Kajian peraturan pelabelan yang telah dilakukan terhadap sumber peraturan pelabelan yang berlaku di Indonesia memperlihatkan adanya kesenjangan informasi mengenai keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada label. Kesenjangan informasi tersebut adalah bahwa dalam UU Pangan, keterangan halal digolongkan sebagai keterangan yang wajib dicantumkan dalam label pangan, sedangkan keterangan kode produksi dan nomor pendaftaran tidak dipersyaratkan sebagai keterangan minimal. Hal ini berbeda dengan keterangan minimal yang disebutkan dalam PP Pelabelan Pangan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan dimana keterangan halal tidak digolongkan dalam keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label. PP Pelabelan justru menyatakan bahwa kode produksi dan nomor pendaftaran produk pangan (bagi yang wajib memiliki) sebagai keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label.
Kesenjangan informasi mengenai keterangan minimal antara UU Pangan dengan PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan dapat dilihat sebagai bentuk perbedaan informasi antara beberapa sumber hukum yang berbeda cakupannya. UU Pangan memiliki cakupan yang lebih luas daripada PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. UU Pangan tidak mengatur hal teknis tentang pelabelan, sedangkan PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan merupakan produk hukum yang mengatur hal teknisnya. Apalagi dalam UU Pangan pasal 30 ayat 3 menyebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang dianggap perlu untuk wajib dicantumkan pada label, atau
menetapkan keterangan lain yang dianggap perlu untuk dilarang diacntumkan pada label. Pernyataan dalam Pasal 30 ayat 3 ini menunjukkan bahwa peraturan pelabelan yang lebih teknis, seperti PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan, merupakan sumber peraturan pelabelan pangan yang lebih tepat untuk dijadikan referensi dalam melakukan pelabelan pangan, termasuk IRTP. Untuk itu perlu dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap pelabelan pangan, baik petugas pemerintah maupun produsen pangan, termasuk IRTP, agar tidak menjadikan UU Pangan sebagai dalih untuk melakukan pelabelan pangan, karena terdapat PP Pelabelan dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan yang lebih tepat untuk diikuti. Namun demikian, UU Pangan tetap merupakan sumber hukum khususnya tentang pelabelan yang bersifat mengikat setiap warga negara/pelaku usaha pangan.
UU Pangan, PP Pelabelan, maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan telah mengatur tata cara pencantuman keterangan halal. Dalam UU Pangan dinyatakan bahwa pernyataan keterangan halal harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. PP Pelabelan menjelaskan lebih jauh lagi, bahwa pernyataan keterangan halal dalam label harus melalui sertifikasi oleh lembaga (Majelis Ulama Indonesia) yang telah diakreditasi oleh KAN (Komite Akreditasi Nasional). Sedangkan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan menjelaskan lebih lengkap lagi, dimana pencantuman keterangan halal pada label harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Badan POM. Aturan pencatuman keterangan halal ini berlaku bagi semua industri pangan, termasuk IRTP. Dalam penelitian ini telah didapatkan informasi tentang praktek pencantuman keterangan halal pada label IRTP. Terdapat 21.7% label IRTP yang mencantumkan keterangan halal, dimana 74.3% mencantumkan keterangan halal dengan benar, sedangkan 25.7% pencantuman keterangan halalnya salah. Hal ini menunjukkan bahwa pencantuman keterangan halal belum dilakukan dengan benar oleh seluruh IRTP. Pernyataan keterangan halal yang tidak memenuhi aturan dapat dianggap sebagai pelanggaran pelabelan yang dapat dikenakan sanksi pidana. Namun demikian, pemerintah masih mengedepankan pendekatan pembinaan daripada pendekatan hukum. Sosialisasi terhadap peraturan pencantuman keterangan halal harus terus dilakukan agar semua IRTP dapat mengetahui aturannya. Masalah yang sering dijumpai di lapang adalah jumlah IRTP yang besar dan banyaknya IRTP baru ataupun banyaknya IRTP yang gulung tikar. Dengan kondisi ini pemerintah dituntut untuk terus melakukan pengawasan terhadap
IRTP, khususnya IRTP yang menjual produknya tanpa Nomor Izan Edar (NIE). IRTP yang menjual produknya tanpa NIE tentu tidak memperoleh penyuluhan keamanan pangan oleh pemerintah, sehingga dikhawatirkan akan melakukan praktek pelabelan pangan yang salah. Beberapa kendala yang dapat menyebabkan pelanggaran pencantuman keterangan halal pada label IRTP adalah diantaranya kurangnya pengetahuan, kurangnya modal dan kurangnya pengawasan oleh pemerintah.
Aspek pencantuman nilai gizi telah diatur dalam PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Dalam PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan dinyatakan bahwa pencantuman nilai gizi bukan merupakan kewajiban bagi semua produk pangan. Pencantuman nilai gizi baru menjadi kewajiban bagi produk-produk yang menyatakan mengandung vitamin, mineral, dan atau zat gizi lain yang ditambahkan. Namun dalam perkembangannya, saat ini banyak dijumpai produk pangan yang mencantumkan informasi nilai gizi walaupun tidak menyatakan mengandung nilai gizi tertentu yang ditambahkan. Hal ini terjadi juga pada produk IRTP, semakin banyak dijumpai produk IRTP yang mencantumkan informasi nilai gizi pada labelnya. Dalam penelitian ini dijumpai sebanyak 2.5% responden IRTP yang melakukan pencantuman informasi nilai gizi pada labelnya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pelabelan oleh IRTP telah berkembang sedemikian pesat, sehingga materi penyuluhan tentang pelabelan harus dilengkapi dengan hal-hal yang berkembang di lapang, seperti pencantuman informasi nilai gizi. Selain itu, pemerintah harus membekali petugas kabupaten kota yang berkompeten dalam melakukan penilaian terhadap label IRTP, dengan pengetahuan pelabelan yang memadai sesuai perkembangan pelabelan di IRTP. Untuk itu pemerintah dalam hal ini Badan POM perlu menyediakan materi pelabelan untuk IRTP yang memadai sesuai dengan perkembangan pelabelan IRTP saat ini.
Semua peraturan pelabelan baik UU Pangan, PP Pelabelan, maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan telah melarang klaim bahwa pangan dapat berfungsi menyembuhkan sebagaimana fungsi obat. Namun dalam penelitian ini dijumpai adanya klaim tersebut. Terdapat 1 label (0.6%) IRTP menyatakan bahwa pangan dapat berfungsi menyembuhkan seperti obat. Produk pangan tersebut adalah gula semut temulawak, dimana dalam labelnya dinyatakan bahwa produk tersebut mampu mengurangi asam urat dan kolesterol dalam darah. Dalam penelitian ini telah diperoleh data dan informasi yang menyatakan bahwa pengetahuan responden terhadap pelabelan pangan sangat rendah. Rendahnya pengetahuan responden ini
diduga kuat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran pelabelan, seperti klaim khasiat sebagai obat.
Semua peraturan pelabelan juga telah melarang pencantuman gambar dan keterangan lain yang menyesatkan. Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan memberikan contoh yang jelas dan disertai gambar tentang gambar yang menyesatkan, misalnya dalam label dicantumkan gambar buah tertentu, namun dalam komposisinya tidak disebutkan produk yang bersangkutan mengandung buah tersebut. Hal ini terjadi dalam label IRTP. Dalam penelitian ini dijumpai 3 label (1.9%) yang mencantumkan gambar buah pada labelnya, namun sesungguhnya produk tersebut tidak mengandung buah yang dimaksud. Hal ini dapat terjadi karena pengetahuan produsen IRTP tentang pelabelan yang rendah. Pengetahuan yang rendah dipengaruhi oleh materi penyuluhan yang didapatkan juga tidak menjelaskan dengan baik tentang hal tersebut. Oleh karena itu perlu disusun materi penyuluhan khususnya tentang pelabelan pangan yang memadai terhadap perkembangan pelabelan di IRTP. Sesungguhnya Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan sudah memuat hal-hal yang lazim dijumpai dalam pelabelan pangan, namun tidak semua informasi dalam Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan maupun PP Pelabelan sesuai dengan IRTP. Oleh karena itu, perlu disusun materi pelabelan khusus untuk IRTP.
Kajian materi penyuluhan keamanan pangan sebagai pembinaan bagi IRTP, menunjukkan bahwa muatan materi pelabelan masih sangat kurang. Materi pelabelan utamanya hanya menjelaskan keterangan minimum yang wajib dicantumkan pada label. Sedangkan aspek pelabelan lainnya yang sudah diatur dalam PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Produk Pangan tidak disinggung. Keterangan minimum yang disebutkan dalam materi pelabelan sendiri, mengikuti UU Pangan, tidak mengikuti PP Pelabelan yang lebih operasional. Dalam penelitian ini diperoleh data dan informasi yang menunjukkan bahwa 97.8 % label responden yang wajib melakukan pelabelan tidak sesuai dengan persyaratan pencantuman keterangan minimal pada label. Selain itu, ditemukan 11 jenis pelanggaran pelabelan pada label IRTP. Sementara itu, penelitian ini juga menemukan fakta bahwa pengetahuan responden tentang pelabelan pangan sangat rendah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa rendahnya praktek pelabelan pangan di IRTP diduga kuat disebabkan oleh rendahnya pengetahuan responden terhadap pelabelan. Sedangkan rendahnya pengetahuan responden disebabkan oleh kurang memadainya materi penyuluhan tentang pelabelan. Oleh karena itu, perlu dilakukan revisi terhadap materi
penyuluhan yang telah ada, disesuaikan dengan perkembangan pelabelan di lapang. Materi pelatihan sebaiknya disusun secara lengkap, menarik, mudah dipahami sekalipun oleh pemilik IRTP yang berpendidikan rendah (SD atau SLTP). Contoh-contoh disertai gambar yang menarik akan lebih mudah dimengerti oleh pembaca. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, perlu dikembangkan petunjuk teknis pelabelan pangan khusus untuk IRTP, mengingat tidak semua informasi dalam PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan sesuai untuk IRTP.
Materi pembinaan/penuluhan di bidang sanitasi sudah cukup memuat hal-hal pokok yang diatur oleh badan internasional (Codex Alimentarius Commission). Namun, sesuai dengan hasil penelitian ini dimana didapatkan data yang menunjukkan bahwa pengetahuan responden akan prosedur mencuci tangan sangat rendah, dan ternyata dalam modul higiene dan sanitasi pengolahan pangan yang merupakan materi penyuluhan IRTP, tidak disinggung tentang prosedur mencuci tangan maka modul pelatihan perlu direvisi.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan responden terhadap pelabelan sangat rendah. Pengetahuan responden tentang sanitasi relatif lebih bagus dari pada pengetahuan tentang pelabelan. 78.6 % responden memiliki pengetahuan sanitasi yang benar. Namun pengetahuan responden akan aspek sumber air dan prosedur mencuci tangan masih sangat rendah. Pengetahuan yang rendah diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan mutu materi penyuluhan. Oleh karena itu perlu diupayakan pembinaan yang terus menerus dan efektif kepada IRTP. Materi pelatihan/penyuluhan sebaiknya memuat gambar-gambar dan contoh-contoh yang mudah dimengerti oleh pemilik IRTP.
Kajian praktek pelabelan dan sanitasi juga menunjukkan tingkat kepatuhan responden terhadap peraturan pelabelan dan sanitasi yang sangat rendah. Perlu diupayakan terus pembinaan terhadap IRTP agar pelabelan IRTP memenuhi peraturan pelabelan PP Pelabelan Pangan dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Program pembinaan seperti pemberian Piagam Penghargaan kepada IRTP yang telah menjalankan praktek pelabelan dan higiene pangan perlu diciptakan untuk merangsang IRTP dalam menerapkan praktek keamanan pangan, khususnya bidang pelabelan dan sanitasi.
4.6.2 Rekomendasi
Dari kajian ini dapat disusun rekomendasi sebagai berikut :
a. Rekomendasi utama adalah perlu dilakukannya pembinaan dan pengawasan terhadap IRTP melalui dua cara yaitu penyuluhan dan pendampingan. Penyulhan dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan IRTP tentang keamanan pangan khususnya pelabelan dan sanitasi. Sedangkan pendampingan dimaksudkan untuk memfasilitasi IRTP agar dapat melakukan praktek pelabelan dan sanitasi secara benar. Pendampingan memastikan bahwa praktek pelabelan dan sanitasi telah dilakukan dengan benar.
b. Belum diaturnya mekanisme pengawasan bagi produk IRTP yang telah terdaftar menyebabkan produk yang telah terdaftar kurang mendapatkan pembinaan lagi. Seharusnya diberlakukan masa berlaku nomor pendaftaran dan dilakukan audit surveilan dalam rangka perpanjangan masa berlaku nomor pendaftaran. Mekanisme ini mendorong pemerintah daerah melakukan pembinaan/audit kepada IRTP secara berkala lewat audit surveilan.
c. Perlu cara lain untuk melakukan pembinaan IRTP. Selama ini IRTP diaudit oleh petugas pemerintah, keterlibatan IRTP dalam menerapkan CPPB-IRT kurang maksimal. Sistem selama ini perlu dibalik, pemerintah menyediakan pedoman dan checklist audit internal untuk produsen IRTP. Selanjutnya pemilik IRTP melakukan audit internalnya dan melaporkan kepada pemerintah tentang kemajuan penerapan CPPB-IRT di sarananya. Dengan demikian keterlibatan IRTP lebih maksimal.
d. Perlu dilakukan revisi materi Penyuluhan Keamanan Pangan tentang pelabelan. Materi pelabelan yang ada terlalu sedikit cakupan materinya dan memuat penjelasan keterangan minimum yang wajib dicantumkan pada label, yang tidak relevan lagi dengan PP Pelabelan maupun Pedoman Umum Pelabelan Pangan. Selain itu, untuk mengakomodir perkembangan pelabelan khususnya IRTP, dibuktikan dengan ditemukannya beberapa pelanggaran pelabelan, maka perlu disusun kembali materi penyuluhan/pembinaan IRTP di bidang pelabelan. Mengingat tingkat pendidikan pelaku usaha IRTP yang umumnya masih rendah, maka materi penyuluhan diarahkan agar lebih banyak memuat gambar-gambar yang menarik dan disertai contoh-contoh yang jelas. Jika perlu, dapat disusun pedoman khusus pelabelan bagi IRTP karena tidak semua informasi pada PP Pelabelan dan Pedoman Umum Produk Pangan sesuai untuk IRTP. Terdapat
hal-hal yang tidak mungkin dilakukan oleh IRTP. Untuk itu, pedoman pelabelan khusus untuk IRTP diharapkan memuat tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh IRTP dan hal-hal yang masih boleh dilakukan oleh IRTP.
e. Mengingat pentingnya praktek mencuci tangan yang benar, maka perlu dibuat poster tentang prosedur mencuci tangan yang benar yang memuat tentang cara mencuci tangan yang benar dan kapan saja diperlukan mencuci tangan. Poster ini dapat didisain oleh pemerintah dan atau WHO atau bekerjasama dengan perusahaan swasta lainnya. Poster harus diberikan kepada semua IRTP dan harus dipasang di sarana pengolahan IRTP untuk dimengerti dan diikuti oleh semua karyawan IRTP. Hal ini perlu dilakukan mengingat hasil penelitian ini diantaranya menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang prosedur mencuci tangan sangat kurang (nihil). Pengetahuan responden tentang kapan mencuci tangan harus dilakukan juga masih rendah (25.5 %). Pengaruh pemasangan poster mencuci tangan di IRTP perlu dievaluasi untuk melihat pengaruhnya. Selain pemasangan poster, pemerintah yang berkompeten dalam hal ini Badan POM RI, juga perlu merevisi modul higiene dan sanitasi pengolahan pangan tahun 2003 yang tidak menyebutkan tentang prosedur mencuci tangan yang benar.
f. Selain poster mencuci tangan, pemerintah juga perlu membuat poster tentang penggunaan air yang benar. Dalam poster ini harus ditekankan tentang persyaratan air minum bagi air yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan pangan dan air yang akan digunakan untuk mencuci bahan pangan dan permukaan peralatan yang kontak langsung dengan pangan. Hal ini perlu dilakukan mengingat hasil penelitian ini diantaranya menunjukkan bahwa pengetahuan responden akan penggunaan air menunjukkan bahwa 76.3 % responden masih mempunyai persepsi bahwa air sumur boleh digunakan sebagai bahan baku pembuatan pangan. Perlu ditegaskan bahwa air sumur dapat digunakan untuk bahan baku dan mencuci peralatan yang kontak langsung dengan pangan jika memiliki mutu sama dengan mutu air minum.
g. Hasil pengamatan praktek sanitasi pekerja menunjukkan bahwa sebagian besar (57.8 %) pengolah pangan tidak mengenakan penutup kepala. Pengunaan penutup kepala pada prinsipnya telah dijelaskan dalam materi penyuluhan keamanan pangan bagi IRTP. Mungkin kebiasaan pengolah pangan yang merasa tidak nyaman dengan penggunaan penutup kepalamendorong pengolah pangan enggan
menggunakan penutup kepala. Untuk itu perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan yang terus menerus dan lebih intensif. Karyawan IRTP sangat berpengaruh dalam menghasilkan pangan IRTP yang aman dan bermutu. Pembinaan tidak bisa diarahkan kepada pemilik IRTP saja, namun juga harus diarahkan kepada karyawan IRTP. Selanjutnya karyawan IRTP yang sudah terlatih/terbina harus dijaga agar tidak mudah keluar kerja/pindah kerja. Namun salah satu kendala yang dihadapi IRTP adalah keluar masuknya pekerja IRTP. Keluar masuknya pekerja IRTP dipicu oleh ketidak pastian perolehan pendapatan dari bekerja di IRTP. Untuk mempertahankan keberadaan pekerja IRTP yang terlatih perlu dilakukan pembinaan yang terpadu. Pembinaan yang terpadu bertujuan untuk menciptakan iklim usaha pangan IRTP yang kondusif, sehingga usaha IRTP dapat berlangsung lama, tidak berusia pendek. Pada akhirnya iklim usaha IRTP yang kondusif menciptakan umur usaha IRTP yang lama, sehingga turut mencegah keluar masuknya pekerja IRTP. Program terpadu meliputi program pendanaan, program pembinaan teknologi pengolahan dan permesinan, program pembinaan keamanan pangan, program promosi/pemasaran, program pengembangan bisnis, program penelitian dan pengembangan produk, serta program pembinaan disain kemasan dan label. Program disusun bersama oleh pemerintah yang terkait.
h. Masalah rendahnya praktek pelabelan serta dijumpainya pelanggaran-pelanggaran pelabelan IRTP dapat diatasi juga dengan program peningkatan kompetensi petugas penilai label pangan IRTP. Petugas penilai label di kabupaten/kota perlu dibekali dengan peraturan pelabelan pangan, khususnya yang terkait dengan IRTP. i. Perlu dikembangkan program pembinaan IRTP yang bersifat persuasif kepada
IRTP agar mempunyai kemauan dan komitmen dalam menerapkan prinsip-prinsip keamanan pangan, khususnya pelabelan pangan dan sanitasi pangan. Program yang demikian harus mempunyai nilai lebih (added value) bagi IRTP sehingga ada alasan kuat bagi IRTP untuk mengikutinya.