• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 . Latar Belakang Masalah

Secara umum dan sederhana, masyarakat mengenal dua bentuk karakteristik wilayah, yaitu Desa dan Kota. Desa dianggap sebagai suatu wilayah agraris dengan peri-kehidupan yang cenderung tradisional, dan pengaruh kebudayaan yang cenderung kental. Kota, sebaliknya dianggap sebagai wilayah yang non-agraris dengan peri-kehidupan yang serba modern, dan pengaruh kebudayaan yang sudah tidak begitu lekat dengan masyarakat yang hidup di dalamnya.

Bandung, sebagai suatu kota juga mengalami proses urbanisasi. Secara historis, proses urbanisasi wilayah Bandung sudah dimulai sejak pertama kali berdiri, yakni pada abad ke-14 (1488) sebagai bagian dari Kerajaan Pajajaran. Kota Bandung juga mengalami fase-fase mulai dari Geemente (kotamadya), Staadsgemeente (daerah otonom), dan Haminte (kota). Bandung sejak dahulu selalu menjadi daerah pemusatan kegiatan.

Urban Culture dan Perubahan Sosial

Dinamika perkembangan industri musik, termasuk perkembangan fashion anak muda di Bandung selalu menemui banyak pembaharuan. Sebagai contoh di Kota Bandung keberadaan berbagai distro, studio musik, keberadaan geng motor tua, komunitas sepeda, mods (komunitas vespa), musik elektronik, penggemar musik hip-hop, break dance, hardcore, grindcore, skinhead, sampai dengan komunitas penggemar musik punk yang tersebar di beberapa tempat di sekitar pojokan kota, merupakan hasil dari urban culture. Beberapa hal detail yang kemudian bermuara pada beragam kecendrungan akan gaya

(2)

2 hidup, perilaku, dan berbagai aliran pemikiran. Subkultur remaja dapat di identifikasikan dari sistem simboliknya, yaitu fashion, musik, bahasa, dan penggunaan waktu luang. Subkultur- subkultur ini dikembangkan atas dasar kegemaran pada hal yang sama, seperti otomotif, musik, dan fashion.

Fashion saat ini bukan lagi hanya sekedar trend. Fashion dapat juga dilihat sebagai bentuk ekpresi kemandirian politik yang mampu mengakomodasi berbagai aspirasi personal yang mereka miliki. Untuk itu, dalam konteks perbincangan mengenai perkembangan kelompok subkultur di kota Bandung, sebetulnya fashion juga dapat dilihat sebagai instrumen yang mampu menjelaskan berbagai pandangan dan perbedaan yang menyertai keberadaan subkultur-subkultur ini.

Dari sekian banyaknya subkultur-subkultur anak muda di kota Bandung, subkultur Mod merupakan salah satu subkultur hasil dari urban culture yang sedang berkembang saat ini. Skuter Itali sedang naik daun lagi seiring dengan trend vintage-retro yang mewabah baik di dunia fashion, juga dunia musik, dan otomotif. Di Indonesia, fenomena kelompok Mod cukup banyak dijumpai, khususnya di beberapa kota besar. Subkultur Mod merupakan subkultur paling tua, hadir di dunia sebelum adanya era flower generation, skinhead, dan punk rock. Merupakan cikal bakal dari subkultur skinhead, rude boys dan trads.

Mod adalah satu fenomena sosial yang kompleks yang terjadi di Inggris pada tahun 1960-an (dimulai akhir tahun 1950-an tepatnya pada tahun 1958) di kota London. Dimana para pemuda di London yang saat itu berada pada kondisi ekonomi yang kurang baik, tetapi mereka tetap ingin mempertahankan kesempurnaan dari gaya personal mereka. Mereka terobsesi dengan American rhythm and blues dan Italian motor scooters. Puncak kejayaan era Mod ini terjadi dari tahun 1962 sampai akhir tahun 1970-an dan menyebar luas ke seluruh dunia.

(3)

3 Namun Kekurangan yang datang dari pihak lain, masyarakat tidak mengetahui mengenai subkultur Mod ini. Masyarakat juga masih kurang mengenal/mengetahui mengenai subkultur-subkultur yang dihasilkan dari urban culture sehingga timbul prasangka negatif. Kurang turun tangannya pemerintah untuk menjadikan urban culture sebagai kajian studi, kurikulum yang belum merujuk pada urban culture sebagai kajian alternatif. Dan, belum adanya media pengarsipan yang layak dari komunitas/ pelaku urban culture.

Kajian mengenai subkultur- subkultur remaja di perkotaan merupakan sesuatu yang penting untuk dikaji, mengingat mereka dianggap sebagai agen perubahan, penerus bangsa yang mempunyai peranan penting dan berpengaruh besar dalam perkembangan industri kreatif yang mampu memberi kontribusi bagi perekonomian kota Bandung sebagai kota kreatif dalam percaturan ekonomi kreatif dunia.

Berdasarkan kondisi tersebut diatas, diperlukannya upaya pengarsipan/ pendokumentasian terhadap urban culture yang hadir di kota Bandung, khususnya subkultur Mod. Yaitu melalui, perancangan media informasi yang berguna sebagai penyampaian informasi dan pembelajaran mengenai subkultur Mod.

(4)

4 1.2 . Identifikasi Masalah

- Sedikitnya infomasi dan pengetahuan mengenai subkultur Mod.

- Belum adanya media informasi mengenai subkultur Mod di Indonesia, khususnya di kota Bandung.

- Belum adanya media pendokumentasian.

- Belum adanya media pengarsipan yang layak dari komunitas/ pelaku subkultur.

1.3 . Rumusan Masalah

Bagaimana merancang media informasi mengenai fashion subkultur Mod?, khususnya fashion skuter untuk kalangan/ anggota di komunitas.

1.4 . Batasan Masalah

Masalah dibatasi pada perancangan media informasi mengenai fashion subkultur Mod di kota Bandung, dengan target audience sebagai berikut: - Sex: Laki-laki.

- Usia: 20 s/d 30 tahun.

- Psikografis: Modern, pelaku komunitas (british pop, skinhead dan mod). - Demografis: kota Bandung.

- Strata sosial: menengah atas.

1.5 . Tujuan Perancangan

Tujuan perancangan yaitu sebagai;

- Penyampaian informasi mengenai subkultur Mod, khususnya fashion dari subkultur Mod.

- Merangsang anggota/pelaku subkultur Mod untuk lebih kreatif, khususnya dalam berpakaian.

(5)

5 1.6 . Manfaat Perancangan

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Bertujuan untuk memperkaya Ilmu dalam dunia Desain Komunikasi Visual pada umumnya dengan gaya dan bentuk desain media informasi.

2. Bagi Pihak Terkait

Diharapkan dengan perancangan ini dapat menjadi arsip mengenai budaya perkotaan (urban culture), khususnya bagi subkultur mod.

3. Bagi Masyarakat

Bertujuan sebagai alternatif dalam penyampaian informasi dan pembelajaran mengenai budaya perkotaan (urban culture), khususnya bagi subkultur mod.

1.7 . Metode Perancangan

1.) Studi Kepustakaan, dengan mempelajari data-data yang dikumpulkan dari buku-buku referensi dan media cetak yang berkaitan langsung dengan objek perancangan.

2.) Observasi lapangan.

3.) Wawancara dengan pihak-pihak terkait. 4.) Internet.

(6)

6 BAB II

LANDASAN PERANCANGAN

2.1. TINJAUAN TEORITIK

2.1.1. MEDIA PEMBELAJARAN/ INFORMASI

Kata media berasal dari bahasa Latin Medius yang secara harfiah berarti tengah, perantara, atau pengantar. tetapi secara lebih khusus, pengertian media dalam proses pembelajaran diartikan sebagai alat-alat grafis, fotografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Media juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa, sehingga dapat terdorong terlibat dalam proses pembelajaran. Gagne mengartikan media sebagai berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar.

Menurut EACT yang dikutip oleh Rohani (1997 : 2) “media adalah segala bentuk yang dipergunakan untuk proses penyaluran informasi”. Sedangkan pengertian media menurut Djamarah (1995 : 136) adalah “media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai Tujuan pembelajaran”.

Selanjutnya ditegaskan oleh Purnamawati dan Eldarni (2001 : 4) yaitu: “media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga terjadi proses belajar”.

(7)

7 Menurut Latuheru, menyatakan bahwa media pembelajaran adalah bahan, alat atau teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukasi antara guru dan siswa dapat berlangsung secara tepat guna dan berdayaguna.

Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diberikan, maka media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran agar dapat merangsang pikiran, perasaan, minat dan perhatian sehingga proses interaksi komunikasi edukasi antara pembuat media dan siswa dapat berlangsung secara tepat guna dan berdayaguna. a. Jenis- Jenis Media Pembelajaran

Banyak sekali jenis media yang sudah dikenal dan digunakan dalam penyampaian informasi dan pesan – pesan pembelajaran. Setiap jenis atau bagian dapat pula dikelompokkan sesuai dengan karakteristik dan sifat – sifat media tersebut. Sampai saat ini belum ada kesepakatan yang baku dalam mengelompokkan media. Jadi banyak tenaga ahli mengelompokkan atau membuat klasifikasi media akan tergantung dari sudut mana mereka memandang dan menilai media tersebut.

Penggolongan media pembelajaran menurut Gerlach dan Ely yang dikutip oleh Rohani (1997 : 16) yaitu :

1. Gambar diam, baik dalam bentuk teks, bulletin, papan display, slide, film strip, atau overhead proyektor.

2. Gambar gerak, baik hitam putih, berwarna, baik yang bersuara maupun yang tidak bersuara.

3. Rekaman bersuara baik dalam kaset maupun piringan hitam. 4. Televisi.

(8)

8 6. Instruksional berprograma ataupun CAI (Computer Assisten

Instruction).

Penggolongan media yang lain, jika dilihat dari berbagai sudut pandang adalah sebagai berikut :

1. Dilihat dari jenisnya media dapat digolongkan menjadi media Audio, media Visual dan media Audio Visual.

2. Dilihat dari daya liputnya media dapat digolongkan menjadi media dengan daya liput luas dan serentak, media dengan daya liput yang terbatas dengan ruang dan tempat dan media pengajaran individual.

3. Dilihat dari bahan pembuatannya media dapat digolongkan menjadi media sederhana (murah dan mudah memperolehnya) dan media komplek.

4. Dilihat dari bentuknya media dapat digolongkan menjadi media grafis (dua dimensi), media tiga dimensi, dan media elektronik.

b. Manfaat Media Pembelajaran

Media pembelajaran sebagai alat bantu dalam proses belajar dan pembelajaran adalah suatu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri keberadaannya. Karena memang gurulah yang menghendaki untuk memudahkan tugasnya dalam menyampaikan pesan-pesan atau materi pembelajaran kepada siswanya. Guru sadar bahwa tanpa bantuan media, maka materi pembelajaran sukar untuk dicerna dan dipahami oleh siswa, terutama materi pembelajaran yang rumit dan komplek.

Setiap materi pembelajaran mempunyai tingkat kesukaran yang bervariasi. Pada satu sisi ada bahan pembelajaran yang tidak memerlukan media pembelajaran, tetapi dilain sisi ada bahan

(9)

9 pembelajaran yang memerlukan media pembelajaran. Materi pembelajaran yang mempunyai tingkat kesukaran tinggi tentu sukar dipahami oleh siswa, apalagi oleh siswa yang kurang menyukai materi pembelajaran yang disampaikan.

Secara umum manfaat media pembelajaran menurut Harjanto (1997 : 245) adalah :

1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu verbalistis ( tahu kata-katanya, tetapi tidak tahu maksudnya).

2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera. 3) Dengan menggunakan media pembelajaran yang tepat dan

bervariasi dapat diatasi sikap pasif siswa.

4) Dapat menimbulkan persepsi yang sama terhadap suatu masalah.

Selanjutnya menurut Purnamawati dan Eldarni (2001 : 4) yaitu : 1) Membuat konkrit konsep yang abstrak, misalnya untuk

menjelaskan peredaran darah.

2) Membawa obyek yang berbahaya atau sukar didapat di dalam lingkungan belajar.

3) Manampilkan obyek yang terlalu besar, misalnya pasar, candi.

4) Menampilkan obyek yang tidak dapat diamati dengan mata telanjang.

5) Memperlihatkan gerakan yang terlalu cepat.

6) Memungkinkan siswa dapat berinteraksi langsung dengan lingkungannya.

7) Membangkitkan motivasi belajar.

8) Memberi kesan perhatian individu untuk seluruh anggota kelompok belajar.

(10)

10 9) Menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat

diulang maupun disimpan menurut kebutuhan.

10) Menyajikan informasi belajar secara serempak (mengatasi waktu dan ruang).

11) Mengontrol arah maupun kecepatan belajar siswa.

c. Prinsip – Prinsip Memilih Media Pembelajaran

Setiap media pembelajaran memiliki keunggulan masing – masing, maka dari itulah guru diharapkan dapat memilih media yang sesuai dengan kebutuhan atau tujuan pembelajaran. Dengan harapan bahwa penggunaan media akan mempercepat dan mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran.

Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media pembelajaran, yaitu :

1) Harus adanya kejelasan tentang maksud dan tujuan pemilihan media pembelajaran. Apakah pemilihan media itu untuk pembelajaran, untuk informasi yang bersifat umum, ataukah sekedar hiburan saja mengisi waktu kosong. Lebih khusus lagi, apakah untuk pembelajaran kelompok atau individu, apakah sasarannya siswa TK, SD, SLTP, SMU, atau siswa pada Sekolah Dasar Luar Biasa, masyarakat pedesaan ataukah masyarakat perkotaan. Dapat pula tujuan tersebut akan menyangkut perbedaan warna, gerak atau suara. Misalnya proses kimia (farmasi), atau pembelajaran pembedahan (kedokteran).

2) Karakteristik Media Pembelajaran. Setiap media pembelajaran mempunyai karakteristik tertentu, baik dilihat dari keunggulannya, cara pembuatan maupun cara

(11)

11 penggunaannya. Memahami karakteristik media pembelajaran merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki guru dalam kaitannya pemilihan media pembelajaran. Disamping itu memberikan kemungkinan pada guru untuk menggunakan berbagai media pembelajaran secara bervariasi

3) Alternatif Pilihan, yaitu adanya sejumlah media yang dapat dibandingkan atau dikompetisikan. Dengan demikian guru bisa menentukan pilihan media pembelajaran mana yang akan dipilih, jika terdapat beberapa media yang dapat dibandingkan.

Selain yang telah penulis sampaikan di atas, prinsip pemilihan media pembelajaran menurut Harjanto (1997 : 238) yaitu: tujuan, keterpaduan (validitas), keadaan peserta didik, ketersediaan, mutu teknis, biaya.

2.1.2. Tinjauan Buku

2.1.2.1 Buku di Era Modern

Di era modern sekarang ini perkembangan teknologi semakin canggih. Mesin-mesin offset raksasa yang mampu mencetak ratusan ribu eksemplar buku dalam waktu singkat telah dibuat. Hal itu diikuti pula dengan penemuan mesin komputer sehingga memudahkan untuk setting (menyusun huruf) dan lay out (tata letak halaman). Diikuti pula penemuan mesin penjilidan, mesin pemotong kertas, scanner (alat pengkopi gambar, ilustrasi, atau teks yang bekerja dengan sinar laser hingga bisa diolah melalui computer), dan juga printer laser (alat pencetak yang menggunakan sumber sinar laser untuk menulis pada kertas yang kemudian di taburi serbuk tinta).Semua penemuan menakjubkan itu telah

(12)

12 menjadikan buku-buku sekarang ini mudah dicetak dengan sangat cepat, dijilid dengan sangat bagus, serta hasil cetakan dan desain yang sangat bagus pula. Tak mengherankan bila sekarang ini kita dapati berbagai buku terbit silih berganti dengan penampilan yang semakin menarik.

Bahkan sampai sekarang ini pun, di negara kita Indonesia, kendati sedang diterpa krisis, kondisi ekonomi masih gonjang-ganjing, tapi penerbit-penerbit buku malahan bermunculan. Banyak sekali jumlahnya, hingga tak terhitung, sebab tak tersedia data yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak juga di Ikatan Penerbit Indonesia [IKAPI]. Sebab tidak semua penerbit bergabung dengan lembaga ini.

Namun, dari pengamatan sekilas saja, kita akan dapat segera menyimpulkan, betapa penerbit-penerbit buku saat ini semakin banyak saja jumlahnya. Tengoklah, di toko-toko buku yang ada di berbagai kota di negeri ini, maka akan kita jumpai, berderet-deret bahkan bertumpuk-tumpuk buku-buku baru terbit silih berganti bak musim semi dengan beragam judul dan beraneka desain sampul yang menawan dari berbagai penerbit, baik dari penerbit besar yang sudah mapan dan lebih dulu eksis, maupun dari penerbit kecil yang baru merintis dan masih kembang-kempis. Animo masyarakat pun terhadap buku nampak juga mengalami peningkatan. Ini nampak dari banyaknya buku-buku bestseller yang laris manis diserbu masyarakat.

Memang, dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang nyaris 200 juta orang, sungguh mengherankan bahwa sebuah judul buku yang laku beberapa ribu saja sudah terasa menyenangkan dan dianggap bestseller. Akan tetapi, kondisi ini tentu jauh lebih baik bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Bagi seorang muslim da‟i yang memiliki komitmen dengan dakwah, kondisi di atas akan dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Menulis buku-buku bernuansa dakwah adalah pilihan yang sudah selayaknya untuk dilakukan. Agar buku benar-benar

(13)

13 menjelma fungsinya sebagai pencerdas dan pencerah umat, bukan sebaliknya.

2.1.2.2. Buku Elektronik

Buku elektronik atau electronic books atau e-books secara sederhana bisa dilihat dalam bentuk segala teks yang tersaji dalam bentuk dokumen yang dibuat dengan wordprocessor, HTML atau XML. Secara lebih sempit dapat juga dikatakan bahwa buku elektronik adalah buku cetak yang diubah-bentuk menjadi elektronik untuk dibaca di layar monitor.

Dalam hal ini, kita musti ingat bahwa buku elektronik terdiri dari dua hal: buku itu sendiri, dan alat bacanya (e-book readers). Ini memang perbedaan utama antara buku konvensional dan buku elektronik. Sebuah buku konvensional, tentu saja, sebuah buku; sementara sebuah buku elektronik adalah sebuah buku dan sebuah alatbaca. Lebih jauh lagi, buku elektronik juga mengandalkan Internet untuk penyebaran dan akses, membuatnya semakin berbeda dari buku konvensional. Sebagian buku elektronik hanya dapat dinikmati dengan sistem lisensi lewat Internet.

Sejak kemunculannya, banyak orang menaruh harapan pada buku elektronik untuk meningkatkan kemudahan pemahaman dalam belajar-mengajar, sebab buku ini dapat memanfaatkan semua fasilitas komputer dan multimedia. Namun, sampai sekarang masih ada banyak kelemahan dalam hal tampilan di layar, selain juga ada hambatan dalam persoalan lisensi dan keterbatasan jumlah judul buku yang tersedia. Berbeda dari jurnal elektronik (e-journal), buku elektronik kurang populer bagi pengguna perpustakaan.

Industri buku elektronik sendiri belumlah semapan buku konvensional, sehingga jaringan penerbit dan penyedia jasa (vendor) buku

(14)

14 elektronik seringkali kurang responsif terhadap pembeli. Perpustakaan yang ingin mengembangkan koleksi buku elektronik seringkali harus mempelajari baik-baik kondisi industri ini sebelum memutuskan untuk mengoleksi. Persoalan tambah rumit karena banyak penyedia buku elektronik menggunakan model lisensi, dan kadang-kadang lisensi itu adalah untuk penggunaan perorangan, bukan untuk institusi. Berkaitan dengan lisensi ini, perpustakaan digital seringkali harus memperhatikan kemungkinan pemakaian secara bersama-sama (concurrent usage). Perpustakaan ingin memiliki bahan perpustakaan yang dapat dipakai bersama-sama, terutama kalau bahan itu berupa digital. Pengguna perpustakaan pun kini sudah berharap akan menggunakan sumberdaya digital tanpa pembatasan perorangan. Dalam kasus buku elektronik, seringkali penerbit bersikap terlalu protektif, terutama untuk buku teks, dan mereka juga kuatir bahwa akses lewat Internet akan mengurangi proteksi ini.

Harga atau ongkos berlangganan buku elektronik masih termasuk mahal. Pengolola perpustakaan digital dianjurkan untuk memperhatikan kenyataan bahwa penyedia buku elektronik biasanya menggunakan sistem lisensi yang berlaku selama masa berlangganan, bukan lisensi untuk setiap judul. Lisensi ini biasanya adalah untuk penggunaan terbatas, dan pustakawan harus memperhitungkan manfaat berlangganan itu sebab seluruh koleksi yang dilanggan menjadi tertutup begitu kuota pemakai ini terpenuhi. Sebuah buku tercetak seringkali akhirnya menjadi lebih murah, sebab perpustakaan membelinya secara satuan dan tidak ada pembatasan tentang jumlah yang boleh memakainya. Walaupun tentu saja sebuah buku tercetak hanya dapat digunakan oleh satu orang setiap kalinya.

Buku elektronik tentu saja adalah “anak” dari industri yang sudah dijungkirbalikkan oleh apa yang kita sebut sebagai “revolusi digital”. Tetapi setelah sekian lama dalam perjalanannya, buku elektronik belum mengalami apa yang dialami beberapa “anak” industri lainnya, yaitu

(15)

15 fotografi, film, dan musik. Revolusi digital di bidang ini sangat luar biasa. Film dan musik digital mengubah semua hal, mulai dari sistem produksi, alat-alat kerja, sampai pola konsumsi dan bisnis. Lihat saja apa yang terjadi dengan kamera digital yang sekarang sudah berintegrasi dengan telepon genggam dan Internet. Demikian pula, lihatlah revolusi yang terjadi di dunia musik ketika compact disc (CD) dan situs Internet menggantikan piringan hitam dan pita kaset.

Dibandingkan dengan industri foto, film, dan musik, industri buku seperti tidak mengalami apa-apa. Buku tercetak masih beredar dan seperti tidak terpengaruh oleh kemunculan buku elektronik. Walaupun sebenarnya ada revolusi besar dalam proses pencetakan dan penerbitan buku yang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi (mulai dari pengiriman naskah lewat surat elektronik, sampai penataan letak dengan desktop publishing, dan distribusi lewat Internet). Pengaruh teknologi lebih terlihat di penerbitan jurnal akademik dan ilmiah, atau juga akhir-akhir ini di penerbitan monograf ilmiah sebagaimana dilakukan penerbit besar semacam Oxford Scholarship Online.

Pada awal 1990an para penerbit sempat menanamkan modal dan harapan kepada teknologi CD-ROM untuk memasarkan berbagai macam karya dalam bentuk multimedia, tetapi setelah satu dekade tampaknya “membaca CD” tidak pernah benar-benar populer, sampai sekarang ada yang lebih populer dari CD, yaitu Internet. Perhatian pun dialihkan ke medium baru ini dan banyak produsen menawarkan buku elektronik lewat Internet. Dukungan pemerintah seperti di Inggris dan Cina, ikut mendorong program “buku masuk Internet”, khususnya untuk buku pendidikan dan ilmu. Buku-buku jenis lain, seperti novel dan sastra, mungkin akan membutuhkan waktu untuk menjadi bacaan populer di Internet. Walaupun sebenarnya sudah mulai ada novel yang tersedia di Internet, dapat diambil untuk dibaca dengan alat khusus pembaca buku

(16)

16 elektronik. Jumlah pembaca novel elektronik ini masih sangat kecil dibandingkan populasi besar pembaca novel kertas.

Dari segi penyediaan oleh perpustakaan, kehadiran alat baca ini akan benar-benar mengubah pengertian “buku” secara fisik dan akan muncul isu baru: apakah perpustakaan harus menyediakan alat baca itu, atau pembaca sendiri yang membawa alat baca seperti sekarang orang membawa laptop ke perpustakaan.

• Hak cipta dan pemakaian - Digital Rights Management – Persoalan hak cipta merupakan salah satu isu yang cukup memusingkan para pengelola perpustakaan digital. Para produsen buku elektronik masih begitu kuatir tentang kemungkinan para pengguna menyalin, mencetak, dan mengambil bagian-bagian dari buku. Pada umumnya, buku elektronik juga tidak boleh dipinjamkan antar-perpustakaan seperti buku kertas, dan sebagian produsen melarang buku elektronik mereka digunakan di kelas. Untuk mengatur hak cipta dan hak pakai ini para produsen membuat Digital Righs Management Systems (DRMS). Upaya produsen dalam mengontrol penyebaran dan penggunaan buku elektronik akan mengubah beberapa praktik di dunia perpustakaan yang selama ini menggunakan buku kertas. Tradisi meminjamkan koleksi akan perlu ditinjau kembali, dan mungkin akan ada pola baru untuk “meminjamkan isi buku” (dalam bentuk teks digital), tanpa meminjamkan keseluruhan buku elektronik.

• Akses - Selain persoalan interoperability dan hak cipta atau kepemilikan sebagaimana diuraikan di atas, ada isu tentang kemudahan akses oleh pengguna. Jika buku elektronik disediakan di portal universitas, para sivitas akademika akan berharap dapat memakai buku tersebut secara bersama-sama, seperti layaknya membaca dan mengambil berkas jurnal elektronik.

(17)

17 • Penyimpanan atau pengarsipan – Pada dasarnya, setiap perpustakaan universitas harus menambah terus koleksi yang akan membantu penyelenggaraan penelitian di lembaga itu, sekaligus juga harus menjadi arsip bagi semua koleksi penelitian. Untuk buku kertas, tentu buku yang dikoleksi dan yang diarsip adalah benda itu-itu juga. Untuk buku elektronik masalahnya jadi berbeda, sebab sebagian perpustakaan digital di kampus-kampus cenderung berlangganan akses ke buku elektronik, dan belum tentu punya akses lagi setelah masa langganannya habis. Pengelola perpustakaan digital di tingkat universitas seringkali harus memastikan dan bernegosiasi dengan penjaja buku elektronik agar dapat punya akses selamanya (perpetual access) terhadap koleksi tertentu yang dianggap penting bagi kegiatan penelitian.

• Hak pribadi (privacy) – Ada penjaja buku elektronik yang menyimpan data para pembaca atau pengunjung situs mereka untuk mencatat secara rinci perilaku mereka dalam membaca. Ini sebenarnya pelanggaran hak pribadi dan pihak perpustakaan digital di universitas berkewajiban mengingatkan sivitas akademika untuk menggunakan proses authentikasi akses dari portal perpustakaan.

• Fasilitas tambahan - Ada banyak harapan tentang kelebihan yang ditawarkan buku elektronik dibandingkan buku kertas. Misalnya, buku elektronik dapat mengandung pesan multi-media, fasilitas pencarian teks, pembuatan sitasi, pengaitan (linking) antar buku, dan sebagainya. Pengelola perpustakaan digital perlu kemampuan untuk menilai kualitas fasilitas tambahan ini kalau memang ingin memberikan nilai tambah bagi koleksi buku elektronik.

(18)

18 • Pasar dan harga - Model bisnis penjaja buku elektronik pada umumnya ingin melibatkan perpustakaan sebagai semacam perantara dengan pembaca, namun kurang terlalu jelas apakah perpustakaan memang bagian dari bisnis itu. Pada awal tahun 200an hanya ada sedikit penjaja (misalnya netLibrary) yang menawarkan buku-buku elektronik khusus untuk akademik. Para penerbit pada umumnya bertindak hati-hati untuk masuk ke industri buku elektronik. Beberapa penebit yang biasa menyalurkan buku ke perpustakaan juga tidak terburu-buru pindah ke industri baru ini. Saat ini, sudah semakin banyak “pemain”, termasuk Amazon (toko buku pertama di Internet), Google, dan Microsoft. Tawaran yang tersedia pun mulai beragam, mulai dari print on demand (sesuai pesanan), berlanganan bulanan untuk mengakses seluruh koleksi, atau gratis membaca seluruh koleksi dan hanya membayar jika mencetak atau mengambil koleksi untuk dipindahkan ke komputer sendiri. Sistem pembayarannya pun mulai beragam. Ada yang menawarkan sekali bayar untuk akses selamanya (perpetual access) lewat Internet, tetapi juga ada yang menawarkan berlanganan tahunan dan mendapatkan hak kepemilikan. Biasanya, ada pula tawaran-tawaran khusus untuk perpustakaan dan pusat informasi sehingga akses ke koleksi dapat dibagi-bagi ke para pengguna. Di Indonesia, Penerbit Mizan mengaku sebagai penerbit buku elektronik pertama pada tahun 2001.

Penggunaan buku elektronik adalah merupakan satu inovasi yang sesuai dengan gaya pembacaan generasi kini untuk mendapatkan informasi. Kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi telah membawa aliran atau kaedah baru dalam kaedah dan cara pembacaan.

(19)

19 2.1.2. 3. Kelebihan Buku Elektronik

Buku elektronik mempunyai aplikasi buku teks digital, komputer dan Internet. Alat ini adalah merupakan bahan bantu belajar yang baru. Buku elektronik ini menggabungkan berbagai aplikasi teknologi yang sesuai sebagai penyediaan informasi. Fenomena ini adalah sebagai satu inovasi dalam pendekatan pengajaran yang dibantu komputer. Penggunaan berbagai teknologi terkini seperti komputer dan Internet dapat meningkatkan pencapaian dan memperbaiki sikap pelajar dalam aktiviti penulisan. Ukuran buku elektronik adalah sebesar ukuran buku biasa. Buku elektronik ini beroperasi dalam bentuk jaringan Internet (Local Area Network).

2.2. Tinjauan Mengenai Facebook Fan Page

Facebook fan page tidak hanya bisa dimiliki oleh orang atau komunitas tertentu saja, semua orang yang punya akun facebook bisa membuat fan page di facebook. Ada yang menggunakan fan page itu sebagai sarana komunikasi komunitas, brand, atau tokoh kepada pengguna facebook yang lain. Orang bisa menyukai (like) fan page dengan bebas tanpa harus mengkonfirmasi.

Facebook fan page menjadi sarana komunikasi yang efektif saat ini, banyak komunitas, tokoh terkenal dan perusahaan yang menggunakan. Di sana komunikasi bisa terjadi dengan mudah dan juga bisa menjaring berbagai lapis masyarkat. Perusahaan yang ingin promosikan produknya menggunakan facebook fan page daripada membuat situs. Dengan pengeluaran yang sedikit tapi lebih efektif. Komunitas bisa tercipta dengan mudah. Intinya dengan pengguna facebook yang begitu banyak akan lebih mudah jika kita juga menggunakan fasilitas facebook.

(20)

20 2.3. TINJAUAN EMPIRIK

2.3.1. Budaya Perkotaan/ Urban Culture

Secara umum dan sederhana, masyarakat mengenal dua bentuk karakteristik wilayah, yaitu Desa dan Kota. Desa dianggap sebagai suatu wilayah agraris dengan peri-kehidupan yang cenderung tradisional, dan pengaruh kebudayaan yang cenderung kental. Kota, sebaliknya dianggap sebagai wilayah yang non-agraris dengan peri-kehidupan yang serba modern, dan pengaruh kebudayaan yang sudah tidak begitu lekat dengan masyarakat yang hidup di dalamnya. Walaupun begitu, baik desa maupun kota sama-sama merupakan suatu wilayah/tempat konsentrasi penduduk dengan segala aktivitasnya.

Masyarakat perkotaan memiliki sifat-sifat, yaitu; sikap kehidupan masyarakat kota cenderung pada individualisme/egoism, tingkah lakunya bergerak maju mempunyai sifat kreatif, radikal dan dinamis. Dari segi budaya masyarakat kota umumnya mempunyai tingkatan budaya yang lebih tinggi, karena kreativitas dan dinamikanya kehidupan kota lebih cepat menerima hal-hal yang baru, lebih cepat mengadakan reaksi.

Sosiologi, sebagai suatu kajian ilmu melihat kehidupan baik di desa maupun di kota sebagai suatu „arena‟ yang memungkinkan terjadinya fenomena-fenomena sosial. Yang patut diperhatikan adalah definisi dari desa dan kota itu sendiri. Perbedaan dari desa dan kota, secara sosiologis terletak pada proses terbentuknya. Dalam kajian sosiologi perkotaan (urban sociology) dikenal beberapa istilah penting, yakni: Kota (city), perkotaan (urban), Urbanisasi (urbanization) dan Urbanisme (urbanism). Kota dapat diartikan sebagai suatu batasan wilayah administratif, Perkotaan sebagai suatu wilayah dengan karakteristik dari Kota, sedangkan Urbanisasi dan Urbanisme sebagai suatu pendekatan akan proses yang merubah wilayah rural (pedesaan) menjadi wilayah urban (perkotaan).

(21)

21 Proses yang Menghasilkan Urban Culture

Pada hakikatnya, studi mengenai kota dan perkotaan selalu mengarah pada „proses‟ itu sendiri. Proses yang dimaksud disini bukan hanya suatu proses politik yang mengabsahkan suatu wilayah desa menjadi wilayah administratif „kota‟, namun suatu proses sosio-kultural yang melibatkan suatu masyarakat dengan ciri khas dan dinamika tertentu. Proses itulah yang disebut sebagai „Urbanisasi‟ atau „Urbanisme‟, dan yang pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut sebagai urban culture.

Urban culture, secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu sistem dari nilai, norma, dan hubungan sosial yang melibatkan aspek historis serta pembentukan organisasi dan transformasi tertentu. Ferdinand Tonnies, sebagai salah seorang sosiolog yang mempelopori studi perkotaan melihat urban culture sebagai suatu hasil evolusi dari bentuk komunitas menjadi bentuk asosiatif yang memiliki karakteristik akan adanya pembagian peran, melemahnya loyalitas, dan pengutamaan hubungan-hubungan sosial yang bersifat sekunder dibandingkan dengan yang bersifat primer.

Tonnies, melalui essay-nya „Gemeinschaft und Gesellschaft‟ (1887) mengembangkan pemikiran yang serupa dengan pemikiran Durkheim (1893) mengenai solidaritas mekanik dan organik. Yaitu bahwa Tonnies melihat adanya suatu bentuk evolusi dari masyarakat yang memiliki solidaritas tipe mekanik yang merupakan karakteristik masyarakat pedesaan menjadi masyarakat yang memiliki solidaritas organik yang merupakan karakteristik masyarakat perkotaan. Masyarakat yang sebelumnya disebut Tonnies sebagai gemeinschaft (community; komunitas; paguyuban) berkembang menjadi gesellschaft (society; masyarakat; patembayan).

(22)

22 Louis Wirth (1938), dalam hal ini, mengembangkan konsepsi yang lebih spesifik mengenai kota. Wirth melihat adanya konsekuensi sosiologis dari ukuran, kepadatan, dan heterogenitas (size, density, and heterogeinity) dari suatu wilayah. Semakin besar ukuran, kepadatan, dan heterogenitas suatu kota, semakin besar pula diferensiasi sosial, semakin jauh jarak antar individu, dan semakin tidak stabil keanggotaan dalam kelompok. Ketiga aspek inilah yang menurut Wirth merupakan karakteristik atau bentuk kultural dari suatu kota (urban culture) yang menghasilkan suatu konsekuensi, yakni masyarakat yang bermasalah, teralienasi, manipulatif, dan menunjukkan ketidaksukaan.

Dimensi Budaya Remaja Perkotaan

Remaja adalah individu yang dalam kategori sosial paling mudah menerima pembaruan, positif maupun negatif. Fenomena geng motor menjadi contoh negatif bagaimana mudahnya remaja terlibat dalam aksi-aksi kekerasan.

Oleh masyarakat, terutama orang dewasa, remaja sering dianggap berbeda. Bahkan, bertentangan dengan kaidah-kaidah atau nilai-nilai yang dianut oleh orang dewasa atau orang tuanya (Soekanto, 1989). Menurut O‟Sullivan (1974), salah satu hal yang membedakan orang dewasa dengan remaja adalah, orang dewasa biasanya akan menunda kesenangan sampai masa depan nanti (deffered gratification), sedangkan remaja menginginkan kesenangan saat ini juga (spontaneous gratification).

Apa yang dilakukan remaja yang tampak tak memikirkan masa depan menjadi sumber konflik di antar mereka dan orang dewasa atau orangtuanya. Masa remaja berada dalam tahapan masa muda yaitu masa sebelum tua yang biasanya dicirikan oleh perkawinan. Di Indonesia, batasanusia remaja yang umum digunakan adalah 12-24 tahun dan belum menikah (Sarwono, 1994). Sedangkan WHO membagi kurun usia remaja

(23)

23 ke dalam dua bagian, yaitu remaja awal (10-14 tahun) atau teenager dan remaja akhir (15-24 tahun) yang dikenal sebagai youth.

John Clarke dkk. (1976) dalam tulisannya yang berjudul Subcultures, Cultures, and Class menjelaskan bahwa remaja merasa dan mengalami dirinya berbeda. Perbedaan ini biasanya diperlihatkan dalam kegiatan dan kepentingan-kepentingan seumurnya. Remaja juga biasanya ditandai oleh sifat yang mudah menyesuaikan diri dengan apa yang menjadi cita-citanya atau yang diinginkan terjadi pada dirinya (Soepardi, 1990). Oleh karena itu, lingkungan sosial cukup besar peranannya dalam proses pembentukan jati diri remaja.

Setidaknya ada tiga cara dalam melihat remaja. Pertama, masa remaja sebagai masa sosialisasi sikap dan pengetahuan yang sesuai untuk peran-peran dewasa tertentu. Kedua, masa remaja sebagai masa peralihan kedudukan dan peranan. Ketiga, masa remaja sebagai pemilik “kebudayaan remaja” yang besar sekali pengaruhnya dan dapat bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut orang dewasa (parker, 1976).

Remaja sadar akan pentingnya sebuah kebudayaan sebagai tolak ukur terhadap tingkah laku sendiri. Di satu sisi, kebudayaan utama memberikan pedoman, arah, dukungan, perasaan aman kepada remaja, dan sebagainya. Di sisi lain, remaja juga memiliki keinginan untuk mandiri. Hal ini yang mendorong kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan pada umumnya.

Istilah kebudayaan remaja menunjukkan aspek cara hidup yang khas remaja. Persaingan dan protes (alienation and protest) adalah salah satu arahan yang dimunculkan oleh remaja sebagai bagian dari kebudayaan remaja. Arahan ini biasanya dimunculkan oleh remaja yang merasa dikecewakan oleh kondisi sosial yang sedang terjadi. Mereka mengekspresikan ketidakpuasan dengan menarik diri dari masyarakat atau secara aktif berusaha mengubah kebijakan dan kebiasaan. Pengasingan

(24)

24 biasanya ditunjukkan dalam berbagai bentuk protes, seperti berbuat onar dan bertingkah apatis (Grinder, 1973).

Lebih jauh Fischer (1976) menjelaskan bahwa pembentukan kebudayaan remaja merupakan hasil dari urbanisme. Pemusatan pada area perkotaan yang jumlah populasinya cukup besar dan heterogen akan melemahkan ikatan antarindividu, struktur-struktur sosial, dan consensus normatif yang dapat mengakibatkan pengasingan, disorganisasi sosial, dan anomi.

Menurut Clarke, subkultur remaja dapat diidentifikasikan dari sistem simboliknya, yaitu pakaian, musik, bahasa, dan penggunaan waktu luang. Biasanya komunitas ini dikembangkan atas dasar kegemaran pada hal yang sama, seperti otomotif, musik, dan fashion. Mereka menghabiskan waktu luang bersama kelompoknya dan mengembangkan bahasanya sendiri yang kerap sulit dimengerti orang dewasa.

Dalam sebuah subkultur, beberapa petunjuk penting dimunculkan melalui gaya. Gaya mengekspresikan tingkat komitmen dan menunjukkan keanggotaan pada suatu subkultur. Hebdige (1976) menyatakan bahwa gaya merupakan bentuk komunikasi yang sengaja dan bermaksud mencoba berkomunikasi melalui penampilannya. Gaya juga merupakan tanggapan manusia terhadap lingkungan sosialnya.

2.3.2. Urban Culture di kota Bandung

Bandung, sebagai suatu kota juga mengalami proses urbanisasi. Secara historis, proses urbanisasi wilayah Bandung sudah dimulai sejak pertama kali ia berdiri, yakni pada abad ke-14 (1488) sebagai bagian dari Kerajaan Pajajaran. Ia menjadi Kabupaten sendiri tiga abad setelahnya, yakni pada tahun 1799. Kota Bandung juga mengalami fase-fase mulai dari Geemente (kotamadya), Staadsgemeente (daerah otonom), dan

(25)

25 Haminte (kota) pada masa penjajahan Belanda. Ia secara administratif menjadi Pemerintah Kota Bandung yang kita kenal sekarang mulai dari tahun 1974.

Dalam hal ukuran wilayah, Kota Bandung juga mengalami perluasan akibat dari pertambahan penduduk yang signifikan setiap tahunnya. Pertambahan penduduk tersebut sudah terjadi semenjak jaman penjajahan Belanda sampai akhirnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 1987, wilayah administrasi Kota Bandung diperluas sehingga menjadi 16. 729, 65 Ha dengan pembagian wilayah administrasi mulai dari tingkat Kecamatan hingga RT (Rukun Tetangga). Jumlah penduduk Kota Bandung sendiri adalah 2. 270. 970 Jiwa.

Bandung, sejak dahulu selalu menjadi daerah pemusatan kegiatan. Pada jaman penjajahan Belanda, Bandung sebagai wilayah yang dianggap sebagai salah satu kawasan terbaik menjadi kawasan perumahan bagi orang-orang Belanda yang tinggal di daerah Jawa. Dalam hal ini, Bandung sebagai suatu wilayah telah memperlihatkan suatu fungsi tertentu. Fungsi tersebut berkembang seiring dengan pertambahan penduduk dan dikeluarkannya UU Desentralisasi tahun 1903 yang memberikan otonomi daerah (Staadsgemeente) serta pembangunan dan pemeliharaaan fasilitas dan infrastruktur bagi beberapa kota di Pulau Jawa termasuk Kota Bandung.

Pertambahan penduduk, baik karena aspek kelahiran maupun aspek pendatang, serta pembangunan infrastruktur pada akhirnya akan memperbesar ukuran, kepadatan, dan heterogenitas suatu kota. Selanjutnya, sesuai dengan konsep Wirth, munculah diferensiasi sosial. Pada dasarnya, diferensiasi sosial, membawa perbedaan kepentingan. Dalam hal ini, kepentingan yang dulunya hanya berkisar pada kepentingan komunitas bertambah dan menjadi semakin spesifik, seperti kepentingan rekreasional, kepentingan okupasional, kepentingan pendidikan, dan

(26)

lain-26 lain. Masyarakat yang dahulunya merupakan suatu komunitas spasial yang besar mulai terbagi menjadi beberapa komunitas yang sifatnya asosiasional (interest-oriented).

Hal inilah yang menyebabkan, apa yang disebut Tonnies sebagai pembagian peran (karena peran disesuaikan dengan kepentingan), melemahnya loyalitas (karena interest-oriented), dan pengutamaan hubungan-hubungan sosial yang bersifat sekunder dibandingkan dengan yang bersifat primer (karena hubungan sosial yang dilakukan disesuaikan dengan kepentingan). Tabrakan dari kepentingan-kepentingan yang berbeda inilah yang dikatakan oleh Wirth dapat menyebabkan ketidakstabilan.

Urban culture yang menciptakan masyarakat urban (urban society) diharapkan dapat menjadi suatu fase bagi masyarakat untuk dapat bertransformasi dalam suatu proses perubahan sosial yang lebih besar. Keberhasilan masyarakat perkotaan dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan sosial diharapkan dapat menjadi suatu revolusi urban (urban revolution), yang mengedepankan pada suatu bentuk kohesi sosial pada masyarakat perkotaan. Bukan hanya bagi Kota Bandung saja, namun juga kota-kota lain di Indonesia, maupun dunia.

Bagaimanapun perkembangan yang ada di kota Bandung tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan setiap gejala perkembangan di tingkat global. Seiring dengan perkembangan zaman, sampai saat ini scene anak muda di Kota Bandung masih terus tumbuh untuk terus melengkapi pola perkembangannya dengan wajah dan berbagai versinya yang baru.

(27)

27 2.3.3. Perkembangan Urban Culture di kota Bandung

Bandung merupakan kota yang dikenal akan keberadaan komunitas-komunitas remajanya. Keberadaan geng motor tua, sepeda bmx, penggemar musik hip-hop, musik elektronik, break dance, hardcore, grindcore, sampai dengan komunitas penggemar musik punk yang tersebar di beberapa tempat di sekitar pojokan kota, dengan penampilan yang spesifik. Di malam Minggu, beberapa komunitas ini biasanya terlihat di sekitar Jalan Dago, Gasibu, BIP, Cihampelas, sampai Jalan Braga. Di Bandung, kebanyakan orang tampaknya memang masih punya banyak waktu luang untuk memikirkan beberapa hal yang mendetail dalam kehidupan sehari-hari mereka. Beberapa hal detail yang kemudian bermuara pada beragam kecendrungan akan gaya hidup, perilaku, dan berbagai aliran pemikiran.

Dadan Ketu, sebutlah demikian. Terlahir di Kota Bandung pada tahun 1973. Pemilik nama ini bukanlah figur yang asing lagi bagi mereka yang akrab dengan komunitas underground Kota Bandung di era pertengahan ‟90-an. Bersama 8 orang temannya, pada sekitar tahun ‟96 ia berinisiatif untuk membentuk sebuah kolektif yang kini dikenal dengan nama Riotic.

Lain lagi dengan Dede, yang bersama keempat temannya mendirikan sebuah distro yang bernama Anonim pada tahun 1999. Terutama karena ketertarikan pada musik dan film, kelompok ini kemudian mulai menjual t-shirt yang dipesan secara online melalui internet. Kini selain menjual barang-barang import, mereka juga menjual kaset-kaset underground dan produk-produk dari label clothing lokal.

Riotic dan Anonim, dua nama ini adalah sedikit dari deretan nama-nama seperti, “Harder, Riotic, Monik Clothing, 347 Boardrider & Co., No Label Stuff, Airplane Apparel System, Ouval Research, dan lain sebagainya”. Sejak pertengahan ‟90-an, di Kota Bandung memang

(28)

28 bermunculan beberapa komunitas yang menjadi produsen sekaligus pelanggan tetap beberapa toko kecil, sebutlah distro, yang menjual barang-barang yang tidak ditemui di kebanyakan toko, shooping mall, dan factory outlet yang kini juga tengah menjamur di Kota Bandung. Berbekal modal seadanya, ditambah dengan hubungan pertemanan dan sedikit kemampuan untuk membuat dan memasarkan produk sendiri, kemunculan toko-toko semacam ini kemudian tidak hanya menandai perkembangan scene anak muda di Kota Bandung, tetapi juga kota-kota lain semisal Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.

Adalah Reverse, sebuah studio musik di daerah Sukasenang yang kemudian dapat dikatakan sebagai cikal bakal yang penting bagi perkembangan komunitas anak muda di Kota Bandung pada awal era ‟90-an. Di awal kemunculannya pada sekitar tahun ‟94, semula Richard, Helvi, dan Dxxxt (3 orang pendiri pertama dari Reverse), hanya memasarkan produk-produk spesifik yang terutama diminati oleh komunitas penggemar musik rock dan skateboard. Dapat dikatakan, komunitas ini kemudian merupakan simpul pertama bagi perkembangan komunitas ataupun kelompok subkultur anak muda pada saat itu. Ketika semakin berkembang, Reverse kemudian menjadi sebuah distro yang mulai menjual CD, kaset, poster, artwork, asesoris, termasuk barang-barang impor maupun barang buatan lokal lainnya.

Kemudian bermunculan sederet komunitas baru yang lebih spesifik lagi. Dari yang semula hanya didatangi oleh penggemar musik rock dan komunitas skateboard, Reverse mulai didatangi oleh beberapa kelompok yang berasal dari scene yang lain. Dari yang meminati musik “pop, metal, punk, hardcore, sampai pada kelompok skater, bmx, surf dan lain sebagainya”. Belakangan, nama Reverse bermutasi menjadi Reverse Clothing Company, yang sekarang ini dikelola oleh Dxxxt.

(29)

29 Menurut Richard, selain karena musik rock dan skateboard, saat itu kemunculan beragam komunitas semacam ini juga didorong oleh keberadaan beberapa film yang bercerita mengenai berbagai macam komunitas anak muda di Barat (Eropa Barat & Amerika).

Tampaknya dari kondisi yang spesifik semacam inilah, dinamika perkembangan industri musik, termasuk perkembangan fashion anak muda di Bandung selalu menemui banyak pembaharuan. Kota Bandung memang memiliki segudang rutin yang memaksa setiap warganya untuk terus bergerak mencari sesuatu yang baru dan berbeda.

Kini beragam komunitas anak muda di kota Bandung terus bermunculan. Sementara itu, berbagai komunitas kreatif yang didominasi oleh anak-anak muda saat ini menyebar hampir seluruh pelosok kota, mulai di bilangan Jalan Setiabudi (Monik/Ffwd Records), Citarum (347/EAT – Room No. 1), Moch. Ramdan (IF), Balai Kota (Barudak Balkot), Jalan Pasteur (Harder), Sultan Agung (Omuniuum), Jalan Sunda (BTW Space), Kyai Gede Utama (Common Room/ tobucil/Bandung Center for New Media Arts dan Jendela Ide), daerah Ciwaruga/Cihanjuang (Buqiet Skate Park), sampai ke daerah Ujung Berung (Ujung Berung Rebel/Homeless Crew), dsb.

Biografi Kota: Era Kolonial, Jaman Aktuil, Geng Motor, Anak Punk Sejak dinobatkan sebagai kota terbuka oleh Gubernur Jendral J.B. van Heutz pada tanggal 21 Februari 1906, Kota Bandung sejak dulu memang telah menjadi tempat bagi tujuan wisata, perdagangan dan pendidikan. Hal ini yang sedikit banyak membawa pengaruh bagi perkembangan Kota Bandung pada era sesudahnya. Pernah dahulu Kota Bandung disebut sebagai „Parijs van Java‟, dan diusulkan untuk menjadi pusat bagi koloni orang Eropa yang singgah di daerah katulistiwa oleh seorang ilmuwan yang bernama Ir. R. van Hoevell.

(30)

30 Sebagai salah satu kota besar yang berkembang sejak era kolonial Belanda, wajar apabila saat ini Kota Bandung juga dikenal sebagai kota yang menerima berbagai macam pengaruh dari bangsa-bangsa seluruh dunia, dan tidak terisolasi dari berbagai perkembangan yang ada. Di era kolonial Belanda, berbagai infrastruktur kota; terutama sarana transportasi, perdagangan, dan pendidikan adalah pintu gerbang utama yang memungkinkan berbagai informasi dan pengetahuan masuk ke kota ini.

Setelah era kolonial, pembangunan berbagai sarana transportasi, komunikasi, dan perkembangan di bidang teknologi informasi semakin menempatkan Kota Bandung sebagai bagian dari jaringan dunia global. Seiring dengan gencarnya perputaran arus informasi, muncul berbagai bentuk kesadaran individu, keterbukaan, kebebasan berekspresi dan toleransi, diantara kelompok masyarakat, termasuk diantara beberapa komunitas anak muda di Bandung. Semangat untuk menyikapi perbedaan dengan cara yang khas (nyeleneh), pada beberapa kelompok anak muda Bandung tampaknya juga ikut melahirkan pola resistensi, yang dapat kita kenali sebagai sebuah model budaya tandingan (counter-culture). Kebiasaan untuk membentuk budaya tandingan untuk menyikapi budaya yang dianggap lebih mapan setidaknya mendorong pertumbuhan budaya urban di kalangan masyarakat kota Bandung menjadi lebih dinamis. Hal ini tampaknya juga menunjukan tabiat masyarakat kota Bandung yang memang senantiasa haus akan perubahan dan perbedaan.

Sebagian kalangan di Indonesia tentu kenal dengan angkatan majalah Aktuil yang muncul di Bandung pada tahun ‟70-an, dengan tiga dedengkotnya, yaitu Sonny Suriaatmadja, Denny Sabri Gandanegara, dan Remy Sylado. Pada tahun 1973-1974 majalah ini sempat berhasil menembus tiras sekitar 126 ribu eksemplar, dan menjadi trend setter anak muda yang penting pada masa itu, sampai kemudian berhasil mendatangkan kelompok musik “Deep Purple” pada tahun 1975.

(31)

31 Selanjutnya, mungkin ada juga yang tahu mengenai keberadaan geng motor yang populer di kota ini sejak tahun ‟70 sampai dengan pertengahan ‟80-an, yang didominasi oleh para penggemar motor tua semacam “Harley Davidson, Ariel, BMW” dan lain sebagainya. Pada masa itu, setidaknya ada 2 kelompok motor tua yang disegani, seperti misalnya Black Angel dan The Motor. Kelompok ini pulalah yang belakangan mendorong lahirnya kelompok penggemar motor tua yang masih eksis sampai sekarang, yaitu Biker‟s Brotherhood.

Di era ‟80-an, selain komunitas motor tua, sejak dibangunnya sebuah skatepark kecil di Taman Lalu Lintas (Taman Ade Irma Suryani) pada pertengahan ‟80-an, muncul komunitas skateboard yang kemudian menjadi cikal bakal bagi kelompok bmx, punk, dan hardcore yang mulai populer di tahun ‟90-an. Melalui komunitas ini pulalah mulai populer wacana Do It Youself (DIY), yaitu sebuah bentuk pemikiran yang mementingkan peran inisiatif individu dalam membangun gerakan budaya tandingan. Melalui wacana DIY, selain perkembangan distro, clothing, record label lokal, juga muncul sederet nama yang kemudian menjadi catatan yang penting bagi kota ini, yaitu kelompok-kelompok band seperti Puppen (bubar pada tahun 2001), Pas, Koil, Jeruji, Full of Hate, Forgotten, Burger Kill, Jasad dan masih banyak lagi. Band-band inilah yang sempat meramaikan acara-acara musik underground di tempat seperti GOR Saparua, dimana biasanya banyak komunitas anak muda yang memanfaatkan acara ini untuk berkumpul dengan dandanan dan sikap mental yang sangat spesifik.

Sebuah fenomena baru kemudian merebak di penghujung era ‟90-an. Setelah pertunjukan musik underground semakin jarang diadakan karena semakin dipersulitnya masalah perizinan dan kendala dalam soal dana, dalam beberapa waktu terakhir pada hampir setiap malam Minggu kita bisa menemui sebagian warga Kota Bandung berparade di jalan-jalan utama semisal Jalan Dago di wilayah utara kota.

(32)

32 Berbagai komunitas berkumpul sambil berpesta pora, meneruskan kebiasaan yang sebetulnya sudah menunjukan gelagatnya sejak awal tahun ‟90-an. Lepas dari era ‟90-an, saat ini beberapa acara underground dapat dikatakan kembali marak selama kurun waktu beberapa tahun terakhir. Paska 1990: Desa Global, GMR, dan MTV

Tidak hanya di era ‟90-an – apabila kita lihat beberapa catatan di atas – sejak awal kemunculannya harus diakui Kota Bandung memang banyak menerima pengaruh dari Barat (Eropa Barat & Amerika). Namun, pada periode berikutnya tidak dapat dipungkiri kalau ada pengaruh lain yang tak kalah penting bagi perkembangan scene anak muda di Bandung, yaitu media. Sebagai contoh di bidang musik misalnya, melalui tangan dingin seorang Samuel Marudut (alm.), pada tahun ‟92-an sebuah radio yang bernama GMR menjadi satu-satunya radio di Indonesia yang membuka diri untuk memutarkan rekaman demo dari band-band baru yang ada di kota ini, sehingga ikut memicu pertumbuhan scene musik yang ada pada saat itu. Selain memicu pertumbuhan komunitas musik di Kota Bandung, radio ini juga ikut mempopulerkan keberadaan beberapa band yang berasal dari luar kota Bandung.

Selain itu, perkembangan di bidang teknologi media & informasi juga secara radikal mampu mendorong perkembangan budaya kota di Bandung kearah yang lebih jauh. Salah satu contohnya adalah perkembangan teknologi rekaman yang memungkinkan band-band baru merekam musik mereka dengan menggunakan komputer, sehingga tidak lagi harus bersandar pada industri mainstream & produk impor. Saat ini, industri musik di Bandung sudah biasa diproduksi di studio-studio kecil, rumah, maupun di kamar kost. Selain itu, perkembangan di bidang teknologi informasi juga memudahkan setiap komunitas yang ada untuk berhubungan dan mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. Melalui jaringan internet yang sudah berkembang sejak tahun 1995-an, Kota

(33)

33 Bandung saat ini sudah menjadi bagian dari jaringan virtual yang semakin membukakan pintu menuju jaringan global.

Seiring dengan perkembangan jaman, sampai saat ini scene anak muda di Kota Bandung masih terus tumbuh untuk terus melengkapi pola perkembangannya dengan wajah dan berbagai versinya yang baru. Jangan kaget kalau tiba-tiba anda bertemu dengan sekelompok anak muda dengan gaya yang identik dengan gaya anak muda di belahan dunia yang lain. Kota ini memang sedari dulu sudah menjadi bagian dari kota-kota lain di seluruh dunia.

2.3.4. Urban Culture Komunitas Mods

Mod adalah satu fenomena sosial yang kompleks yang terjadi di Inggris pada tahun 60-an (dimulai akhir tahun 50-an tepatnya pada tahun 1958) di kota London. Dimana para pemuda di London yang saat itu berada pada kondisi ekonomi yang kurang baik, tetapi mereka tetap ingin mempertahankan kesempurnaan dari gaya personal mereka. Mereka terobsesi dengan American rhythm and blues dan Italian motor scooters. Puncak kejayaan era mod ini terjadi dari tahun 1962 sampai akhir tahun 70-an dan menyebar luas ke seluruh dunia.

Mod yang sudah menjadi salah satu gaya hidup sudah pasti mencakupi semua hal dari musik sampai fashion-nya. Kata Mod itu sendiri sebenarnya berasal dari kata Modernist/ Modern/ Modern Jazz (karena selera musik mereka pada saat itu terfokus pada modern jazz). Seiring meluasnya gaya hidup ini di London sampai daerah utara Inggris, ciri khas para modernist ini semakin kelihatan. Mereka mengendarai skuter Itali, cara berpakaian yang rapih dan bervariasi (dengan konsep Do It Yourself, karena saat itu perekonomian sangat sulit tapi keinginan untuk tetap gaya

(34)

34 masih sangat kuat jadi mereka membuat baju mereka sendiri dan dari sinilah muncul fenomena baru lagi, yaitu era butik).

Mod sendiri juga mengalami metamorfosa perubahan era, dari “Modernists”(era 50-an) menjadi “Mods”(era 60-an) menjadi “Mod Revivalists”(era 70-an) dan terakhir adalah “New Mods”(era 80-an sampai dengan 90-an).

Mods juga dikenal karena identik dengan lambang lingkaran (target) berwarna biru, merah dan putih. Lambang ini sebenarnya diambil dari emblem identitas Royal Air Force (RAF), Angkatan Udara Inggris. Secara historis, lambang ini pun tidak sepenuhnya berasal dari RAF, melainkan justru terinspirasi dari bendera Prancis. Berawal dari Perang Dunia I, di mana lambang Union Jack Inggris yang terdapat pada sisi pesawat mereka sekilas tampak sama dengan lambang salib Jerman, musuh mereka. Sehingga dipandang perlu untuk memakai lambang lain untuk menghindari insiden salah tembak.

Gambar. 1.1. Lambang ini sebenarnya diambil dari emblem identitas Royal Air Force (RAF), Angkatan Udara Inggris.

(35)

35 Etimologi

Istilah Mods berasal dari modernis, yang merupakan istilah yang digunakan pada 1950-an untuk menggambarkan musisi jazz modern dan fans. Penggunaan ini berlawanan dengan istilah tradisional, yang menggambarkan para pemain dan penggemar musik jazz tradisional. The Absolute Beginners 1959 novel oleh Colin MacInnes modernis menggambarkan sebagai seorang penggemar jazz muda modern yang tajam pakaian gaun di Italia modern. Absolute Beginners mungkin salah satu contoh tertulis paling awal dari modernis istilah yang digunakan untuk menggambarkan gaya anak muda Inggris penggemar musik jazz modern. Para modernis kata dalam pengertian ini seharusnya tidak bingung dengan penggunaan yang lebih luas dari istilah modernisme dalam konteks sastra, seni, desain dan arsitektur.

Gambar. 1.2. Subkultur Mods di kota London, Brighton, Inggris.

Mods Look

Para Mod boys menghabiskan uang mereka agar mereka bisa tampil se-dandy/ rapih mungkin. Mengendarai skuter adalah salah satu point penting yang jadi bagian dari wardrobe mereka juga. Dan para Mod girls juga begitu walau mereka tidak harus memiliki skuter. Para Mods

(36)

36 selalu mempunyai gaya yang rapi, bersih, dan simple dan boyish look. Mod boys mengenakan make-up dan terkadang membawa handbags juga.

Fenomenal yang orisinil dari mods terbagi menjadi empat, yaitu:

1. The Art school or high camp version : mengeksplorasi image baru dari gaya cowok yang jauh dari clumsiness dan maskulinitas, mereka sangat dressed-up dan often memakai make-up dan membawa handbags.

2. Mainstream mods : mereka mengenakan suit atau setelan yang rapi dan bersih, jas dan celana lurus, pointed shoes, ditemani oleh cewek dengan rambut pendek, berkeliling ke club-club memamerkan busana mereka dan menunjukkan gaya dansa baru.

3. Scooter boys : mereka mengenakan suit dan coat pada malam hari, jeans lebar dan sepatu kanvas. Tidak ketinggalan skuter Itali mereka yang di kelas pekerja sudah seperti sebuah sport-car.

4. Hard mods : mengenakan sported jeans dengan bottom strata, dan memakai boot. Dari sinilah berasalnya skinheads diakhir tahun 60-an.

Fashion Mods

Jobling dan Crowley menyebutkan subkultur Mod adalah "mode terobsesi dan hedonistik dari hyper-keren ", pemuda-pemuda yang tinggal di kota London atau kota-kota baru di selatan London. Karena dengan peningkatan kemakmuran pasca-perang Inggris, para pemuda tahun 1960-an awal adalah salah satu generasi pertama y1960-ang tidak harus menyumbangkan uang mereka dari pekerjaan. Sebagai Mod, remaja dan dewasa mulai menggunakan pendapatan mereka untuk membeli pakaian, took- toko butik pertama dibuka di kota London yaitu di Carnaby Street dan Kings Road.

(37)

37 Mod fashion mengadopsi gaya Italia dan Prancis, baru sebagai reaksi terhadap perlawanan terhadap para Rocker (culture komunitas motor-motor besar), yang dipandang terperangkap dengan gaya berpakaian tahun 1950-an, dengan sepeda motor dan jaket kulit. Mods mengadopsi gaya berpakain Italia, yaitu setelan tailor-made (kadang-kadang berwarna putih) dengan kerah yang sempit, pakaian mohair, dasi tipis, kemeja berkerah, sweater kasmir (crewneck atau V-neck), sepatu kulit winklepickers, dan gaya rambut aktor-aktor Perancis era Nouvelle, seperti Jean-Paul Belmondo.

Mods melawan norma-norma gender dengan berpenampilan mereka menggunakan make-up seperti eyeshadow, eyepencil atau bahkan lipstik. Para kaum mods mengenakan jaket model militer sebab pemakaian jaket-jaket parka militer untuk melindungi jas mahal dan celana dari lumpur dan hujan.

Berikut beberapa brand yang dikenakan oleh para kaum Mods:

Levi's, Playboy, Ben Sherman, Wrangler, Pacha, Bench, Lee, Fred Perry, Kangol, Sergio Tacchini, Lacoste, crocodile, Polo Baverly Hills, Adidas, puma, Ikon London, Dr. Martens, Base London, Golddigga, Henleys, Lee Cooper, Gola, Merc of London, Dunlop Green Flash and Frank Wright, Ellesse Italia, Barracuta harrington, Polo Ralp Lauren, Lonsdale, Yves Saint Laurent, Tesco, Brooks Brothers, Umbro, Peter Storm.

2.3.5. Komunitas Mods di Indonesia (kota Bandung).

Mod adalah sebuah budaya subkultur paling tua, mod hadir di dunia sebelum adanya era flower generation, skinhead, dan punk rock. Subkultur Mods dimulai sekitar tahun 1958. Kata “mods” merupakan kependekan dari kata modernism/ modernist. Ini adalah subkultur anak

(38)

38 muda yang berkembang di Inggris pada akhir „50-an sampai pertengahan „60-an. Sebenarnya, di awal kemunculannya, terminologi Mod ini ditujukan kepada para penggemar musik modern jazz. Seiring perkembangan waktu, terminology ini bergeser lebih luas lagi. Meliputi fashion dan gaya hidup yang menyeruak di kalangan itu. Seperti stelan rapih, skuter, pop art dan film-film Prancis yang mulai berkembang di era „60-an.

Mod mengalami metamorfosa perubahan era, dari “Modernists”(era 50-an) menjadi “Mods”(era 60-an) menjadi “Mod Revivalists”(era 70-an) dan terakhir adalah “New Mods”(era 80-an sampai dengan 90-an).

Banyak unsur budaya yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, baik yang berasal dari dalam dan luar negeri, baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi gaya hidup masyarakat di Indonesia. Salah satu elemen yang berhubungan dengan budaya dan sangat tertanam di beberapa masyarakat, terutama kelas pekerja di Indonesia adalah Mod.

(39)

39 Meski pun lahir di Inggris, subkultur ini berhasil menyerang anak muda di seluruh dunia. termasuk Indonesia. Baik itu fashion, gaya hidup atau pun band-bandnya. Pergerakan subkultur Mod itu dibentuk oleh tiga elemen: musik, fashion dan skuter. Subkultur Mod hadir di Indonesia pada awal tahun 1990-an, pusatnya di kota Bandung dan Jakarta, kota Bandung diwakili oleh komunitas skuter bernama Beat Boys Indonesia, dan di Jakarta ada crooz mods squad. Walaupun hanya sesaat pada waktu itu, hingga booming pada tahun 2004 hingga saat ini. Di kota Bandung komunitas Mods lahir dan besar dari kultur pemuda penggemar music britpop/indies dan kultur skinhead pada era tahun 1990-an. Tetapi era untuk musik sampai fashion ada di tahun 2000-an.

Mods di Indonesia itu sendiri mengadopsi kultur ini dari inggris, para Mods di Indonesia ada yang mentah-mentah, ada yg mengadopsi bahkan ada yg nge-mix baik itu fashion juga musiknya. Para Mods di Indonesia berpenampilan kebanyakan memiliki potongan rambut belah samping, mengenakan jaket militer parka, dengan rambut panjang seperti vokalis band The Stone Roses, Ian Brown, juga potongan rambut plontos atau botak ala skinhead, juga ada yang berdandan rapih, ala kasual seperti terlihat di film awaydays.

Kultur Mods ini sendiri mengalami apa yg namanya pasang surut dari awal munculnya hingga saat ini, awalnya muncul juga tidak terlalu besar bahkan sempat meredup seiring berkurangnya antusias pengguna skuter. Namun naik lagi pada era tahun 2000-an, era baru ini memang sedang tumbuh dan berkembang di Negara-negara Asia (Indonesia, Malaysia dan Singapura). Di Indonesia sendiri berkembang karena trend skuter yang lagi naik daun di awal tahun 2000-an.

(40)

40 2.4. FASHION/PAKAIAN

Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia selain makanan dan tempat berteduh/tempat tinggal (rumah). Manusia membutuhkan pakaian untuk melindungi dan menutup dirinya. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun kedudukan seseorang yang memakainya. Perkembangan dan jenis-jenis pakaian tergantung pada adat-istiadat, kebiasaan, dan budaya yang memiliki ciri khas masing-masing.

2.4.1. Aspek Budaya Pada Fashion/ Pakaian 1.) Perbedaan Jenis Kelamin

Dalam kebanyakan budaya, perbedaan pakaian antara kedua jenis kelamin dianggap pantas untuk laki-laki dan perempuan. Perbedaan dalam gaya, warna dan kain.

2.) Status Sosial

Di sebagian masyarakat, pakaian dapat digunakan untuk menunjukkan peringkat atau status.Di Roma kuno, misalnya, hanya para senator yang diizinkan untuk memakai pakaian yang dicelup dengan warna ungu Tyrian. Di Cina, sebelum pembentukan republik, hanya kaisar bisa memakai pakaian berwarna kuning. Dalam masyarakat tanpa hukum ini, yang mencakup sebagian besar masyarakat modern, status sosial bukan ditandai dengan pembelian barang langka atau mewah yang dibatasi oleh biaya kepada mereka dengan kekayaan atau status.

(41)

41 3.) Agama

Pakaian Agama mungkin dianggap sebagai pakaian spesial. Pakaian agama terkadang dipakai hanya selama kinerja upacara keagamaan. Namun, juga dapat dipakai sehari-hari sebagai penanda status agama khusus.

2.4.2. Fashion di kota Bandung

Riotic dan Anonim, dua nama ini adalah sedikit dari deretan nama-nama seperti, “Harder, Riotic, Monik Clothing, 347 Boardrider & Co., No Label Stuff, Airplane Apparel System, Ouval Research, dan lain sebagainya”. Sejak pertengahan ‟90-an, di Kota Bandung memang bermunculan beberapa komunitas yang menjadi produsen sekaligus pelanggan tetap beberapa toko kecil, sebutlah distro, yang menjual barang-barang yang tidak ditemui di kebanyakan toko, shooping mall, dan factory outlet yang kini juga tengah menjamur di Kota Bandung. Berbekal modal seadanya, ditambah dengan hubungan pertemanan dan sedikit kemampuan untuk membuat dan memasarkan produk sendiri, kemunculan toko-toko semacam ini kemudian tidak hanya menandai perkembangan scene anak muda di Kota Bandung, tetapi juga kota-kota lain semisal Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.

Fashion saat ini bukan lagi hanya sekedar trend. Fashion dapat juga dilihat sebagai bentuk ekpresi kemandirian politik yang mampu mengakomodasi berbagai aspirasi personal yang mereka miliki. Untuk itu, dalam konteks perbincangan mengenai perkembangan kelompok subkultur di kota Bandung, sebetulnya musik dan fashion juga dapat dilihat sebagai instrumen yang mampu menjelaskan berbagai pandangan dan perbedaan yang menyertai keberadaan komunitas-komunitas ini.

Gambar

Gambar 1.3. Subkultur Mod di kota Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mempelajari toksisitas ekstrak akuades (suhu kamar) dan akuades panas (70 o C) daun kelor ( Moringa oleifera Lamk.) terhadap larva udang Artemia

a. Memastikan jam pelaksanaan praktek kerja dilakukan secara proporsional dengan jam istirahat agar tidak menimbulkan kelelahan sangat yang dapat

Idealnya, kunjungan pertama dilakukan selama konsepsi dengan riwayat Idealnya, kunjungan pertama dilakukan selama konsepsi dengan riwayat kesehatan yang lengkap dan

Badan/Lembaga Amil Zakat tersebut melakukan promosi melalui iklan di media massa dan media sosial yang memberikan informasi kepada masyarakat.. Badan/Lembaga Amil Zakat

Kawasan perbatasan dikembangkan berdasarkan potensi dan permasalahan yang dimiliki, sehingga mampu berkembang dengan pesat sesuai dengan karakteristik

Ketiga tesis di atas secara substantif memang meneliti tentang pemasaran pendidikan di sebuah lembaga, baik pada sekolah tingkat menengah maupun sekolah tinggi. Akan

Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin yang khusus disediakan dan atau diberikan

Fiqih lingkungan ( Fiqh al-Bi‘ah ) dapat dipahami sebagai produk hukum Islam berkaitan dengan hukum taklifi yang dihasilkan dalam proses istinbat hukum melalui