• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urban Culture di kota Bandung

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah (Halaman 24-33)

biasanya ditunjukkan dalam berbagai bentuk protes, seperti berbuat onar dan bertingkah apatis (Grinder, 1973).

Lebih jauh Fischer (1976) menjelaskan bahwa pembentukan kebudayaan remaja merupakan hasil dari urbanisme. Pemusatan pada area perkotaan yang jumlah populasinya cukup besar dan heterogen akan melemahkan ikatan antarindividu, struktur-struktur sosial, dan consensus normatif yang dapat mengakibatkan pengasingan, disorganisasi sosial, dan anomi.

Menurut Clarke, subkultur remaja dapat diidentifikasikan dari sistem simboliknya, yaitu pakaian, musik, bahasa, dan penggunaan waktu luang. Biasanya komunitas ini dikembangkan atas dasar kegemaran pada hal yang sama, seperti otomotif, musik, dan fashion. Mereka menghabiskan waktu luang bersama kelompoknya dan mengembangkan bahasanya sendiri yang kerap sulit dimengerti orang dewasa.

Dalam sebuah subkultur, beberapa petunjuk penting dimunculkan melalui gaya. Gaya mengekspresikan tingkat komitmen dan menunjukkan keanggotaan pada suatu subkultur. Hebdige (1976) menyatakan bahwa gaya merupakan bentuk komunikasi yang sengaja dan bermaksud mencoba berkomunikasi melalui penampilannya. Gaya juga merupakan tanggapan manusia terhadap lingkungan sosialnya.

2.3.2. Urban Culture di kota Bandung

Bandung, sebagai suatu kota juga mengalami proses urbanisasi. Secara historis, proses urbanisasi wilayah Bandung sudah dimulai sejak pertama kali ia berdiri, yakni pada abad ke-14 (1488) sebagai bagian dari Kerajaan Pajajaran. Ia menjadi Kabupaten sendiri tiga abad setelahnya, yakni pada tahun 1799. Kota Bandung juga mengalami fase-fase mulai dari Geemente (kotamadya), Staadsgemeente (daerah otonom), dan

25 Haminte (kota) pada masa penjajahan Belanda. Ia secara administratif menjadi Pemerintah Kota Bandung yang kita kenal sekarang mulai dari tahun 1974.

Dalam hal ukuran wilayah, Kota Bandung juga mengalami perluasan akibat dari pertambahan penduduk yang signifikan setiap tahunnya. Pertambahan penduduk tersebut sudah terjadi semenjak jaman penjajahan Belanda sampai akhirnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 1987, wilayah administrasi Kota Bandung diperluas sehingga menjadi 16. 729, 65 Ha dengan pembagian wilayah administrasi mulai dari tingkat Kecamatan hingga RT (Rukun Tetangga). Jumlah penduduk Kota Bandung sendiri adalah 2. 270. 970 Jiwa.

Bandung, sejak dahulu selalu menjadi daerah pemusatan kegiatan. Pada jaman penjajahan Belanda, Bandung sebagai wilayah yang dianggap sebagai salah satu kawasan terbaik menjadi kawasan perumahan bagi orang-orang Belanda yang tinggal di daerah Jawa. Dalam hal ini, Bandung sebagai suatu wilayah telah memperlihatkan suatu fungsi tertentu. Fungsi tersebut berkembang seiring dengan pertambahan penduduk dan dikeluarkannya UU Desentralisasi tahun 1903 yang memberikan otonomi daerah (Staadsgemeente) serta pembangunan dan pemeliharaaan fasilitas dan infrastruktur bagi beberapa kota di Pulau Jawa termasuk Kota Bandung.

Pertambahan penduduk, baik karena aspek kelahiran maupun aspek pendatang, serta pembangunan infrastruktur pada akhirnya akan memperbesar ukuran, kepadatan, dan heterogenitas suatu kota. Selanjutnya, sesuai dengan konsep Wirth, munculah diferensiasi sosial. Pada dasarnya, diferensiasi sosial, membawa perbedaan kepentingan. Dalam hal ini, kepentingan yang dulunya hanya berkisar pada kepentingan komunitas bertambah dan menjadi semakin spesifik, seperti kepentingan rekreasional, kepentingan okupasional, kepentingan pendidikan, dan

lain-26 lain. Masyarakat yang dahulunya merupakan suatu komunitas spasial yang besar mulai terbagi menjadi beberapa komunitas yang sifatnya asosiasional (interest-oriented).

Hal inilah yang menyebabkan, apa yang disebut Tonnies sebagai pembagian peran (karena peran disesuaikan dengan kepentingan), melemahnya loyalitas (karena interest-oriented), dan pengutamaan hubungan-hubungan sosial yang bersifat sekunder dibandingkan dengan yang bersifat primer (karena hubungan sosial yang dilakukan disesuaikan dengan kepentingan). Tabrakan dari kepentingan-kepentingan yang berbeda inilah yang dikatakan oleh Wirth dapat menyebabkan ketidakstabilan.

Urban culture yang menciptakan masyarakat urban (urban society) diharapkan dapat menjadi suatu fase bagi masyarakat untuk dapat bertransformasi dalam suatu proses perubahan sosial yang lebih besar. Keberhasilan masyarakat perkotaan dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan sosial diharapkan dapat menjadi suatu revolusi urban (urban revolution), yang mengedepankan pada suatu bentuk kohesi sosial pada masyarakat perkotaan. Bukan hanya bagi Kota Bandung saja, namun juga kota-kota lain di Indonesia, maupun dunia.

Bagaimanapun perkembangan yang ada di kota Bandung tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan setiap gejala perkembangan di tingkat global. Seiring dengan perkembangan zaman, sampai saat ini scene anak muda di Kota Bandung masih terus tumbuh untuk terus melengkapi pola perkembangannya dengan wajah dan berbagai versinya yang baru.

27 2.3.3. Perkembangan Urban Culture di kota Bandung

Bandung merupakan kota yang dikenal akan keberadaan komunitas-komunitas remajanya. Keberadaan geng motor tua, sepeda bmx, penggemar musik hip-hop, musik elektronik, break dance, hardcore, grindcore, sampai dengan komunitas penggemar musik punk yang tersebar di beberapa tempat di sekitar pojokan kota, dengan penampilan yang spesifik. Di malam Minggu, beberapa komunitas ini biasanya terlihat di sekitar Jalan Dago, Gasibu, BIP, Cihampelas, sampai Jalan Braga. Di Bandung, kebanyakan orang tampaknya memang masih punya banyak waktu luang untuk memikirkan beberapa hal yang mendetail dalam kehidupan sehari-hari mereka. Beberapa hal detail yang kemudian bermuara pada beragam kecendrungan akan gaya hidup, perilaku, dan berbagai aliran pemikiran.

Dadan Ketu, sebutlah demikian. Terlahir di Kota Bandung pada tahun 1973. Pemilik nama ini bukanlah figur yang asing lagi bagi mereka yang akrab dengan komunitas underground Kota Bandung di era pertengahan ‟90-an. Bersama 8 orang temannya, pada sekitar tahun ‟96 ia berinisiatif untuk membentuk sebuah kolektif yang kini dikenal dengan nama Riotic.

Lain lagi dengan Dede, yang bersama keempat temannya mendirikan sebuah distro yang bernama Anonim pada tahun 1999. Terutama karena ketertarikan pada musik dan film, kelompok ini kemudian mulai menjual t-shirt yang dipesan secara online melalui internet. Kini selain menjual barang-barang import, mereka juga menjual kaset-kaset underground dan produk-produk dari label clothing lokal.

Riotic dan Anonim, dua nama ini adalah sedikit dari deretan nama-nama seperti, “Harder, Riotic, Monik Clothing, 347 Boardrider & Co., No Label Stuff, Airplane Apparel System, Ouval Research, dan lain sebagainya”. Sejak pertengahan ‟90-an, di Kota Bandung memang

28 bermunculan beberapa komunitas yang menjadi produsen sekaligus pelanggan tetap beberapa toko kecil, sebutlah distro, yang menjual barang-barang yang tidak ditemui di kebanyakan toko, shooping mall, dan factory outlet yang kini juga tengah menjamur di Kota Bandung. Berbekal modal seadanya, ditambah dengan hubungan pertemanan dan sedikit kemampuan untuk membuat dan memasarkan produk sendiri, kemunculan toko-toko semacam ini kemudian tidak hanya menandai perkembangan scene anak muda di Kota Bandung, tetapi juga kota-kota lain semisal Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.

Adalah Reverse, sebuah studio musik di daerah Sukasenang yang kemudian dapat dikatakan sebagai cikal bakal yang penting bagi perkembangan komunitas anak muda di Kota Bandung pada awal era ‟90-an. Di awal kemunculannya pada sekitar tahun ‟94, semula Richard, Helvi, dan Dxxxt (3 orang pendiri pertama dari Reverse), hanya memasarkan produk-produk spesifik yang terutama diminati oleh komunitas penggemar musik rock dan skateboard. Dapat dikatakan, komunitas ini kemudian merupakan simpul pertama bagi perkembangan komunitas ataupun kelompok subkultur anak muda pada saat itu. Ketika semakin berkembang, Reverse kemudian menjadi sebuah distro yang mulai menjual CD, kaset, poster, artwork, asesoris, termasuk barang-barang impor maupun barang buatan lokal lainnya.

Kemudian bermunculan sederet komunitas baru yang lebih spesifik lagi. Dari yang semula hanya didatangi oleh penggemar musik rock dan komunitas skateboard, Reverse mulai didatangi oleh beberapa kelompok yang berasal dari scene yang lain. Dari yang meminati musik “pop, metal, punk, hardcore, sampai pada kelompok skater, bmx, surf dan lain sebagainya”. Belakangan, nama Reverse bermutasi menjadi Reverse Clothing Company, yang sekarang ini dikelola oleh Dxxxt.

29 Menurut Richard, selain karena musik rock dan skateboard, saat itu kemunculan beragam komunitas semacam ini juga didorong oleh keberadaan beberapa film yang bercerita mengenai berbagai macam komunitas anak muda di Barat (Eropa Barat & Amerika).

Tampaknya dari kondisi yang spesifik semacam inilah, dinamika perkembangan industri musik, termasuk perkembangan fashion anak muda di Bandung selalu menemui banyak pembaharuan. Kota Bandung memang memiliki segudang rutin yang memaksa setiap warganya untuk terus bergerak mencari sesuatu yang baru dan berbeda.

Kini beragam komunitas anak muda di kota Bandung terus bermunculan. Sementara itu, berbagai komunitas kreatif yang didominasi oleh anak-anak muda saat ini menyebar hampir seluruh pelosok kota, mulai di bilangan Jalan Setiabudi (Monik/Ffwd Records), Citarum (347/EAT – Room No. 1), Moch. Ramdan (IF), Balai Kota (Barudak Balkot), Jalan Pasteur (Harder), Sultan Agung (Omuniuum), Jalan Sunda (BTW Space), Kyai Gede Utama (Common Room/ tobucil/Bandung Center for New Media Arts dan Jendela Ide), daerah Ciwaruga/Cihanjuang (Buqiet Skate Park), sampai ke daerah Ujung Berung (Ujung Berung Rebel/Homeless Crew), dsb.

Biografi Kota: Era Kolonial, Jaman Aktuil, Geng Motor, Anak Punk Sejak dinobatkan sebagai kota terbuka oleh Gubernur Jendral J.B. van Heutz pada tanggal 21 Februari 1906, Kota Bandung sejak dulu memang telah menjadi tempat bagi tujuan wisata, perdagangan dan pendidikan. Hal ini yang sedikit banyak membawa pengaruh bagi perkembangan Kota Bandung pada era sesudahnya. Pernah dahulu Kota Bandung disebut sebagai „Parijs van Java‟, dan diusulkan untuk menjadi pusat bagi koloni orang Eropa yang singgah di daerah katulistiwa oleh seorang ilmuwan yang bernama Ir. R. van Hoevell.

30 Sebagai salah satu kota besar yang berkembang sejak era kolonial Belanda, wajar apabila saat ini Kota Bandung juga dikenal sebagai kota yang menerima berbagai macam pengaruh dari bangsa-bangsa seluruh dunia, dan tidak terisolasi dari berbagai perkembangan yang ada. Di era kolonial Belanda, berbagai infrastruktur kota; terutama sarana transportasi, perdagangan, dan pendidikan adalah pintu gerbang utama yang memungkinkan berbagai informasi dan pengetahuan masuk ke kota ini.

Setelah era kolonial, pembangunan berbagai sarana transportasi, komunikasi, dan perkembangan di bidang teknologi informasi semakin menempatkan Kota Bandung sebagai bagian dari jaringan dunia global. Seiring dengan gencarnya perputaran arus informasi, muncul berbagai bentuk kesadaran individu, keterbukaan, kebebasan berekspresi dan toleransi, diantara kelompok masyarakat, termasuk diantara beberapa komunitas anak muda di Bandung. Semangat untuk menyikapi perbedaan dengan cara yang khas (nyeleneh), pada beberapa kelompok anak muda Bandung tampaknya juga ikut melahirkan pola resistensi, yang dapat kita kenali sebagai sebuah model budaya tandingan (counter-culture). Kebiasaan untuk membentuk budaya tandingan untuk menyikapi budaya yang dianggap lebih mapan setidaknya mendorong pertumbuhan budaya urban di kalangan masyarakat kota Bandung menjadi lebih dinamis. Hal ini tampaknya juga menunjukan tabiat masyarakat kota Bandung yang memang senantiasa haus akan perubahan dan perbedaan.

Sebagian kalangan di Indonesia tentu kenal dengan angkatan majalah Aktuil yang muncul di Bandung pada tahun ‟70-an, dengan tiga dedengkotnya, yaitu Sonny Suriaatmadja, Denny Sabri Gandanegara, dan Remy Sylado. Pada tahun 1973-1974 majalah ini sempat berhasil menembus tiras sekitar 126 ribu eksemplar, dan menjadi trend setter anak muda yang penting pada masa itu, sampai kemudian berhasil mendatangkan kelompok musik “Deep Purple” pada tahun 1975.

31 Selanjutnya, mungkin ada juga yang tahu mengenai keberadaan geng motor yang populer di kota ini sejak tahun ‟70 sampai dengan pertengahan ‟80-an, yang didominasi oleh para penggemar motor tua semacam “Harley Davidson, Ariel, BMW” dan lain sebagainya. Pada masa itu, setidaknya ada 2 kelompok motor tua yang disegani, seperti misalnya Black Angel dan The Motor. Kelompok ini pulalah yang belakangan mendorong lahirnya kelompok penggemar motor tua yang masih eksis sampai sekarang, yaitu Biker‟s Brotherhood.

Di era ‟80-an, selain komunitas motor tua, sejak dibangunnya sebuah skatepark kecil di Taman Lalu Lintas (Taman Ade Irma Suryani) pada pertengahan ‟80-an, muncul komunitas skateboard yang kemudian menjadi cikal bakal bagi kelompok bmx, punk, dan hardcore yang mulai populer di tahun ‟90-an. Melalui komunitas ini pulalah mulai populer wacana Do It Youself (DIY), yaitu sebuah bentuk pemikiran yang mementingkan peran inisiatif individu dalam membangun gerakan budaya tandingan. Melalui wacana DIY, selain perkembangan distro, clothing, record label lokal, juga muncul sederet nama yang kemudian menjadi catatan yang penting bagi kota ini, yaitu kelompok-kelompok band seperti Puppen (bubar pada tahun 2001), Pas, Koil, Jeruji, Full of Hate, Forgotten, Burger Kill, Jasad dan masih banyak lagi. Band-band inilah yang sempat meramaikan acara-acara musik underground di tempat seperti GOR Saparua, dimana biasanya banyak komunitas anak muda yang memanfaatkan acara ini untuk berkumpul dengan dandanan dan sikap mental yang sangat spesifik.

Sebuah fenomena baru kemudian merebak di penghujung era ‟90-an. Setelah pertunjukan musik underground semakin jarang diadakan karena semakin dipersulitnya masalah perizinan dan kendala dalam soal dana, dalam beberapa waktu terakhir pada hampir setiap malam Minggu kita bisa menemui sebagian warga Kota Bandung berparade di jalan-jalan utama semisal Jalan Dago di wilayah utara kota.

32 Berbagai komunitas berkumpul sambil berpesta pora, meneruskan kebiasaan yang sebetulnya sudah menunjukan gelagatnya sejak awal tahun ‟90-an. Lepas dari era ‟90-an, saat ini beberapa acara underground dapat dikatakan kembali marak selama kurun waktu beberapa tahun terakhir. Paska 1990: Desa Global, GMR, dan MTV

Tidak hanya di era ‟90-an – apabila kita lihat beberapa catatan di atas – sejak awal kemunculannya harus diakui Kota Bandung memang banyak menerima pengaruh dari Barat (Eropa Barat & Amerika). Namun, pada periode berikutnya tidak dapat dipungkiri kalau ada pengaruh lain yang tak kalah penting bagi perkembangan scene anak muda di Bandung, yaitu media. Sebagai contoh di bidang musik misalnya, melalui tangan dingin seorang Samuel Marudut (alm.), pada tahun ‟92-an sebuah radio yang bernama GMR menjadi satu-satunya radio di Indonesia yang membuka diri untuk memutarkan rekaman demo dari band-band baru yang ada di kota ini, sehingga ikut memicu pertumbuhan scene musik yang ada pada saat itu. Selain memicu pertumbuhan komunitas musik di Kota Bandung, radio ini juga ikut mempopulerkan keberadaan beberapa band yang berasal dari luar kota Bandung.

Selain itu, perkembangan di bidang teknologi media & informasi juga secara radikal mampu mendorong perkembangan budaya kota di Bandung kearah yang lebih jauh. Salah satu contohnya adalah perkembangan teknologi rekaman yang memungkinkan band-band baru merekam musik mereka dengan menggunakan komputer, sehingga tidak lagi harus bersandar pada industri mainstream & produk impor. Saat ini, industri musik di Bandung sudah biasa diproduksi di studio-studio kecil, rumah, maupun di kamar kost. Selain itu, perkembangan di bidang teknologi informasi juga memudahkan setiap komunitas yang ada untuk berhubungan dan mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. Melalui jaringan internet yang sudah berkembang sejak tahun 1995-an, Kota

33 Bandung saat ini sudah menjadi bagian dari jaringan virtual yang semakin membukakan pintu menuju jaringan global.

Seiring dengan perkembangan jaman, sampai saat ini scene anak muda di Kota Bandung masih terus tumbuh untuk terus melengkapi pola perkembangannya dengan wajah dan berbagai versinya yang baru. Jangan kaget kalau tiba-tiba anda bertemu dengan sekelompok anak muda dengan gaya yang identik dengan gaya anak muda di belahan dunia yang lain. Kota ini memang sedari dulu sudah menjadi bagian dari kota-kota lain di seluruh dunia.

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah (Halaman 24-33)

Dokumen terkait