• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJUAN PUSTAKA

2.1. Tinjuan Teori

2.1.5. Usahatani

Menurut Soekartawi (1995) usahatani adalah upaya seseorang dalam mengalokasikan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Penerimaan usahatani adalah hasil kali antara produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani dengan harga jual produk yang dihasilkan tersebut. Pernyataan tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut,

TR = Y × Py (2.5.)

keterangan:

TR : penerimaan total (total revenue)

Y : produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani Py : harga dari produk Y

Jika komoditas tanaman yang diusahakan adalah lebih dari satu maka persamaan dapat dimodifikasi menjadi,

(2.6.)

Pengeluaran usahatani adalah biaya atau pengorbanan yang dilakukan oleh produsen (petani) dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Pengeluaran usahatani dapat digolongkan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap merupakan biaya yang tidak terkait dengan jumlah barang yang diproduksi, sehingga petani tetap harus membayar biaya tersebut berapapun jumlah komoditas yang dihasilkannya.

Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang berubah seiring dengan perubahan besarnya jumlah komoditas pertanian yang dihasilkan.

Biaya tetap (fixed cost) dapat ditunjukkan oleh persamaan,

(2.7.) keterangan:

FC : biaya tetap (fixed cost) Xi : banyaknya input ke-i

Pxi : harga dari variabel Xi (input)

Sedangkan persamaan biaya total adalah,

TC = FC + VC (2.8.)

keterangan:

TC : biaya total (total cost) FC : biaya tetap (fixed cost)

VC : biaya tidak tetap (variable cost)

Pendapatan usahatani (laba) merupakan selisih antara penerimaan dan biaya total. Pendapatan usahatani dapat ditunjukkan dengan persamaan,

Π = TR – TC (2.9) keterangan:

Π : pendapatan usahatani (laba) TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost)

2.1.6. Teori Persepsi dan Adopsi Inovasi

Menurut Soekartawi (1988), terdapat empat tahapan yang dilalui petani dalam mengadopsi suatu teknologi/inovasi. Tahapan tersebut antara lain (a) tahap kesadaran dan menaruh minat; (b) tahap evaluasi; (c) tahap mencoba; kemudian (d) tahap adopsi.

Pada tahap kesadaran, petani untuk pertama kalinya belajar tentang sesuatu yang baru. Informasi yang dimiliki tentang teknologi baru yang akan diadopsi masih bersifat umum. Beralih pada tahapan menaruh minat yaitu petani mulai mengembangkan informasi yang diperoleh dalam menimbulkan dan mengembangkan minatnya untuk mengadopsi inovasi. Pada tahap ini, petani mulai mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, baik dari media cetak maupun media eletronik (Soekartawi, 1988).

Tahapan evaluasi merupakan tahap mempertimbangkan lebih lanjut mengenai minat dalam mencoba suatu inovasi. Hal ini berarti bahwa petani melakukan penilaian secara sungguh-sungguh dan mengaitkannya dengan situasi yang mereka miliki (Soekartawi, 1988).

Setelah pembuatan keputusan pada tahap evaluasi, maka tahapan selanjutnya adalah tahap mencoba. Biasanya petani akan melakukan percobaan inovasi untuk skala kecil terlebih dahulu. Pada tahap ini, petani akan dihadapkan dengan suatu permasalahan yang nyata. Untuk itu, terkadang petani memerlukan bantuan dari pihak lain yang lebih kompeten agar percobaan suatu inovasi dapat

berhasil. Apabila percobaan ini berhasil, maka petani akan mencoba melakukan inovasi tersebut dalam skala yang lebih luas (Soekartawi, 1988).

Tahap adopsi merupakan tahapan dimana petani telah memutuskan bahwa inovasi baru yang telah dipelajari memberikan dampak yang baik untuk diterapkan di lahannya dalam skala yang lebih luas. Tahapan-tahapan yang telah dipaparkan tidak selalu dilakukan secara berurutan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan melakukan penyesuaian dalam melakukan adopsi suatu inovasi (Soekartawi, 1988).

Menurut Soekartawi (1988), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi petani dalam mengadopsi suatu teknologi. Faktor internal yang dapat mempengaruhi adalah (a) umur; (b) pendidikan; (c) keberanian mengambil risiko;

(d) motivasi berkarya; (e) sistem kepercayaan tertentu; dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi adopsi inovasi antara lain (a) dorongan masyarakat di sekelilingnya; (b) pengalaman petani lain di sekitar tempat tinggal;

(c) ketersediaan sumberdaya yang dimiliki; (d) kepuasan setelah mencoba inovasi tersebut; dan lain-lain.

Menurut Mulyana (2008), dalam membentuk persepsi, pemikiran-pemikiran yang ada di pengaruhi oleh faktor-faktor dari eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi dapat berupa (a) gerakan, (b) intensitas stimuli, (c) perulangan objek yang dipersepsi, (d) kontras, (e) prinsip kedekatan atau persamaan, dan lain-lain. Sedangkan faktor internal yang dapat mempengaruhi persepsi adalah (a) gender, (b) biologis, (c) fisiologis, (d) sosio-psikologis, (e) sikap, (f) kebiasaan, (g) kemauan, dan lain-lain.

2.2. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan tahun 2010 pada tujuh propinsi di Indonesia, Program BLP dan BLBU berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas padi dari sebelumnya 5.034 kg menjadi 5.918 kg/ha, atau meningkat sebesar 17.56%

Penerapan program BLBU dan BLP menyebabkan terjadi peningkatan biaya total sebesar 21.53% pada usahatani padi. Karena peningkatan produksi yang dicapai masih cukup besar, maka keuntungan bersih usahatani tetap meningkat.

Pendapatan usahatani padi meningkat dari Rp. 6.777.157,- menjadi Rp.

9.119.629,- per ha atau meningkat sebesar 34.56%. Peningkatan ini juga terjadi karena adanya faktor peningkatan harga pada padi (GKP) sebesar 8.74%.

Angelia (2011) dalam penelitian Analisis Tingkat Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan Status Petani (Studi Kasus di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor), menyatakan bahwa variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 99 persen dan variabel tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap produksi padi.

Yuliarmi (2006) dalam penelitian Analisis Produksi dan Faktor-faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang pada Usahatani Padi menunjukkan bahwa faktor pendorong utama yang menyebabkan petani mengikuti program pemupukan berimbang di Kecamatan Plered, Jawa Barat, adalah mengharapkan produksi yang lebih tinggi. Dari hasil perhitungan, rata-rata produksi per hektar padi yang diperoleh petani peserta program pemupukan berimbang adalah 6.003 ton GKP dengan nilai keuntungan sebesar Rp.

4.001.378,- per musim tanam. Sedangkan petani non peserta program pemupukan berimbang memperoleh rata-rata produksi sebesar 5.027 ton GKP, dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 3.163.183 per musim tanam. Produksi yang diperoleh petani peserta program pemupukan berimbang lebih tinggi 976 kg dibandingkan produksi yang diperoleh petani non peserta program pemupukan berimbang.

Tabel 2.2. Ringkasan Penelitian Terdahulu

Peneliti Wilayah Metode Peningkatan Produksi, Pendapatan, dan Persepsi Petani urea, pupuk NPK, pupuk PPC dan intensifikasi usahatani

Tingkat penerapan teknologi rata-rata pada petani peserta program pemupukan berimbang sebesar 68,38% dan petani bukan peserta program pemupukan berimbang sebesar 60,70%. Kedua kelompok petani tersebut tergolong pada tingkat penerapan sedang (60% - 70%). Sedangkan variabel yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk mengadopsi teknologi pemupukan

berimbang adalah harga gabah (bertanda positif dan berpengaruh nyata pada taraf 10%), biaya pupuk (bertanda negatif dan berpengaruh nyata pada taraf 5%), serta luas lahan (bertanda positif dan berpengaruh nyata pada taraf 10%).

Menurut Sianipar et. al. (2009) dalam penelitian Analisis Fungsi Produksi Intensifikasi Usahatani Padi di Kabupaten Manokwari menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap produksi padi pada tingkat kesalahan 1%

yaitu variabel benih, tenaga kerja luar keluarga, pupuk urea, pupuk NPK, pupuk PPC dan intensifikasi usahatani.

2.3. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini didasari oleh pentingnya perbaikan kesuburan lahan untuk peningkatan produksi padi di Indonesia khususnya propinsi Jawa Timur.

Gambar 2.3. Bagan Kerangka Pemikiran Peningkatan Produksi Pertanian Berkelanjutan

Subsidi Pupuk

Bantuan Langsung Pupuk Organik

Analisis Usahatani Produksi & Produktivitas Persepsi

Rekomendasi Kebijakan untuk Pengembangan Pertanian Organik

Peningkatan produksi padi tersebut bertujuan untuk mencapai peningkatan produksi yang berkelanjutan. Salah satu upaya dalam meningkatkan produksi padi yaitu dengan cara memberikan subsidi input berupa pupuk. Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pertanian memberikan bantuan langsung kepada petani pangan berupa Bantuan Langsung Pupuk (BLP) Organik.

Penelitian ini menggunakan tiga metode analisis untuk menganalisis efektifitas program BLP Organik tersebut. Metode-metode yang digunakan antara lain Metode Analisis Usahatani dengan pendekatan Before and After, Metode Analisis Produksi dan Produktivitas, serta Metode Analisis Persepsi petani penerima BLP Organik. Dengan diketahuinya dampak dari program BLP Organik, diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai bahan rekomendasi untuk pengembangan pertanian organik.

2.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian dalam menerapkan progam BLP Organik pada usahatani padi di Jawa Timur, maka:

1. terdapat peningkatan produktivitas padi karena menggunakan benih unggul dari BLBU dan pupuk berimbang dari paket BLP Organik;

2. terdapat peningkatan pendapatan petani; dan

3. petani termotivasi untuk tetap menggunakan pupuk organik meskipun tanpa subsidi.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dari survey rumah tangga petani dalam penelitian Dampak Bantuan Langsung Pupuk dan Benih Unggul Terhadap Usahatani dan Perekonomian Nasional. Data didapat dari penelitian Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor (PSP3 IPB) dan PT. Pertani di Propinsi Jawa Timur tahun 2010.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menjadikan Propinsi Jawa Timur sebagai lokasi penelitian karena Jawa Timur merupakan salah satu dari lima propinsi penerima BLP terbanyak di Indonesia. Lokasi penelitian dilakukan dengan memilih dua kabupaten, dan selanjutnya untuk tiap kabupaten dipilih dua kecamatan contoh.

Pemilihan lokasi mengikuti sebaran program dan hasil diskusi dengan aparat setempat. Kabupaten yang dipilih adalah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso. Pada Kabupaten Banyuwangi, kecamatan yang dijadikan contoh adalah Kecamatan Sempu dan Kecamatan Licin. Sedangkan Kabupaten Bondowoso, kecamatan yang dipilih adalah Kecamatan Telogosari dan Kecamatan Wonosari. Waktu penelitian dilakukan selama bulan Juni 2011 dengan melihat hasil produksi padi pada dua musim tanam yang berbeda (musim tanam sebelum menggunakan BLP Organik, dan musim tanam setelah menggunakan BLP Organik).

3.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data untuk menganalisis dampak BLP Organik pada produktivitas dan pendapatan usahatani dilakukan dengan pemilihan sampel untuk petani responden. Penentuan sampel dilakukan secara acak sederhana (Simple Random Sampling), yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam Simple Random Sampling adalah semua individu dalam populasi (anggota popluasi) diberi kesempatan yang sama untuk menjadi anggota sampel. Pemilihan mengikuti sebaran program dan jenis usahatani petani dengan membandingkan before dan after. Before untuk musim tanam sebelum menggunakan BLP Organik dan after untuk musim tanam setelah mengunakan BLP Organik.

Pemilihan responden petani dilakukan secara acak sederhana rata-rata 15 orang petani per kecamatan sampel. Sebagaimana dipaparkan pada Tabel 3.1., total sampel petani padi adalah 60 orang, dimana dari setiap petani diperoleh dua informasi usahatani padi untuk perbandingan before dan after. Dengan demikian, jumlah usahatani padi yang dianalisis berjumlah 120 unit.

Tabel 3.1. Sebaran dan Jumlah Sampel Usahatani Padi di Propinsi Jawa Timur

Kabupaten; Kecamatan Usahatani padi

Sebelum Sesudah

1. Banyuwangi (Sempu & Licin) 30 30

2. Bondowoso (Telogosari & Wonosari) 30 30

Total 60 60

Responden adalah petani yang menerima bantuan BLP Organik pada tahun 2010. Responden dipilih dari daftar penerima bantuan yang dimiliki oleh petugas pertanian setempat. Usahatani yang dijadikan contoh adalah persil lahan terluas

yang dimiliki responden. Perbandingan antara usahatani sebelum menggunakan BLP Organik dengan yang menggunakan BLP Organik, dilakukan untuk persil lahan yang sama. Prosedur pengambilan contoh menggunakan cluster sampling mengikuti hirarki provinsi, kabupaten, dan kecamatan.

3.4. Pengolahan dan Analisis Data

Sebagai penelitian yang bertujuan untuk menganalisis dampak suatu program, maka salah satu pendekatan yang logis untuk digunakan adalah dengan membandingkan antara nilai dari indikator-indikator pada periode sebelum dengan sesudah BLP organik diterapkan (pendekatan Before and After). Selain itu, untuk menganalisis produksi padi pasca penggunaan BLP Organik, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Fungsi Produksi. Dengan demikian, metode analisis yang akan digunakan dapat disajikan dalam Tabel 3.2..

Tabel 3.2. Permasalahan, Metode Analisis, dan Indikator Observasi Permasalahan Metode Analisis Indikator Observasi

Dampak Program

Respon petani Analisis persepsi terhadap pelaksanaan program BLP Organik dan prestasi kerja

Persepsi Positif Persepsi Negatif Saran-saran perbaikan

3.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani

Penerimaan usahatani adalah hasil kali antara produksi padi yang dihasilkan dengan harga jual padi tersebut. Pernyataan tersebut dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

TR = Y × Py (3.1.)

keterangan:

TR : penerimaan total (Total Revenue)

Y : produksi padi (Gabah Kering Panen / GKP) Py : harga padi (Rp.)

Pengeluaran usahatani adalah biaya atau pengorbanan yang dilakukan oleh petani dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Biaya yang dikeluarkan oleh petani digolongkan menjadi biaya tetap dan biaya tidak tetap (variabel).

Dalam penelitian ini, yang termasuk dalam biaya tetap adalah biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), biaya retribusi, dan biaya sewa lahan.

Sedangkan yang termasuk biaya tidak tetap adalah biaya pembelian benih, biaya upah tenaga kerja, biaya pupuk, biaya pestisida dan obat.

Biaya total adalah jumlah dari biaya tetap atau fixed cost (FC) dan biaya tidak tetap atau variable cost (VC). Persamaan biaya total adalah:

TC = FC + VC (3.3.)

keterangan:

TC : biaya total (total cost) FC : biaya tetap (fixed cost)

VC : biaya tidak tetap (variable cost)

Pendapatan usahatani (laba) merupakan selisih antara penerimaan dan biaya total. Pendapatan usahatani dapat ditunjukkan dengan persamaan,

Π = TR – TC (3.4.) keterangan:

Π : pendapatan usahatani (laba) TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost)

dengan ketentuan apabila Π bertanda positif maka usahatani mengalami keuntungan, namun apabila Π bertanda negatif maka usahatani mengalami kerugian.

3.4.2. Analisis Imbangan Biaya dan Manfaat

Untuk menganalisis efisiensi atau imbangan antara manfaat dan biaya, maka dibutuhkan analisis B/C Ratio (Benefit Cost Ratio). Menurut Soekartawi (1995), analisis B/C Ratio pada prinsipnya sama saja dengan R/C Ratio (Revenue Cost Ratio), hanya saja pada analisis B/C Ratio data yang diperhitungkan adalah besarnya manfaat (pendapatan / Π). Analisis ini tidak memiliki satuan khusus karena berupa rasio, dan dapat ditunjukkan dengan persamaan berikut:

B/C = (3.5a.)

keterangan:

B/C : Benefit Cost Ratio

TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost)

Kriteria keputusan yang digunakan untuk menilai hasi usaha analisis B/C dapat dibagi menjadi tiga bagian keputusan, yakni:

1) B/C ratio > 1, manfaat yang diperoleh usahatani lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan sehingga program usahatani layak dilakukan;

2) B/C ratio < 1, manfaat yang diperoleh usahatani lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan sehingga program usahatani tidak layak dilakukan;

3) B/C ratio = 1, usahatani mengalami impas (tidak untung maupun rugi).

R/C Ratio merupakan alat analisa untuk mengukur biaya dari suatu produksi. Pernyataan tersebut dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut:

R/C = (3.5b.)

Keterangan:

R/C : Revenue Cost Ratio

TR : total penerimaan (total revenue) TC : biaya total (total cost)

Kriteria keputusan yang digunakan untuk menilai hasi usaha analisis R/C dapat dibagi menjadi tiga bagian keputusan, yakni:

1) R/C ratio > 1, usahatani mengalami keuntungan sehingga program usahatani layak dilakukan;

2) R/C ratio < 1, usahatani mengalami kerugian sehingga program usahatani tidak layak dilakukan;

3) R/C ratio = 1, usahatani mengalami impas (tidak untung maupun rugi).

Dalam penelitian ini, penghitungan analisis usahatani akan dibedakan menjadi analisis usahatani atas dasar Biaya Tunai dan analisis usahatani atas dasar Biaya Total. Analisis usahatani atas dasar biaya tunai merupakan penghitungan pendapatan usahatani tanpa memperhitungkan biaya nonkomersial sedangkan analisis usahatani atas dasar total merupakan penghitungan pendapatan dengan ikut memperhitungkan biaya

nonkomersial (harga bantuan pupuk dan tenaga kerja dalam keluarga). Oleh karena itu, penghitungan nilai imbangan biaya dan manfaat masing-masing akan diperoleh baik atas dasar biaya tunai maupun atas dasar biaya total.

3.4.3. Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Model fungsi produksi yang umum digunakan dalam suatu penelitian adalah fungsi produksi Cobb-Douglas (fungsi eksponensial). Menurut Nicholson (1995), bentuk matematis dari fungsi Cobb-Douglas tersebut adalah:

Q =

ƒ

(K,L) = a Kb Lc eu (3.6.)

di mana a, b, dan c semuanya merupakan kosntanta penduga yang diestimasi dari data empiris: Q mewakili keluaran (output) untuk suatu barang tertentu selama satu periode; K mewakili penggunaan modal selama periode tersebut, L mewakili tenaga kerja, u adalah galat (error term, disturbance term), dan e adalah bilangan eksponen (e=2,718).

Fungsi produksi tersebut di atas dapat menunjukkan hasil berbanding skala (return to scale) dengan ketentuan: (1) apabila b+c=1 maka menunjukkan hasil berbanding skala konstan; (2) apabila b+c<1 maka menunjukkan hasil berbanding skala menurun; dan (3) apabila b+c>1 maka menunjukkan hasil berbanding skala meningkat.

Bentuk alternatif dari model fungsi produksi Cobb-Douglas dapat ditunjukkan dengan bentuk:

ln(Q) = ln(a) + b ln(K) + c ln(L) + u (3.7.)

Q* = a* + bK* + cL* + u (3.8.)

di mana:

Q* = ln(Q) a* = ln(a) K* = ln(K) L* = ln(L) u = galat

Persamaan hasil logaritma natural di atas dapat dibentuk menggunakan regresi linear berganda. Pada persamaan tersebut terlihat bahwa konstanta b dan konstanta c adalah tetap walaupun masukan yang terlibat telah berubah bentuk menjadi logaritma natural. Konstanta-konstanta dalam funsgi produksi Cobb-Douglas ini dapat sekaligus menunjukkan elastisitas masukan (input) terhadap keluaran (output).

Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas dilakukan dalam bentuk logaritma natural dan fungsinya diubah bentuk menjadi fungsi linear, maka terdapat persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menggunakan fungsi Cobb-Douglas, antara lain:

1) tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma natural dari nol adalah suatu bilangan yang tidak diketahui;

2) dalam fungsi produksi perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada tiap pengamatan (non neutral difference in the respective technologies);

3) peubah masukan (input variable) berada pada persaingan sempurna;

4) faktor-faktor lain yang tidak tercakup dalam model, seperti iklim diperhitungkan dalam galat (error term).

Dalam penelitian ini, fungsi produksi Cobb-Douglas yang akan dibuat

Fungsi produksi Cobb-Douglas dalam bentuk logaritma natural dapat dibentuk menggunakan metode regresi linear berganda. Menurut Juanda (2009), terdapat lima asumsi yang harus dipenuhi untuk memilih suatu model analisis regresi. Kelima asumsi tersebut adalah:

1. Spesifikasi model yang ditetapkan seperti persamaan:

Yi = β1 + β2X2i + β3X3i + … + βkXki + ui (3.10.) 2. Peubah Xk merupakan peubah non-stokastik (fixed), artinya sudah ditentukan,

bukan peubah acak. Selain itu, tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah Xk;

3. Komponen sisaan ui mempunyai nilai harapan sama dengan nol, dan ragam konstan untuk semua pengamatan i. E(ui)=0 dan Var(ui)=σ2;

4. Tidak ada hubungan atau tidak ada korelasi antar sisaan ui, sehingga Cov(ui,uj)=0 untuk setiap i≠j;

5. Komponen sisaan menyebar normal.

Menurut Dalil Gaus-Markov, jika kelima asumsi di atas dipenuhi, maka pendugaan parameter koefisien regresi menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) akan menghasilkan penduga tak bias linear terbaik (BLUE, Best Linear Unbiased Estimator). Penduga terbaik dalam pengertian ragamnya paling kecil (paling efisien) diantara semua penduga tak bias linear lainnya (Juanda, 2009).

3.6. Uji Kriteria Statistik

Tujuan pengujian kriteria statistik adalah untuk melihat korelasi antar variabel persamaan, yaitu dengan menggunakan uji-R2, uji-F, uji-t, dan Uji Pelanggaran Asumsi.

1. Uji-R2

Koefisien determinasi (R2) sering digunakan secara informal sebagai ukuran dari kecocokan (goodness of fit) model regresi walaupun untuk menentukan kebaikan dari kecocokan suatu model tidak hanya dilihat dari besar R2 saja.

Koefisien determinasi (R2) dapat diintepretasikan sebagai “proporsi total keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh model regresi X terhadap Y”. Jika nilai R2 besar, maka persentase peluang keragaman Y yang dapat diprediksi dari nilai X2, X3 hingga Xk semakin besar (Juanda,2009).

2. Uji-F dan Uji-t

Setelah model (fungsi produksi) dibentuk, lebih baik dilakukan analisis secara keseluruhan terlebih dahulu dengan menggunakan statistik uji-F melalui

analisis ragam (analysis of variance). Uji statistik ini digunakan untuk menguji apakah keragaman yang bersumber dari model regresi (σR2

) lebih besar dari keragaman sisaan (σu2). Jika keragaman regresi lebih besar daripada keragamaan sisaan (σR2

> σu2

) maka dapat disimpukan model regresi yang telah dibuat dapat menjelaskan keragaman Y. Untuk membuktikan hal tersebut, maka dilakukan pengujian hipotesis,

H0 : σR2 = σu2 (atau σR2 ≤ σu2) atau (βi = βj = 0)

H1 : σR2 > σu2 (atau σR2 / σu2 >1) atau (minimal ada satu β ≠ 0) dengan ketentuan:

jika F-statistik > Fα(dbr,dbu), maka terima H1 jika F- statistik < Fα(dbr,dbu), maka terima H0 di mana:

dbr : banyaknya peubah bebas X = (k-1) dbu : n-k

Jika model yang telah dibuat secara signifikan dapat menjelaskan keragaman Y dengan menggunakan statistik uji-F, maka dilanjutkan dengan pengujian masing-masing koefisien model dengan menggunakan statistik uji-t.

Uji-t digunakan untuk mencari faktor peubah mana (X2, X3, atau Xk) yang dapat menjelaskan atau berpengaruh nyata terhadap Y. Untuk membuktikan hal tersebut, maka akan dilakukan dengan uji hipotesis:

H0 : βi = 0 (faktor ke-i tidak berpengaruh nyata terhadap Y) H1 : βi ≠ 0 (faktor ke-i berpengaruh nyata terhadap Y) dengan ketentuan:

jika |t- statistik | > t(α,dbu) maka terima H1 jika |t- statistik | < t(α,dbu) maka terima H0

3. Uji Pelanggaran Asumsi

Tujuan pengujian pelanggaran asumsi adalah untuk memastikan bahwa model yang telah dibuat memenuhi asumsi BLUE. Uji ekonometrika tersebut dapat dilakukan dengan uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi (Juanda,2009).

a. Uji Multikolinearitas

Salah satu asumsi dari model regresi berganda adalah bahwa tidak ada hubungan linear antar peubah bebas dalam model tersebut. Multikolinearitas muncul jika dua atau lebih peubah (atau kombinasi peubah) bebas berkorelasi tinggi antara peubah satu dengan yang lainnya. Jika terjadi hal demikian, maka dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS masih mungkin dapat diperoleh, namun interpretasinya menjadi sulit. Hal ini dikarenakan, apabila terjadi perubahan dalam suatu peubah bebas yang berkolinearitas, maka pengamatan peubah lainnya yang berpasangan kemungkinan akan berubah juga sesuai dengan arah kolinearitasannya. Adanya multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat nilai VIF hasil uji statistika. Apabila nilai VIF pada tiap variabel yang diuji harus memiliki nilai kurang dari 10 (Gujarati, 2004).

b. Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (ui) sama atau homogen. Dengan pengertian lain E(ui2

)=Var(ui)=σ2, untuk setiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi. Asumsi ini disebut homoskedastisitas. Namun, jika ragam sisaan tidak sama atau lain

E(ui2

)=Var(ui)≠σ2, untuk setiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi, maka dikatakan ada masalah heteroskedastisitas.

Jika semua asumsi klasik dalam model regresi linear dipenuhi kecuali masalah heteroskedastisitas, maka akibatnya dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tetap tidak bias, dan masih konsisten, namun standar error-nya bias ke bawah (underestimate); sehingga penduga OLS tidak lagi efisien. Jika dugaan ragam koefiseian yang bias ini digunakan, maka statistik uji-t akan bias ke atas (overestimate) dan selang kepercayaan bagi parameter koefisien menjadi tidak benar.

Adanya gejala heteroskedastisitas dapa dilakukan dengan menggunakan Uji White dengan hipotesis H0 untuk homoskedastisitas dan H1 untuk heteroskedastisitas. Ketentuan yang digunakan adalah apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih besar daripada taraf nyata, maka terima H0. Namun apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih kecil daripada

Adanya gejala heteroskedastisitas dapa dilakukan dengan menggunakan Uji White dengan hipotesis H0 untuk homoskedastisitas dan H1 untuk heteroskedastisitas. Ketentuan yang digunakan adalah apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih besar daripada taraf nyata, maka terima H0. Namun apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih kecil daripada

Dokumen terkait