Hasil wawancara enumerator dengan responden yang direkam dalam kuesioner menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap pelabelan sebagian besar benar. Namun masih dijumpai persepsi responden yang salah terhadap pelabelan pangan. Responden yang dapat menjawab seluruh pertanyaan tentang persepsi responden terhadap pelabelan dengan benar sebanyak 105 responden (65.2%). Tabel 18 menunjukkan jawaban responden terhadap pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui persepsi responden terhadap pelabelan pangan.
Tabel 18 Jawaban responden terhadap pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui persepsi responden terhadap pelabelan pangan
Pertanyaan (kuesioner blok II) Jawaban No
No Isi Pertanyaan Benar
(%)
Salah (%) 1 1 Apakah produk pangan yang diproduksi harus
aman
98.1 1.9
2 2 Apakah label pangan turut mempengaruhi keamanan pangan
90.7 9.3
3 3 Apakah pemerintah telah menerbitkan peraturan pelabelan pangan
82.0 18.0
4 5 Menurut anda, apakah label pangan anda telah memenuhi peraturan pemerintah
71.4 28.6
Tabel 18 menunjukkan bahwa persentase responden yang memiliki persepsi bahwa pangan harus aman adalah 98.1%. Masih dijumpai responden yang memiliki persepsi bahwa pangan tidak harus aman yaitu sebanyak 1.9%. Demikian juga dengan persepsi responden tentang kaitan fungsi label dengan kemanan pangan, persepsi responden bahwa pemerintah telah menerbitkan peraturan pelabelan pangan, dan persepsi responden tentang pemenuhan label pangan yang dibuat oleh responden terhadap peraturan pemerintah. Umumnya responden memiliki persepsi yang benar terhadap semua aspek tersebut. Namun masih dijumpai sejumlah responden yang belum memiliki persepsi yang benar.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa responden dalam penelitian ini memiliki karakteristik tingkat pendidikan yang beragam mulai dari SD hingga S1. Faktor tingkat pendidikan responden tersebut dapat diduga menjadi faktor yang mempengaruhi terhadap tingkat pengetahuan/persepsi responden terhadap pelabelan. Faktor yang lainnya yang dapat diduga mempengaruhi tingkat pengetahuan responden terhadap persepsi pelabelan adalah penyuluhan yang diikuti oleh responden. Penyuluhan yang diikuti diidentikkan dengan NIE yang dimiliki responden. NIE SP dan P-IRT sama-sama mengindikasikan bahwa pemilik IRTP telah mengikuti penyuluhan keamanan pangan. Sedangkan yang tidak terdaftar(TT)/tidak memiliki NIE diasumsikan tidak mengikuti penyuluhan. Dalam pembahasan ini akan diuji secara statistik untuk melihat apakah terdapat perbedaan secara nyata tingkat pendidikan responden yang memiliki NIE dengan responden yang tidak memiliki NIE (TT). Pengujian statistik juga akan dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat pengetahuan responden yang memiliki tingkat pendidikan SD,
SLTP, SLTA, Diploma, maupun S1. Data karakteristik responden terutama tingkat pendidikan dan jenis NIE yang dimiliki dapat dilihat pada Lampiran 6.
Selanjutnya untuk menguji pengaruh kedua faktor tersebut terhadap tingkat pengetahuan/persepsi responden terhadap pelabelan digunakan software SPSS
(Statistical Package for The Social Science). Metode pengujian yang digunakan
adalah Npar Tests (uji beda) Kruskal-Wallis Test. Persepsi responden yang diukur tertuang dalam kuesioner blok II pertanyaan nomor 1, 2, 3, 5 seperti disajikan pada Tabel 18.
Hasil uji menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden tidak berbeda nyata dengan jawaban/persepsi responden terhadap pelabelan pangan (p>0.05). Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata tingkat pendidikan terhadap persepsi responden terhadap pelabelan. Responden yang berpendidikan lebih rendah misalnya SD atau SLTP belum tentu tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang label, misalnya tentang kaitan fungsi label dengan keamanan produk pangan. Sebagian responden dengan pendidikan SD atau SLTP dapat menjawab dengan benar mengenai hal ini. Sebaliknya, dijumpai juga responden yang berpendidikan SLTA yang menjawab salah terhadap pertanyaan tentang kaitan fungsi label dengan keamanan produk pangan. Secara statistik terbukti bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap persepsi/pengetahuan responden terhadap pelabelan. Hasil uji statistik tingkat pendidikan dengan persepsi responden terhadap pelabelan dapat dilihat pada Lampiran 7.
Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara pengetahuan/persepsi responden yang memiliki NIE SP, dengan responden yang memiliki NIE P-IRT ataupun dengan yang tidak terdaftar (TT). Responden yang memiliki NIE SP belum tentu tidak berpengetauhan sebaik responden yang memiliki NIE P-IRT atau sebaliknya. Bahkan dijumpai responden yang terdaftar (TT) dapat menjawab pertanyaan tentang kaitan label pangan dengan keamanan produk dengan benar. Hal ini tidak sesuai dengan dugaan semula bahwa materi penyuluhan berpengaruh terhadap pengetahuan/persepsi responden.
Alasan mengapa ternyata diperoleh fakta bahwa tingkat pendidikan dan materi penyuluhan tidak berpengaruh nyata terhadap pengetahuan responden adalah bahwa terdapat faktor lain yang mungkin menyebabkan hal ini terjadi. Faktor tersebut adalah daya tangkap, daya nalar, tekad/kemauan untuk menambah pengetahuan, dan sikap/attitude yang dimiliki oleh seseorang diduga turut berpengaruh terhadap
pengetahuan yang dimiliki seseorang, termasuk responden dalam penelitian ini. Faktor ini diduga membuat sesorang yang walaupun berpendidikan kurang (SD atau SLTP misalnya), namun karena memiliki tekad, kemauan, daya nalar, dan sikap yang baik maka dapat memiliki pengetahuan di bidang pangan yang baik. Pengetahuan di bidang pangan tersebut dapat diperoleh lewat penyuluhan atau pelatihan dalam rangka SPP-IRT atau dalam rangka pembinaan yang lainnya. Selain itu dengan kemauan yang kuat untuk menambah pengetahuan, mereka bisa menambah pengetahuan di bidnag pangan lewat majalah, koran, buku, atau lewat perkumpulan IRTP. Di Kabupaten Sleman misalnya, terbentuk paguyuban IRTP yang diketuai oleh salah seorang pengusaha IRTP. Salah satu misi paguyuban ini diantaranya adalah menambah wawasan pemilik/pengusaha IRTP di Kabupaten Sleman tentang pangan, khususnya tentang peraturan-peraturan pemerintah di bidang pangan. Selain itu paguyuban ini juga mempunyai misi untuk memperluas jaringan pemasaran baik lewat pemerintah maupun swasta serta memanfaatkan event-event khusus di Kabupaten Sleman atau di Propinsi DI Yogyakarta untuk mempromosikan produk IRTP Kabupaten Sleman. Hal yang sama bisa terjadi di kabupaten/kota lainnya di wilayah DI Yogyakarta. Hal ini menujukkan bahwa kualitas pengetahuan memang ditentukan oleh informasi atau penyuluhan yang diikuti. Namun tidak ditentukan oleh tingkat pendidikan. Penambahan informasi atau pengetahuan tentang pangan dapat diperoleh tanpa lewat jalur formal saja, tetapi bisa diperoleh lewat cara lainnya seperti yang disebutkan di atas. Selain itu, tingkat pendidikan formal belum tentu membuat seseorang/responden serta merta ahli/berpengetahuan cukup di bidang pangan. Perlu pengalaman di bidang pangan, mengikuti penyuluhan, membaca buku tentang pangan, diskusi dengan nara sumber yang berpengetahuan di bidang pangan, mendengarkan ceramah di bidang pangan baik lewat radio, TV, ataupun media lainnya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap pengetahuan responden di bidang pelabelan.
4.3.2.2 Pengetahuan responden terhadap pelabelan
Pengetahuan responden terhadap pelabelan dapat diukur dari jawaban yang diberikan oleh responden saat wawancara dengan enumerator melalui kuesioner. Pertanyaan yang diajukan adalah tentang jenis PP Pelabelan dan keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada label. Pertanyaan untuk mengukur pengetahuan
responden terhadap pelabelan disajikan pada Tabel 19. Jenis pertanyaan tersebut dapat dilihat pada kuesioner (blok II no 4 dan 7) yang terlampir (Lampiran 2.)
Tabel 19 Tingkat pengetahuan responden terhadap pelabelan
Jawaban No Pertanyaan
Benar (%) Salah (%) 1 Sebutkan Peraturan Pemerintah yang
mengatur pelabelan pangan
9.9 90.1
2 Sebutkan keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label pangan
20.5 79.5
1. Nama produk 90.0
2. Berat bersih/isi bersih 60.9
3. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia
79.5
4. Nomor pendaftaran 78.3
5. Komposisi/daftar bahan 79.5
6. Keterangan kedaluwarsa 62.7
7. Tanggal dan atau kode produksi 78.3
Jumlah responden yang dapat menjawab seluruh pertanyaan dengan benar pada Tabel 19 sebanyak 2 responden (1.2%), sedangkan 159 responden (98.8%) tidak menjawab dengan benar. Dari 2 pertanyaan yang diajukan, pertanyaan yang banyak dijawab salah oleh responden adalah mengenai PP No 69 tahun 1999. Umumnya responden belum mengerti/hafal di luar kepala terhadap PP No. 69 tahun 1999 ini. Hal ini wajar dijumpai pada pemilik/responden IRTP karena mereka tidak dituntut untuk hafal akan jenis PP Pelabelan ini. Yang mereka harus mengerti dan memahami adalah isi PP Pelabelan yang mengatur tentang aspek keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label, karena mereka membutuhkan pengetahuan tersebut ketika melakukan pelabelan.
Pengetahuan responden terhadap keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label ternyata masih rendah. Hanya 20.5% responden yang dapat menjawab dengan benar terhadap pertanyaan yang menanyakan tentang keterangan apa saja yang harus dicantumka pada label. Padahal sebagian besar (78.3%) responden telah mengikuti penyuluhan keamanan pangan dalam rangka SPP-IRT. Seharusnya mereka telah mendapatkan informasi mengenai keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label lewat penyuluhan ini. Namun fakta menunjukkan lain.
Tingkat pengetahuan responden terhadap pelabelan yang rendah dapat diduga disebabkan oleh tingkat pendidikan responden dan materi penyuluhan. Pendugaan ini dapat dibuktikan/diuji kebenarannya dengan uji statistik menggunakan metode uji beda nyata (Npar tests) metode Kruskal-Wallis.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antara pengetahuan/jawaban responden dengan tingkat pendidikannya (p=0.03). Hasil uji juga menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antara pengetahuan/jawaban responden dengan jenis NIE yang dimilikinya (p=0.04). Hal ini membuktikan bahwa tingkat pendidikan dan materi penyuluhan responden mempengaruhi pengetahuannya.
Alasan mengapa tingkat pendidikan dan materi penyuluhan berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan responden terhadap pelabelan (dalam menjawab pertanyaan blok II nomor 4 dan nomor 7) dapat dijelaskan dari tingkat kesulitan pertanyaan yang diajukan. Dua pertanyaan yang diajukan tersebut tidak bisa dijawab hanya dengan menebak dari arah pertanyaan, tetapi jawaban benar-benar memerlukan pengetahuan yang tepat. Jika responden tidak memiliki pengetahuan yang tepat terhadap PP Pelabelan dan keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label, maka jawabannya akan mengarah ke skor yang lebih kecil/cenderung salah. Jadi, jawaban responden terhadap 2 pertanyaan ini benar-benar mengukur tingkat pengetahuan responden. Harus diakui bahwa disain kuesioner dalam penelitian ini kurang sempurna sehingga masih dijumpai pertanyaan yang bersifat menggiring responden untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban tertentu yang benar.
Berbeda dengan pertanyaan blok II nomor 1, 2, 3, 5 yang bertujuan untuk mengetahui persepsi responden terhadap pelabelan, dimana pertanyaan yang diajukan mudah ditebak jawaban yang benar (lihat tabel 16). Dalam bahasan sebelumnya tentang persepsi responden diketahui secara statistik, jawaban responden terhadap pertanyaan blok II nomor 1, 2, 3, 5 tersebut tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan maupun jenis NIE. Namun karena pertanyaannya tidak benar-benar mengukur pengetahuan responden, maka secara statistik tingkat pendidikan dan jenis NIE tidak berpengaruh terhadap jawaban yang diberikan.
Pengaruh jenis NIE terhadap pengetahuan responden tentang pelabelan menunjukkan bahwa muatan materi penyuluhan mempengaruhi pengetahuan responden. Namun jika dilihat isi materi penyuluhan pelabelan antara NIE SP dan NIE P-IRT (seperti pada Tabel 16) maka terlihat perbedaan yang sedikit tentang keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label. Faktor lain yang juga dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan responden berdasarkan jenis NIE adalah usia/tenggang waktu antara saat responden mendapatkan penyuluhan pelabelan dengan saat responden diwawancarai. Responden yang memiliki NIE P-IRT memiliki tenggang waktu yang lebih singkat daripada responden yang memiliki NIE SP, karena masa dikeluarkannya NIE SP adalah sebelum tahun 2003 sedangkan NIE P-IRT diterbitkan sejak tahun 2003 hingga sekarang. Responden dengan NIE P-IRT lebih mudah mengingat materi pelabelan yang diperoleh saat wawancara.
4.3.3 Pengetahuan Responden Tentang Sanitasi