• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECAMATAN TAMBAKREJO DAN KECAMATAN PURWOSAR

SAPI POTONG KERBAU AYAM KAMBING DOMBA JANTAN BETINA JANTAN BETINA RAS BURAS JANTAN BETINA JANTAN BETINA

B. Purwosari: Meratas Peluang dan Tantangan

3. Usaha Kecil dan Menengah

Adanya usaha kecil dan menengah juga menunjang perekonomian masyarakat di Kecamatan Purwosari. Selain berjualan produk jadi di pasar, naluri bisnis masyarakat juga disalurkan melalui usaha kecil dan menengah. Misalnya di Desa Gapluk dan Kuniran, masyarakat banyak yang membuat ledre. Namun mereka tidak menjual/ memasarkan ledre sendiri, melainkan disetor ke pengepul untuk kemudian dijual melalui toko besar. Masyarakat di Desa Gapluk dan Kuniran membuat ledre tetapi pengemasan dan pemasarannya di Padangan.

Harga ledre pun bervariasi. Untuk rasa original (pisang), ledre dari produsen dijual ke pengepul seharga Rp 2500 per bungkus, 1 bungkus isi 15 batang. Sementara untuk variasi rasa lain seperti nangka, melon, strawberry, kacang hijau dan keju harga jualnya Rp 3500 per bungkus. Warga pembuat ledre di Desa Gapluk rata- rata dapat menghasilkan 30 bungkus per hari. Namun pembuatan tersebut masih berdasarkan pesanan, belum ada kontinuitas atas inisiatif pribadi. Harga jual ledre setelah di setor ke sentra oleh-oleh Padangan berkisar Rp 13 ribu - Rp 15 ribu per kotaknya (satu kotak berisi 2 bungkus). Terlihat bahwa terdapat selisih pendapatan yang cukup signifikan antara produsen dengan pengepul.

46

Hingga saat ini, ada sekitar 70 rumah tangga yang memproduksi ledre di Desa Gapluk dan Kuniran. Usaha mereka masih masih terbilang usaha rumahan, bukan usaha kelompok. Melihat dari pengalaman selama ini, ketika mereka dibentuk kelompok kemudian diajari pengemasan, kemungkinan akan menjadi wadah berkreasi, berbisnis, sekaligus belajar untuk peningkatan pendapatan. Kendala para produsen ledre ini juga diikuti oleh permasalahan persaingan usaha. Misalnya dalam pemasaran langsung, produsen ledre yang mencoba memasarkan langsung produknya justru tidak laku. Alasannya, toko-toko tidak mau menerima produk selain yang berasal dari pengepul “X” yang menjadi langganan di Desa Padangan. Menurut warga, pengusaha-pengusaha yang sudah terbiasa mengirim itu menuntut (memblokir) agar setoran dari pembuat ledre yang tidak menggunakan kemasan mereka agar jangan diterima. Dari sini terlihat bahwa meskipun sebenarnya setiap orang di Bojonegoro berhak mengakses pasar ledre, namun ada dominasi elit (pengusaha) yang menguasai pasaran ledre.

Jika kita cermati, sebenarnya masalahnya bukan soal pesanan, karena ledre telah menjadi icon Bojonegoro. Masalahnya adalah kesenjangan pendapatan antara produsen dan pengusaha/pengepul. Dengan demikian persoalan adalah bagaimana membuat para produsen ledre di desa-desa itu mendapatkan pendapatan yang fair

dari hasil ledrenya. Dalam hal ini diperlukan alternatif strategi. Pertama,

bagaimana mengembangkan potensi lain selain pisang di daerah

itu. Kedua, kaitannya dengan membuka akses pasar, penting untuk

mencoba mendatangkan pembeli ke daerah itu, misalnya konsep yang sudah berhasil selama ini adalah dengan menjadikan wilayah berpotensi sebagai desa wisata. Dengan begitu keuntungannya, warga yang memproduksi ledre dapat memasarkan secara langsung.

Ketiga, adanya koperasi menjadi penting dalam hal peningkatan

kapasitas dan ketrampilan warga dalam berorganisasi, berkreasi, dan berbisnis secara lebih fair dan di sisi lain juga menguntungkan.

Selain Industri ledre, di Desa Gapluk juga ada yang mempunyai unit usaha berupa pembuatan konsentrat untuk pakan ternak,

47

akan tetapi selama ini masih bekerjasama dengan Holcim sebagai penyedia bahan baku berupa katul, padahal sesungguhnya masyarakat sudah mampu untuk mempuat konsentrat sendiri jika ada bahan baku, serta ketersediaan modal yang cukup. Hal ini bisa menunjang kegiatan peternakan sapi dan kambing. Kemudian ada juga yang mempunyai usaha pabrik kerupuk, dan sudah cukup maju serta didanai oleh salah satu bank untuk mengembangkan usahanya. Pabrik tersebut mampu menampung beberapa pekerja sehingga membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.

4. Kondisi Sosial

Secara umum, kehidupan sosial di Kecamatan Purwosari cukup kondusif. Namun demikian, hadirnya aktivitas migas juga memberikan pengaruh tersendiri. Aktivitas sumur Tiung Biru di Desa Kalisumber yang masuk Kecamatan Tambakrejo yang berbatasan langsung dengan Desa Kuniran di wilayah Purwosari, membuat dampak sosial yang tercipta dari industri migas juga melebar dan masuk wilayah Kecamatan Purowosari. Aktivitas migas yang berupa gerak mobil tangki yang lalu lalang dirasakan semakin intensif di masyarakat mulai

48

dari Desa Purwosari (terkenal dengan sebutan Tobo), masuk Desa Gapluk hingga Kuniran. Demikian halnya dengan aktivitas lain, semisal proses pengeboran. Adanya potensi migas yang hadir di tengah kehidupan masyarakat dan dampak langsung yang tercipta di sisi lain, menjadikan harapan dan persoalan bercampur menjadi satu dan memunculkan tuntutan masyarakat. Dengan adanya dinamika yang muncul di tengah masyarakat, menjadikan operator gas di Tiung Biru tidak bisa berdiam diri. Respon yang diberikan selain bersifat karitatif atau bantuan langsung, juga dalam bentuk fisik, yaitu pembangunan infrastruktur jalan. Kini kondisi infrastruktur jalan cukup baik untuk dilalui. Sedikit banyak dampak pada arus ekonomi masyarakat dari Pasar Tobo sebagai sentra ekonomi tersambung lancar dengan wilayah lain yang berada di bagian selatan, sampai pusat Kecamatan Tambakrejo. Namun perbaikan fisik dirasakan masih parsial bagi masyarakat. Harapan ideal akan pembangunan masyarakat yang berkelanjutan belum dijalankan. Tepatnya pembangunan masyarakat yang berbasis pada potensi yang telah terdapat di desa dan berada di tengah kehidupan masyarakat sehari-hari.

Kondisi sosial suatu tempat tidak bisa dikesampingkan dari peran aktor yang beraktivitas di dalamnya. Dominasi peran aktor

49

pemerintah baik secara institusi maupun individu lebih mewarnai kehidupan sosial di Purwosari. Pengembangan potensi peternakan dan pertanian menjadi domain utama dari Unit Pelaksana Teknis kecamatan. Selain itu kepala desa beserta perangkatnya masih menjadi penggerak utama pembangunan desa. Menarik dalam hal ini, kepala desa selain dapat berperan selaku representasi dari lembaga, juga aktor kuat yang dapat menguasi berbagai akses, terutama akses langsung terhadap aktivitas migas. Contohnya menjadi kontraktor dalam proyek migas, atau menjadi penyedia mobil tangki untuk angkut muat limbah migas. Kondisi tersebut memang tidak terjadi di sebagian besar desa, seperti di kawasan sumur migas yang masuk area Blok Cepu.

50

D

alam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat

Kabupaten Bojonegoro khususnya di Kecamatan Tambakrejo dan Purwosari dalam era industri migas, perlu dilakukan analisis situasi terhadap kondisi saat ini dan kemungkinan perubahannya ke depan. Analisis mencakup dimensi internal dan dimensi eksternal. Analisis terhadap dimensi internal ditujukan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan yang dimiliki masyarakat di area industri migas, sedangkan analisis terhadap dimensi eksternal untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman yang berpotensi sebagai penyebab kegagalan tercapainya kesejahteraan masyarakat di sekitar area industri migas.

Dokumen terkait