• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urgensi Takhrij Hadis

Dalam dokumen Tugas Makalah Mata Kuliah Studi Hadis (Halaman 21-41)

Takurij Al-sHadis sebagai sebuah metode dengan memperhatikan tujuannya, mempunyai banyak sekali manfaat. Abu Muuammad Abdul Maudi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi dalam kitabnya Tuuruq Takurij Hadis Rasulillau SAW, yang penulis kutip dari buku terjemahan kitab tersebut, “Metode Takurij Hadis”, menjelaskan beberapa manfaat takhrij hadis diantaranya :

a. Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal dimana suatu hadis berada, beserta ulama yang meriwayatkannya.

b. Takhrij dapat menambah perbendaharaan sanad hadis-hadis melalui kitab-kitab yang ditunjukinya. Semakin

banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadis, semakin banyak pula perbendaharaan sanad yang dimiliki.

c. Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membandingkan riwayat-riwayat hadis yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat itu munqathi’, mu’dal dan lain-lain. Demikian pula dapat diketahui apakah status riwayat tersebut shahih, dha’if dan sebagainya.

d. Takhrij dapat memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayatnya. Terkadang kita dapatkan hadis yang dha’if melalui suatu riwayat, namun dengan takhrij kemungkinan kita akan mendapatkan riwayat lain yang shahih. Hadis yang shahih itu akan mengangkat derajat hukum hadis yang dha’if tersebut ke derajat yang lebih tinggi.

e. Dengan takhrij kita dapat memperoleh pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadis.

f. Takhrij dapat memperjelas perawi hadis yang samar. Karena terkadang kita dapati perawi yang belum ada kejelasan namanya, seperti Muhammad, Khalid dan lain-lain. Dengan adanya takhrij kemungkinan kita akan dapat mengetahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.

g. Takhrij dapat memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan diantara sanad-sanad.

h. Takhrij dapat menafkan pemakaian “AN” dalam periwayatan hadis oleh seorang perawi mudallis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas ketersambungan sanadnya, maka periwayatan yang memakai “AN” tadi akan tampak pula ketersambungan sanadnya.

i. Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat

j. Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karenan kemungkinan saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain maka nama perawi itu akan menjadi jelas.

k. Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.

l. Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat dalam satu sanad.

m. Takhrij dapat menghilangkan suatu “syadz” (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat tsiqat) yang terdapat dalam suatu hadis melalui perbandingan suatu riwayat.

n. Takhrij dapat membedakan hadis yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.

o. Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang perawi.

p. Takhrij dapat mengungkapkan hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.

q. Takhrij dapat membedakan proses periwayatan yang dilakukan dengan lafal dan yang dilakukan dengan ma’na (pengertian) saja.

r. Takhrij dapat menjelaskan waktu dan tempat kejadian timbulnya suatu hadis.

s. Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis. Diantara hadis –hadis ada yang timbul karena perilaku seseorang atau kelompok orang melalui perbandingan sanad-sanad yang ada maka “asbab al-wurud” dalam hadis tersebut akan dapat diketahui dengan jelas.

t. Takhrij dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya percetakan dengan melalui perbandingan-perbandingan sanand yang ada.

u. Secara singkat takhrij hadis dapat mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadis serta mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan hadis. Berikut adalah contoh kegunaan dari takhrij hadis :

Lafal sebuah hadis :

ىِبّنلا ُتْأَضَو :َلاَق َةْبَع ُش ِنْب ِةَرْيِغُمْلا ِنَعح َيِوُر

َح َــسَمَف َكْوحــُبَت ِةَو ْزــَغ ىِفَو َمّل َــسَو ِهــْيَلَعح هــللا ىّلَأص

اَمُهَلَفْسَاَو ِنْيّفُلْلا ىَلْعحَا

Bila kita menggunakan metode takurij, maka akan tampak hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majau. Setelah ditakhrij pada masing-masing kitab, maka hadis tersebut lengkapnya berbunyi :

Menurut riwayat Imam Turmudzi :

ٍمِلْسُم ُنْب ـُدْيِلَوحْلا اَنْثّدَح ّىِق ْشَمّدلَا ِديِلَوحْلا وحُبَا اَنْثَدَح

ِبِتاــَك ْنَعح َةَوحــْيَح ِءاــَح َر ْنَعح َدــْيِزَي ُنْب ُرْوحــَث ـاــَن َرَبْخَا

هــللا ىّل َــأص يِبّنلا ّنَا َةَبْع ُش ِنْب ِةَرْيِغُمْلا ْنَعح ِةَرْيِغُمْلا

ِهِلَفْسَاَو ّفُلْلا ىَلْعحَا َحَسَم َمّلَسَو ِهْيَلَعح

Menurut riwayat Imam Abu Dawud :

ٍدِلاَخ ُنْب ُدْوحُمْلَمَو َناَو ْرَم ُنْب ىَسْوحُم اَنْثّدَح

– ٌدْوحــُمْلَم َلاَق – ُدْيِلَوحْلَا اَنَثّدَحَلاَق ىَنْعَمْلَا ّىِق ْشَمّدلَا

ْنَعح َةَوحــْيَح ِنْب َءاــَح َر ْنَعح َدــْيِزَي ُنْب ُرْوحــَث ـاــَن َرَبْخَا َلاــَق

َلاــَق َةَبْع ُش ِنْب ِةَرْيِغُمْلا ْنَعح َةَبْع ُش ِنْب ِةَرْيِغُمْلا ِبِتاَك

َكْوحُبَت ِةَوْزَغ ىِف َمّلَسَو ِهْيَلَعح هللا ىّلَأص يِبّنلا ُتْأَضَو

ْمِهِلَفْسَاَو ِنْيّفُخْلا ىَلَعح َحَسَمَف

اّنَث ,ٍمِلْسُم ُنْب ُدْيِلَوحْلا اَنَث ,ٍراَمُعح ُنْب ُما َشِه اَنَثّدَح

ِبِتاــَكـ-ٍدا ّرَو ْنَعح , َةَوحــْيَح ِنْب َءاــَح َر ْنَعح ,َدــْيِزَي ُنْب ُرْوحــَث

لْوح ُــسَر ّنَا َةَبْع ُش ِنْب ِةَرْيِغُمْلا ْنَعح-َةَبْع ُش ِنْب ِةَرْيِغُمْلا

ِهِلاَفْسَاَو ّفُلْلا ىَلْعحَا َمّلَسَو ِهْيَلَعح هللا ىّلَأص هللا

Dengan memperbandingkan ketiga riwayat di atas, maka kita dapat mengetahui :

Hadis di atas diriwayatkan oleh tiga ulama hadis yaitu Imam Turmudzi, Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah. Pada riwayat Abu Dawud terdapat nama perawi yang samar, yaitu al-Walid. Riwayat Turmudzi dan riwayat Ibnu Majah menjelaskan nama yang sebenarnya yaitu al-walid bin Muslim.

Katib Mughirah tidak diketahui nama yang sebenarnya pada riwayat Abu Dawud dan Turmudzi. Pada riwayat Ibnu Majah Katib Mughirah yang dimaksud adalah Warrad. Menurut Ibnu Hazam, Katib Mughirah adalah perawi yang tidak diketahui namanya. Ini karena Ibnu Hazam, mungkin tidak ingat bahwa ada riwayat Ibnu Majah yang menjelaskan nama yang sebenarnya. Warrad diriwayatkan oleh banyak ulama hadis. Ibnu Hibban menggolongkannya pada kelompok tsiqat.

Setelah Imam Turmudzi meriwayatkan hadis ini, beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah ma’lul, karena tidak seorangpun yang meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid selain Walid bin Muslim. Lalu beliau menanyakannya kepada Abu Zur’ah dan Imam Bukhari. Keduanya mengatakan hadis ini tidak shahih, karena Ibnu Mubarak meriwayatkannya dari Tsaur, dari Roja’ bin Haywah, beliau berkata “saya menerima riwayat dari Katib Mughirah, dari Nabi SAW. Jadi hadis ini mursal, karena Mughirah tidak disebut dalam sanad tersebut. Riwayat Abu Dawud menjelaskan sejarah timbulnya hadis ini yaitu pada waktu peperangan Tabuk.28

Lebih dari itu, secara khusus Takurij Hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang ditakhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memperhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.29

E. Macam-macam Metode Takhrij Hadis

28 Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994, Tuuruq Takurij Hadits Rasulillau SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang

29 Suyadi, M. Agus Sholahudin dan Agus., Ulumul Hadits, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011. Cet. II hlm. 191

Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu;

a. Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat

Metode ini adalah metode dengan cara mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, adapun kitab-kitab pembantu dari metode ini adalah:

1. Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab ini

disebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, maka kita mencari hadis tersebut dalam kitab ini hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.30 Musnad yang dapat digunakan adalah; musnad Ahmad ibn Hanbal , Musnad Dawud Al Tayalisi, Musnad Al Humaidi, Musnad Abu Hanifah, Musnad As Syaf’i, dan lain sebagainya. Cara penggunaannya adalah; misalnya sahabat yang meriwayatkan hadis itu bernama Ali, maka pencarian atau penelusuran dilakukan melalui huruf ‘ayn.

2. Kitab-kitab Al-Atraf. Kebanyakan kitab al-sAtraf

disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat

dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk kemudian mengambil hadis secara lengkap. Di antara kitab-kitab Atraf yang dapat dipergunakan adalah; Atraf As-sSuauiuain, karya Al-sWasiti dan Al-sDimasyqi, Tuufatul Al Asurof bi Ma’rifat Al Atraf karya Al Mizzi yang merupakan Syarau kitab Al Asuraf bi ma’rifat Al Atraf karya ibn ‘Asakir, Ituaf Al Mauram bi Atraf Al ‘Asurau karya Ibn Hajar Al Asqalani, dan lain sebagainya. Cara penggunaan kitab ini seperti seperti cara menggunakan kitab musnad, artinya disusun secara alfabetis Hija’iyah.

3. Al-Ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadis di

dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyuku (guru-guru) sesuai huruf kamus hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk hadisnya. Dan kitab mu’jam yang dapat kita gunakan adalah; mu’jam Al Kabir, Mu’jam Al Awsat, dan Mu’jam Al-s Saguir yang kesemuanya adalah karya Al-Tabrani. Juga kitab Mu’jam As Shahabah karya Al Mawasili,

Mu’jam As Sahabh karya Al Hamdani, dan lain ssebagainya. Dan cara penggunaannya tidak jauh berbeda dengan kitab musnad dan kitab Atraf.

Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij dapat diperpendek. Akan tetapi, kelemahan dari metode ini adalah ia tidak dapat digunakan dengan baik, apabila perawi yang hendak diteliti itu tidak diketahui.31

b. Takhrij Melalui Lafadz Pertama Matan Hadis

Metode takhrij hadis menurut lafadz pertama, yaitu suatu metode yang berdasarkan pada lafadz pertama matan hadis, sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah dan alfabetis, sehingga metode ini mempermudah pencarian hadis yang dimaksud.32 Misalnya, apabila akan men-takhrij hadis yang berbunyi;

ِةَعح ْرُصلاِبدْيِد ّشلا َسْيَلُُ

Untuk mengetahui lafadz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, penggalan hadis tersebut terdapat di halaman 2014.

31 Abu Muhammad Abdul Mahdi, op.cit, hlm. 32 Ibid

Berarti, lafadz yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV. Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah;

ـِهـْيَلَعح ُهّللا ىّلـَأص ِهّللا َلْوحـُس َر ّنَأ َة َرْي َرُه ْيِبَا ْنَعح

ُدْيِدـــ َشلااَمّنِا ِةَعح ْر ُــصلااِب ُدْيِد ّــشلا َسْيَل :َلَاَق َمّلـَسَو

ِبضَغلاَدْنِعح ُهـَسْفَن ُكِلْمَي ْيِذّلا

Artinya: Dari Abu Hurairau bauwa Rasulullau Saw bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlau dari kekuatan orang itu dalam berkelaui, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalau orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marau”.

Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij untuk menemukan hadis-hadis yang dicari dengan cepat. Akan tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafadz pertamanya sedikit saja, maka akan sulit untuk menemukan hadis yang dimaksud.

Kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan huruf kamus, misalnya: “Al-sJami’u Asu Suoguir min Auadis Al-sBasyir An Nadzir” karya As Suyuti.33

c. Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadis

Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa kata-kata

benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian hadisnya sehingga pencarian hadis-hadis yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitik beratkan pencarian hadis berdasarkan lafaz – lafaznya yang asing dan jarang penggunaanya.

Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al-sMu`jam Al-sMufauras li Alfazu Al-sHadis An-s Nabawi. Kitab ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadis sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan Musnad Imam Ahmad.34

Contohnya pencarian hadis berikut;

ِماَعَط ْنَعح ىَهَن َمّلَسَو ِهْيَلَعح ِهّللا ىّلَأص َيِبّنلا ّنِا

َلَكْؤُي ْنَأ ـِنْيَيِراَبَلُمْلا

Dalam pencarian hadis di atas, pada dasrnya dapat ditelusuri melalui kata-kata naha (

ىَهَن

) ta’am(

ماَعَط

), yu’kal (

ْلَكْؤُي

) al-mutabariyaini (

ـِنيَيِراَبَلُملا

). Akan tetapi

dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata al-mutabariyaini (

ـِنْيَيِراَبَلُملا

) karena kata tersebut jarang adanya. Menurut penelitian para ulama hadis, penggunaan kata tabara (

ـى َراَبَت

) di dalam kitab induk hadis (yang berjumlah Sembilan) hanya dua kali.

Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadis dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

Liangkau pertama, adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai alat untuk mencari hadis. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata yang jarang dipakai, karena semakin asing kata tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadis. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar tersebut dicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jam menurut urutannya secara abjad (huruf hijaiyah).

Liangkau kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang terdapat di dalam hadis yang akan kita temukan melalui Mu’jam ini. Di bawah kata kunci tersebut akan ditemukan hadis yang sedang dicari dalam

bentuk potongan-potongan hadis (tidak lengkap). Mengiringi hadis tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadis itu yang dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat pencarian hadis dan memungkinkan pencarian hadis melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadis. Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu; Terkadang suatu hadis tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.

d. Takhrij Berdasarkan Tema Hadis

Metode ini berdasarkan pada tema dari suatu hadis. Oleh karena itu untuk melakukan takhrij dengan metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadis yang akan di – takhrij dan kemudian baru mencarinya melalui tema itu pada kitab-kitab yang disusun menggunkan metode ini. Seringkali suatu hadis memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus yang demikian seorang men-takurij harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin dikandung oleh hadis tersebut. Contoh :

ُهّللا ّلِا َهلِاَل ْنا ِةَداَه َش ٍسْمَخ ىَلَعح ُمَلْسِلا َيِنُب

ِةَاك ّزلا ِءاَلْياَو ِةَلّصلا ِماَقِاَو ِهّللا ُلْوحُسَر اّدّمَلُم ّناو

ّ لْيِبَس ِهْيَلِا َعاَطَلْسا ِنَم ِتْيَبْلا ّجَحَو َناَضَمَر ِمْوحَأصَو

“Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian bauwa tiada Tuuan selain Allau dan bauwa Muuammad itu adalau Rasulullau, mendirikan sualat, membayarkan zakat, berpuasa bulan Ramaduan, dan menunaikan ibadau uaji bagi yang mampu.”

Hadis di atas mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadis diatas harus dicari didalam kitab-kitab hadis dibawah tema-tema tersebut.

Cara ini banyak dibantu dengan kitab “Miftau Kunuz As-s Sunnau” yang berisi daftar isi hadis yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan.35

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadis. Untuk itu seorang mukharrij harus memiliki beberapa pengetahuan tentang kajian Islam secara umum dan kajian fqih secara khusus.

Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut pengetahuan akan kandungan hadis, tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafadz pertamanya. Akan tetapi metode ini juga memiliki berbagai kelemahan, terutama

apabila kandungan hadis sulit disimpulkan oleh seorang peneliti, sehingga dia tidak dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak mungkin diterapkan.

e. Takhrij Berdasarkan Status Hadis

Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para ulama hadis dalam menyusun hadis-hadis, yaitu penghimpunan hadis berdasarkan statusnya. Karya-karya tersebut sangat membantu sekali dalam proses pencarian hadis berdasarkan statusnya, seperti hadis qudsi, hadis masyhur, hadis mursal dan lainnya. Seorang peneliti hadis dengan membuka kitab-kitab seperti di atas dia telah melakukan takurij al-suadis.36

Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi mudahnya proses takhrij. Hal ini karena sebagian besar hadis-hadis yang dimuat dalam kitab yang berdasarkan sifat-sifat hadis sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan upaya yang rumit. Namun, karena cakupannya sangat terbatas, dengan sedikitnya hadis-hadis yang dimuat dalam karya-karya sejenis, hal ini sekaligus menjadi kelemahan dari metode ini.

Kitab kitab yang disusun berdasarkan metode ini :

1. Al-sAzuar al-sMutanasirau fi al-sAkbar al-sMutawatirau karangan Al-Suyuthi.

2. Al-sIttiuafat al-sSaniyyat fi al-sAuadis al-sQadsiyyau oleh al-Madani.

3. Al-sMarasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis lainnya.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Takhrij Hadis adalah segala yang menunjukkan tempat hadis pada sumber aslinya serta yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.

Al-Thahhan, di dalam kitabnya Ushul al-Takhrij, mendefnisikan takhrij hadis adalah: “menunjukkan atau mengemukakan letak asal Hadis pada sumber-ssumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan Hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-smasing, kemudian manakala diperlukan, dijelaskan kualitas uadis yang bersangkutan”.37

Keadaan ini berubah pada abad-abad berikutnya yang disebabkan oleh berkurangnya itensitas kajian terhadap kitab-kitab sumber aslinya. Ketika itu mereka mengalami kesulitan mengetahui letak hadis pada kitab sumbernya, jika mereka mendapati hadis-hadis itu dipergunakan sebagai argumen penguat dalam disiplin ilmu-ilmu lain seperti tafsir, fqh, dan sejarah. Dalam kitab-kitab itu, hadis-hadis Nabi dikutip tanpa menyebutkan sumber pengambilanya. Oleh karena itu

bangkitlah kemudian para ulama untuk melakukan takhrij terhadap kitab-kitab tersebut.

Para sejarawan Islam secara berjamaah menyepakati bahwa usaha pelestarian dan pengembangan hadis terbagi dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan periode mutaakhirin. Periode mutaqaddimin dibagi lagi menjadi beberapa tahap/masa yaitu, masa turunnya wahyu, masa khulafaurrasyidin (12-40 H), masa sahabat kecil dan tabi’in (40 H – akhir abad I H), masa pembukuan hadis (awal-akhir abad II H), masa pentashihan dan penyaringan hadis (awal-akhir abad III,) sekitar pada masa yang terakhir inilah Imam Bukhari menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Jami’ al-Shahih (w. 256 H) disusul Imam Muslim (w.261 H).

Secara singkat takhrij hadis dapat mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadis serta mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan hadis.

Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu;

a) Takhrij Melalui Lafaz Pertama Matan Hadis b) Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadis c) Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat

d) Takhrij Berdasarkan Tema Hadis e) Takhrij Berdasarkan Status Hadis

Dalam dokumen Tugas Makalah Mata Kuliah Studi Hadis (Halaman 21-41)

Dokumen terkait