• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: Pendahuluan

C. Pendekatan Fenomenologi

2. Urgensi Intensionalitas

64

1. Ide Essensial Fenomenologi

Manusia memiliki kemampuan-kemampuan tertentu yang membuatnya berbeda kualitasnya dengan binatang yang manapun. Kemampuan tersebut adalah kemampuannya untuk menggunakan simbol-simbol yang merupakan rangkaian dari tanda-tanda. Kemampuan untuk menciptakan dan mengembangkan simbol-simbol. Kemampuan untuk menyampaikan dan memahami pesan-pesan yang disampaikan oleh manusia yang lain.83Manusia adalah makhluk simbolis.

Simbol atau lambang peniliti definisikan di sini tidak sebagai sesuatu yang bermakna, tetapi segala sesuatu yang dimaknai. Karena makna sebuah simbol tidaklah menempel, melekat atau ada pada simbol itu sendiri. Makna ini berasal dari luar simbol, yakni dari manusia. Manusialah makhluk yang dapat memberi makna pada sesuatu yang semula bukan apa-apa. Dengan pemberian makna inilah maka apa yang semula bukan apa-apa lantas menjadi suatu symbol atau suatu lambang.

Perangkat simbol kebudayaan juga memiliki tiga wujud, yakni berupa budaya material (material culture), budaya perilaku (behavioral culture) dan budaya gagasan (ideational culture).84 Dikatakan sebagai simbol karena unsur-unsur itu semua dapat dimaknai oleh siapapun. Pemaknaan ini dapat berbeda-beda.

Perbedaan makna yang diberikan tidak hanya ada pada tataran kelompok atau golongan, tetapi bahkan juga pada tataran individual. Tidak ada individu yang sama persis pemaknaannya satu dengan yang lain, walaupun itu berkenaan dengan satu simbol saja. Agama dalam perspektif fenomenologi pertama-tama harus didefinisikan sejajar dengan pandangan Husserl mengenai phenomenon, yakni sebagai suatu bentuk kesadaran (consciousness).

2. Urgensi Intensionalitas

Husserl menerjemahkan fenomenologi dari karya dan ceramah guru-gurunya, seorang psikolog dan filosof, Franz Brentano dan Carl Stumpf. Unsur penting fenomenologi yang dipinjam Husserl dari Brentano adalah intensionalitas. Gagasan bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Objek kesadaran disebut objek yang disengaja dan objek ini dibentuk oleh kesadaran dalam berbagai cara, melalui persepsi, ingatan, lafal yang sama

83

Heddy Shri Ahimsa-Putr, Fenomenologi Agama, 287.

84

65

tapi makna berbeda, penandaan, dll. Meskipun memiliki struktur yang berbeda, sebuah objek masih didasari sebagai objek yang identik. Kesadaran diarahkan pada objek yang disengaja yang dalam persepsi langsung kepada obyek dan akhirnya subyek mengingatnya.85 Inilah awal mula terjadinya intensionalitas.

Dari penjelasan diatas tidak dapat dipungkiri yang paling terkait erat dengan fenomenologi adalah "Intensionalitas."86 Istilah "intensionalitas" berasal dari orang-orang Skolastik pada periode abad pertengahan dan dibangkitkan oleh Brentano. Intensionalitas pada gilirannya mempengaruhi konsepsi fenomenologi Husserl, yang memperhalus istilah itu dan menjadikannya landasan teori kesadarannya. Arti dari istilah itu kompleks dan sepenuhnya bergantung pada bagaimana ia dipahami oleh seorang filsuf tertentu. Istilah ini tidak boleh disamakan dengan "niat" atau konsepsi psikoanalitik dari "motif" tidak sadar atau "keuntungan".

Berakar dari epistemologis, dengan alur Skeptis, yang disebut epoché, metode Husserl bermaksud penghentian penilaian sementara (memberi “tanda kurung”) mengandalkan pemahaman intuitif pengetahuan, bebas dari pra-anggapan dan intelektualisasi. Metode fenomenologis berakar pada intensionalitas, yaitu teori kesadaran Husserl (dikembangkan dari Brentano). Intentionalitas merupakan alternatif terhadap teori kesadaran representasional, yang menyatakan bahwa realitas tidak dapat dipahami secara langsung karena hanya tersedia melalui persepsi realitas yang merupakan representasi dari dalam pikiran. Husserl membantah bahwa kesadaran tidak "dalam" pikiran, sebaliknya, kesadaran sadar akan sesuatu yang lain dari dirinya (objek yang disengaja), apakah objek itu adalah substansi atau dari imajinasi saja. Oleh karena itu metode fenomenologis bergantung pada deskripsi fenomena ketika mereka diberikan kesadaran.

Doktrin inti dalam fenomenologi ini adalah ajaran bahwa setiap tindakan kesadaran yang kita lakukan, setiap pengalaman yang kita miliki, adalah disengaja. Pada dasarnya pengalaman yang dimiliki adalah "kesadaran" atau "pengalaman terhadap sesuatu". Semua kesadaran diarahkan pada objek. Jika saya mengerti suatu obyek maka saya melihat beberapa objek visual, seperti pohon atau danau. Jika saya membayangkan sesuatu maka saya mengimajinasi suatu objek imajiner. Jika saya sedang mengingat-ingat sesuatu maka saya ingat objek masa lalu. Jika saya menilai sesuatu maka saya terlibat dalam keadaan atau fakta yang saya nilai. Oleh karena itu, setiap tindakan memiliki kesadaran, setiap

85

A. Khozin Affandi, Langkah Praktis Merancang Proposal (Surabaya: Pustakamas, 2011), 32.

86

Intensionalitas menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) online adalah berdasarkan niat atau keinginan. https://artikbbi.com (20 Maret, 2019).

66

pengalaman, berkorelasi dengan objek. Setiap maksud memiliki objek yang dimaksudkan.87Ini adalah doktrin inti tentang intensionalitas.

Perlu diingat bahwa gagasan intensionalitas ini berhubungan dengan teori pengetahuan, Gagasan intensionalitas tidak terkait dengan teori tindakan manusia secara praktis. Intensionalitas menjadi kata yang ditujukan pada hubungan sadar kita terhadap sebuah obyek. Jika kita kehilangan intensionalitas maka kita tidak memiliki dunia yang tidak dipenuhi dengan akal sehat, bukti, dan kebenaran. Masing-masing dari kita sadar akan dunia pribadinya sendiri. Kita tahu bahwa relativisme ini tidak bisa mengiring manusia pada kebenaran. Akibatnya, kita saling berdebat satu sama lain tentang apa yang harus dilakukan karena tidak melihat dunia secara umum. Bagaimana mengkomunikasikannya jika kita masing-masing individu memiliki dunianya sendiri-sendiri.88 Ini satu dinamika sendiri dalam penelitian fenomenologi.

Intensionalitas mengacu pada gagasan kesadaran akan sesuatu. Kata itu sendiri tidak boleh disalahartikan dengan penggunaan kata "biasa" yang disengaja, tetapi diakar kata etimologis. Awalnya, intensionalitas mengacu pada "melihat keluar". Dalam konteks ini mengacu pada kesadaran "membentang" menuju objeknya. Namun, kita harus berhati-hati dengan ini. Tidak ada kesadaran yang membentang dari objeknya sebaliknya kesadaran terjadi sebagai simultanitas tindakan sadar akan objeknya.

Intensionalitas sering disimpulkan sebagai subyek yang langsung berhubungan dengan teks. Apakah ini sesuatu tentang kesadaran terhadap persepsi langsung atau dalam fantasi, tidak penting. Kesadaran apa pun yang diarahkan, itulah kesadaran yang disadari. Ini berarti bahwa objek kesadaran tidak harus menjadi objek fisik yang ditangkap dalam persepsi. Ia juga bisa menjadi fantasi atau memori. Akibatnya, "struktur" kesadaran ini yaitu, persepsi, memori, fantasi juga disebut intensionalitas.

Apa yang fenomenologi lakukan melalui doktrinnya tentang intensionalitas kesadaran adalah untuk mengatasi bias Cartesian dan Lockean terhadap publisitas pikiran, yang juga bias terhadap realitas dari penampilan hal-hal. Dalam fenomenologi, tidak ada "hanya" penampilan, dan tidak ada yang "hanya" sebuah penampilan. Fenomenologi memungkinkan untuk mengenali dan mengembalikan dunia yang sepertinya telah hilang ketika terkunci kedunia internal kita sendiri oleh kebingungan filosofis. Hal-hal yang telah dinyatakan hanya psikologis sekarang ditemukan secara ontologis. Gambar, kata, simbol, objek yang dirasakan, keadaan, urusan, pikiran lain, hukum, dan konvensi sosial semuanya diakui sebagai

87

Robert Sokolowski, Introduction To Phenomenology (United Kingdom: Cambridge Universit Press, 2000), 8.

88

67

benar ada, sebagai keberadaan dan mampu tampil sesuai dengan gaya mereka masing-masing.89Fenomenologi berupaya mengatasi problem Cartesian tersebut.

Fenomenologi tidak lebih dari mengembalikan apa yang hilang. Bahwa bagian dari pekerjaan yang agak negatif dan kontroversial, tergantung pada kesalahan karena nilainya sendiri. Selain mendapatkan penolakan, fenomenologi menawarkan kesenangan filsafat bagi mereka yang ingin menikmatinya. Ada banyak hal yang perlu dipikirkan menampakkan diri dan dalam kemampuan untuk menjadi jujur, kemampuan untuk membiarkan semuanya muncul. Presentasi dan ketidakhadiran sangat terjalin dengan indah dan fenomenologi membantu kita memikirkannya. Pendekatan fenomenologi tidak hanya menghilangkan hambatan skeptis tetapi juga memberi kemungkinan memahami perbedaan, identitas, dan bentuk secara klasik.90 Fenomenologi memvalidasi kehidupan filosofis sebagai pencapaian manusia yang berpuncak. Fenomenologi tidak hanya memperbaiki penderitaan intelektual kita namun juga membuka pintu bagi eksplorasi filosofis bagi mereka yang ingin melatihnya.