• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Makalah Mata Kuliah Studi Hadis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tugas Makalah Mata Kuliah Studi Hadis"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Makalah Mata Kuliah Studi Hadis

TAKHRIJ HADIS; TEORI DAN PRAKTIK

Dosen Pengampu: Dr. ABDUL QUDDUS, MA.

Oleh:

1. HIDAYAT JONI MURSYID NIM. 150 4232

296

2. ARIES KURNIAWAN NIM.

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MATARAM

(2)

2015

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis1 adalah seluruh perkataan, perbuatan, dan hal

ihwal tentang Nabi Muhammad SAW, atau menurut yang lain adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan (taqrir)-nya.2 Hadis dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.

Berbeda dengan Al-Qur’an yang semua ayat-ayatnya diterima oleh para sahabat dari Rasulullah Nabi Muhammad SAW secara mutawatir dan telah ditulis dan dikumpulkan sejak zaman beliau masih hidup, baik fi as-ssutuur maupun fi asu-s suudur, serta dibukukan secara resmi sejak zaman khalifah

pertama Abu Bakar ash-Shiddiq (w. 13 H),3 sebagian besar hadis

1 Penulisan kata atau istilah uadis (dalam tulisan arabnya ثيدح) yang biasa ditemukan diberbagai buku berbahasa Indonesia adalah uadis, dengan akhiran “ts” untuk huruf “ث”. Namun dalam makalah ini penulis menggunakan huruf “s” untuk huruf “ث” karena kebiasaan lidah kita menyebut hadis (menggunakan huruf “s”) dalam berbahasa Indonesia.

2 Lihat H. Mudasir, Cet. 1, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm.13-14 3 Lihat M. Syuhudi Ismail dalam tulisannya yang berjudul “Kriteria Hadis Sauiu: Kritik

Sanad dan Matan”, menulis bahwa sekiranya seluruh periwayatan hadis Nabi sama dengan periwayatan Al-Qur’an, yakni sama-sama mutawatir, niscaya istilah-istilah

(3)

Nabi tidaklah diriwayatkan secara mutawatir, dan pembukuannya pun secara resmi baru dilakukan pada zaman Khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz (w. 101 H), salah seorang khalifah Bani Umayyah.4 Oleh sebab itu, hadis yang tidak diriwayatkan secara mutawatir – dinamai oleh para ulama hadis sebagai hadis auad (masyuur, ‘aziz, dan guarib)5 – harus diteliti,

mana yang benar-benar hadis dan mana yang tidak, apalagi dalam perjalanan waktu, karena berbagai sebab muncul banyak hadis palsu.6

Terlebih lagi, terdapat kesepakatan ulama bahwa riwayat hadis yang mutawatir berstatus qatu’i al-swurud. Sedangkan riwayat yang auad , para ulama berbeda pendapat; sebagian menyatakan, selalu berstatus zuanni al-swurud, dan yang lain menyatakan riwayat yang auad yang berkualitas suauiu berstatus qatu’i al-swurud. 7

Terlepas dari perbedaan status untuk riwayat yang auad tersebut, yang pasti bahwa tingkat kebenaran riwayat kedua sumber ajaran Islam itu menjadi tidak sama, yakni seluruh ayat

Yunahar Ilyas, Lc dan M. Mas’udi (Ed.), Cet. I., “Pengembangan Pemikiran Teruadap Hadis”, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), hlm. 3

4 Yunahar Ilyas, Lc dan M. Mas’udi (Ed.), Cet. I., (dalam pengantar editor) buku

“Pengembangan Pemikiran Teruadap Hadis”, Yogyakarta: LPPI UMY, 1996, hlm. vii 5 Ibid, hlm. 3

6 Ibid, hlm. vii. Secara historis, pemalsuan hadis belum pernah terjadi pada zaman

Nabi. Pemalsuan hadis mulai terjadi dan berkembang pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M). Lihat pula M. Syuhudi Ismail, Kaidau Kesauiuan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) hlm. 90-91

(4)

Al-Qur’an bertingkat qatu’i al-swurud, sedangkan untuk riwayat hadis, ada yang qatu’i al-swurud dan ada yang zuanni al-swurud. Riwayat yang qatu’i al-swurud terhindar dari kemungkinan salah, sedang yang zuanni al-swurud terbuka peluang terjadinya kesalahan dan karenanya diperlukan penelitian secara khusus dan cermat.8

Penelitian terhadap otentitas dan validitas hadis diperlukan oleh karena hadis sampai kepada umat melalui jalur periwayatan yang panjang, dan dalam perjalanannya yang disampaikan dari generasi ke generasi itu memungkinkan adanya unsur-unsur yang masuk ke dalamnya, baik unsur sosial maupun budaya dari masyarakat di mana generasi pembawa riwayat hadis itu hidup. Untuk itulah penelitian hadis harus secara jeli melakukan kajiannya pada unsur sanad dan matan. Penelitian hadis melalui dua jalur tersebut diharapkan mampu membuat rumusan-rumusan yang pasti mengenai kriteria tertentu sehingga dapat diketahui mana hadis yang maqbul dan mardud dan mana yang ma’mul biu dan yang guairu ma’mul

biu.9

Ulama hadis telah berjasa besar dalam penelitian hadis. 10 Bagian hadis yang diteliti meliputi sanad dan matan uadis.

8Ibid

9Ibid, hlm. viii

10 Ada banyak ulama periwayat hadis yang melahirkan kitab-kitab hadis maha karya

(5)

hadis-Penelitian sanad lazim disebut dengan istilah naqd as-ssanad (kritik sanad) atau an-snaqd al-skuarijiy (kritik ekstern) sedangkan penelitian matan lazim dikenal dengan istilah naqd al-smatan (kritik matan) an-snaqd ad-sdakuiliy (kritik intern).11 Ulama hadis telah menjelaskan kaidah dan metodologinya. Untuk kaidah kritik sanad, tingkat akurasinya sangat tinggi.12 Sedangkan untuk kritik matan, diperlukan pengembangan sejalan dengan perkembangan pengetahuan. Kemudian jika ditelusuri rentang waktu yang cukup lama antara masa wafatnya Rasulullah SAW dengan periode resmi kodifkasi hadis, yaitu hampir satu abad memungkinkan terjadinya peluang kesalahan penulisan hadis serta dapat mempengaruhi kualitas sanad dan matan hadis. Faktor-faktor ini juga mengharuskan terjadinya penelitian hadis terutama di bidang sanad dan matan uadis termasuk kaitan kedudukan hadis sebagai uujjau.

Di dalam proses penelitian hadis, terdapat satu jenis metode penelitian yang lazim digunakan yaitu metode Takurij al-sHadis. Metode Takurij al-sHadis merupakan langkah awal

dalam kegiatan penelitian hadis. Secara umum, metode Takurij Hadis merupakan salah satu metode (cara) yang digunakan

hadisnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah. Karya mereka biasanya disebut ‘kutub al-ssab’au”.

11 Yunahar Ilyas dan M. Mas’udi, Ibid, hlm. 4

(6)

untuk mengetahui jalannya sanad uadis, sehingga kita dapat memahami dari mana hadis tersebut diriwayatkan.

Ada banyak manfaat penelitian yang dapat diperoleh dengan menggunakan metode takurij uadis ini. Dengan mengetahui kualitas sanad suatu hadis, maka seseorang akan dengan mudah memilah dan memilih mana hadis yang dapat dijadikan uujjau atau mana hadis yang tertolak untuk dijadikan uujjau. Mengenai konsep pengertian, urgensi, jenis atau metode,

sejarah dan manfaat metode takurij uadis ini, semuanya akan penulis paparkan dalam bagian bab II pembahasan makalah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa konsep pengertian takurij uadis?

2. Apa saja faktor pendorong munculnya takurij uadis? 3. Bagaimanakah sejarah takurij uadis?

4. Apa Urgensi takurij uadis?

5. Bagaimana metode dan langkah-langkah kegiatan takurij uadis?

C. Tujuan Pembahasan

1. Dapat mengetahui konsep pengertian takurij uadis. 2. Memahami faktor pendorong munculnya takurij uadis. 3. Dapat mengetahui sejarah takurij uadis.

(7)
(8)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Pengertian Takhrij Hadis dan

Permasalahannya

Kata takurij berasal dari asal kata bahasa arab yaitu

َج َرَخ

اًجْو ُرُخ - اًج ْرَخ – ُج ُرْخَي –

artinya keluar. Jika ditambah dengan wazan

ج ّرخ

maka bentuk masdarnya adalah جيرخت yang berarti “mengeluarkan”.13 “Mengeluarkan sesuatu dari suatu tempat”

هِناَكَم نم َج ّرخ

: . Beberapa sumber mengartikan kata kharaja (

جرخ) berarti tampak dari tempatnya atau keadaaannya, dan

terpisau, dan keliuatan. Demikian juga kata al-sikuraj (جرخلا) berarti menampakkan dan memperliuatkannya. Kemudian kata al-smakuraj (جرخملا) yang artinya tempat keluar.14

Sedangkan menurut istilah Muuaddisin, takurij diartikan dalam beberapa pengertian di bawah ini:

1. Suatu keterangan bahwa hadis yang dinukilkan ke dalam kitab susunannya itu terdapat dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya, penyusun hadis

mengakhiri penulisan hadisnya dengan kata-kata

ه

ـجرخا

ىراـخبلا, artinya bahwa hadis yang dinukil itu terdapat

dalam kitab al-sJami’ al-sSuauiu al-sBukuari. Bila ia

13 Ahmad Warson Munawwir, Al-sMunawwir: Kamus Arab-sIndonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 329-330

14 Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis Oleu Syaiku Manna’ Al-s

(9)

mengakhirinya dengan kata akurajauu al-sMuslim (

ه

جرـخا

ملـسملا) berarti hadis tersebut terdapat dalam kitab

Suauiu Muslim.

2. Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi hadis yang tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu kitab.

3. Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumber dengan mengikutsertakan metode periwayatannya dan kualitas hadisnya.

4. Mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli secara lengkap dengan matarantai sanad masing-masing dan dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.

Dari keempat defnisi takhrij di atas, maka Mahmud al-Thahhan mendefnisikan takurij uadis sebagaimana di bawah ini:

ةيلأصلا هرداصم يف ثيدللا عضوحم ىلعح ةللدلا وحه جيرخللا

ةجاللا دنعح هلبترم نايبب هدنس هلجرخأ ىللا

Artinya: “Takurij adalau penunjukan teruadap tempat uadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai dengan kebutuuan.15

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa takurij uadis meliputi kegiatan :

1. Periwayatan (penerimaan, perawatan, pentadwinan, dan penyampaian) hadis.

15 Ibid, hlm. 189. Lihat juga Thahhan, Mahmud Ath-, Usuul at-sTakurij wa Dirasau al-s

(10)

2. Penukilan hadis dari kitab-kitab asal untuk dihimpun dalam suatu kitab tertentu.

3. Mengutip hadis-hadis dari kitab-kitab (tafsir, tauhid, fqh, tasawuf, dan akhlak) dengan menerangkan sanad-sanadnya.

4. Membahas hadis-hadis sampai diketahui martabat kualitas (maqbul-mardudnya).

Utang Ranuwijaya menyimpulkan bahwa dalam pentakhrijan hadis ada dua hal yang mesti dilakukan:

1. Berusaha menemukan para penulis hadis tersebut dengan rangkaian sanad-sanadnya dan menunjukannya pada

karya-karya mereka, seperti kata-kata ,

يقهيبلا ه

جرخا

جرـخا

همـجعم يف يـناربطلا ه

atau

يف دمـحا ه

جرـخا

هدنسم.

2. Menentukan kualitas hadis menjadi sahih atau tidak. Penilaian ini dilakukan andaikata diperlukan. Artinya, bahwa penilaian kualitas suatu hadis dalam men-takurij uadis tidak selalu harus dilakukan. Kegiatan ini hanya

melengkapi kegiatan takurij tersebut. Sebab, dengan diketahui dari mana hadis itu diperoleh sepintas dapat dilihat sejauh mana kualitasnya.16

(11)

Dari sekian banyak pengertian takhrij di atas, maka pemateri dengan bahasa sendiri dapat memahami maksud takurij uadis dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian

hadis lebih lanjut. Maka dapat kami simpulkan bahwa takurij uadis berarti “penelusuran atau pencarian uadis pada berbagai

kitab-skitab koleksi uadis sebagai sumber asli dari uadis yang

bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan

secara lengkap matan dan matarantai sanad yang

bersangkutan”.

Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa takhrij ini adalah salah satu metode yang digunakan para peneliti hadis tatkala menghadapi masalah-masalah dalam kegiatan penelitian hadis. Beberapa masalah yang sering dihadapi oleh peneliti hadis, misalnya; (1) adanya periwayat yang tidak disepakati kualitasnya oleh para kritikus hadis, (2) adanya sanad yang mengandung lambing-lambang anna, ‘an, dan yang semacamnya; dan (3) adanya matan hadis yang memiliki banyak sanad tetapi semuanya lemah (duaif).17

Dua titik fokus penelitian hadis yaitu penelitian terhadap sanad dan penelitian matan atau sering diistilahkan dengan

kritik sanad dan kritik matan.18

17Yunahar Ilyas, Lc dan M. Mas’udi, ibid. hlm. 10

18 Dalam beberapa literature, pengkajian terhadap keduanya (sanad dan matan)

(12)

Kaitannya dengan kritik sanad dan matan hadis, maka kritik sanad biasanya dilaksanakan terlebih dahulu sebelum kegiatan kritik matan. Langkah ini dapat dipahami dengan melihat latar belakang sejarah periwayatan dan penghimpunan hadis. Dapat dipahami pula latar belakang pernyataan Imam al-Nawawi (w. 676 H = 1277 M) bahwa hubungan hadis dengan sanad ibarat hubungan hewan dengan kakinya.19 Jadi penelitian matan barulah bermanfaat bila sanad hadis yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk uujjau. Bila sanadnya cacat (berat), maka matan hadis tidak perlu diteliti sebab tidak akan bermanfaat untuk uujjau.20

B. Faktor Pendorong Terjadinya Takhrij Hadis

Adapun faktor utama yang menyebabkan kegiatan penelitian terhadap hadis (takhrij al-hadis) dilakukan oleh seorang peneliti hadis adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti

Maksudnya adalah untuk mengetahui status dan kualitas hadis dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian. Langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang peneliti adalah mengetahui asal-usul periwayatan hadis yang akan diteliti, sebab tanpa mengetahui asal-usulnya sanad dan matan hadis yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk

(13)

diketahui matarantai sanadnya sesuai dengan sumber pengambilannya, sehingga tanpa diketahui secara benar tentang matarantai sanad dan matan, maka seorang peneliti mengalami kesulitan dalam melakukan penelitian secara baik dan cermat. Makanya dari faktor ini, kegiatan penelitian hadis (takhrij) dilakukan.

2. Mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadis bagi hadis yang akan diteliti.

Maksudnya adalah mengingat redaksi hadis yang akan diteliti itu bervariasi antara satu dengan yang lain, maka diperlukan kegiatan pencarian seorang peneliti terhadap semua periwayatan hadis yang akan diteliti, sebab boleh jadi salah satu sanad hadis tersebut berkualitas dha’if dan yang lainnya berkualitas shahih.

3. Mengetahui ada tidaknya syauid dan muttabi’ pada mata rantai sanad

(14)

Dari dukungan tersebut, jika terdapat pada bagian perawi tingkat pertama (yaitu tingkat sahabat) maka dukungan ini dikenal dengan syahid. Jika dukungan itu terdapat pada bagian perawi tingkat kedua atau ketiga (seperti pada tingkatan tabi’in atau tabi’i at-tabi’in), maka disebut sebagai muttabi’.

Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadis dapat dilaksanakan dengan baik jika seorang peneliti dapat mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan matannya dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan mana yang ada syahid dan muttabi’nya, sehingga kegiatan penelitian (takhrij) dapat dengan mudah dilakukan secara baik dan benar dengan menggunakan metode pentakhrijannya.

C. Sejarah Takhrij Hadis

1. Sejarah

(15)

hadis (awal-akhir abad II H), masa pentashihan dan penyaringan hadis (awal-akhir abad III,) sekitar pada masa yang terakhir inilah Imam Bukhari menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Jami’ al-Shahih (w. 256 H) disusul Imam Muslim (w.261 H). Kalau para ulama mutaqaddimin menghimpun hadis dengan menemui sendiri para penghafalnya maka ulama mutaakhirin menukil dari kitab-kitab susunan ulama mutaqaddimin. Masa inilah para ulama mempergunakan system istidrak dan istikuraj. Sehingga bermunculan kitab-kitab mustadrak dan mustakhraj. Sampai pada abad kelima dan abad ke tujuh para ulama hanya berusaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan hadis Bukhari dan Muslim dalam satu kitab, mempermudah jalan pengambilannya. Dalam abad ini pula timbul istilah al-s Jami’ al-sJawami dan al-Takurij.21

Ilmu hadis baru berdiri sendiri sebagai sebuah ilmu pada masa al-sQadui Ibnu Muuammad al-sRamauurmudzi (265-360 H). Selanjutnya diikuti oleh al-sHakim al-sNaisaburi (321-405 H), Abu Bakr al-sBagudadi (463 H). Para ulama mutaqaddimin menyebutnya dengan ulumul hadis dan ulama mutaakhirin menyebutnya ilmu mustualauul uadis.

21 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,

(16)

Jadi kalau menganalisa kedua uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah masa inilah muncul ilmu takhrij hadis sebagai bagian dari ilmu hadis. Kemudian diiringi karya kitab-kitab dengan tema ilmu takhrij hadis itu sendiri.

Kemudian pada masa selanjutnya, karya-karya dalam bidang ilmu takhrij hadis semakin meluas hingga mencapai puluhan. Sumbangan karya-karya tersebut tidak dapat dipungkiri sangat signifkan terhadap perkembangan ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya.

Mahmud At-Tahhan menyebutkan bahwa tidak diragukan lagi cabang ilmu takhrij ini sangat penting sekali bagi setiap peneliti atau ilmuwan, baik yang bergelut di bidang ilmu syariah dan juga terlebih lagi bagi para ulama yang bergelut di bidang ilmu hadis, maka dengan ilmu ini mereka bisa memeriksa hadis ke sumber asalnya.22

Sebagai contoh, hadis yang berisi dialog antara Nabi Muhammad SAW dengan sahabat Mu;adz bin Jabal tentang urutan sumber hokum Islam tatkala Mu’adz di utus ke Yaman, merupakan salah satu contoh. Sanad hadis tersebut cukup banyak. Mukuarrij-nya selain Imam Abu Dawud dan Imam At-Turmudzi, juga Imam Ahmad bin

(17)

Hambal dan Imam Al-Darimi. Seluruh sanad hadis tersebut dua’if dan letak ke-dua’if-sannya Imam Ahmad bin Hambal adalah sama, yaitu sama-sama melalui Al-Harits bin ‘Amr yang berkualitas sangat lemah; ditambah lagi Al-Harits itu menyandarkan riwayatnya kepada periwayat yang mubuam (tidak jelas individunya). Dalam pada itu, keadaan sanad-nya Imam Abu Dawud dan salah satu sanad-nya Ahmad bin Hambal lebih parah lagi sebab kelemahan-kelemahan tersebut masih ditambah lagi dengan kelemahan sanad yang berstatus mursal.23

Untuk mengatasi masalah sanad yang keadaannya seperti contoh di atas, diperlukan kecermatan dalam melakukan i’tibar (pembuatan skema sanad) dan dibutuhkan metode takurij al-suadis untuk hadis-hadis yang semakna dan

tauqiq dengan metode muqaranau.24

2. Kitab-kitab Takhrij Hadis

Kitab-kitab Takhrij generasi pertama, seperti yang dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan adalah kitab-kitab buah pena al-Khatib al-Baghdadiy [w. 463 H]. Diantara kitab yang terkenal adalah:

23 Lihat M. Syuhudi Ismail, “Metodologi Penelitian Hadis Nabi”, Makalah, Medan-Sumut, 1991, hlm.

24 Lihat M. Syuhudi Ismail dalam Yunahar Ilyas Lc dan M. Mas’udi, “Pengembangan

(18)

a. Takurij al-sFawaid al-sMuntakuabau al-sSuiuau wa al-s al-s‘Allamau Ali bin Abi Bakar al-sMarguinani al-sHanafi

(w.593 H) dalam kitab al-Hidayah. Kitab ini merupakan kitab fkih Hanaf, sedangkan kitab takhrij ini merupakan yang paling luas dan yang paling dikenal dibanding kitab takhrij lainnya. ilmu hadis, nama-nama perawi dan luasnya pandangan beliau tentang hadis marfu’.26

25 Lihat Thahhan, Mahmud Ath-, Usuul at-sTakurij wa Dirasau al-sAsanid, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1991, hlm.

(19)

b. Takurij Auadis al-sMukutasuar al-sKabir karya Muuammad bin Aumad Abd al-sHadi al-sMaqdisy (w. 744

H).

c. Takurij Auadis al-sKasysyaf li al-sZamakusyari karya Abdullau bi Yusuf az-sZaila’i. Ia sudah dicetak.

d. Irwa’ al-sGualil fi Takutij Auadis Manar as-sSabil, karya asy-sSyaiku Nasuiruddin al-sAlbani.

e. At-sTalkuisu al-sHabir, Takurij Auadis al-sWajiz al-sKabir fi Lii al-sRifa”i, ditulis oleh al-sHafidz Ibnu Hajar, sudah dicetak.

f. Takurij Auadis al-sKasysyaf, karya al-sHafidz Ibnu Hajar. g. Al-sBadr al-sMunir fi al-sTakurij al-sAuaditz wa al-sAtsar al-s

Waqi`au fi al-sSyaru al-sKabirli ar-sRafi’i [Abu al-sQasim

Abd al-sKarim Ibn Muuammad al-sQazwayniy al-sRafi`iy

al-sSyafi`iy (w.623 H), karya Umar Ibn Ali Ibn al-s

Mulqan (w. 804 H); telah ditahqiq di dalam risalah

Majister di Universitas Islam Madinah.

h. Al-sMuguniy `an Haml al-sAsufar fi al-sAsufar fi Takurij Ma fi al-sIuya’ min al-sAkubar [al-sGuazaliy,, karya al-s Hafizu Zayn al-sDin Abd al-sRauim Ibn al-sHusayn al-s

Iraqiy (w. 806 H);

(20)

j. Ad-sDirayau fi Takurij Auadis al-sHidayau, karya al-s Hafidz Ibnu Hajar.

k. Tuufau ar-sRawi fi Takurij Auadis al-sBaiduawi, karya al-s Hafidz Abdurra’uf al-sMunawi.

Di antara kitab-kitab takhrij yang disebutkan di atas yang sudah banyak dipergunakan oleh penuntut ilmu, yaitu: Nasub ar-sRoyau li Auadis al-sHidayau dan At-sTalkuisu al-s

Habir, Takurij Auadis al-sWajiz al-sKabir fi Lii al-sRifa’i.27

Dalam melakukan takhrij, seseorang memerlukan kitab-kitab tertentu yang dapat dijadikan pegangan atau pedoman sehingga dapat melakukan kegiatan takhrij secara mudah dan mencapai sasaran yang dituju. Di antara kitab-kitab yang dapat dijadikan pedoman dalam mentakurij adalah:

a. Usuul al-sTakurij wa Dirasat Al-sAsanid oleh Muuammad Al-sTauuan,

b. Husuul al-sTafrij bi Usuul al-sTakurij oleh Aumad ibn

Muuammad al-sSiddiq al-s Guarami,

c. Turuq Takurij Hadis Rasulullau SAW karya Abu Muuammad al-sMaudi ibn `Abd al-sQadir ibn `Abd al

Hadi,

d. Metodologi Penelitian Hadis Nabi oleh Syuuudi Ismail.

(21)

e. al-sMu’jam al-sMufuaros li Alfazi Auadis al-sNabawi oleh A.J. Wensinck

f. Miftau Kunuz al-sSunnau oleh pengarang yang sama diterjemahkan oleh Muuammad Fuad Abd Baqi.

g. Mausu’au Aturaful Hadis an-sNabawi oleh Zaglul. h. Al-sIstiab oleh Ibnu Abd Barr

i. Usuul al-sGuabau oleh Abd Atsir

j. Al-sIsuabau oleh Ibn Hajar al-sAsqalani.

k. Al-sJaru wa at-sTa’dil juga karya Ibnu Hajar al-sAsqalani.

D. Urgensi Takhrij Hadis

Takurij Al-sHadis sebagai sebuah metode dengan memperhatikan tujuannya, mempunyai banyak sekali manfaat. Abu Muuammad Abdul Maudi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi dalam kitabnya Tuuruq Takurij Hadis Rasulillau

SAW, yang penulis kutip dari buku terjemahan kitab

tersebut, “Metode Takurij Hadis”, menjelaskan beberapa manfaat takhrij hadis diantaranya :

a. Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal dimana suatu hadis berada, beserta ulama yang meriwayatkannya.

(22)

banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadis, semakin banyak pula perbendaharaan sanad yang dimiliki.

c. Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membandingkan riwayat-riwayat hadis yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat itu munqathi’, mu’dal dan lain-lain. Demikian pula dapat diketahui apakah status riwayat tersebut shahih, dha’if dan sebagainya.

d. Takhrij dapat memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayatnya. Terkadang kita dapatkan hadis yang dha’if melalui suatu riwayat, namun dengan takhrij kemungkinan kita akan mendapatkan riwayat lain yang shahih. Hadis yang shahih itu akan mengangkat derajat hukum hadis yang dha’if tersebut ke derajat yang lebih tinggi.

e. Dengan takhrij kita dapat memperoleh pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadis.

(23)

g. Takhrij dapat memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan diantara sanad-sanad.

h. Takhrij dapat menafkan pemakaian “AN” dalam periwayatan hadis oleh seorang perawi mudallis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas ketersambungan sanadnya, maka periwayatan yang memakai “AN” tadi akan tampak pula ketersambungan sanadnya.

i. Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat

j. Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karenan kemungkinan saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain maka nama perawi itu akan menjadi jelas.

k. Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.

l. Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat dalam satu sanad.

(24)

n. Takhrij dapat membedakan hadis yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.

o. Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang perawi.

p. Takhrij dapat mengungkapkan hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.

q. Takhrij dapat membedakan proses periwayatan yang dilakukan dengan lafal dan yang dilakukan dengan ma’na (pengertian) saja.

r. Takhrij dapat menjelaskan waktu dan tempat kejadian timbulnya suatu hadis.

s. Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis. Diantara hadis –hadis ada yang timbul karena perilaku seseorang atau kelompok orang melalui perbandingan sanad-sanad yang ada maka “asbab al-wurud” dalam hadis tersebut akan dapat diketahui dengan jelas.

t. Takhrij dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya percetakan dengan melalui perbandingan-perbandingan sanand yang ada.

(25)

Lafal sebuah hadis :

ىِبّنلا ُتْأَضَو :َلاَق َةْبَع ُش ِنْب ِةَرْيِغُمْلا ِنَعح َيِوُر

َح َــسَمَف َكْوحــُبَت ِةَو ْزــَغ ىِفَو َمّل َــسَو ِهــْيَلَعح هــللا ىّلَأص

اَمُهَلَفْسَاَو ِنْيّفُلْلا ىَلْعحَا

Bila kita menggunakan metode takurij, maka akan tampak hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majau. Setelah ditakhrij pada

masing-masing kitab, maka hadis tersebut lengkapnya berbunyi :

Menurut riwayat Imam Turmudzi :

ٍمِلْسُم ُنْب ـُدْيِلَوحْلا اَنْثّدَح ّىِق ْشَمّدلَا ِديِلَوحْلا وحُبَا اَنْثَدَح

ِبِتاــَك ْنَعح َةَوحــْيَح ِءاــَح َر ْنَعح َدــْيِزَي ُنْب ُرْوحــَث ـاــَن َرَبْخَا

هــللا ىّل َــأص يِبّنلا ّنَا َةَبْع ُش ِنْب ِةَرْيِغُمْلا ْنَعح ِةَرْيِغُمْلا

ِهِلَفْسَاَو ّفُلْلا ىَلْعحَا َحَسَم َمّلَسَو ِهْيَلَعح

Menurut riwayat Imam Abu Dawud :

ٍدِلاَخ ُنْب ُدْوحُمْلَمَو َناَو ْرَم ُنْب ىَسْوحُم اَنْثّدَح

– ٌدْوحــُمْلَم َلاَق – ُدْيِلَوحْلَا اَنَثّدَحَلاَق ىَنْعَمْلَا ّىِق ْشَمّدلَا

ْنَعح َةَوحــْيَح ِنْب َءاــَح َر ْنَعح َدــْيِزَي ُنْب ُرْوحــَث ـاــَن َرَبْخَا َلاــَق

َلاــَق َةَبْع ُش ِنْب ِةَرْيِغُمْلا ْنَعح َةَبْع ُش ِنْب ِةَرْيِغُمْلا ِبِتاَك

َكْوحُبَت ِةَوْزَغ ىِف َمّلَسَو ِهْيَلَعح هللا ىّلَأص يِبّنلا ُتْأَضَو

ْمِهِلَفْسَاَو ِنْيّفُخْلا ىَلَعح َحَسَمَف

(26)

اّنَث ,ٍمِلْسُم ُنْب ُدْيِلَوحْلا اَنَث ,ٍراَمُعح ُنْب ُما َشِه اَنَثّدَح

ِبِتاــَكـ-ٍدا ّرَو ْنَعح , َةَوحــْيَح ِنْب َءاــَح َر ْنَعح ,َدــْيِزَي ُنْب ُرْوحــَث

لْوح ُــسَر ّنَا َةَبْع ُش ِنْب ِةَرْيِغُمْلا ْنَعح-َةَبْع ُش ِنْب ِةَرْيِغُمْلا

ِهِلاَفْسَاَو ّفُلْلا ىَلْعحَا َمّلَسَو ِهْيَلَعح هللا ىّلَأص هللا

Dengan memperbandingkan ketiga riwayat di atas, maka kita dapat mengetahui :

Hadis di atas diriwayatkan oleh tiga ulama hadis yaitu Imam Turmudzi, Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah. Pada riwayat Abu Dawud terdapat nama perawi yang samar, yaitu al-Walid. Riwayat Turmudzi dan riwayat Ibnu Majah menjelaskan nama yang sebenarnya yaitu al-walid bin Muslim.

(27)

Setelah Imam Turmudzi meriwayatkan hadis ini, beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah ma’lul, karena tidak seorangpun yang meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid selain Walid bin Muslim. Lalu beliau menanyakannya kepada Abu Zur’ah dan Imam Bukhari. Keduanya mengatakan hadis ini tidak shahih, karena Ibnu Mubarak meriwayatkannya dari Tsaur, dari Roja’ bin Haywah, beliau berkata “saya menerima riwayat dari Katib Mughirah, dari Nabi SAW. Jadi hadis ini mursal, karena Mughirah tidak disebut dalam sanad tersebut. Riwayat Abu Dawud menjelaskan sejarah timbulnya hadis ini yaitu pada waktu peperangan Tabuk.28

Lebih dari itu, secara khusus Takurij Hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang ditakhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memperhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.29

E. Macam-macam Metode Takhrij Hadis

28 Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994, Tuuruq

Takurij Hadits Rasulillau SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang

(28)

Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu;

a. Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat

Metode ini adalah metode dengan cara mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, adapun kitab-kitab pembantu dari metode ini adalah:

1. Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab ini

disebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, maka kita mencari hadis tersebut dalam kitab ini hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.30 Musnad yang dapat digunakan adalah; musnad Ahmad ibn Hanbal , Musnad Dawud Al Tayalisi, Musnad Al Humaidi, Musnad Abu Hanifah, Musnad As Syaf’i, dan lain sebagainya. Cara penggunaannya adalah; misalnya sahabat yang meriwayatkan hadis itu bernama Ali, maka pencarian atau penelusuran dilakukan melalui huruf ‘ayn.

2. Kitab-kitab Al-Atraf. Kebanyakan kitab al-sAtraf

disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat

(29)

dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk kemudian mengambil hadis secara lengkap. Di antara kitab-kitab Atraf yang dapat dipergunakan adalah; Atraf As-sSuauiuain, karya Al-sWasiti dan Al-sDimasyqi,

Tuufatul Al Asurof bi Ma’rifat Al Atraf karya Al Mizzi

yang merupakan Syarau kitab Al Asuraf bi ma’rifat Al

Atraf karya ibn ‘Asakir, Ituaf Al Mauram bi Atraf Al

‘Asurau karya Ibn Hajar Al Asqalani, dan lain

sebagainya. Cara penggunaan kitab ini seperti seperti cara menggunakan kitab musnad, artinya disusun secara alfabetis Hija’iyah.

3. Al-Ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadis di

dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyuku (guru-guru) sesuai huruf kamus hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk hadisnya. Dan kitab mu’jam yang dapat kita gunakan adalah; mu’jam Al Kabir, Mu’jam Al Awsat, dan Mu’jam Al-s

Saguir yang kesemuanya adalah karya Al-Tabrani.

(30)

Mu’jam As Sahabh karya Al Hamdani, dan lain ssebagainya. Dan cara penggunaannya tidak jauh berbeda dengan kitab musnad dan kitab Atraf.

Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij dapat diperpendek. Akan tetapi, kelemahan dari metode ini adalah ia tidak dapat digunakan dengan baik, apabila perawi yang hendak diteliti itu tidak diketahui.31

b. Takhrij Melalui Lafadz Pertama Matan Hadis

Metode takhrij hadis menurut lafadz pertama, yaitu suatu metode yang berdasarkan pada lafadz pertama matan hadis, sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah dan alfabetis, sehingga metode ini mempermudah pencarian hadis yang dimaksud.32 Misalnya, apabila akan men-takhrij hadis yang berbunyi;

ِةَعح ْرُصلاِبدْيِد ّشلا َسْيَلُُ

Untuk mengetahui lafadz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, penggalan hadis tersebut terdapat di halaman 2014.

31 Abu Muhammad Abdul Mahdi, op.cit, hlm.

(31)

Berarti, lafadz yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV. Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah;

ـِهـْيَلَعح ُهّللا ىّلـَأص ِهّللا َلْوحـُس َر ّنَأ َة َرْي َرُه ْيِبَا ْنَعح

ُدْيِدـــ َشلااَمّنِا ِةَعح ْر ُــصلااِب ُدْيِد ّــشلا َسْيَل :َلَاَق َمّلـَسَو

ِبضَغلاَدْنِعح ُهـَسْفَن ُكِلْمَي ْيِذّلا

Artinya: Dari Abu Hurairau bauwa Rasulullau Saw bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlau dari kekuatan orang itu dalam berkelaui, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalau orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marau”.

Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij untuk menemukan hadis-hadis yang dicari dengan cepat. Akan tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafadz pertamanya sedikit saja, maka akan sulit untuk menemukan hadis yang dimaksud.

Kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan huruf kamus, misalnya: “Al-sJami’u Asu Suoguir min Auadis Al-sBasyir An Nadzir” karya As Suyuti.33

c. Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadis

Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa kata-kata

(32)

benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian hadisnya sehingga pencarian hadis-hadis yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitik beratkan pencarian hadis berdasarkan lafaz – lafaznya yang asing dan jarang penggunaanya.

Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al-sMu`jam Al-sMufauras li Alfazu Al-sHadis An-s Nabawi. Kitab ini mengumpulkan hadis-hadis yang

terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadis sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan Musnad Imam Ahmad.34

Contohnya pencarian hadis berikut;

ِماَعَط ْنَعح ىَهَن َمّلَسَو ِهْيَلَعح ِهّللا ىّلَأص َيِبّنلا ّنِا

َلَكْؤُي ْنَأ ـِنْيَيِراَبَلُمْلا

Dalam pencarian hadis di atas, pada dasrnya dapat

ditelusuri melalui kata-kata naha (

ىَهَن

) ta’am(

ماَعَط

),

yu’kal (

ْلَكْؤُي

) al-mutabariyaini (

ـِنيَيِراَبَلُملا

). Akan tetapi

(33)

dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata al-mutabariyaini (

ـِنْيَيِراَبَلُملا

) karena kata tersebut jarang adanya. Menurut penelitian para ulama hadis, penggunaan kata

tabara (

ـى َراَبَت

) di dalam kitab induk hadis (yang berjumlah Sembilan) hanya dua kali.

Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadis dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

Liangkau pertama, adalah menentukan kata kuncinya

yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai alat untuk mencari hadis. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata yang jarang dipakai, karena semakin asing kata tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadis. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar tersebut dicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jam menurut urutannya secara abjad (huruf hijaiyah).

Liangkau kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi

(34)

bentuk potongan-potongan hadis (tidak lengkap). Mengiringi hadis tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadis itu yang dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat pencarian hadis dan memungkinkan pencarian hadis melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadis. Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu; Terkadang suatu hadis tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.

d. Takhrij Berdasarkan Tema Hadis

(35)

ُهّللا ّلِا َهلِاَل ْنا ِةَداَه َش ٍسْمَخ ىَلَعح ُمَلْسِلا َيِنُب

ِةَاك ّزلا ِءاَلْياَو ِةَلّصلا ِماَقِاَو ِهّللا ُلْوحُسَر اّدّمَلُم ّناو

ّ لْيِبَس ِهْيَلِا َعاَطَلْسا ِنَم ِتْيَبْلا ّجَحَو َناَضَمَر ِمْوحَأصَو

“Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian bauwa tiada Tuuan selain Allau dan bauwa Muuammad itu adalau Rasulullau, mendirikan sualat, membayarkan zakat, berpuasa bulan Ramaduan, dan menunaikan ibadau uaji bagi yang mampu.”

Hadis di atas mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadis diatas harus dicari didalam kitab-kitab hadis dibawah tema-tema tersebut.

Cara ini banyak dibantu dengan kitab “Miftau Kunuz As-s Sunnau” yang berisi daftar isi hadis yang disusun

berdasarkan judul-judul pembahasan.35

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadis. Untuk itu seorang mukharrij harus memiliki beberapa pengetahuan tentang kajian Islam secara umum dan kajian fqih secara khusus.

Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut pengetahuan akan kandungan hadis, tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafadz pertamanya. Akan tetapi metode ini juga memiliki berbagai kelemahan, terutama

(36)

apabila kandungan hadis sulit disimpulkan oleh seorang peneliti, sehingga dia tidak dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak mungkin diterapkan.

e. Takhrij Berdasarkan Status Hadis

Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para ulama hadis dalam menyusun hadis-hadis, yaitu penghimpunan hadis berdasarkan statusnya. Karya-karya tersebut sangat membantu sekali dalam proses pencarian hadis berdasarkan statusnya, seperti hadis qudsi, hadis masyhur, hadis mursal dan lainnya. Seorang peneliti hadis dengan membuka kitab-kitab seperti di atas dia telah melakukan takurij al-suadis.36

Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi mudahnya proses takhrij. Hal ini karena sebagian besar hadis-hadis yang dimuat dalam kitab yang berdasarkan sifat-sifat hadis sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan upaya yang rumit. Namun, karena cakupannya sangat terbatas, dengan sedikitnya hadis-hadis yang dimuat dalam karya-karya sejenis, hal ini sekaligus menjadi kelemahan dari metode ini.

Kitab kitab yang disusun berdasarkan metode ini :

(37)

1. Al-sAzuar al-sMutanasirau fi al-sAkbar al-sMutawatirau karangan Al-Suyuthi.

2. Al-sIttiuafat al-sSaniyyat fi al-sAuadis al-sQadsiyyau oleh al-Madani.

(38)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Takhrij Hadis adalah segala yang menunjukkan tempat hadis pada sumber aslinya serta yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.

Al-Thahhan, di dalam kitabnya Ushul al-Takhrij, mendefnisikan takhrij hadis adalah: “menunjukkan atau mengemukakan letak asal Hadis pada sumber-ssumbernya yang

asli yang didalamnya dikemukakan Hadis itu secara lengkap

dengan sanadnya masing-smasing, kemudian manakala

diperlukan, dijelaskan kualitas uadis yang bersangkutan”.37

Keadaan ini berubah pada abad-abad berikutnya yang disebabkan oleh berkurangnya itensitas kajian terhadap kitab-kitab sumber aslinya. Ketika itu mereka mengalami kesulitan mengetahui letak hadis pada kitab sumbernya, jika mereka mendapati hadis-hadis itu dipergunakan sebagai argumen penguat dalam disiplin ilmu-ilmu lain seperti tafsir, fqh, dan sejarah. Dalam kitab-kitab itu, hadis-hadis Nabi dikutip tanpa menyebutkan sumber pengambilanya. Oleh karena itu

(39)

bangkitlah kemudian para ulama untuk melakukan takhrij terhadap kitab-kitab tersebut.

Para sejarawan Islam secara berjamaah menyepakati bahwa usaha pelestarian dan pengembangan hadis terbagi dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan periode mutaakhirin. Periode mutaqaddimin dibagi lagi menjadi beberapa tahap/masa yaitu, masa turunnya wahyu, masa khulafaurrasyidin (12-40 H), masa sahabat kecil dan tabi’in (40 H – akhir abad I H), masa pembukuan hadis (awal-akhir abad II H), masa pentashihan dan penyaringan hadis (awal-akhir abad III,) sekitar pada masa yang terakhir inilah Imam Bukhari menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Jami’ al-Shahih (w. 256 H) disusul Imam Muslim (w.261 H).

Secara singkat takhrij hadis dapat mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadis serta mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan hadis.

Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu;

a) Takhrij Melalui Lafaz Pertama Matan Hadis b) Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadis c) Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat

(40)
(41)

DAFTAR PUSTAKA

Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, Tuuruq Takurij Hadits Rasulillau SAW , Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang, 1994

Mahmud ath-Thahhan, Usuul at-sTakurij wa Dirasau al-sAsanid yang cetakan kelimanya diterbitkan pada tahun 1983 Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis Oleu Syaiku

Manna’ Al-sQatutuan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008)

Mudasir, H., Cet. 1, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1999 Munawwir, Ahmad Warson, Al-sMunawwir: Kamus Arab-s

Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997

Syuhudi Ismail, M., Metodelogi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1972

Thahhan, Mahmud ath, Usuul at-sTakurij wa Dirasau al-sAsanid, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1991

al-Qaththan, Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008

Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001

Suyadi, M. Agus Sholahudin dan Agus., Ulumul Hadits, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011. Cet. II

Referensi

Dokumen terkait

Ada sebagian wilayah Indonesia yang belum terlistriki karena tidak terjangkau oleh jaringan listrik PLN, sehingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan sistemnya

Dari gambar 1. dapat terlihat bahwa hubungan antara suhu karbonisasi terhadap kandungan inherent moisture briket adalah semakin tinggi suhu karbonisasi maka

Namun adanya 3 indikator yang berwarna kuning serta skor indikator warna merah yang tidak sampai nol persen, menunjukan pada dimensi ini sudah ada harapan baik untuk mewujudkan

Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar PKn meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan,

Meskipun masih lebih tinggi dari tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Kulon Progo yang hanya 4,45 % Sebagai penyebab keprihatinan kita bersama adalah terjadinya

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peristiwa Sendoreng

Waktu kematian nimfa dan imago sangat bervariasi, karena itu pengamatan dilakukan terhadap estimasi rata-rata hati kematian nimfa dan imago dengan mengamati jumlah

Berdasarkan hasil pengujian, dapat dapat disimpulkan bahwa Pengukuran kinerja Puskesmas Putri Ayu dan Puskesmas Pakuan baru dengan menggunakan metode balanced