklan Pangan

Penjelasan ps

10:1 Pencantuman keterangan halal pada label merupakan kewajiban apabila produsen menyatakan produknya halal bagi umat

(8)

No Peraturan Bab/Pasal Isi peraturan/Keterangan Islam

Penjelasan ps 11:1,2

Pencantuman keterangan halal bersifat sukarela. Lembaga pemeriksa kehalalan yang dimaksud dalam pasl 11 adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) 3 SK Kepala Badan POM No. HK 00.05.52.43.21 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan

Bab XII poin

7 1. Definisi halal 2. Keterangan halal boleh dicantumkan pada label pangan jika bahan atau pangan tidak mengandung bahan yang diharamkan dan proses menurut cara yang halal

3. Syarat pencantuman halal adalah jika telah mengikuti prosedur sertifikasi halal dan memperoleh izin

pencantuman halal dari Badan POM Tabel 8 menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan sifat pencantuman keterangan halal pada label pangan. UU Pangan menyatakan keterangan halal merupakan keterangan yang wajib dicantumkan pada label pangan. Namun PP Pelabelan menyatakan bahwa pencantuman keterangan halal bersifat sukarela. Kesenjangan informasi pada dua sumber peraturan pelabelan ini dapat membingungkan pada tingkat pelaksanaannya. Namun demikian terdapat kesamaan diantara peraturan perundangan pelabelan tentang aspek halal, diantaranya semua sumber peraturan menyebutkan bahwa pencantuman keterangan halal harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan lebih memerinci lagi persyaratan pencantuman keterangan halal dengan mensyaratkan izin pencantuman halal dari Badan POM RI.

Pengaruh kesenjangan peraturan pencantuman halal pada dua peraturan perundangan ini (UU Pangan dan PP Pelabelan) dapat diminimalisasi dengan melihat lebih jauh terhadap PP Pelabelan Bab VI tentang ketentuan peralihan. Dalam ketentuan peralihan disebutkan bahwa sejak mulai diberlakukannya PP Pelabelan maka semua peraturan perundang-undangan tentang label dan iklan yang telah ada dan bertentangan dengan PP Pelabelan dinyatakan tidak berlaku. Selain itu dalam UU Pangan Bab IV pasal 30 ayat 3 disebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang dianggap perlu untuk diwajibkan atau dilarang dicantumkan pada label pangan. Keterangan ini dapat dijadikan sebagai dasar bahwa ketentuan pencantuman halal yang lebih relevan adalah PP Pelabelan dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa status

(9)

pencantuman keterangan halal adalah sukarela. Pencantuman keterangan halal baru dianggap wajib jika produsen IRTP menyatakan produknya halal bagi umat muslim. Pencantuman keterangan halal pada label harus disertai dengan sertifikasi halal oleh MUI, yang dilakukan bersama-sama dengan Badan POM dan Departemen Agama. Selain itu, pencantuman keterangan halal pada label harus disertai izin pencantuman halal dari Badan POM. Kewenangan Badan POM memberikan izin pencantuman keterangan halal pada label terkait dengan pengawasan label pangan.

Produk pangan IRTP yang tersebar di kabupaten/kota di seluruh Indonesia juga harus tunduk pada peraturan yang mengatur pencantuman keterangan halal pada label. MUI memiliki kantor cabang di ibu kota propinsi di seluruh Indonesia sehingga lebih memudahkan dan lebih mengefesiensikan biaya sertifikasi. Begitu juga dengan Badan POM dan Departemen Agama, memiliki kantor cabang di ibu kota propinsi di seluruh Indonesia.

Sertifikat halal yang diterbitkan oleh MUI dapat dicabut jika produk pangan yang bersangkutan terbukti tidak halal lagi atau jika masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang lagi. Perpanjangan masa berlakunya sertifikat MUI disertai dengan audit surveilan oleh auditor LPPOM-MUI, Badan POM, dan Departemen Agama. Sistem sertifikasi dan surveilan jaminan halal ini bermanfaat bagi umat muslim sebagai konsumen produk pangan yang bersangkutan. Pernyataan halal yang tanpa disertai sertifikasi halal akan membuka peluang terjadinya penipuan (deceptive). Hal ini bertentangan dengan prinsip umum pelabelan pangan (Codex Stan 1-1985). Selain itu sertifikasi halal akan memberikan kepastian/jaminan halal bagi konsumen muslim karena audit dalam rangka sertifikasi halal dilakukan oleh lembaga yang berkompeten di bidang kehalalan (MUI), di bidang Cara Produksi Pangan Yang Baik (Badan POM), dan persyaratan dasar halal (Departemen Agama). Hal ini sesuai dengan prinsip produksi pangan yang halal yaitu halalan toyyiban (Apriyantono et al. 2007). Selain sertifikasi didukung oleh pakar yang berkompeten, juga didukung dengan fasilitas laboratorium yang handal/terakreditasi oleh KAN, baik laboratorium pemerintah (Badan POM) maupun laboratorium swasta (LPPOM-MUI).

Namun demikian sertifikasi halal juga memerlukan biaya. Besarnya biaya ditetapkan oleh MUI. Untuk sertifikasi halal produk IRTP, besarnya biaya ditentukan oleh jarak antara kantor LPPOM MUI dengan lokasi IRTP. Semakin jauh lokasi IRTP dengan kantor LPOM MUI maka biaya sertifikasi akan semakin mahal. Hal ini dapat menyebabkan produsen IRTP tidak mencantumkan keterangan halal atau tidak

(10)

mencantumkan keterangan halal sesuai peraturan. Sebaiknya pemerintah yang berkompeten di bidang halal, dalam hal ini Departemen Agama atau Pemerintah Daerah, menyediakan biaya sertifikasi bagi IRTP sehingga produsen IRTP dapat mencantumkan keterangan halal pada labelnya. Bentuk pembiayaan dapat berupa subsidi, pinjaman lunak atau gratifikasi. Hal ini juga merupakan penerapan PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota pasal 7 ayat 2 yang menyebutkan bahwa urusan wajib pemerintah yang dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten/kota diantaranya adalah urusan kesehatan/pangan.

4.1.5 Pencantuman informasi nilai gizi

Pencantuman informasi nilai gizi pada label telah diatur dalam PP Pelabelan dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. UU Pangan tidak mengatur pencantuman informasi nilai gizi pada label. Peraturan lain yang mengatur lebih jauh tentang tata cara pencantuman informasi nilai gizi adalah SK Kepala Badan No. HK. 00.06.51.0475 tentang Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi pada Label. Isi peraturan pencantuman informasi nilai gizi pada label dari beberapa sumber peraturan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Ketentuan pencantuman informasi nilai gizi pada label dalam beberapa sumber peraturan

No Peraturan Bab/Pasal Isi peraturan/Keterangan 1 UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan - - Bab II, ps.32:1

Pencantuman keterangan tentang

kandungan gizi pada label wajib dilakukan bagi pangan yang menyatakan bahwa pangan mengandung vitamin, mineral, dan atau zat gizi lain yang ditambahkan. Pencantuman kandungan gizi juga wajib bagi pangan yang dipersyaratkan

berdasarkan peraturan perundangan, wajib ditambahkan vitamin, mineral dan atu zat gizi lainnya.

2 PP No. 69 tahun 1999 tentang Pelabelan dan Iklan Pangan

Pasal 32 : 2 Keterangan kandungan gizi pangan dicantumkan dengan urutan jumlah keseluruhan energi, jumlah keseluruhan lemak, lemak jenuh, kolesterol, jumlah keseluruhan karbohidrat, serat, gula, protein, vitamin dan mineral.

(11)

No Peraturan Bab/Pasal Isi peraturan/Keterangan

Pasal 32 : 3 Informasi kandungan gizi wajib memuat: 1. Ukuran takaran saji

2. Jumlah sajian per kemasan 3. Kandungan energi per takaran saji 4. Kandungan protein per sajian (dalam

gram)

5. Kandungan karbohidrat per sajian (dlm gram)

6. Kandungan lemak per sajian dlm gram) 7. Persentase dari angka kecukupan gizi

yang dianjurkan 3 SK Kepala Badan POM No. HK 00.05.52.43.21 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan

Bab XI 1. Suatu pangan dikatakan bergizi jika mengandung lebih dari tiga zat gizi masing-masing dalam jumlah lebih dari 10 % AKG

2. Produk yang wajib mencantumkan nilai gizi : idem PP Pelabelan 3. Kandungan zat gizi yang perlu

dicantumkan pada informasi nilai gizi : idem PP Pelabelan

4. Informasi yang harus dicantumkan pada informasi nilai gizi : idem PP Pelabelan

5. Bentuk tabel dan tata cara penyusunan informasi nilai gizi : vertikal, linear, horisontal. 4 SK Kepala Badan No. HK. 00.06.51.0475 tentang Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi pada Label

Bab 3-10 1. Produk yang wajib mencantumkan nilai gizi : idem PP Pelabelan 2. Kandungan zat gizi yang perlu

dicantumkan pada informasi nilai gizi : idem PP Pelabelan

3. Informasi yang harus dicantumkan pada informasi nilai gizi : idem PP Pelabelan

4. Hal-hal lainnya (format penulisan, informasi lain yang dapat

dicantumkan, kandungan gizi susu formula)

Tabel 9 menunjukkan bahwa peraturan pencantuman informasi nilai gizi telah diatur dengan baik di PP Pelabelan, Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan, dan Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan. Informasi dalam sumber peraturan pencantuman informasi nilai gizi saling mendukung antara sumber peraturan yang satu dengan yang lainnya. Pencantuman informasi nilai gizi bagi produk IRTP tidak merupakan kewajiban, namun demikian jika mencantumkan

(12)

informasi nilai gizi maka harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Selain itu tata cara pencantuman informasi nilai gizi harus mengikuti peraturan yang ada yaitu PP Pelabelan Pangan, Pedoman Umum Pencantuman Produk Pangan, dan Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi pada Label.

Dewasa ini pencantuman informasi nilai gizi pada label semakin banyak dillakukan oleh industri pangan baik industri besar, menengah, maupun kecil/IRTP. Walaupun bukan merupakan kewajiban, namun pencantuman informasi nilai gizi seolah-olah menjadi sebuah trend/kecenderungan baru di kalangan industri pangan. Produk pangan yang disertai informasi nilai gizi pada kemasannya seolah-olah memiliki mutu yang lebih baik.

Pencantuman informasi nilai gizi harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pengawasan terhadap pencantuman informasi nilai gizi pada label, khususnya produk IRTP, harus dilakukan dengan serius agar tercipta iklim perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab (PP Label 1999). Selain itu juga agar hak konsumen untuk mendapatkan produk pangan yang sesuai dengan keterangan pada label dapat dipenuhi (UU Perlindungan Konsumen).

Selama ini, pengawasan terhadap label IRTP khususnya tentang pencantuman informasi nilai gizi dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Dinas Kesehatan) sesuai SK Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.5.1640 tanggal 30 April 2003, tentang Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT). Namun petugas yang berkompeten di bidang pengawasan pangan, termasuk pelabelan pangan, tidak mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang bagaimana mengawasi pencantuman informasi nilai gizi yang benar. Hal ini tercermin dari materi pelabelan yang diperoleh petugas saat mengikuti pelatihan Training of Trainer District Food Inspector maupun Penyuluh Keamanan Pangan. Sebaiknya pemerintah dalam hal ini Badan POM memberikan pelatihan penilaian label, khususnya tentang pencantuman informasi nilai gizi sehingga petugas pengawas pangan di kabupaten/kota mampu mengawasi pencantuman informasi nilai gizi pada label produk IRTP. Tersedianya petugas pengawas pangan yang berkompeten akan mendorong praktek pelabelan IRTP termasuk pencantuman informasi nilai gizi secara benar. Praktek pelabelan IRTP yang benar merupakan indikator keberhasilan pemerintah dalam menjalankan amanat UU Pangan dan peraturan perundangan pelabelan lainnya.

(13)

4.1.4 Klaim pangan berfungsi sebagai obat

Semua sumber peraturan pelabelan dengan tegas melarang klaim yang menyatakan pangan dapat berfungsi sebagai obat. Fungsi pangan diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh dalam masa pertumbuhan maupun dalam masa penggantian sel-sel tubuh yang rusak. Fungsi ini berbeda dengan fungsi obat, dimana fungsi obat yang utama adalah menghilangkan penyebab suatu penyakit. Cara kerja obat berbeda dengan mekanisme pencernaan makanan dalam tubuh. Oleh karena itu, dalam semua peraturan pelabelan melarang adanya klaim yang menyatakan pangan tertentu dapat berfungsi sebagamana fungsi obat seperti misalnya menngobati penyakit tekanan darah tinggi, stroke, kanker, diabetes mellitus dan jenis penyakit degeneratif lainnya.

Saat ini memang berkembang produk pangan yang kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan di luar manfaat yg diberikan oleh za-zat gizi yang terkandung di dalamnya. Produk pangan ini dikenal dengan kelompok pangan fungsional (ILSI 1996). Produk pangan fungsional berkembang karena semakin berkembangnya ilmu dan teknologi pangan. Faktor lain yang turut memacu perkembangan pangan fungsional adalah berkembangnya gaya hidup sehat. Semakin banyak masyarakat yang sadar akan kesehatan, lebih baik mencegah penyakit dari pada mengobati. Contoh produk pangan fungsional adalah jus wortel-nanas yang kaya akan betakaroten yang ampuh untuk mencegah terjadinya sel-sel kanker (Zakaria et al. 2006). Contoh lainnya adalah sari temulawak. Sari temulawak yang dibuat dari temulawak berimpang warna tua diketahui banyak mengandung curcumin yang berkhasiat sebagai antioksidan, antiflamasi, dan anti tumor. Selain itu temulawak juga berkhasiat untuk menghilangkan rasa nyeri dan rasa sakit karena kanker. Sari/ekstrak temulawak sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit hati, termasuk hepatitis B yang menjadi salah satu faktor risiko timbulnya kanker hati (Zakaria et al. 2006). Produk pangan IRTP lain yang tergolong pangan fungsional diantaranya adalah jahe instant. Secara ilmiah jahe telah diteliti mampu menaikkan aktifitas salah satu sel darah putih, yaitu sel natural killer (NK) dalam mematikan targetnya, yaitu sel tumor dan sel yang terinfeksi virus. Produk jahe instant dapat diklaim sebagai minuman pencegah tumor (Zakaria et al. 2006).

Namun demikian pangan fungsional adalah tergolong pangan, bukan obat. Pangan fungsional harus disajikan dan dikonsumsi layaknya makanan atau minuman yang dapat dikonsumsi sehari-hari (Surat Keputusan Kepala Badan POM Nomor :

(14)

HK.00.05.52.0685 2005 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional). Pangan fungsional juga harus memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur atau konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima konsumen. Jadi pangan fungsional berfungsi sebatas mencegah terjadinya penyakit tertentu. Hal ini berbeda dengan obat yang berfungsi untuk mengobati penyakit.

Pelarangan klaim khasiat pangan sebagai obat bertujuan untuk mencegah terjadinya salah pengertian (misleading) konsumen dalam mengkonsumsi pangan yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan prinsip umum pelabelan pangan yang diatur dalam Codex Stan 1-1985.

Produk pangan IRTP dapat saja termasuk dalam golongan pangan yang mengklaim berfungsi sebagai obat, misalnya jahe instant yang umumnya diklaim dapat mengobati sakit batuk, masuk angin, mual-mual (gangguan pencernaan) dan sebagainya (Zakaria et al. 2006). Produk pangan IRTP lainnya yang biasanya diklaim dapat mengobati penyakit tertentu adalah kelopak bunga rosela. Produk ini identik dengan fungsinya untuk mengobati kanker, tumor, mengatasi lemah syahwat, mengurangi panas dalam, mengatasi susah BAB, menyembuhkan sariawan, menyembuhkan penyakit hipertensi dan lain-lain.

Pengawasan terhadap praktek klaim pangan sebagai obat harus dilakukan oleh pemerintah. Pengawasan terhadap produk IRTP dilakukan oleh pemerintah daerah (dinas kesehatan). Pemerintah (Badan POM) harus memfasilitasi kepada petugas pengawas pangan di kabupaten kota agar memiliki pengetahuan dan kompetensi yang cukup dalam mengawasi praktek pelabelan, khususnya pencantuman klaim khasiat pangan sebagai obat. Untuk meningkatkan pengetahuan dan kompetensi petugas pengawas pangan kabupaten kota, pemerintah (Badan POM) dapat menyelenggarakan pelatihan dan bimbingan teknis tentang pengawasan pelabelan pangan.

4.1.5 Pencantuman gambar yang menyesatkan.

Pencantuman gambar yang menyesatkan telah dinyatakan dilarang dalam semua sumber peraturan pelabelan. Yang dimaksud dengan gambar yang menyesatkan adalah ketidakcocokan antara ilustrasi gambar pada label/kemasan dengan isi produk pangan yang sesungguhnya. Produk IRTP yang bisa dijadikan contoh misalnya produk yangko. Yangko merupakan makanan khas kota gede Yogyakarta. Yangko terbuat dari beras ketan sebagai bahan baku utama selain gula pasir, flavor, pewarna sintetis makanan. Namun pada kemasannya dicantumkan gambar/foto buah-buahan

(15)

yang seolah-olah memberikan kesan bahwa yangko tersebut mengandung buah-buahan alami. Padahal kenyataanya hanya menggunakan flavor dan pewarna makanan, misalnya flavor durian, flavor strawberry, flavor coklat dan lain-lain. Pencantuman gambar buah-buahan pada produk yangko tersebut dapat diartikan menipu konsumen (deceptive). Hal ini melanggar prinsip dasar pelabelan dalam Codex Stan 1-1985.

4.2 Kajian Materi Penyuluhan IRTP

Materi penyuluhan IRTP yang dikaji terdiri atas materi pelabelan pangan dan materi sanitasi. Materi penyuluhan IRTP tentang pelabelan berupa modul pengemasan, penyimpanan dan pelabelan beserta hand out power point presentation. Sedangkan materi penyuluhan IRTP tentang sanitasi adalah modul higiene dan sanitasi pengolahan pangan. Muatan materi pelabelan dalam modul pengemasan, penyimpanan dan pelabelan dapat dilihat pada Tabel 10. Sedangkan muatan materi pelabelan dalam hand out power point presentation pelabelan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 10 Muatan materi pelabelan dalam modul pengemasan, penyimpanan dan pelabelan

No Aspek Materi penyuluhan Keterangan 1 Keterangan minimal yang harus tercantum pada label 1. Nama produk

2. Berat bersih/isi bersih 3. Nama dan alamat pihak

yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia 4. Komposisi/daftar bahan 5. Keterangan kedaluwarsa 6. Keterangan halal

Keterangan minimal dalam

hand out power point presentation memuat hal-hal

seperti dalam PP Pelabelan kecuali Kode/Tanggal Produksi. Namun keterangan halal dan nomor

pendaftaranjustru digolongkan dalam keterangan minimal. 2 Aspek pencantuman keterangan halal

Keterangan halal dinyatakan wajib dicantumkan pada label pangan. Keterangan halal harus dapat

dipertanggungjawabkan.

Materi penyuluhan tidak menjelaskan lebih lanjut tentang persyaratan pencantuman halal sebagaimana diatur dalam PP Pelabelan dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan

3 Aspek pencantuman informasi

- Tidak menjelaskan aturan

(16)

No Aspek Materi penyuluhan Keterangan

nilai gizi gizi pada label

4 Aspek klaim yang menyatakan pangan berfungsi sebagai obat

- Tidak menjelaskan klaim

seperti yang diatur dalam PP Pelabelan

5 Aspek pencantuman gambar yang menyesatkan

Hanya disebutkan bahwa keterangan dalam label tidak boleh mengecoh

Tidak menjelaskan lebih detil seperti yang dijelaskan dalam PP Pelabelan dan Pedoman Umum 6 Aspek

lainnya

a. Fungsi label

b. Kewajiban pelabelan bagi pangan yang dikemas dan diperdagangkan

c. Pelarangan mengganti keterangan kedaluwarsa d. Pidana pelanggar pelabelan e. Keterangan kedaluwarsa

Aspek lain pelabelan yang diatur dalam PP Pelabelan dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan tidak dimuat dalam materi penyuluhan IRTP

Perbandingan lebih lengkap muatan materi pelabelan antara materi penyuluhan dengan beberapa sumber peraturan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 menunjukkan bahwa muatan materi pelabelan dalam materi penyuluhan sangat kurang jika dibandingkan dengan materi pelabelan dalam peraturan perundangan pelabelan. Materi pelabelan dalam materi penyuluhan IRTP hanya memuat 4 hal (14.8 %) dari 27 hal yang diatur dalam peraturan pelabelan. Kurangnya muatan materi pelabelan dalam materi penyuluhan IRTP dapat mempengaruhi pengetahuan produsen IRTP yang mengikuti penyuluhan tersebut. Pada akhirnya kurangnya pengetahuan produsen IRTP akan berpengaruh terhadap pelabelan yang dilakukan oleh produsen IRTP.

Seharusnya materi penyuluhan tentang pelabelan lebih dilengkapi dengan aspek-aspek yang umumnya dilakukan dalam pelabelan pangan seperti aspek-aspek pencantuman halal, aspek pencantuman informasi nilai gizi, aspek pencantuman klaim pada label (klaim kesehatan, klaim alami, klaim asli, klaim kaya akan zat gizi tertentu dll), klaim khasiat sebagai obat, dan klaim tanpa Bahan Tambahan Pangan (BTP) tertentu.

(17)
(18)

Namun demikian, tidak semua aspek pelabelan dalam PP Pelabelan Pangan sesuai dengan kondisi IRTP. Sebagai contoh, aspek pencantuman informasi nilai gizi produk susu formula bayi, pencantuman keterangan tentang iradiasi pangan, pencantuman keterangan tentang rekayasa genetik da n lain-lain. Aspek-aspek tersebut tidak sesuai dengan produk pangan IRT yang dibatasi hanya produk-produ pangan yang tidak memiliki risiko tinggi (PP No. 28 tahun 2004, pasal 43 ayat 4). Oleh karena itu perlu dipikirkan perlunya pedoman pelabelan khusus mengatur tentang pelabelan pangan IRTP. Dalam pedoman ini harus memuat dengan tegas persyaratan pelabelan bagi IRTP dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh produsen IRTP. Selain itu dalam pedoman ini sebaiknya memuat contoh-contoh dalam bentuk gambar yang menarik agar lebih mudah dipahami oleh petugas penilai label kabupaten/kota maupun oleh produsen IRTP.

Kajian terhadap modul higiene dan sanitasi pengolahan pangan menunjukkan bahwa cakupan materi pada modul ini sudah cukup lengkap. Perbandingan cakupan materi sanitasi pada modul higiene dan sanitasi dengan cakupan materi sanitasi dari

Code of Practice General Principles of Food Hygiene, CAC/RCP1-1969, Rev. 4 (2003) dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Perbandingan cakupan materi sanitasi antara modul higiene dan sanitasi dengan Code of Practice Food Hygiene

Modul higiene dan sanitasi CAC/RCP1-1969 rev.4 2003 1. Sanitasi pengolahan

pangan

2. Sanitasi pekerja 3. Sanitasi peralatan 4. Sanitasi air 5. Sanitasi hama dan

lingkungan

6. Penanganan limbah

1. Sanitasi pengolahan pangan (termasuk sanitasi air)

2. Disain dan fasilitas bangunan dan peralatan 3. Sanitasi lingkungan

4. Sanitasi pekerja

5. Sanitasi peralatan dan pemeliharaan (termasuk sanitasi hama)

6. Sanitasi transportasi

Tabel 12 menunjukkan bahwa cakupan materi sanitasi dalam modul higiene dan sanitasi pengolahan pangan sudah sesuai dengan cakupan materi sanitasi yang termuat dalam CAC/RCP 1-1969 revisi 4 tahun 2003. Untuk melihat lebih jauh muatan materi sanitasi dalam modul higiene sanitasi pengolahan pangan, maka dilakukan identifikasi terhadap muatan materi sanitasi apakah sudah memuat teori dan petunjuk praktis yang memudahkan pemilik IRTP untuk mempraktekkan kegiatan sanitasi. Hasil

(19)

identifikasi terhadap muatan materi sanitasi dalam modul higiene dan sanitasi dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Hasil identifikasi terhadap muatan materi sanitasi dalam Modul Higiene dan Sanitasi Pengolahan Pangan

No Aspek Sanitasi Teori Petunjuk

praktis 1 Sanitasi pengolahan pangan

a. Pengukuran suhu pemasakan selama pengolahan pangan

b. Metode pemasakan dan aspek keamanan (pressure cooker, pendidihan, oven, penggorengan dalam minyak, pemanggangan, pemasakan, makanan beku, mempertahankan suhu tinggi, pemasakan kembali) √ √ 2 Sanitasi pekerja a. Kesehatan pekerja b. Kebersihan tangan c. Perlengkapan pekerja

d. Tata tertib umum dan kebiasaan lain

√ √

3 Sanitasi peralatan

a. Pembersihan dan sanitasi peralatan

b. Metode pembersihan dan sanitasi peralatan (alat-alat besar,(alat-alat-(alat-alat kecil,tangan

pekerja,lingkungan)

√ √

4 Sanitasi air

a. Air untuk pembersihan dan sanitasi b. Sumber air dan penanganannya

√ √

5 Sanitasi hama dan lingkungan

a. Cara-cara pengawasan hama tikus b. Cara-cara pengawasan hama

(20)

4.3 Pengetahuan Responden Terhadap Pelabelan dan Sanitasi 4.3.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang diwawancarai di Propinsi DI Yogyakarta meliputi : (1) Tingkat pendidikan, (2) Jabatan, (3) Jenis pangan yang diproduksi, (4) Jumlah karyawan, dan (5) Jenis Nomor Izin Edar (NIE)/nomor pendataran. Data karakteristik responden dapat dilihat pada Lampiran 5. Sedangkan form kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang pengetahuan responden dapat dilihat pada Lampiran 2.

Responden yang diwawancarai diutamakan pemilik IRTP. Namun jika pemilik IRTP tidak dapat diwawancarai, maka responden dapat diwakili oleh karyawan IRTP yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya proses produksi. Pemilik/karyawan yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya proses produksi dianggap memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada karyawan lain, karena biasanya pemilik/karyawan yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya produksi tersebut merupakan wakil IRTP dalam Penyuluhan Keamanan Pangan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau programm pembinaan sejenis lainnya.

4.3.1.1 Tingkat pendidikan

Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan bahwa sebagian besar (46.0%) responden memiliki tingkat pendidikan SLTA. Selanjutnya secara berturut-turut tingkat pendidikan responden adalah SLTP (27.3%), SD (14.9%), S1 (6.8%), Diploma (3.7%) dan sisanya (1.2%) tidak diketahui tingkat pendidikannya.

(21)

SLTP 27,3% SLTA 46,0% S1 6,8% Diploma 3,7% SD 14,9% Tidak diketahui 1,2%

n = 161

Gambar 3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikannya.

Jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan penduduk usia kerja di Propinsi Di Yogyakarta, maka proporsi jumlah responden (IRTP) berdasarkan tingkat pendidikan tersebut merupakan cermin tingkat pendidikan penduduk usia kerja di Propinsi DI Yogyakarta. Data kependudukan BPS DI Yogyakarta, Pebruari 2007 menunjukkan bahwa dari 1.854.419 penduduk usia kerja, tingkat pendidikannya didominasi oleh SLTA sebanyak 28.4%, selanjutnya SD 27.8%, SLTP 15.8%, tidak sekolah 15.0%, universitas (minimal S1) 8.0% dan diploma 4.9%. Proporsi tingkat pendidikan penduduk usia kerja di Propinsi DI Yogyakarta ini cenderung sama dengan tingkat pendidikan responden (IRTP).

Telah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) diantaranya ditentukan oleh kualitas pendidikan. Semakin baik kualitas pendidikan seseorang, maka semakin baik kualitas kerja seseorang tersebut. Kualitas pendidikan seseorang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas materi pendidikan yang diperolehnya. Sedangkan kualitas dan kuantitas pendidikan dapat diukur dari tingkat pendidikan. Kualitas dan kuantitas pendidikan di tingkat SD tentu tidak sebaik di tingkat SMP dan seterusnya pada level yang lebih tinggi. Hal inilah yang menyebabkan bahwa mutu SDM suatu negara ditentukan salah satunya oleh tingkat pendidikan SDM di suatu negara tersebut.

Kenyataan sehari-hari yang dapat dijadikan contoh tentang hal tersebut adalah seleksi karyawan di perusahaan swasta maupun instansi pemerintah yang selalu

(22)

berusaha mencari SDM dengan kualitas lebih baik. Biasanya perusahaan/instansi pemerintah tersebut menetapkan syarat dasar diantaranya adalah tingkat pendidikan dan nilai kelulusan/Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Memang syarat tingkat pendidikan ini, tergantung dari kebutuhan tenaga kerja di tiap-tiap perusahaan/instansi pemerintah. Perbedaan tanggungjawab dan beban kerja/job description membutuhkan SDM dengan tingkat pendidikan yang berbeda juga. Namun seiring dengan tuntutan jaman dan ketatnya iklim kompetisi kerja, beban pekerjaan yang tadinya dianggap ringan dan pantas dikerjakan oleh SDM dengan tingkat pendidikan SLTA saja misalnya, sekarang sudah membutuhkan SDM dengan tingkat pendidikan sarjana atau diploma. Sarjana atau diploma dianggap memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mengerjakan pekerjaan yang sama tersebut dibanding SDM dengan pendidikan SLTA. Pada akhirnya diharapkan peningkatan kualitas hasil kerja SDM, turut mempengaruhi kinerja perusahaan/instansi pemerintah.

Kecenderungan ini terjadi juga di IRTP. Dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan suatu penduduk usia kerja, maka semakin banyak dijumpai pemilik IRTP yang berpendidikan sarjana/diploma. Peningkatan tingkat pendidikan pemilik IRTP diharapkan semakin meningkatkan kinerja IRTP. Namun demikian, pengalaman seseorang juga menjadi salah satu faktor yang menentukan kualitas kinerja seseorang. SDM yang memiliki tingkat pendidikan rendah namun memiliki pengetahuan yang baik yang diperoleh dari pengalaman kerjanya, maka kualitas kerjanya juga turut baik. Idealnya memang tingkat pendidikannya tinggi dan berlatar belakang memiliki kompetensi di bidang pangan serta memiliki pengalaman yang mendukung. Namun hal ini berbeda dengan kenyataan di lapang.

IRTP dituntut untuk menghasilkan pangan yang aman, bermutu, dan layak untuk dikonsumsi (Rahayu et al. 2003). Untuk menghasilkan pangan yang aman, bermutu, dan layak dikonsumsi, diperlukan beberapa persyaratan minimal di dalam proses produksinya yang harus diketahui, dipahami dan diterapkan oleh pemilik IRTP. Pengetahuan tentang persyaratan minimal tersebut dapat diperoleh pemilik IRTP lewat program penyuluhan dalam rangka SPP-IRT. Namun tingkat pemahaman dan penerapannya berbeda-beda antar IRTP. Hal ini dapat/mungkin dipengaruhi diantaranya oleh pengalaman, keahlian, daya tangkap, kemauan/sikap/attitude dan komitmen yang dimiliki oleh pemilik IRTP. Kualitas pendidikan yang baik dipercaya dapat menghasilkan SDM dengan daya tangkap/nalar, sikap, dan komitmen yang baik.

(23)

Oleh karena itu, tingkat pendidikan SDM dipercaya dapat meningkatkan keamanan dan mutu pangan IRTP.

4.3.1.2 Jabatan

Karakteristik responden lainnya yang diamati adalah jabatan yang dimiliki responden di IRTP yang bersangkutan. Sebanyak 83.9% responden IRTP yang diwawancarai adalah menjabat sebagai pemilik IRTP yang bersangkutan. Sedangkan responden yang menjabat sebagai karyawan/penanggungjawab adalah sebesar 16.1%. Proporsi jumlah responden berdasarkan jabatannya tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Penanggung Jawab/karyawan 16% Pemilik 83,9%

Gambar 4 Proporsi jumlah responden berdasarkan jabatannya.

Data tingkat pengetahuan responden dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara. Benar atau tidaknya jawaban yang diberikan oleh responden tergantung dari penguasaannya terhadap masalah pangan yang diproduksi. Diantaranya adalah masalah pelabelan dan sanitasi. Dua masalah ini menjadi bagian sehari-hari dalam kegiatan produksi pangan IRTP. Pemilik IRTP sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kegiatan produksi pangan IRTP, dianggap lebih menguasai terhadap masalah pelabelan dan sanitasi dibanding karyawannya. Hal ini dikarenakan umumnya pemilik IRTPlah yang mewakili IRTP dalam mengikuti

(24)

penyuluhan keamanan pangan dalam rangka SPP-IRT. Sedangkan pengetahuan tentang pelabelan dan sanitasi diperoleh lewat penyuluhan tersebut, sehingga pemilik IRTP dianggap lebih menguasai masalah pelabelan dan sanitasi daripada karyawannya.

Namun demikian, jika pemilik tidak dapat mengikuti penyuluhan keamanan pangan dalam rangka SPP-IRT karena alasan tertentu maka biasanya pemilik IRTP menunjuk satu karyawannya yang dianggap paling menguasai terhadap kegiatan produksi pangan IRTP untuk menjadi peserta penyuluhan tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini responden diharapkan pemilik IRTP. Namun jika pemilik IRTP tidak dapat menjadi responden karena suatu alasan tertentu, maka sebagai gantinya adalah karyawan yang dianggap menguasai/bertanggung jawab terhadap kegiatan produksi. Dengan demikian tujuan untuk mengukur pengetahuan responden terhadap pelabelan dan sanitasi dapat tercapai tanpa bias. Adapun responden yang belum pernah mengikuti penyuluhan keamanan pangan dalam rangka SPP-IRT dapat dijadikan sebagai pembanding terhadap pengetahuan responden yang telah mengikuti penyuluhan.

Responden dalam penelitian ini sebagian besar adalah pemilik IRTP. Hanya 16.1% responden yang berstatus sebagai karyawan yang bertanggung jawab dalam kegiatan produksi pangan. Hal ini menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh dalam penelitian ini diperoleh dari pihak yang berkompeten sehingga dapat dipercaya kebenarannya untuk menyimpulkan tentang tingkat pengetahuan responden.

4.3.1.3 Jenis pangan

Karakteristik responden IRTP dalam penelitian juga dibedakan dari jenis pangannya. Jenis produk yang diproduksi oleh responden IRTP dapat dilihat pada Lampiran 6. Sedangkan proporsi jumlah dan persentase responden IRTP berdasarkan jenis pangan yang diproduksi dapat dilihat pada Gambar 5.

Informasi mengenai jenis pangan responden sangat penting untuk memberikan gambaran tentang tingkat risiko pangan IRTP. Tingkat risiko IRTP sendiri selain ditentukan oleh jenis pangan, juga ditentukan oleh praktek sanitasi di sarana produksi IRTP. Praktek sanitasi yang kurang tepat akan meningkatkan risiko pangan yang dihasilkannya. Kajian tentang hubungan jenis produk yang dihasilkan oleh IRTP dengan praktek sanitasi akan dijelaskan dalam praktek sanitasi.

(25)

Gambar 5 Proporsi jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis pangan yang diproduksi.

Gambar 5 menunjukkan bahwa sebagian besar (99 responden atau 61.5%) memproduksi pangan yang tergolong dalam jenis tepung dan hasil olahnya. Selanjutnya berturut-turut biji-bijian dan umbi-umbian (24 responden IRTP atau 14.9%), minuman ringan (9 responden IRTP atau 5.6%), buah dan hasil olahnya (8 responden IRTP atau 5.0%), ikan dan hasil olahnya (7 responden IRTP atau 4.3%), gula, madu dan kembang gula (5 responden IRTP atau 3.1%), tidak diketahui (4 responden IRTP atau 2.5%), unggas dan hasil olahnya (2 responden IRTP atau 1.2%), bumbu (2 responden IRTP atau 1.2%), dan minyak goreng (1 responden IRTP atau 0.6%).

Proporsi ini menunjukkan bahwa sebagian besar jenis pangan populasi IRTP di Propinsi DI Yogyakarta telah diwakili oleh responden. Keterwakilan populasi IRTP oleh responden berdasarkan jenis pangannya dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Perbandingan jumlah sampel responden IRTP terhadap populasi menurut jenis pangannya

Jumlah (IRTP) No Jenis Pangan Populasi Sampel

Persentase keterwakilan (%)

1 Daging dan hasil olahnya 5 0 0

2 Ikan dan hasil olahnya 4 7 175

3 Unggas dan hasil olahnya 8 2 25

4 Sayur dan hasil olahnya 2 0 0

5 Kelapa dan hasil olahnya 24 0 0

6 Tepung dan hasil olahnya 196 99 50.5

7 Minyak goreng 0 1 >100

8 Jem dan sejenisnya 0 0 0

99; 61,5% 24; 14,9% 9; 5,6% 8; 5,0% 7; 4,3% 5; 3,1% 4; 2,5% 2; 1,2% 2; 1,2% 1; 0,6%

Tepung dan hasil olahnya Biji-bijian dan umbi-umbian Minuman ringan, jus Buah dan hasil olahnya Ikan dan hasil olahnya Gula, madu, kembang gula Tidak diketahui

Unggas dan hasil olahnya Bumbu

Minyak goreng n = 161

(26)

Jumlah (IRTP) No Jenis Pangan Populasi Sampel

Persentase keterwakilan (%)

9 Gula, madu, kembang gula 15 5 33.3

10 Coklat, kopi, the 6 0 0

11 Bumbu 5 2 40.0

12 Rempah-rempah 4 0 0

13 Minuman ringan, jus 20 9 45.0

14 Buah dan hasilnya 15 8 53.3

15 Biji-bijian dan umbi-umbian 40 24 60

16 Es 3 0 0

17 Tidak diketahui 249 4

Jumlah 596 161 27

Tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki jenis pangan yang mewakili jenis pangan populasi IRTP. Sebagian jenis pangan memang tidak terwakili oleh responden seperti sayur dan hasil olahnya, kelapa dan hasil olahnya, rempah-rempah dan hasil olahnya, serta es. Hal ini terjadi karena dalam pelaksanaan pengambilan sampel terdapat kendala dalam mendapatkan IRTP dengan jenis pangan tersebut. Kendala yang dihadapi adalah pada saat akan berangkat ke IRTP dengan jenis pangan tersebut, cuaca dalam kondisi hujan sehingga rencana harus dibatalkan dan dialihkan ke tempat lain yang tidak ada kendala. Kendala lainnya adalah IRTP yang bersangkutan sedang tidak dalam kondisi produksi. Sementara waktu dan biaya penelitian yang terbatas membuat pengambilan sampel harus terus dilakukan, dengan konsekuensi sebagian populasi tidak terwakili. Namun demikian jika dilihat dari jumlah populasi IRTP dengan jenis pangan yang tidak terwakili tersebut, maka keseluruhan populasi terwakili. Bahkan terdapat jumlah sampel IRTP yang lebih besar daripada jumlah populasi, seperti ikan dan hasil olahnya dan minyak goreng. Hal ini terjadi mungkin karena data populasi IRTP diperoleh pada tahun 2007 sedangkan data sampel diperoleh pada tahun 2009 sehingga mungkin saja dalam rentang waktu dari tahun 2007 hingga tahun 2009 telah terjadi pertumbuhan jumlah IRTP. Dari 16 jenis pangan yang ada, 9 (56%) jenis pangan terwakili rata-rata 33%. Jumlah ini dapat dianggap dapat mewakili populasi.

4.3.1.4 Jumlah karyawan

Berdasarkan jumlah karyawan yang dimiliki responden IRTP, jumlah karyawan yang paling banyak adalah 1-5 orang (72.0%). Selanjutnya berturut-turut 6-10 orang (14.9%), lebih dari 20 orang (7.5%), 11-15 orang (2.5%), 16-20 orang

(27)

(1.9%), sedangkan yang tidak diketahui jumlah karyawannya sebanyak 1.2%. Karakteristik responden berdasarkan jumlah karyawan yang dimiliki dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Karakteristik responden berdasarkan jumlah karyawan yang dimiliki No Jumlah karyawan responden

IRTP (orang)

Jumlah IRTP (buah) %

1 1 – 5 116 72.0 2 6 – 10 24 14.9 3 11 – 15 4 2.5 4 16 – 20 3 1.9 5 > 20 12 7.5 6 Tidak diketahui 2 1.2

Jika dilihat dari definisi industri rumah tangga menurut BPS, maka responden IRTP umumnya adalah industri kerajinan rumah tangga (memiliki karyawan 1-4 orang) dan industri kecil (memiliki karyawan 5-19 orang). Sedangkan yang tergolong industri sedang (memiliki karyawan 20-99 orang) hanya 7.5%.

Informasi tentang jumlah karyawan dapat menggambarkan skala usaha IRTP sehingga dapat menggambarkan pula fasilitas pabrik yang dimiliki seperti misalnya fasilitas toilet. Selain itu skala IRTP juga menggambarkan teknologi pengolahan yang dimiliki, kemampuan usaha, dan kondisi penjualan/pengemasan. IRTP dengan produksi skala kecil yang dijual dan dikemas langsung di hadapan pembeli tidak wajib melakukan pelabelan (PP No 69 tahun 1999).

4.3.1.5 Nomor pendaftaran/Nomor Izin Edar (NIE)

Responden dalam penelitian ini juga dapat digolongkan menurut jenis Nomor Izin Edar (NIE) yang dimilikinya. Nomor Izin Edar IRTP yang berlaku sekarang ini ada dua jenis yaitu SP (Sertifikat Penyuluhan) dan P-IRT (Pangan Industri Rumah Tangga). NIE SP merupakan produk sertifikasi produk IRTP sebelum tahun 2003, sedangkan setelah tahun 2003 yang berlaku adalah NIE P-IRT. Namun demikian tidak berarti semua produk pangan memiliki NIE. Terdapat beberapa produk pangan IRTP yang tidak memiliki NIE atau disebut Tidak Terdaftar (TT). PP No. 28 tahun 2004 pasal 44 menyatakan bahwa produk pangan yang memiliki masa simpan kurang dari 7 hari dan atau dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan permohonan pendaftaran, penelitian dan konsumsi sendiri tidak wajib

(28)

memiliki NIE. Produk semacam ini dijamin oleh hukum untuk tidak memiliki NIE. Namun terdapat juga produk IRTP yang tidak memiliki NIE dan tidak dijamin hukum/melanggar hukum, misalnya produk kerupuk yang memiliki masa simpan lebih daripada 7 hari dan dijual serta dikemas dalam jumlah cukup besar seperti yang terlihat di warung-warung selama ini. Produk yang memang tidak memiliki NIE dan dijamin hukum, maka tidak perlu mencantumkan NIE pada labelnya. Sedangkan produk pangan IRTP yang tidak memiliki NIE/TT yang sifatnya melanggar hukum, maka harus mendaftarkan produknya terlebih dahulu sebelum beredar sehingga dapat mencantumkan NIE pada labelnya.

Karakteristik responden berdasarkan jenis NIE dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa sebagian besar (78.3%) responden memiliki NIE P-IRT, dilanjutkan dengan SP (14.3%) dan sebanyak 7.5% tidak memiliki NIE atau tidak terdaftar (TT). SP 14,3% Tidak Terdaftar (TT) 7,5% P-IRT 78,3% Gambar 6 Karakteristik responden IRTP berdasarkan jenis Nomor Izin Edar (NIE)

yang dimiliki.

Jenis NIE dapat menggambarkan materi penyuluhan yang diikuti oleh pemilik IRTP. NIE P-IRT menunjukkan bahwa materi penyuluhan yang diikuti oleh pemilik mengacu pada SK Kabadan Nomor HK.00.05.5.1640 tentang pedoman SPP-IRT. NIE P-IRT mulai diterbitkan sejak tahun 2003 hingga sekarang. Sedangkan NIE SP menunjukkan bahwa materi penyuluhan yang diikuti oleh pemilik mengacu pada keputusan Dirjen POM Depkes RI No 02608/B/VIII/87 tentang petunjuk pelaksanaan

(29)

penyuluhan bagi perusahaan makanan IRT. NIE SP mulai diterbitkan tahun 1987 dan tidak diterbitkan lagi sejak tahun 2004. Namun demikian, di pasaran masih dijumpai produk IRTP dengan nomor SP. Pemilik IRTP yang tidak memiliki NIE (TT) tidak mengikuti penyuluhan sama sekali. Perbandingan materi penyuluhan NIE P-IRT dan NIE SP dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Perbandingan Materi Penyuluhan Keamanan Pangan dalam rangka pemberian Nomor Izin Edar P-IRT dan SP

No Jenis NIE Materi Penyuluhan

1 P-IRT 1. Berbagai jenis bahaya dan cara-cara menanganinya 2. Pengawetan pangan

3. Higiene sanitasi sarana produsen IRT

4. CPPB-IRT (Cara Produksi Pangan yang Baik)

5. Peraturan perundangan tentang keamanan pangan, penggunaan BTP, pelabelan pangan

2 SP 1. Bakteri penyebab keracunan 2. Higiene makanan

3. Peraturan perundangan tentang penggunaan BTP dan pelabelan makanan

Tabel 16 menunjukkan bahwa materi penyuluhan NIE P-IRT dan NIE SP sama-sama memuat materi sanitasi. Demikian juga dengan materi peraturan pelabelan pangan sama-sama dimuat dalam materi penyuluhannya. Perbandingan cakupan materi sanitasi serta pelabelan pangan antara materi penyuluhan NIE P-IRT dan NIE SP dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Cakupan materi sanitasi dan materi pelabelan pangan dalam penyuluhan dalam rangka pemberian Nomor Izin Edar (NIE) P-IRT dan SP

Cakupan Materi No Jenis Materi

NIE P-IRT NIE SP

1 Sanitasi 1. Sanitasi pengolahan pangan

2. Sanitasi pekerja 3. Sanitasi peralatan 4. Sanitasi air

5. Sanitasi hama dan lingkungan

6. Penanganan limbah

1. Higiene pengolahan 2. Higiene karyawan 3. Higiene air

4. Cara pembersihan dan disinfeksi wadah dan peralatan

2 Pelabelan pangan 1. Nama produk

2. Berat bersih/isi bersih 3. Nama dan alamat pihak

yang memproduksi atau memasukkan pangan ke

1. Nama makanan 2. Komposisi 3. Isi bersih/netto

4. Nama dan alamat produsen

(30)

Cakupan Materi No Jenis Materi

NIE P-IRT NIE SP

wilayah Indonesia 4. Komposisi/daftar bahan 5. Keterangan kedaluwarsa 6. Keterangan halal 5. Nomor pendaftaran 6. Kode produksi

Produk tertentu wajib mencantumkan :

1. Tanggal daluwarsa 2. Nilai gizi

Petunjuk penggunaan dan cara penyimpanan

Tabel 17 menunjukkan bahwa materi sanitasi pangan dalam penyuluhan dalam rangka sertifikasi P-IRT (NIE P-IRT) lebih lengkap daripada materi penyuluhan dalam rangka sertifikasi SP (NIE SP). Materi penyuluhan sanitasi yang tidak termuat dalam NIE SP adalah sanitasi hama dan lingkungan, dan penanganan limbah. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan pengetahuan responden IRTP yang memiliki NIE SP dan NIE P-IRT khususnya dalam hal sanitasi hama dan lingkungan dan penanganan limbah. Seharusnya responden yang memiliki NIE P-IRT memiliki pengetahuan tentang hama dan lingkungan lebih tinggi daripada NIE SP.

Materi pelabelan dalam penyuluhan dalam rangka NIE P-IRT dan SP sama-sama memuat keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada label. Namun terdapat perbedaan dalam pencantuman keterangan minimal tersebut. Materi pelabelan dalam penyuluhan dalam rangka NIE P-IRT mencantumkan keterangan halal sebagai salah satu keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label. Sedangkan keterangan nomor pendaftaran dan tanggal/kode produksi tidak merupakan keterangan minimal yang wajib dicantumkan. Sedangkan dalam materi pelabelan dalam rangka NIE SP menjelaskan bahwa kode produksi dan nomor pendaftaran merupakan keterangan yang wajib dicantumkan dalam label. Tetapi keterangan halal bukan merupakan keterangan yang wajib dicantumkan pada label. Mengenai keterangan kedaluwarsa, materi pelabelan dalam rangka NIE P-IRT menyatakan bahwa keterangan kedaluwarsa merupakan keterangan yang wajib dicantumkan pada label. Sedangkan materi pelabelan dalam rangka NIE SP menjelaskan bahwa keterangan kedaluwarsa baru merupakan keterangan yang wajib dicantumkan untuk produk pangan yang mudah rusak.

Jika dibandingkan dengan PP Pelabelan maka materi pelabelan baik dalam materi penyuluhan dalam rangka NIE P-IRT maupun NIE SP sama-sama belum

(31)

sesuai dengan PP Pelabelan. Untuk saat sekarang, materi pelabelan baik dalam materi penyuluhan dalam rangka NIE P-IRT maupun NIE SP harus disesuaikan dengan materi pelabelan dalam PP Pelabelan dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan.

Jika dibandingkan dengan responden yang memiliki NIE, maka NIE yang tidak memiliki NIE/TT diduga memiliki pengetahuan yang rendah baik terhadap pelabelan maupun terhadap sanitasi. Karena responden TT diasumsikan tidak mengikuti penyuluhan.

Selain faktor perbedaan muatan materi yang mungkin dapat menyebabkan perbedaan tentang pengetahuan responden, masa/waktu responden mendapatkan penyuluhan juga mungkin dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan responden. NIE SP umumnya diperoleh sebelum tahun 2003, sedangkan NIE P-IRT dapat diperoleh sejak tahun 2003 hingga sekarang. Perbedaan masa perolehan NIE SP dan P-IRT ini mungkin dapat menyebabkan tingkat pengetahuan yang berbeda antara responden yang memiliki NIE SP dengan NIE P-IRT. Hal ini terjadi karena baik NIE SP maupun NIE P-IRT dalam pedoman sertifikasinya tidak mengatur masalah masa berlaku NIE. Dengan tidak adanya pembatasan masa berlaku, maka tidak ditetapkan pula audit surveilan untuk menilai penerapan persyaratan keamanan pangan di IRTP yang bersangkutan. Hal ini menyebabkan tidak adanya pembinaan berkala bagi IRTP yang tealh mendapatkan NIE (SP/P-IRT).

Dalam penelitian ini akan dikaji pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan responden baik terhadap pelabelan maupun sanitasi. Sedangkan pengaruh masa diperolehnya NIE SP dan NIE P-IRT tidak dapat dikaji karena tidak tersedia data yang mendukung.

4.3.2 Pengetahuan Responden Tentang Pelabelan 4.3.2.1 Persepsi responden terhadap pelabelan

Hasil wawancara enumerator dengan responden yang direkam dalam kuesioner menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap pelabelan sebagian besar benar. Namun masih dijumpai persepsi responden yang salah terhadap pelabelan pangan. Responden yang dapat menjawab seluruh pertanyaan tentang persepsi responden terhadap pelabelan dengan benar sebanyak 105 responden (65.2%). Tabel 18 menunjukkan jawaban responden terhadap pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui persepsi responden terhadap pelabelan pangan.

(32)

Tabel 18 Jawaban responden terhadap pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui persepsi responden terhadap pelabelan pangan

Pertanyaan (kuesioner blok II) Jawaban No

No Isi Pertanyaan Benar

(%)

Salah (%) 1 1 Apakah produk pangan yang diproduksi harus

aman

98.1 1.9

2 2 Apakah label pangan turut mempengaruhi keamanan pangan

90.7 9.3

3 3 Apakah pemerintah telah menerbitkan peraturan pelabelan pangan

82.0 18.0

4 5 Menurut anda, apakah label pangan anda telah memenuhi peraturan pemerintah

71.4 28.6

Tabel 18 menunjukkan bahwa persentase responden yang memiliki persepsi bahwa pangan harus aman adalah 98.1%. Masih dijumpai responden yang memiliki persepsi bahwa pangan tidak harus aman yaitu sebanyak 1.9%. Demikian juga dengan persepsi responden tentang kaitan fungsi label dengan kemanan pangan, persepsi responden bahwa pemerintah telah menerbitkan peraturan pelabelan pangan, dan persepsi responden tentang pemenuhan label pangan yang dibuat oleh responden terhadap peraturan pemerintah. Umumnya responden memiliki persepsi yang benar terhadap semua aspek tersebut. Namun masih dijumpai sejumlah responden yang belum memiliki persepsi yang benar.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa responden dalam penelitian ini memiliki karakteristik tingkat pendidikan yang beragam mulai dari SD hingga S1. Faktor tingkat pendidikan responden tersebut dapat diduga menjadi faktor yang mempengaruhi terhadap tingkat pengetahuan/persepsi responden terhadap pelabelan. Faktor yang lainnya yang dapat diduga mempengaruhi tingkat pengetahuan responden terhadap persepsi pelabelan adalah penyuluhan yang diikuti oleh responden. Penyuluhan yang diikuti diidentikkan dengan NIE yang dimiliki responden. NIE SP dan P-IRT sama-sama mengindikasikan bahwa pemilik IRTP telah mengikuti penyuluhan keamanan pangan. Sedangkan yang tidak terdaftar(TT)/tidak memiliki NIE diasumsikan tidak mengikuti penyuluhan. Dalam pembahasan ini akan diuji secara statistik untuk melihat apakah terdapat perbedaan secara nyata tingkat pendidikan responden yang memiliki NIE dengan responden yang tidak memiliki NIE (TT). Pengujian statistik juga akan dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat pengetahuan responden yang memiliki tingkat pendidikan SD,

(33)

SLTP, SLTA, Diploma, maupun S1. Data karakteristik responden terutama tingkat pendidikan dan jenis NIE yang dimiliki dapat dilihat pada Lampiran 6.

Selanjutnya untuk menguji pengaruh kedua faktor tersebut terhadap tingkat pengetahuan/persepsi responden terhadap pelabelan digunakan software SPSS

(Statistical Package for The Social Science). Metode pengujian yang digunakan

adalah Npar Tests (uji beda) Kruskal-Wallis Test. Persepsi responden yang diukur tertuang dalam kuesioner blok II pertanyaan nomor 1, 2, 3, 5 seperti disajikan pada Tabel 18.

Hasil uji menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden tidak berbeda nyata dengan jawaban/persepsi responden terhadap pelabelan pangan (p>0.05). Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata tingkat pendidikan terhadap persepsi responden terhadap pelabelan. Responden yang berpendidikan lebih rendah misalnya SD atau SLTP belum tentu tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang label, misalnya tentang kaitan fungsi label dengan keamanan produk pangan. Sebagian responden dengan pendidikan SD atau SLTP dapat menjawab dengan benar mengenai hal ini. Sebaliknya, dijumpai juga responden yang berpendidikan SLTA yang menjawab salah terhadap pertanyaan tentang kaitan fungsi label dengan keamanan produk pangan. Secara statistik terbukti bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap persepsi/pengetahuan responden terhadap pelabelan. Hasil uji statistik tingkat pendidikan dengan persepsi responden terhadap pelabelan dapat dilihat pada Lampiran 7.

Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara pengetahuan/persepsi responden yang memiliki NIE SP, dengan responden yang memiliki NIE P-IRT ataupun dengan yang tidak terdaftar (TT). Responden yang memiliki NIE SP belum tentu tidak berpengetauhan sebaik responden yang memiliki NIE P-IRT atau sebaliknya. Bahkan dijumpai responden yang terdaftar (TT) dapat menjawab pertanyaan tentang kaitan label pangan dengan keamanan produk dengan benar. Hal ini tidak sesuai dengan dugaan semula bahwa materi penyuluhan berpengaruh terhadap pengetahuan/persepsi responden.

Alasan mengapa ternyata diperoleh fakta bahwa tingkat pendidikan dan materi penyuluhan tidak berpengaruh nyata terhadap pengetahuan responden adalah bahwa terdapat faktor lain yang mungkin menyebabkan hal ini terjadi. Faktor tersebut adalah daya tangkap, daya nalar, tekad/kemauan untuk menambah pengetahuan, dan sikap/attitude yang dimiliki oleh seseorang diduga turut berpengaruh terhadap

(34)

pengetahuan yang dimiliki seseorang, termasuk responden dalam penelitian ini. Faktor ini diduga membuat sesorang yang walaupun berpendidikan kurang (SD atau SLTP misalnya), namun karena memiliki tekad, kemauan, daya nalar, dan sikap yang baik maka dapat memiliki pengetahuan di bidang pangan yang baik. Pengetahuan di bidang pangan tersebut dapat diperoleh lewat penyuluhan atau pelatihan dalam rangka SPP-IRT atau dalam rangka pembinaan yang lainnya. Selain itu dengan kemauan yang kuat untuk menambah pengetahuan, mereka bisa menambah pengetahuan di bidnag pangan lewat majalah, koran, buku, atau lewat perkumpulan IRTP. Di Kabupaten Sleman misalnya, terbentuk paguyuban IRTP yang diketuai oleh salah seorang pengusaha IRTP. Salah satu misi paguyuban ini diantaranya adalah menambah wawasan pemilik/pengusaha IRTP di Kabupaten Sleman tentang pangan, khususnya tentang peraturan-peraturan pemerintah di bidang pangan. Selain itu paguyuban ini juga mempunyai misi untuk memperluas jaringan pemasaran baik lewat pemerintah maupun swasta serta memanfaatkan event-event khusus di Kabupaten Sleman atau di Propinsi DI Yogyakarta untuk mempromosikan produk IRTP Kabupaten Sleman. Hal yang sama bisa terjadi di kabupaten/kota lainnya di wilayah DI Yogyakarta. Hal ini menujukkan bahwa kualitas pengetahuan memang ditentukan oleh informasi atau penyuluhan yang diikuti. Namun tidak ditentukan oleh tingkat pendidikan. Penambahan informasi atau pengetahuan tentang pangan dapat diperoleh tanpa lewat jalur formal saja, tetapi bisa diperoleh lewat cara lainnya seperti yang disebutkan di atas. Selain itu, tingkat pendidikan formal belum tentu membuat seseorang/responden serta merta ahli/berpengetahuan cukup di bidang pangan. Perlu pengalaman di bidang pangan, mengikuti penyuluhan, membaca buku tentang pangan, diskusi dengan nara sumber yang berpengetahuan di bidang pangan, mendengarkan ceramah di bidang pangan baik lewat radio, TV, ataupun media lainnya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap pengetahuan responden di bidang pelabelan.

4.3.2.2 Pengetahuan responden terhadap pelabelan

Pengetahuan responden terhadap pelabelan dapat diukur dari jawaban yang diberikan oleh responden saat wawancara dengan enumerator melalui kuesioner. Pertanyaan yang diajukan adalah tentang jenis PP Pelabelan dan keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada label. Pertanyaan untuk mengukur pengetahuan

(35)

responden terhadap pelabelan disajikan pada Tabel 19. Jenis pertanyaan tersebut dapat dilihat pada kuesioner (blok II no 4 dan 7) yang terlampir (Lampiran 2.)

Tabel 19 Tingkat pengetahuan responden terhadap pelabelan

Jawaban No Pertanyaan

Benar (%) Salah (%) 1 Sebutkan Peraturan Pemerintah yang

mengatur pelabelan pangan

9.9 90.1

2 Sebutkan keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label pangan

20.5 79.5

1. Nama produk 90.0

2. Berat bersih/isi bersih 60.9

3. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia

79.5

4. Nomor pendaftaran 78.3

5. Komposisi/daftar bahan 79.5

6. Keterangan kedaluwarsa 62.7

7. Tanggal dan atau kode produksi 78.3

Jumlah responden yang dapat menjawab seluruh pertanyaan dengan benar pada Tabel 19 sebanyak 2 responden (1.2%), sedangkan 159 responden (98.8%) tidak menjawab dengan benar. Dari 2 pertanyaan yang diajukan, pertanyaan yang banyak dijawab salah oleh responden adalah mengenai PP No 69 tahun 1999. Umumnya responden belum mengerti/hafal di luar kepala terhadap PP No. 69 tahun 1999 ini. Hal ini wajar dijumpai pada pemilik/responden IRTP karena mereka tidak dituntut untuk hafal akan jenis PP Pelabelan ini. Yang mereka harus mengerti dan memahami adalah isi PP Pelabelan yang mengatur tentang aspek keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label, karena mereka membutuhkan pengetahuan tersebut ketika melakukan pelabelan.

Pengetahuan responden terhadap keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label ternyata masih rendah. Hanya 20.5% responden yang dapat menjawab dengan benar terhadap pertanyaan yang menanyakan tentang keterangan apa saja yang harus dicantumka pada label. Padahal sebagian besar (78.3%) responden telah mengikuti penyuluhan keamanan pangan dalam rangka SPP-IRT. Seharusnya mereka telah mendapatkan informasi mengenai keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label lewat penyuluhan ini. Namun fakta menunjukkan lain.

Gambar

Tabel 7    Pernyataan tentang keterangan minimal pada label dalam sumber peraturan  pelabelan pangan di Indonesia
Tabel 7 menunjukkan bahwa antara UU Pangan, PP Pelabelan dan Pedoman  Pelabelan Produk Pangan terdapat kesenjangan isi peraturan yang mengatur aspek  keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label pangan
Tabel 8  Pencantuman keterangan halal pada beberapa sumber peraturan   No Peraturan  Bab/Pasal  Isi  peraturan/Keterangan
Tabel 8 menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan sifat pencantuman  keterangan halal pada label pangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variasi pada lama waktu proses sintering pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada ukuran pori dan porositas hidroksiapatit makropori sebagai

Dalam rangka produksi dan peredaran pangan oleh IRTP (Industri Rumah Tangga Pangan), Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan

Dengan melakukan koordinasi yang tepat antar project management team akan meminimalisasi terjadinya konflik atau kesalahpahaman internal, apabila memang akhirnya terjadi

Wisata Alam Ngunut dan Bayanan, Obyek wisata Ngunut dan Bayanan adalah obyek wisata alam dengan mata air panas yang mengandung sulfur dan sangat baik untuk mengobati berbagai

diantaranya dari samarinda –sangata sebanyak 12 pengemudi bus dan samarinda bontang 7 pengemudi bus Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan uji rank

1) Buatlah algoritma yang membaca sebuah bilangan bulat positif lalu menentukan apakah bilangan tersebut merupakan kelipatan 4. Kemudian, translasikan algoritma

Tesis ini bertujuan untuk memperhatikan karakteristi kecepatan putaran motor induksi tiga Phasa sangkar tupai terhadap perubahan nilai resistansi di stator menggunakan pengendali

Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang respon keradangan untuk datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun