• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA hasil contig menggunakan primer 63f dan 1387r untuk isolat-isolat lokal S aureus dan isolat

pembanding S. aureus 25923

NU1

1 GGGCCTCAAG GGATCATATG GAATTCGCCA AGTTTGTTGG CTGTGCACGT 50

51 ACTGGCTTTT TGGTGTGTAA TTTACCACCA AAGGTATCCT GTTCCTCCCC 100

101 TGAAATACCA AATTGGCCCT ACCAAATTTT CCACCAGTAA TACCCCATAT 150

151 AATATGGATA AAATACATCT GTTAAACCCA TCATAAACCA GGCTATCAAC 200

201 CATGGATGGA TGTCCCATTT TAAAACCAAA CCGACTGTTG TTGACAAGCA 250

251 TTGGTGATTG AAACATATTC TCCATACCGC CCGCTAACAC GATGTCATTT 300

301 TCACCACTCA CAAAAAATTG ATATGCTAAT TGAATCCACT TTAACCCAAA 350

351 ACCACATATT TTTATTCACC ATAAATGCGT GTTCTGTTTC GGGCAACCCC 400

401 CCTTTCAAAA CAACAATTCG TGCTGGATTT TTTGTCCTTG TCCTGCGTGT 450

451 ACTACGTTAC CGAAGATAAC TTCATCAATC TCACTTGGAT TCAAACCCGT 500

501 CTCTTTAATA ATATGTACTA TTAAAGTCCC ACCTAAATCA GAGGCTGGCA 550

551 CTTCTTTAAA CCCACCTCC 600

NU5

1 TGTGGGGCGG AATAATAGCC CACCAATGAC CAATAGTTAC TTGAATGTTG 50

51 GCGCCGAACT GCTGATGTTG GGAGTGTTAC AACAAATGTA TGCTTGTTCT 100

101 TTCACTTAGA AAAAAAAAAT TGCGCTACAA AATTTTCAGC AGTAATACCC 150

151 ATATGATAGA TGATTAAATA CATCTGTTAA ACCAACAAAT ACCAAGCTAT 200

201 CAACCATTGA TTGATGTCCC ATTTTAAAAC CAAACCGACG GTTGTTGACA 250

251 AGCATTGGTG ACTGAAACAT ATTCTCCATA CCGCCCGCTA CCAAGAAGTC 300

301 ATTTTCACCA GTCACAATAA ATAGAAATAC TAATTGAATC AACTTTAACC 350

351 CAGAACCACA AACTTTATTC ACTCGTAAAG GCAGGAACGG TTTCTGGCAA 400

401 GCCCACCTTC CAAACCAACC AATCCGGGCT GGATTTGGTC CTTGCCCGGC 450

451 TGGTAGTACG TTACCGATAA TAACTTCATC AATCTCACTT GGATTCCAAA 500

501 CCCGTCTCTC TAAAAAGATT TTCAATTAAA GTTCGCACCT AAATCATAAG 550

Lampiran 4. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA hasil contig menggunakan primer 63f dan 1387r untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 (lanjutan)

ATCC 25923

1 TGTTTTTTGG GGTGATGAAA GACCAGCCGG CCCCTCAGGA TTAGGTGTGA 50

51 TTTTAAAAGA ACTAAACATT AAAGAGAAGG GTGGGATTCC AACCATGAGG 100

101 TTGATGAATA GTAATGATCG GTAATGCTAT TACAACCAGG ACAAGGACAA 150

151 AATAACAGCC AGGAATGGAT TGGTAAGAAA GAAAGGGTGG CCAGCAACAA 200

201 CACGTACATG CATTTAAGGT GAATAAAGTA TGTGGTTCTG GGTTAAAGTA 250

251 GATTCAATTA GCATACCAAT CAATTGTGAG TGGTGGAAGA AAACGACATC 300

301 GTGCTAGTTG CCGGTCGGGA TGAAGTATAT GTGTCATTCA CCAACGATTG 350

351 TCAGTCAACA ACAGTTTTGG TTTTAATAAA AGGACGACAA TCAACAATGA 400

401 TGATAGCATC GTATATGATG GTTTAAAAGA TAGGATTTAT TCAACATCAT 450

451 ATGGGTGGTA CTGCTGAAGA AATTAGTAGA GCAATATGGT ATTTTTTCAA 500

501 GAGAAGAACA AGATACATTT CGCTGTAAAC TCACAACAAA AAGCAGTACG 550

551 CCGCAGCAAC AACGGAAGAC ACATAATCTA AAGCTCGTTT CGTCTTTTCC 600

FIDYATUN KHOIRIYAH. Molecular Identification Local Isolates of Staphylococcus aureus by Polymerase Chain Reaction (PCR) Method. Under direction of RATIH DEWANTI-HARIYADI and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT.

Foodborne disease is a major concern worldwide, and S. aureus is continuously involved in foodborne disease outbreaks. Staphylococcal enterotoxins (SE) are important virulence factor for the bacterial intoxications. This research aimed to identify local isolates of S. aureus based on universal 16S rRNA gene and to identify whether they possess SE A and C1 genes. Bacterial DNA isolation was conducted using Doyle and Doyle extraction method with some modification. Amplification of genes encoding for 16S rRNA, SEA

and SEC1 were investigated using primers 63f/1387r, SEA-1/SEA-2 and SEC1-1/SEC1-2, consecutively. The amplification products of 16S rRNA were

sequenced and then analyzed for their relatedness to S. aureus. The resulted sequence was analyzed using BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) program and it was found that 5 out of 14 isolates were confirmed as S. aureus. The local isolates of NU4, NU5 and NU9 have 87 – 92% similarity, but all of the local isolates do not have similarity with S. aureus ATCC 25923. Based on amplification of the SE genes, 1 local isolates of S. aureus (NU5) was capable of producing both SEA and SEC1 while 1 local isolate (NU1) was only capable of producing SEA.

Latar Belakang

Keracunan pangan akibat kontaminasi bakteri patogen atau dikenal dengan istilah foodborne disease (FBD) merupakan permasalahan keamanan pangan yang menjadi perhatian dunia, tidak terkecuali Indonesia. Padahal dalam mengupayakan keamanan pangan tersebut, masing-masing negara telah membuat kebijakan seperti Undang-undang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah tentang Pelabelan Pangan, Manajemen Keamanan Pangan dan berbagai panduan lainnya. Namun demikian, masih saja terdapat kejadian dimana cemaran pangan kurang dapat diantisipasi secara sempurna sehingga menimbulkan kekacauan, seperti temuan Staphylococcus aureus pada pangan siap santap.

Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif, berbentuk bulat bergerombol seperti anggur dan tidak membentuk spora sehingga sangat mudah diinaktifkan dengan perlakuan panas. S. aureus merupakan bakteri yang umum terdapat pada manusia dan bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan pangan. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam kasus intoksikasi, yaitu tertelannya enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus pada pangan. Menurut Pelczar dan Chan (2005), gejala umum keracunan enterotoksin stafilokoki berupa mual, pusing, muntah dan diare. Enterotoksin stafilokoki dapat menyebabkan keracunan pada dosis yang sangat rendah, yaitu 0.1-1 µg/kg (ICSMF, 1996). Gejala keracunan dapat terlihat 30 menit hingga 8 jam setelah mengonsumsi makanan yang mengandung toksin tersebut (Blackburn dan Mc Clure, 2002).

Sudah sejak lama, S. aureus menjadi salah satu agen terpenting penyebab terjadinya food-borne disease di masyarakat. Penyebab utama masuknya S. aureus ke dalam rantai pangan, yang kemudian menyebabkan keracunan adalah karena rendahnya tingkat sanitasi pekerja. Selain itu, faktor lingkungan juga berpengaruh pada tingkat kontaminasi. Menurut Ray (2001), pangan yang disiapkan di bawah kondisi dan lingkungan yang kurang baik berimplikasi dengan tingginya kejadian

food-borne disease. Hal ini terutama terjadi pada negara berkembang, seperti Indonesia dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada negara maju.

Berdasarkan laporan the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (1989) menyatakan bahwa pada tahun 2001 hingga 2005 rata-rata setiap tahun terjadi 327 kasus keracunan pangan akibat bakteri di Amerika Serikat, 15% diantaranya disebabkan oleh enterotoksin stafilokoki. Sementara itu pada tahun 2006, terjadi 295 kasus keracunan pangan akibat bakteri dan 9.8% diantaranya juga disebabkan oleh enterotoksin stafilokoki (SE). Tidak hanya kasus tersebut, di Amerika Serikat yang tergolong negara maju, foodborne disease diduga bertanggung jawab terhadap 76 juta kasus sakit, 325,000 kasus rawat inap dan 5,000 kasus kematian per tahunnya (Jaykus, 2003).

Kejadian Luar Biasa (KLB) lainnya yang pernah dilaporkan antara lain di Osaka Jepang pada tahun 2000, yaitu produk susu skim bubuk dan susu rekonstitusi ditemukan mengandung enterotoksin stafilokoki A (SEA). SEA yang terkandung mencapai 80 ng. Selanjutnya di Amerika Serikat, pada produk susu coklat cair mengandung 200 ng atau kurang SEA (Ikeda et al., 2005).

KLB akibat S. aureus di Indonesia sendiri pernah terjadi di beberapa daerah. Di Tabanan Bali pada tahun 2004, 159 orang dilaporkan keracunan akibat mengonsumsi nasi bungkus dan hasil pengujian laboratorium BPOM menunjukkan bahwa sisa nasi bungkus dan muntahan korban mengandung mikroba patogen S. aureus. Bakteri patogen ini juga ditemukan pada jajanan jeli yang mengakibatkan 20 orang murid di Gresik keracunan. Pada tahun yang sama juga terjadi kasus keracunan di Bandar Lampung karena mengonsumsi campuran nasi dan ikan tongkol. Sementara itu pada tahun 2007, terjadi keracunan makanan pada 36 orang setelah mengonsumsi camilan di sebuah hotel di Padang. Hasil uji klinis laboratorium menunjukkan sampel makanan positif mengandung S. aureus (Gentina et al., 2008).

Keracunan pangan oleh S. aureus disebabkan oleh enterotoksin. Enterotoksin stafilokoki merupakan kelompok protein globular rantai tunggal yang bersifat antigenik dengan berat molekul rendah, yaitu 26,900-29,600 dalton.

SE ini diproduksi terutama oleh S. aureus, tetapi dapat diproduksi juga oleh S. intermedius, S. hyicus, dan S. xylosus (Bhatia dan Zahoor, 2007). SE bersifat

larut air dan stabil terhadap panas (termostabil) serta kaya akan residu lisin, asam aspartat, asam glutamat, dan tirosin (Le Loir et al., 2003). Terdapat 14 jenis SE yang telah diidentifikasi, yaitu SEA SEB, SEC, SED, SEE, SEG, SEH, SEI, SEJ, SEK, SEL, SEM, SEN, dan SEO. Namun hanya SEA, SEB, SEC, SED, dan SEE yang hingga saat ini dapat dideteksi dengan peralatan komersial (Ikeda et al., 2005). Hanya sedikit galur yang menghasilkan SEB, proporsinya 1:10 dengan galur penghasil SEA (Bennett dan Amos, 1982). Selain SEA, enterotoksin stafilokoki yang paling sering mengontaminasi produk pangan antara lain SEC dan SED. Menurut Pelisser et al., (2009), pada produk keju dan daging ditemukan 10 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 12 galur mengandung SED. Sedangkan pada produk susu mentah dan pasteurisasi terdapat 16 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 8 galur yang mengandung SEC (Rall et al., 2008). Menurut Maslankova et al., (2009), pada produk olahan susu berturut-turut ditemukan S. aureus yang mengandung SEC 24.1%, SEB 13.9% dan SED 10.1%. Berdasarkan perbandingan sekuen asam amino, SEA berada satu kelompok dengan SED, sedangkan SEB berada satu kelompok dengan SEC1 (Argudin et al., 2010).

Enterotoksin stafilokoki sangat stabil terhadap enzim proteolitik, seperti pepsin dan tripsin, sehingga toksin ini tetap aktif di saluran pencernaan. Enterotoksin ini juga tahan terhadap kimotripsin, renin, dan papain. Meskipun demikian, SEB dan SEC1 dapat dipotong pada loop sistein oleh tripsin. SEB dapat dihancurkan oleh pepsin pada pH 2, tetapi SEB menjadi resisten terhadap pepsin pada pH yang lebih tinggi, dimana kondisi tersebut adalah kondisi normal di dalam lambung setelah seseorang mengonsumsi makanan (Bhatia dan Zahoor, 2007).

Data mengenai keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia berdasarkan gen penyandi SE yang dihasilkan sudah pernah dilaporkan. Salasi et al., (2009) melakukan deteksi gen penyandi SE pada produk susu segar dan produk pangan olahan asal hewan dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Berdasarkan penelitian tersebut, dari 20 isolat yang ada ditemukan mengandung satu atau bahkan lebih gen penyandi SE, yaitu SEC (6 isolat); SEE (1 isolat); SEH (1 isolat); SEB dan SEI, SEC dan SEG, SEG dan SEI (masing-

masing 1 isolat); SEC dan SEE (2 isolat); SEB dan SEC (4 isolat). Kombinasi 3 jenis gen penyandi SE ditemukan masing-masing sebanyak 1 isolat untuk SEB, SEC dan SEI; SEC, SEE dan SEI serta SEC, SEG dan SEI. Data mengenai keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia berdasarkan gen penyandi SE yang berasal dari produk-produk pangan tradisional siap santap ataupun produk-produk olahan pangan lainnya belum pernah dilaporkan.

Laporan resmi tentang kasus keracunan stafilokoki di Indonesia masih terbatas jumlahnya. Data yang tersedia umumnya hanya menyatakan lokasi kejadian dan jumlah korban, namun tidak sampai pada menjelaskan penyebabnya. Hal ini menyebabkan monitor dan evaluasi apabila terjadi suatu kejadian luar biasa (KLB) berdasarkan asal-muasal keracunan (etiologi), sumber makanan dan tempatnya pun belum terlaksana dengan baik. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan bahwa kasus keracunan pangan di Indonesia paling banyak terjadi pada pangan olahan yang melibatkan industri jasa boga dan industri jasa katering. Data mengenai prevalensi isolat lokal S. aureus dan keracunan stafilokoki yang ditimbulkannya pada produk pangan tradisional santap belum tersedia. Oleh karena itu perlu diketahui frekuensi keberadaan isolat lokal S. aureus dalam produk pangan tradisional siap santap dan toksin yang dihasilkannya guna dijadikan acuan dalam penetapan manajemen risiko baik di tingkat produsen maupun konsumen.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Mengidentifikasi isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan gen 16S rRNA, sehingga dapat diketahui persentase tingkat kemiripan antar isolat-isolat tersebut.

(2) Mendeteksi keberadaan gen penyandi enterotoksin stafilokoki A (SEA) dan enterotoksin stafilokoki C (SEC1) pada isolat-isolat lokal S. aureus.

Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi (database) tentang S. aureus yang ada di Indonesia untuk melakukan kajian risiko S. aureus isolat lokal yang ada di Indonesia.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Terdapat kemiripan antar isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan gen 16S rRNA dan (2) Terdapat gen penyandi enterotoksin stafilokoki A (SEA) serta enterotoksin stafilokoki C (SEC1) pada isolat-isolat lokal tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri koki Gram positif dan jika diamati di bawah mikroskop akan tampak dalam bentuk bulat tunggal atau berpasangan, atau berkelompok seperti buah anggur seperti yang terlihat pada Gambar 1. Staphylococcus aureus termasuk dalam famili Staphylococcaceae, berukuran diameter 0.5-1.5 µm dan membentuk pigmen kuning keemasan. Bakteri ini tidak membentuk spora, bersifat aerob atau anaerob fakultatif, non-motil, koagulase dan katalase positif, mampu memfermentasi mannitol serta mampu menjalankan dua macam metabolisme yaitu respirasi maupun fermentasi.

Gambar 1 Morfologi S. aureus perbesaran 5000x (Todar, 2008)

S. aureus mampu memanfaatkan berbagai komponen organik sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya. Asam-asam amino dibutuhkan sebagai sumber nitrogen, sedangkan tiamin dan asam nikotinat paling dibutuhkan diantara vitamin B lainnya. Apabila S. aureus ditumbuhkan pada kondisi cenderung anaerob, maka urasil sangat dibutuhkan. Sedangkan untuk kondisi aerob dan produksi enterotoksin, maka monosodium glutamat berperan sebagai sumber C, N dan energi. Arginin merupakan asam amino esensial yang dibutuhkan untuk produksi enterotoksin B (Bennet dan Monday dalam Militois dan Bier, 2003; Jay, 2000).

S. aureus termasuk ke dalam kelompok bakteri mesofilik, namun terdapat beberapa galur S. aureus yang mampu tumbuh pada suhu rendah 6-7oC. Pada umumnya, S. aureus tumbuh pada kisaran suhu 7-48.5oC dengan suhu optimum

pertumbuhan 30-37oC. Kisaran pH pertumbuhan antara 4.5 hingga 9.3, dengan pH optimum 7.0-7.5 (Bennet dan Monday, 2003). Berdasarkan aktivitas air (aw), stafilokoki mampu tumbuh pada kadar aw yang lebih rendah dibandingkan dengan bakteri nonhalofilik lainnya. Pertumbuhan stafilokoki tetap terjadi pada aw 0.83 yang merupakan kondisi di bawah ideal untuk pertumbuhan kebanyakan bakteri. Kebanyakan galur-galur S. aureus mempunyai toleransi tinggi terhadap konsentrasi garam dan gula. Bakteri ini masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi natrium klorida lebih dari 15% dan memiliki toleransi tinggi terhadap komponen-komponen seperti telurit, merkuri klorida, neomycin, polymixin dan sodium azida, yang semuanya dapat digunakan sebagai media selektif S. aureus (Le Loir et al., 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus

Faktor Pengaruh Pertumbuhan Optimum Kisaran Suhu 37°C 4 –48°C pH 6.0-7.0 4.0-9.8 aw 0.98≥0.99 0.83≥0.99

Atmosfer Aerobik Anaerobik hingga aerobik Natrium Klorida 0.5-0.4% 0-20%

Adam dan Moss (1995)

S. aureus mampu memproduksi sejumlah besar enzim-enzim ekstraseluler, toksin dan komponen kimia lainnya. Beberapa metabolit ekstraseluler ini sangat bermanfaat untuk identifikasi S. aureus dan membedakannya dari spesies stafilokoki lainnya. Karakteristik S. aureus dan beberapa spesies stafilokoki lainnya ditampilkan pada Tabel 2. Dua metabolit yang umum dimanfaatkan untuk identifikasi S. aureus adalah aktivitas koagulase (enzim yang mengkoagulasi plasma) dan termonuklease (TNase), enzim fosfodiesterase tahan panas yang

dapat memecah DNA maupun RNA untuk menghasilkan produk fosfomononukleotida.

Tabel 2 Karakteristik spesies stafilokoki

Sifat S. aureus S. intermedius S. hyicus S. epidermidis

Pigmen +a − − − Koagulase + + ± − Dnase + + ± − Hemolisis + + − ± Mannitol (an) + − − − Acetoin + − − + Gumpalan + + + − Hyaluronidase + − ± − Lysostaphyn ST ST ST SR a >90%.

an:kondisi anaerobik; ST: sensitivitas tinggi; SR: sensitivitas rendah

Bennet dan Monday (2003)

Staphylococcus aureus tidak membentuk spora sehingga pertumbuhan oleh S. aureus di dalam makanan dapat segera dihambat dengan perlakuan panas. Namun, kontaminasi S. aureus tetap menjadi salah satu penyebab utama foodborne disease (FBD) karena S. aureus dapat mengkontaminasi produk makanan selama persiapan dan pengolahan. Bakteri ini sendiri ditemukan di dalam saluran pernapasan, permukaan kulit dan rambut hewan berdarah panas

termasuk manusia, Lebih dari 30-50% populasi manusia adalah “carrierS. aureus (Le Loir et al., 2003).

Umumnya S. aureus tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi baik dengan mikroflora normal kebanyakan pada makanan. Telah banyak penelitian yang menunjukkan ketidakmampuan S. aureus untuk bersaing pada makanan segar dan makanan beku. Pada suhu yang mendukung pertumbuhan S. aureus, mikroorganisme lain pada makanan melakukan perlindungan untuk melawan pertumbuhan S. aureus lewat mekanisme antagonis, kompetisi terhadap nutrisi dan modifikasi kondisi lingkungan agar tidak mendukung pertumbuhan S. aureus. Bakteri yang diketahui bersifat antagonis terhadap S. aureus adalah Acinetobacter,

Aeromonas, Bacillus, Pseudomonas, S. epidermidis, kelompok Enterobactericeae, Lactobacillaceae, kelompok Enterococci dan Streptococcus (Jay, 1996).

Staphylococcus aureus memliki beberapa jenis faktor virulensi yang mendukung terjadinya penyakit pada tubuh manusia, salah satunya adalah protein permukaan yang membantu kolonisasi pada jaringan inang. Untuk mendukung penyebarannya pada jaringan, bakteri ini menghasilkan invasin, seperti leukosidin, kinase dan hyaluronidase. Leukosidin adalah sitotoksin yang dapat membunuh leukosit, sedangkan hyaluronidase adalah enzim yang dapat mendegradasi asam hyaluronat sehingga meningkatkan permeabilitas jaringan (Todar, 2008).

Pada tubuh manusia terdapat faktor virulensi S. aureus yang mampu menghambat fagositosis, yaitu protein A dan kapsul. Protein A adalah protein permukaan yang mengikat molekul IgG. Bakteri ini juga menghasilkan senyawa biokimia yang menjadi pertahanannya terhadap fagosit, yaitu karotenoid dan katalase (Todar, 2008).

Kontaminasi S. aureus dalam Pangan

Stafilokoki dapat ditemukan di udara, debu, limbah, air, susu, makanan, atau peralatan makan, permukaan lingkungan, manusia, dan hewan. Manusia dan hewan adalah reservoir utama. Stafilokoki juga dapat ditemukan lebih dari 50% di saluran pernapasan, tenggorokan dan di permukaan rambut dan kulit seseorang yang sehat sekalipun.

Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan (Stewart et al., 2002). Pangan yang dilaporkan dalam berbagai kejadian luar biasa S. aureus umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan pengilingan yang melibatkan pekerja yang terkontaminasi. S. aureus terdapat luas di alam dan pada bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan risiko keracunan pangan akibat S. aureus (Robinson et al., 2000).

Pangan yang memiliki resiko tinggi terhadap bahaya keracunan akibat Staphylococcus adalah pangan yang normal flora di dalamnya telah mengalami kerusakan akibat proses pengolahan (misalnya daging yang telah dimasak) atau dihambat pertumbuhannya (misalnya ikan asin dengan konsentrasi garam yang

tinggi). Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang merupakan kompetitor lemah dalam ekosistem mikrobial yang kompleks sehingga adanya bakteri patogen dan pembusuk lain dapat menghambat pertumbuhannya. Bakteri psikrotropik sebagai contohnya dapat menghambat pertumbuhan S. aureus pada penyimpanan suhu rendah (refrigerasi). Selain itu pada proses fermentasi, bakteri asam laktat dapat memproduksi beberapa senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan S. aureus seperti asam laktat, hidrogen peroksida dan bakteriosin (Ash, 2000).

US FDA (1999) menyatakan keberadaan S. aureus dalam pangan dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti proses pengolahan pangan yang tidak tepat dari segi suhu dan waktu, suhu penyimpanan pangan yang salah yaitu kurang panas (60°C atau 140°F) atau kurang dingin (7.2°C atau 45°F), dan adanya kontaminasi silang dari bahan baku mentah maupun pekerja. Penjelasan mengenai konsekuensi yang ditimbulkan apabila proses pengolahan dan penanganan pangan tidak dilakukan dengan tepat dapat dilihat pada Tabel 3.

Jalur masuknya S. aureus kedalam bahan pangan biasanya melalui jaringan kulit atau selaput lendir yang terluka seperti terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga, pengelupasan kulit, atau penyakit kulit lain. Oleh sebab itu, pekerja dengan luka pada kulit tidak diperbolehkan mengolah makanan terlebih disertai dengan praktik sanitasi yang buruk yang dapat memperbanyak jumlah S. aureus (Schaechter et al., 1993).

Apabila S. aureus terkontaminasi ke dalam bahan pangan yang mengandung nutrisi yang menunjang bagi pertumbuhannya, jumlah S. aureus akan bertambah dengan laju pertumbuhan yang cepat. Bahan pangan yang menyediakan nutrisi yang menunjang pertumbuhan S. aureus adalah bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi seperti daging dan produk olahannya, unggas dan produk olahannya, telur dan produk olahannya, salad yang mengandung telur, tuna, ayam, kentang dan makaroni, produk bakery, serta susu dan produk olahannya (US FDA, 1999). Hal ini disebabkan adanya 11 asam amino yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin

pada produk-produk berprotein tinggi yang mendukung optimasi pertumbuhan S. aureus (Supardi dan Sukamto, 1999).

Tabel 3 Sumber, faktor resiko, dan konsekuensi keberadaan S. aureus dalam rantai pangan

Sumber Resiko Konsekuensi jika

resiko tidak terkontrol Lingkungan Luas

Lemahnya sanitasi peternakan dan higiene perorangan

Meningkatnya infeksi S. aureus pada manusia dan hewan Hewan Manusia Udara, air, dan tumbuhan Lingkungan Pengolahan

Makanan S. aureus dalam jumlah yang tinggi

S. aureus bertahan selama proses pengolahan dan terjadi kontaminasi silang dari bahan baku pangan terhadap makanan olahan

Bahan Baku Karkas hewan Produk olahan hewan Bumbu Proses Pengolahan Permukaan kontak dengan makanan Udara, air Pengolah makanan

Proses Pengolahan tidak mencukupi, pembersihan dan desinfeksi tidak memadai, sumber air buruk dan lemahnya sanitasi dan higiene perorangan

S. aureus bertahan selama proses pengolahan dan terjadi kontaminasi post- process terhadap produk pangan Penyajian Produk Pangan Ketidaktepatan suhu penyimpanan, faktor pertumbuhan intrinsik tidak dikendalikan S. aureus berkembangbiak dan memproduksi staphylococcal enterotoxins (SE) Lingkungan Penyajian

Makanan Kontaminasi dari

enterotoksigenik S. aureus terhadap makanan yang telah diolah. Ketidak tepatan suhu lingkungan penyajian makanan S. aureus berkembangbiak dan memproduksi enterotoksin stafilokoki (SE) Hewan Manusia Permukaan kontak dengan makanan Udara dan air Robinson et al. (2000)

Pangan dengan konsentrasi garam yang tinggi (ham) atau konsentrasi gula yang tinggi (fla) tidak terlepas dari bahaya konsentrasi S. aureus. Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang tahan terhadap kadar gula dan garam yang tinggi

(hingga 20%). Cara yang dianjurkan untuk mengontrol atau mencegah adanya S. aureus pada pangan yang sudah diolah adalah mendinginkannya hingga suhu 20°C, melarang orang sakit untuk menangani makanan, menggunakan sarung tangan disposable dalam proses penanganan makanan, melakukan refrigerasi atau pendinginan pada makanan hingga <10°C dan meminimalkan terjadinya kontaminasi silang dari bahan mentah ke makanan matang ataupun dari lingkungan kerja yang kotor serta peralatan yang kotor ke makanan matang (Jay, 2000).

Harmayani et al., (1996) mengevaluasi total bakteri dan S. aureus pada beberapa sampel pangan menggunakan media Baird-Parker Agar (BPA) yang dilanjutkan dengan uji koagulase. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa karkas ayam mentah yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan ayam panggang bumbu sate memiliki total bakteri sebanyak 6.5 x 107 CFU/g dan total S. aureus 7.3 x 105 CFU/g. Karkas ayam mentah diproses melalui tahap pencucian dan perebusan. Pada akhir tahap perebusan, ternyata total bakteri menurun menjadi 1.7 x 106 CFU/g dan total S. aureus <103 CFU/g. Setelah pembakaran,

total S. aureus berkurang lagi menjadi 5.0 x 102 CFU/g. Namun populasi S. aureus menjadi 1.5 x 104 CFU/g selama proses pengangkutan dan penyimpanan

pada suhu ruang selama 7.5 jam. Jumlah ini telah melewati batas maksimum cemaran S. aureus yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yaitu 0-5 x 103 sel/g.

Harmayani et al., (1996) juga menyebutkan bahwa karkas ayam mentah yang digunakan untuk membuat bakso dan sup ayam sudah tercemar S. aureus sebanyak 1.4 x 105 CFU/g dengan total bakteri 1.9 x 107 CFU/g. Namun dengan proses pemanasan pada pengolahan bakso maupun sup, total S. aureus mengalami penurunan menjadi 4.3 x 103 CFU/g dan total bakteri menjadi 6.4 x 105 CFU/g hingga dihidangkan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Hartini (2001) dan Ruslan (2003) menunjukkan bahwa beberapa produk pangan tradisional siap

Dokumen terkait