• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kajian Peraturan Pelabelan Produk Pangan IRTP

Aspek-aspek peraturan pelabelan yang dikaji adalah aspek yang umumnya dilakukan oleh industri pangan seperti status kewajiban pelabelan pangan, keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label pangan, aspek pencantuman keterangan halal, aspek pencantuman informasi nilai gizi, aspek klaim pada label terutama klaim fungsi pangan sebagai obat, dan aspek pencantuman gambar yang menyesatkan. 4.1.1 Status kewajiban pelabelan pangan

Peraturan pelabelan produk pangan IRTP mengacu pada peraturan pelabelan pangan yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, SK Kepala Badan POM RI No. HK 00.05.52.43.21 tanggal 4 Desember 2003 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Peraturan lain yang juga dijadikan sumber dalam kajian peraturan pelabelan pangan adalah PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Dalam penelitian ini juga digunakan Pedoman Pelabelan Pangan/Food Labeling yang dikeluarkan oleh CAC (Codex Alimentarius Commission) tahun 2007 sebagai sumber informasi lainnya. Food Labeling merupakan kumpulan peraturan pelabelan yang telah diterbitkan oleh CAC pada tahun-tahun sebelumnya.

Masalah pelabelan pangan sudah menjadi isu global sejak lama. CAC sendiri telah menerbitkan sekumpulan peraturan pelabelan diantaranya adalah General Standard for the Labeling of Prepackaged Foods (Codex Stand 1-1985), General Standard for The Labeling of Food Additives When Sold as Such (Codex Stan 107-1981), General Standard for The Labeling of and Claims for Prepackaged Foods for Special Dietary Uses (Codex Stan 146-1985), General Guidelines on Claims (CAC/GL 1-1979), Guidelines on Nutrition Labeling (CAC/GL 2-1985), Guidelines for Use of Nutrition and Health Claims (CAC/GL 23-1997), and General Guidelines for Use of The Term Halal (CAC/GL 24-1997). Mengingat pentingnya aspek pelabelan untuk melindungi kesehatan konsumen serta melindungi hak-hak konsumen, maka Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan sekumpulan peraturan perundangan pelabelan seperti yang telah disebutkan di atas.

30 Dalam UU Pangan bab IV pasal 30 ayat 1 dan dalam PP Label bab II bagian pertama pasal 2 ayat 1 telah dinyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pangan di dalam, dan atau di kemasan pangan. Pernyataan tentang wajibnya pelabelan pangan ini berlaku bagi semua pangan yang dikemas untuk diperdagangkan, baik pangan yang diproduksi oleh industri pangan berskala besar, menengah, maupun kecil atau Industri Rumah Tangga (IRTP). Tujuan dari kewajiban pelabelan ini adalah untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak aman untuk dikonsumsi (Hariyadi P 2008) maupun untuk melindungi hak konsumen dalam mendapatkan informasi yang benar dari produk pangan sesuai yang tertera pada labelnya (UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Bab III pasal 4 dan Codex Stand 1-1985). Selain itu, pelabelan pangan juga dimaksudkan untuk menciptakan iklim perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab (PP No. 69 1999).

4.1.2 Aspek keterangan minimal yang harus tercantum pada label pangan.

Kewajiban utama pelabelan yang harus dilakukan oleh produsen pangan adalah pencantuman keterangan minimal pada label. Penjelasan mengenai keterangan minimal berbeda-beda antara UU Pangan, PP Label, maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Perbedaan/kesenjangan informasi tentang keterangan minimal dalam peraturan perundangan pelabelan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Pernyataan tentang keterangan minimal pada label dalam sumber peraturan pelabelan pangan di Indonesia

No Peraturan Bab/Pasal Isi Peraturan/Keterangan

1 UU No. 7 tahun

1996 tentang Pangan

Bab IV ps.

30:2 1. Nama produk 2. Berat bersih/isi bersih

3. Nama dan alamat produsen/importer 4. Komposisi/daftar bahan

5. Keterangan halal

6. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa

2 PP No. 69 tahun

1999 tentang Pelabelan dan Iklan Pangan

Bab II ps. 3:2, ps. 30, ps. 31.

1. Nama produk

2. Berat bersih/isi bersih

3. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia

4. Nomor pendaftaran (bagi yang wajib mendaftarkan produknya)

Tabel 7 menunjukkan bahwa antara UU Pangan, PP Pelabelan dan Pedoman Pelabelan Produk Pangan terdapat kesenjangan isi peraturan yang mengatur aspek keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label pangan. UU Pangan mensyaratkan keterangan halal sebagai salah satu keterangan yang harus tercantum pada label pangan, namun PP Pelabelan tidak mensyaratkannya. UU Pangan tidak mensyaratkan nomor pendaftaran dan tanggal/kode produksi sebagai keterangan yang harus tercantum pada label pangan, namun PP Pelabelan mensyaratkannya dengan catatan bahwa nomor pendaftaran baru merupakan keterangan yang wajib dicantumkan pada label jika produk pangan yang bersangkutan tergolong dalam produk yang wajib memiliki nomor pendaftaran. Ketentuan mengenai produk pangan yang tidak wajib memiliki nomor pendaftaran diatur dalam PP No. 28 tahun 2004 Bab V pasal 44.

Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan bab I poin 3 yang menyatakan bahwa nomor pendaftaran dikategorikan sebagai keterangan yang wajib dicantumkan dalam label, tanpa ada penjelasan apakah produk tertentu yang tidak wajib memiliki nomor pendaftaran boleh tidak mencantumkan nomor pendaftaran. Padahal di dalam pendahuluan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan, dijelaskan bahwa Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan merupakan pelaksanaan PP Pelabelan. Namun pada kenyataannya terdapat keterangan tentang status pencantuman nomor pendaftaran yang bertentangan dengan PP Pelabelan. Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan sebagai produk hukum yang bersifat petunjuk teknis penerapan peraturan pelabelan baik dari UU Pangan maupun PP Pelabelan, seharusnya informasinya tidak bertentangan dengan UU Pangan maupun PP Pelabelan.

5. Komposisi/daftar bahan 6. Keterangan kedaluwarsa

7. Tanggal dan atau kode produksi

3 SK Kepala Badan POM No. HK 00.05.52.43.21 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan Bab I poin

3 1. Nama produk 2. Berat bersih/isi bersih

3. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia

4. Nomor pendaftaran 5. Komposisi/daftar bahan 6. Keterangan kedaluwarsa 7. Tanggal dan atau kode produksi

32 Kesenjangan antara UU Pangan dan PP Pelabelan masih dapat ditolelir mengingat UU Pangan lebih bersifat sebagai payung besar bagi peraturan pelabelan sehingga dapat dianggap bukan merupakan sumber peraturan yang bersifat teknis. Selain itu, UU Pangan sendiri telah menyatakan bahwa jika dipandang perlu, maka pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang dianggap wajib dicantumkan pada label atau sebaliknya, melarang keterangan tertentu untuk dicantumkan pada label (Bab IV pasal 30:3). Untuk itu, PP Pelabelan sebagai produk hukum di bawah UU Pangan dapat dijadikan sumber peraturan pelabelan yang lebih relevan. Dengan demikian materi Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan khususnya bab I poin 3 yang menjelaskan tentang keterangan minimal yang harus dicantumkan pada label perlu dikaji ulang, supaya informasinya tidak bertentangan dengan PP Pelabelan dan PP No. 28 tahun 2004. Hal ini diperkuat dengan Bab IV PP Pelabelan tentang ketentuan peralihan yang menyebutkan bahwa semua peraturan perundangan tentang label dan iklan yang telah ada dan bertentangan dengan PP Pelabelan dinyatakan tidak berlaku.

Penerapan pencantuman keterangan minimal pada label mengalami kendala ketika kemasan produk pangan sangat kecil sehingga tidak memungkinkan untuk mencantumkan seluruh keterangan minimal yang dimaksud dalam peraturan. Contoh yang tepat mengenai produk yang demikian adalah permen. Umumnya permen yang berisi 1 pcs per kemasan dengan berat bersih kira-kira 2.8 gr, memiliki kemasan yang ukurannya kecil (kira-kira 5x3 cm). Ukuran kemasan yang kecil ini tidak memungkinkan untuk mencantumkan seluruh keterangan minimal (6-7 hal) pada kemasannya.

Kendala lain dalam penerapan pencantuman keterangan minimal pada label adalah jika produk pangan yang bersangkutan dijual dan dikemas langsung dihadapan konsumen dalam jumlah kecil-kecilan. Walaupun produk ini memenuhi kriteria ”dikemas” dan ”dijual/diperdagangkan”, sehingga menurut PP Label pasal 2 ayat 1 harus melakukan pelabelan, namun hal ini masih sulit dilakukan oleh produsen. Sebagai contoh, produk roti manis yang diproduksi dengan skala kecil dan dijual dan dikemas langsung di hadapan pembeli. Umumnya kemasan yang digunakan untuk produk ini adalah kardus/karton yang sederhana. Dalam kemasan ini, biasanya hanya dicantumkan nama produk, merk dagang, komposisi, dan keterangan halal.

Kendala lain dalam penerapan pencantuman keterangan minimal pada label adalah ukuran kemasan yang besar karena produk dijual dalam bentuk curah,

misalnya seperti gula pasir, tepung terigu, susu bubuk dan lain-lain. Sebetulnya produk-produk ini bisa dilabel pada kemasannya. Namun jika kemasannya tidak memungkinkan, seperti dalam container atau silo, misalnya produk tepung terigu yang biasanya dijual ke pabrik-pabrik pangan berbahan dasar tepung terigu berskala besar. Mempertimbangkan kendala-kendala tersebut, pemerintah Indonesia telah memberikan batasan penerapan kewajiban pelabelan pada produk-produk pangan tertentu. Pemerintah menyatakan bahwa produk pangan yang tidak wajib melakukan pelabelan pangan adalah : 1) pangan yang kemasannya terlalu kecil sehingga tidak mungkin dicantumkan seluruh keterangan minimal yang dimaksud dalam peraturan, 2) pangan yang dijual dan dikemas langsung dihadapan pembeli dalam jumlah kecil-kecilan, dan 3) pangan yang dijual dalam jumlah besar/curah yaitu lebih dari 500 kg atau liter per kemasannya (PP Label bab VII pasal 63). Namun demikian produk yang ukuran kemasannya kecil sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 63 tersebut, tetap harus mencantumkan nama dan alamat produsen.

Kebijakan pemerintah lain yang terkait dengan kewajiban pencantuman keterangan minimal adalah dibebaskannya produk pangan yang memiliki masa simpan kurang dari tujuh hari dan atau dimasukkan dalam wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan penelitian, permohonan nomor pendaftaran atau keperluan sendiri, dibebaskan dari pendaftaran produk (PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan bab V pasal 44 th 2004). Bab VII pasal 53 tentang ketentuan peralihan menjelaskan bahwa dengan berlakunya PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan 2004, maka semua ketentuan mengenai keamanan, mutu dan gizi pangan yang diatur dengan peraturan perundangan di bawah Undang-Undang masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Penjelasan ini merevisi pernyataan keterangan minimal yang wajib dicantumkan dalam Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan th 1999 yang diantaranya menyebutkan bahwa keterangan nomor pendaftaran harus dicantumkan dalam label. Padahal menurut PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan terdapat produk pangan, termasuk produk IRTP, yang boleh tidak memiliki nomor pendaftaran. Seharusnya produk yang tidak memiliki nomor pendaftaran seperti yang dimaksud dalam PP Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan boleh tidak mencantumkan nomor pendaftaran karena memang tidak memiliki.

34 4.1.3 Pencantuman keterangan alergen pangan

Penetapan keterangan minimal pada label pangan di Indonesia mengacu pada peraturan global seperti dalam General Standard for the Labeling of Prepackaged Foods (Codex Stand 1-1985). Dalam pedoman pelabelan pangan yang dipublikasikan oleh CAC tersebut disebutkan bahwa yang tergolong dalam keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada label adalah : 1) nama produk, 2) komposisi, 3) isi bersih, 4) nama dan alamat produsen/importer, 5) negara asal, 6) keterangan lot sebagai riwayat produksi, 7) tanggal kedaluarsa dan instruksi penyimpanan, 8) petunjuk penggunaan jika perlu. Dalam pedoman pelabelan global tersebut dijelaskan bahwa untuk produk pangan yang mengandung alergen pangan, maka harus dijelaskan pada kemasannya tepatnya di bagian komposisi, bahwa produk pangan yang bersangkutan mengandung alergen pangan tertentu. Alergen pangan yang dimaksud adalah gluten, kerang dan hasil olahnya, telur dan hasil olahnya, ikan dan hasil olahnya, kacang tanah, kacang kedelai dan hasil olahnya, susu dan hasil olahnya, biji-bijian (pala, kelapa dsb), sulfite dalam konsentrasi lebih dari 10 mg/kg atau lebih. Jika dibandingkan dengan pedoman pelabelan pangan terkemas (CAC 1985), peraturan pelabelan di Indonesia menambahkan keterangan nomor pendaftaran sebagai salah satu keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada label, khusus bagi produk pangan yang tergolong wajib memiliki nomor pendaftaran (PP Label 1969 ps. 30). Sedangkan masalah alergen pangan yang harus dinyatakan dengan jelas dalam label, tidak mendapatkan perhatian. Hal ini mungkin dikarenakan masalah alergen pangan di Indonesia belum banyak data yang mengungkapkan tentang terjadinya kasus keracunan pangan akibat mengkonsumsi alergen pangan. Sebenarnya hal ini harus diberikan perhatian oleh pemerintah Indonesia, karena di negara maju seperti Amerika Serikat, pelabelan alergen pangan sudah dituangkan dalam Undang-Undang Pelabelan Alergen dan Perlindungan Konsumen (Food Allergen Labeling and Consumer Protection Act) pada tahun 2004.

Dalam era perdagangan global saat ini, produsen pangan harus mengetahui dan sebisa mungkin memenuhi persyaratan pelabelan, khususnya alergen pangan. Jika tidak, akan dijumpai penolakan produk pangan asal Indonesia yang diekspor ke negara yang memiliki aturan pelabelan alergen pangan, seperti Amerika Serikat, karena pelabelan pangannya tidak memenuhi persyaratan pelabelan alergen. Menurut data FDA yang dicatatkan melalui sistem Oasis (Operational and Administratif System for Import Support, dalam Hariyadi P 2008) pada bulan Mei, Juni, Juli 2008

berturut-turut terjadi pelonjakan kasus penolakan produk pangan asal Indonesia karena tidak memenuhi persyaratan pelabelan alergen pangan. Bulan Mei terjadi 6 kasus penolakan (karena label yang salah) dari total 50 kasus penolakan, bulan Juni terjadi 8 kasus dari total 43 kasus penolakan, dan bulan Juli terjadi 5 kasus dari 41 kasus penolakan. Kasus penolakan ini dapat dihindari jika pemerintah Indonesia juga setidaknya mencantumkan pernyataan kewajiban pencantuman alergen pangan pada peraturan pelabelan pangan. Jika perlu, dapat diterbitkan Pedoman Pelabelan Alergen Pangan sehingga dapat menjadi sumber informasi yang dapat mengikat bagi produsen pangan. Selain itu, dalam rangka mendapatkan data yang akurat tentang kejadian keracunan pangan akibat alergen pangan, maka pemerintah dapat melakukan program surveilan terhadap masalah ini.

4.1.4 Pencantuman keterangan halal

Pencantuman keterangan halal pada label pangan telah diatur dalam peraturan perundangan tentang pelabelan pangan, baik UU Pangan, PP Pelabelan Pangan, maupun Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Isi peraturan pencantuman keterangan halal dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Pencantuman keterangan halal pada beberapa sumber peraturan

No Peraturan Bab/Pasal Isi peraturan/Keterangan

Bab IV ps. 30:2

Keterangan halal merupakan salah satu keterangan yang harus dicantumkan pada label. 1 UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan Bab IV ps. 34:1

Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut

Bab II ps.

10:1 Pencantuman keterangan halal harus dapat dipertanggung jawabkan

kebenarannya Bab II ps 11:

1,2,3 Keterangan halal harus didukung dengan pernyataan halal oleh lembaga pemeriksa

yang telah diakreditasi oleh KAN

2 PP No. 69 tahun

1999 tentang Pelabelan dan Iklan Pangan

Penjelasan ps

10:1 Pencantuman keterangan halal pada label merupakan kewajiban apabila produsen

36

No Peraturan Bab/Pasal Isi peraturan/Keterangan

Islam Penjelasan ps

11:1,2

Pencantuman keterangan halal bersifat sukarela. Lembaga pemeriksa kehalalan yang dimaksud dalam pasl 11 adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI)

3 SK Kepala Badan POM No. HK 00.05.52.43.21 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan

Bab XII poin

7 1. Definisi halal 2. Keterangan halal boleh dicantumkan

pada label pangan jika bahan atau pangan tidak mengandung bahan yang diharamkan dan proses menurut cara yang halal

3. Syarat pencantuman halal adalah jika telah mengikuti prosedur sertifikasi halal dan memperoleh izin

pencantuman halal dari Badan POM Tabel 8 menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan sifat pencantuman keterangan halal pada label pangan. UU Pangan menyatakan keterangan halal merupakan keterangan yang wajib dicantumkan pada label pangan. Namun PP Pelabelan menyatakan bahwa pencantuman keterangan halal bersifat sukarela. Kesenjangan informasi pada dua sumber peraturan pelabelan ini dapat membingungkan pada tingkat pelaksanaannya. Namun demikian terdapat kesamaan diantara peraturan perundangan pelabelan tentang aspek halal, diantaranya semua sumber peraturan menyebutkan bahwa pencantuman keterangan halal harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan lebih memerinci lagi persyaratan pencantuman keterangan halal dengan mensyaratkan izin pencantuman halal dari Badan POM RI.

Pengaruh kesenjangan peraturan pencantuman halal pada dua peraturan perundangan ini (UU Pangan dan PP Pelabelan) dapat diminimalisasi dengan melihat lebih jauh terhadap PP Pelabelan Bab VI tentang ketentuan peralihan. Dalam ketentuan peralihan disebutkan bahwa sejak mulai diberlakukannya PP Pelabelan maka semua peraturan perundang-undangan tentang label dan iklan yang telah ada dan bertentangan dengan PP Pelabelan dinyatakan tidak berlaku. Selain itu dalam UU Pangan Bab IV pasal 30 ayat 3 disebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang dianggap perlu untuk diwajibkan atau dilarang dicantumkan pada label pangan. Keterangan ini dapat dijadikan sebagai dasar bahwa ketentuan pencantuman halal yang lebih relevan adalah PP Pelabelan dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa status

pencantuman keterangan halal adalah sukarela. Pencantuman keterangan halal baru dianggap wajib jika produsen IRTP menyatakan produknya halal bagi umat muslim. Pencantuman keterangan halal pada label harus disertai dengan sertifikasi halal oleh MUI, yang dilakukan bersama-sama dengan Badan POM dan Departemen Agama. Selain itu, pencantuman keterangan halal pada label harus disertai izin pencantuman halal dari Badan POM. Kewenangan Badan POM memberikan izin pencantuman keterangan halal pada label terkait dengan pengawasan label pangan.

Produk pangan IRTP yang tersebar di kabupaten/kota di seluruh Indonesia juga harus tunduk pada peraturan yang mengatur pencantuman keterangan halal pada label. MUI memiliki kantor cabang di ibu kota propinsi di seluruh Indonesia sehingga lebih memudahkan dan lebih mengefesiensikan biaya sertifikasi. Begitu juga dengan Badan POM dan Departemen Agama, memiliki kantor cabang di ibu kota propinsi di seluruh Indonesia.

Sertifikat halal yang diterbitkan oleh MUI dapat dicabut jika produk pangan yang bersangkutan terbukti tidak halal lagi atau jika masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang lagi. Perpanjangan masa berlakunya sertifikat MUI disertai dengan audit surveilan oleh auditor LPPOM-MUI, Badan POM, dan Departemen Agama. Sistem sertifikasi dan surveilan jaminan halal ini bermanfaat bagi umat muslim sebagai konsumen produk pangan yang bersangkutan. Pernyataan halal yang tanpa disertai sertifikasi halal akan membuka peluang terjadinya penipuan (deceptive). Hal ini bertentangan dengan prinsip umum pelabelan pangan (Codex Stan 1-1985). Selain itu sertifikasi halal akan memberikan kepastian/jaminan halal bagi konsumen muslim karena audit dalam rangka sertifikasi halal dilakukan oleh lembaga yang berkompeten di bidang kehalalan (MUI), di bidang Cara Produksi Pangan Yang Baik (Badan POM), dan persyaratan dasar halal (Departemen Agama). Hal ini sesuai dengan prinsip produksi pangan yang halal yaitu halalan toyyiban (Apriyantono et al. 2007). Selain sertifikasi didukung oleh pakar yang berkompeten, juga didukung dengan fasilitas laboratorium yang handal/terakreditasi oleh KAN, baik laboratorium pemerintah (Badan POM) maupun laboratorium swasta (LPPOM-MUI).

Namun demikian sertifikasi halal juga memerlukan biaya. Besarnya biaya ditetapkan oleh MUI. Untuk sertifikasi halal produk IRTP, besarnya biaya ditentukan oleh jarak antara kantor LPPOM MUI dengan lokasi IRTP. Semakin jauh lokasi IRTP dengan kantor LPOM MUI maka biaya sertifikasi akan semakin mahal. Hal ini dapat menyebabkan produsen IRTP tidak mencantumkan keterangan halal atau tidak

38 mencantumkan keterangan halal sesuai peraturan. Sebaiknya pemerintah yang berkompeten di bidang halal, dalam hal ini Departemen Agama atau Pemerintah Daerah, menyediakan biaya sertifikasi bagi IRTP sehingga produsen IRTP dapat mencantumkan keterangan halal pada labelnya. Bentuk pembiayaan dapat berupa subsidi, pinjaman lunak atau gratifikasi. Hal ini juga merupakan penerapan PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota pasal 7 ayat 2 yang menyebutkan bahwa urusan wajib pemerintah yang dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten/kota diantaranya adalah urusan kesehatan/pangan.

4.1.5 Pencantuman informasi nilai gizi

Pencantuman informasi nilai gizi pada label telah diatur dalam PP Pelabelan dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. UU Pangan tidak mengatur pencantuman informasi nilai gizi pada label. Peraturan lain yang mengatur lebih jauh tentang tata cara pencantuman informasi nilai gizi adalah SK Kepala Badan No. HK. 00.06.51.0475 tentang Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi pada Label. Isi peraturan pencantuman informasi nilai gizi pada label dari beberapa sumber peraturan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Ketentuan pencantuman informasi nilai gizi pada label dalam beberapa sumber peraturan

No Peraturan Bab/Pasal Isi peraturan/Keterangan

1 UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan - - Bab II, ps.32:1

Pencantuman keterangan tentang

kandungan gizi pada label wajib dilakukan bagi pangan yang menyatakan bahwa pangan mengandung vitamin, mineral, dan atau zat gizi lain yang ditambahkan. Pencantuman kandungan gizi juga wajib bagi pangan yang dipersyaratkan

berdasarkan peraturan perundangan, wajib ditambahkan vitamin, mineral dan atu zat gizi lainnya.

2 PP No. 69 tahun

1999 tentang Pelabelan dan Iklan Pangan

Pasal 32 : 2 Keterangan kandungan gizi pangan dicantumkan dengan urutan jumlah keseluruhan energi, jumlah keseluruhan lemak, lemak jenuh, kolesterol, jumlah keseluruhan karbohidrat, serat, gula, protein, vitamin dan mineral.

No Peraturan Bab/Pasal Isi peraturan/Keterangan

Pasal 32 : 3 Informasi kandungan gizi wajib memuat: 1. Ukuran takaran saji

2. Jumlah sajian per kemasan 3. Kandungan energi per takaran saji 4. Kandungan protein per sajian (dalam

gram)

5. Kandungan karbohidrat per sajian (dlm gram)

6. Kandungan lemak per sajian dlm gram) 7. Persentase dari angka kecukupan gizi

yang dianjurkan 3 SK Kepala Badan POM No. HK 00.05.52.43.21 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan

Bab XI 1. Suatu pangan dikatakan bergizi jika

Dokumen terkait