• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

B. Pengaturan Tindak Pidana Pajak dalam Undang-Undang

4. UU No.28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU

Sanksi tidak dilaksanakannya ketentuan perpajakan tidak hanya bersifat administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan tetapi juga dapat dikenakan sanksi pidana perpajakan tergantung jenis pelanggaran. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan (UU KUP) memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menerapkan sanksi perpajakan mulai dari sanksi yang ringan berupa administrasi sampai dengan sanksi yang lebih berat berupa sanksi pidana dimana sanksi pidana bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku sehingga peraturan perpajakan dapat diterapkan sesuai ketentuan.75

Pelanggaran atas ketentuan perpajakan yang tergolong perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak beserta sanksinya adalah sebagai berikut:

75

Rudi Suhartono dan Wirawan B.Ilyas, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP),

a. Kealpaan Bagi Wajib Pajak

Tindak pidana pajak yang termasuk kealpaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 UU No. 28 Tahun 2007 jo UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menentukan setiap orang yang karena kealpaannya:76

1) Tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau

2) Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar. Perbuatan kealpaan juga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A UU No. 28 Tahun 2007 jo UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun. Kealpaan yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak disengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.77

76

Pasal 38 UU No.28 Tahun 2007.

77

R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama,

b. Kesengajaan Bagi Wajib Pajak

Tindak pidana pajak yang termasuk perbuatan disengaja disebutkan dalam Pasal 39 UU No. 28 Tahun 2007 jo UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menentukan setiap orang dengan sengaja:78

1) Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP);

2) Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

3) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT);

4) Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;

5) Menolak untuk dilakukan pemeriksaan oleh Direktur Jenderal Pajak; 6) Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu

atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;

7) Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;

8) Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia;

9) Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara;

10) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak.

Kemudian perbuatan sengaja dari Wajib Pajak juga diatur dalam Pasal 39A UU No. 28 Tahun 2007 jo UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, bahwa setiap orang yang dengan sengaja:79

78

1) Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau

2) Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Secara hierarki, ketentuan hukum pidana diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Ketentuan hukum pidana umum berlaku secara umum sebagaimana termaktub dalam KUH Pidana, sedangkan hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai perbuatan yang khusus (bijzonder lijkfeiten).80 Hukum pidana dalam perspektif sistem hukum di Indonesia berada pada ruang lingkup hukum publik dan dibagi lagi menjadi hukum pidana materiil (materieel strafrecht) dan hukum pidana formal (formeel strafrecht atau

strafprocesrecht).81

Secara khusus kelemahan pengaturan dalam KUH Pidana tidak ada diatur mengenai pidana perpajakan karena ketentuan pidana yang bersifat umum berlaku secara umum. Ketentuan pidana yang bersifat khusus dituangkan dalam peraturan khusus pula seperti yang terdapat dalam UU KUP sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 103 KUH Pidana.

82 Dalam UU KUP dan UU Kepabeanan diatur tindak pidana perpajakan

meliputi:83

79

Pasal 39A UU No.28 Tahun 2007.

80

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Normatif, Teoretis, Praktik dan

Masalahnya), (Bandung: Alumni, 2007), hal. 1.

81

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), hal. 171.

Lihat juga: Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 5.

82

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal), (Bogor: Politeia, 1988), hal. 106.

83

1. Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau oleh badan yang diwakili orang tertentu (pengurus);

2. Perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana; 3. Perbuatan yang melawan hukum;

4. Perbuatan yang dilakukan di bidang perpajakan; dan

5. Perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi pendapatan Negara.

Misalnya perumusan tindak pidana pajak terdapat dalam Pasal 38 UU No.6 Tahun 1983 yang diubah melalui UU No.16 Tahun 2000 diubah lagi melalui UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ketentuan pidana perpajakan telah diubah perumusannya sebanyak dua kali setelah UU No.6 Tahun 1983 dikeluarkan.

Kealpaan bukanlah semata-mata menentang larangan yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dikatakan alpa karena pelakunya lalai atau teledor sehingga mengakibatkan hal yang dilarang atau dengan kata lain karena kekurang hati-hatian mengakibatkan hal yang dilarang terjadi.84 Kealpaan (culpa) terbagi dua: sengaja melakukan tindakan yang ternyata salah karena niat dan pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi tetapi tidak dicegahnya. Kealpaan tidak menghendaki akibat berbeda dengan kesalahan yang menghendaki akibat.85

Kealpaan tidak menghendaki akibat sehingga dengan demikian hukum pidana memberikan kesempatan dengan alasan pemaaf yang menurut hukum pidana alasan pemaaf adalah suatu alasan yang menghapuskan kesalahan dimana perbuatan yang dilakukan itu tetap dikatakan melawan hukum atau tetap merupakan tindak pidana tetapi dia tidak dipidana.86

84

Moeljatno, Op. cit, hal. 199.

85

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit, hal. 192-193.

86

Perbuatan kealpaan yang dimaafkan tidak diatur dalam Pasal 38 UU No.16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun pengaturannya ditemukan dalam Pasal 38 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan di atas menekankan Wajib Pajak tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang.

Menurut Mochamad Tjiptardjo, mengatakan bahwa dalam UU No.16 Tahun 2000 kealpaan yang pertama termasuk perbuatan pidana tetapi menurut UU No.28 Tahun 2007 kealpaan yang pertama mengalami depenalisasi atau dekriminalisasi

yaitu perbuatan yang tadinya termasuk perbuatan pidana menjadi bukan perbuatan pidana.87

Adanya alasan pemaaf yang terdapat dalam substansi Pasal 15 ayat (1) UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditegaskan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila

Wajib Pajak yang tidak dikenakan sanksi tersebut adalah Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

87

ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.88

Hukum pidana akan diterapkan terhadap pelaku tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara apabila jangka waktu 5 (lima) tahun telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.

Ketentuan ini mensyaratkan apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan baru kemudian diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Hal ini berarti undang-undang memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melunasi hutang pajaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

89

Ketentuan KUH Pidana yang bersifat umum seperti pemerasan, penyuapan, penggelapan, penipuan, paksaan, apabila tindak pidana tersebut dilakukan dalam bidang perpajakan, maka dikatakan bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana fiskal walaupun perumusannya tidak terdapat dalam perundang-undangan pajak. KUH Pidana tidak akan membiarkan adanya perbuatan pidana yang terlepas dari ketentuan KUH Pidana apalagi yang memiliki kaitan langsung dengan kepentingan negara yang dalam hal ini adalah masalah pajak.90

88

Pasal 15 ayat (1) UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

89

Pasal 15 ayat (4) UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

90

Terkait dengan perbuatan kealpaan dan kesengajaan, bahwa hukum pidana menganut salah satu asas pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan menentukan “asas tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld atau keine strafe ohne schuld atau no punishment without guilt) atau disebut juga sebagai asas

mens rea atau asas culpabilitas.91

Kesalahan (schuld) menurut hukum pidana mencakup kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan (dolus) merupakan bagian dari kesalahan. Kesalahan pelaku berkaitan dengan kejiwaan yang lebih erat kaitannya dengan suatu tindakan terlarang karena unsur penting dalam kesengajaan adalah adanya niat (mens rea) dari pelaku itu sendiri. Ancaman pidana karena kesalahan lebih berat dibandingkan dengan kelalaian atau kealpaan (culpa). Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindak pidana, yang padahal jika dilakukan dengan sengaja, maka hal itu merupakan suatu tindak pidana.

92

Sifat pertama dari kesengajaan menurut EY. Kanter dan SR. Sianturi, adalah

dolus malus, yakni dalam hal seseorang melakukan tindakan pidana tidak hanya seseorang itu menghendaki tindakannya, tetapi ia juga menginsyafi tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana; dan kedua: kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu (kleurloos begrip), yaitu dalam hal seseorang melakukan tindak pidana tertentu cukuplah jika atau hanya menghendaki tindakannya

91 Barda Nawawi Arief, “

Sistem Pemidanaan Dalam Ketentuan Umum Konsep RUU KUHP

2004”, Bahan Sosialisasi RUU KUHP 2004, diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM,

tanggal 23-24 Maret 2005, di Hotel Sahid Jakarta, hal. 13 dan hal. 18.

92

itu. Artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaannya (batin) dengan tindakannya tidak disyaratkan apakah ia menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.93

Dalam KUH Pidana, sengaja diartikan sebagai kemauan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Ada 2 (dua) teori yang berhubungan dengan kesengajaan yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan (teori membayangkan). Teori kehendak memandang bahwa sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang- undang. Sedangkan menurut paham teori pengetahuan (teori membayangkan) memandang bahwa sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan yang dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu tidak dibuat.

94

Selain kesalahan yang didasarkan pada unsur kesengajaan, unsur lain yang dipenuhi oleh pelaku agar dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana secara umum adalah unsur kelalaian atau kealpaan (culpa). Menurut hukum pidana umum, dikatakan lalai atau alpa harus memiliki karakteristik dengan sengaja melakukan sesuatu yang ternyata salah atau dengan kata lain bahwa pelakunya kurang kewaspadaan dalam melakukan sesuatu hal sehingga mengakibatkan penderitaan atau kematian pada orang lain. Dalam hal lalai atau alpa, pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi dari perbuatannya itu, tetapi ia merasa dapat

93

Ibid, hal. 171.

94

mencegahnya. Oleh sebab pelaku tidak mengurungkan niatnya untuk berbuat sesuatu itu, maka terhadapnya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena melakukan perbuatan melawan hukum.95

Kelalaian pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan kekurangan kebijaksanaan. Sehingga jika dipandang dari kealpaan yang disadari, ada kelalaian yang berat dan ada kelalaian yang ringan. Kealpaan yang disadari, pelaku dapat atau mampu membayangkan atau memperkirakan akibat yang ditimbulkan perbuatannya namun ketika melakukan tindakannya, tetap saja menimbulkan akibat fatal kepada orang lain walaupun sudah ada tindakan pencegahan dari pelaku. Kelalaian yang tidak disadari bilamana pelaku tidak dapat atau tidak mampu menyadari atau tidak memperkirakan akan timbulnya sesuatu akibat.96

Baik kesengajaan (dolus) maupun kelalaian atau kealpaan (culpa) menurut hukum pidana merupakan suatu perbuatan kesalahan. Oleh sebabnya, hukum pidana harus membuktikan kesalahan tersebut terlebih dahulu agar pelakunya dapat dipertanggungjawabkan. Kedua unsur kesalahan tersebut dianut dalam hukum pidana secara umum di Indonesia dan sampai saat ini masih tetap dipandang sebagai yang lebih baik.

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Walaupun

95

Ibid, hal. 192.

96

perbuatannya telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang jika tidak terdapat kesalahan, maka terhadapnya tidak dapat dijatuhkan pidana. Dengan kata lain hukum pidana secara umum berkaitan dengan tindak pidana umum (tipidum) harus ada kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) sebagaimana telah diuraikan di atas barulah seseorang atau suatu subjek hukum dimaksud dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Menurut hukum dikatakan salah karena melakukan pebuatan pidana atau tindak pidana. Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.97 Siapa saja yang dimaksud melakukan perbuatan pidana mencakup semua subjek hukum seperti setiap orang atau individu, badan hukum atau bukan badan hukum atau suatu korporasi. Simons, mengatakan perbuatan pidana merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja ataupun karena kelalaian dari subjek hukum yang dapat dipertangungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum.98

Perbuatan pidana dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif (positif) sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, seperti mencuri yang ditentukan dalam Pasal 362 KUH Pidana disebut delictum commissionis. Ada juga perbuatan pidana yang diwajibkan dengan kelakuan pasif (negatif) sesuai dengan uraian delik yang

97

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 54.

98

Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Cetakan I,

mensyaratkannya, misalnya pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan seperti yang ditentukan dalam Pasal 531 KUH Pidana disebut delictum omissionis. Contoh kelakuan pasif yang lain misalnya Pasal 341 KUH Pidana yang menentukan dimana seorang ibu yang menghilangkan nyawa anaknya dengan cara tidak memberinya makanan.

Dikatakan sebagai perbuatan pidana, unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah: terdapat kelakuan dan akibat dari perbuatan, hal atau keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang objektif, dan unsur melawan hukum yang subjektif.99

Perbuatan subjek hukum yang termasuk ke dalam unsur pokok objektif adalah perbuatan aktif (positif) dan perbuatan tidak aktif (perbuatan negatif). Akibat perbuatan dari subjek hukum tersebut dapat membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta benda, atau kehormatan. Keadaan-keadaan tersebut mencakup atas keadaan pada saat perbuatan dilakukan itu dilakukan dan keadaan setelah perbuatan dilakukan. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.100

Unsur pokok subjektif didasarkan pada kesalahan (sengaja atau lalai). Menurut pandangan ini, tidak ada hukuman tanpa kesalahan (geen straf zonder

99

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,Op. cit, hal. 63.

100

schuld). Baik kesengajaan karena sebagai maksud, sengaja sebagai kepastian, sengaja sebagai kemungkinan maupun kealpaan. Kesengajaan dan kelalaian sama-sama dapat dipidana, namun kelalaian atau kealpaan sebagai bentuk kesalahan lebih ringan sanksi pidananya dibandingkan dengan kesengajaan karena kelalaian atau kealpaan disebabkan karena tidak berhati-hatinya pelaku dan tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.101

Sifat melawan hukum sebagai suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat (subjektif). Dikatakan sebagai sifat melawan hukum secara formil apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis). Dikatakan sebagai sikap melawan hukum secara materiil disamping memenuhi syarat-syarat formil, perbuatan itu harus benar- benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela dan telah dilarang oleh hukum.

102

Menurut hukum pidana, dikenal 2 (dua) ajaran atau aliran dalam hal suatu subjek hukum dapat dijatuhi pidana atau hukum pidana didasarkan pada ajaran monisme dan ajaran dualisme. Ajaran monisme, memandang bahwa seorang yang telah melakukan perbuatan pidana sudah pasti dipidana tanpa harus melihat apakah subjek hukum itu mempunyai kesalahan atau tidak. Sedangkan ajaran dualisme,

101

Ibid.

102

memandang dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang, yang pertama kali dilakukan terlebih dahulu harus diselidiki apakah perbuatan yang telah dituduhkan itu telah memenuhi unsur-unsur rumusan delik. Apabila telah dipenuhi rumusan deliknya kemudian membuktikan apakah ada kesalahan atau tidak dan apakah pembuat itu mampu bertanggung jawab.103

c. Percobaan Bagi Wajib Pajak

Selain karena kealpaan dan kesengajaan sebagaimana di atas, kemudian tindak pidana pajak juga termasuk perbuatan percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2007 jo UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

103

A. Zainal Abidin, Asas Hukum dan Beberapa Pengupasan Tentang Delik-Delik Khusus,

d. Tindak Pidana Bagi Pejabat Pajak

Selain kriteria tindak pidana bagi Wajib Pajak di atas, terdapat pula tindak pidana bagi pejabat pajak. Pasal 34 ayat (1) UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menegaskan kewajiban setiap pejabat (pejabat pajak) dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Oleh karena larangan dalam Pasal 34 ayat (1) UU No.28 Tahun 2007, maka kriteria tindak pidana bagi pejabat pajak adalah pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Dokumen terkait