• Tidak ada hasil yang ditemukan

UUD Negara RI Tahun 1945 dan Keunggulannya a. Pengakuan Terhadap Negara Hukum

Dalam dokumen ADNAN BUYUNG NASUTION (Halaman 49-55)

IMPLIKASI AMANDEMEN KONSTITUSI TERHADAP SISTEM HUKUM NASIONAL

A. Mempertegas Supremasi Hukum

1. UUD Negara RI Tahun 1945 dan Keunggulannya a. Pengakuan Terhadap Negara Hukum

Konstitusi pada hakikatnya adalah endapan dari ide-ide agung suatu bangsa dan merupakan panduan menuju hari esok yang lebih baik. Di antara nilai-nilai agung dalam konstitusi itu adalah prinsip negara hukum. Meski demikian, penegasan mengenai negara hukum semata tidak serta merta menjamin terciptanya suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis serta terwujudnya keadilan.

Konstitusi Amerika Serikat yang dibuat pada tahun 1787 tidak mencantumkan prinsip negara hukum secara eksplisit. Konstitusi Perancis yang dikenal sebagai konstitusi Republik Kelima juga tidak menegaskan Perancis sebagai negara Hukum. Tetapi sejatinya kedua negara itu adalah negara hukum yang demokratis.

Sejarah ketatanegaraan Indonesia telah mencatat bahwa penegasan negara hukum sebenarnya telah dilakukan dalam UUD Sementara Tahun 1950. Pada Pasal 1, Ayat (1) UUDS 1950 dinyatakan: "Republik Indonesia yang berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan". Namun demikian, pada prakteknya negara hukum itu tidak dapat dihadirkan. Dengan demikian, prinsip negara hukum itu tidak lebih dari sekedar teks agung yang kerap dijadikan slogan penguasa, tanpa implementasi yang nyata.

Oleh karena itu, walaupun penegasan mengenai negara hukum secara eksplisit dalam UUD Negara RI Tahun 1945 Pasca Perubahan mesti dicatat sebagai suatu kemajuan yang sangat berarti, namun yang lebih utama adalah aktualisasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu saya tegaskan kembali bahwa hadirnya negara hukum tidak ditentukan semata-mata karena penegasannya pada konstitusi. Karakter negara

hukum lebih ditentukan oleh pembatasan kekuasaan negara; jaminan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia; Independensi peradilan; dan adanya due process of law.

b. Mahkamah Konstitusi

Konstitusionalime klasik memandang konstitusi sebagai desain organik atas kekuasaan negara. Aliran itu didasarkan pada perspektif Montesqieu yang sayangnya sering disalahmengerti oleh berbagai kalangan sebagai sebuah paradigma yang mengharuskan pemisahan kekuasaan secara rigid, yang mengambil contoh desain kekuasaan negara seperti dalam konstitusi Amerika Serikat.

Konstitusi Indonesia, khususnya UUD Negara RI Tahun 1945 pasca perubahan, jelas tidak mengikuti perspektif konstitusionalisme klasik. Selain melembagakan tiga organ utama Montesqieu di dalamnya, UUD Negara RI Tahun 1945 pasca perubahan juga melembagakan beberapa lembaga baru. Di antara lembaga baru itu adalah Mahkamah Konstitusi yang dibentuk untuk memastikan tegaknya prinsip-prinsip negara hukum demokratis.

Mesti diakui bahwa jangkauan kewenangan Mahkamah Konstitusi, masih cukup terbatas. Namun demikian, dalam keterbatasan itu, MK telah mampu secara efektif menjaga tegaknya prinsip-prinsip negara hukum. Kewenangan MK yang antara lain adalah penyelesaian sengketa pemilu; pemeriksaan terhadap tuduhan DPR terhadap Presiden atas tindak pidana berupa penghianatan negara, menerima suap, korupsi atau melakukan perbuatan tercela; merupakan cara penyelesaian persoalan bangsa yang sangat bermartabat. Penyelesaian model ini sesuai dengan prinsip due

process of law dalam negara hukum.

Kewenangan MK untuk melakukan review konstitusionalitas suatu Undang-Undang terhadap UUD adalah sebuah terobosan yang sangat penting. Lewat kewenangan itu MK dapat membatalkan Undang-Undang

yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Jika sebelumnya lembaga legislatif menjadi penafsir dan sekaligus penjabar tunggal dari nilai-nilai konstitusi, kini MK dapat menguji konstitusionalitas dari produk legislator yang sangat mungkin bias oleh berbagai kepentingan dan merugikan warga negara.

Ide mengenai Judicial Review sebenarnya telah mengemuka dalam rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Saat itu Mr. Yamin yang menyadari berbagai substansi diskriminatif dalam peraturan perundangan mengusulkan agar Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk melakukan Judicial Review.

Pada masa yang akan datang, patut dipertimbangkan untuk memberi kewenangan kepada MK untuk memeriksa dan mengadili constitutional

complaint. Hingga kini kewenangan itu tidak diberikan pada MK, padahal

apabila kita simak sejarah awal Judicial Review pada kasus Madison vs. Marburry di tahun 1801, sejatinya kewenangan Judicial Review itu berawal dari adanya constitutional complaint. Pemberian kewenangan pada MK untuk mengadili constitutional complaint diharapkan dapat meningkatkan jaminan perlindungan hak-hak warga negara.

c. Jaminan terhadap Hak Asasi Manusia

Sejarah panjang perkembangan negara hukum dan demokrasi adalah kisah mengenai upaya untuk mewujudkan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Magna Charta yang lahir setelah perjuangan panjang melawan absolutisme para raja, adalah keberhasilan upaya penghargaan terhadap eksistensi individu.

Di Indonesia, pada awal pembentukan republik, Bung Hatta dan Mr. Yamin adalah figur-figur utama yang begitu gigih memperjuangkan agar hak asasi manusia dimasukan ke dalam konstitusi. Akan tetapi, gagasan mulia kedua tokoh tersebut mendapat hadangan, terutama dari kubu Soepomo.

Walaupun demikian, berkat kegigihan Bung Hatta, berhasil dimasukkan Pasal 27 yang memberi pengakuan terhadap warga negara.

Perjuangan demi pengakuan Hak-Hak Asasi Manusia di dalam konstitusi sebenarnya mendapatkan titik terang ketika Dewan Konstituante merancang UUD yang baru untuk menggantikan UUD Sementara tahun 1950. Pada saat itu Dewan Konstitusi telah berhasil merumuskan serangkaian Hak Asasi Manusia. Namun sayang, lembaga itu pun akhirnya dibubarkan. Buah perdebatan dan pemikiran mereka digugurkan oleh tangan kekuasaan.

Kesadaran bangsa Indonesaia tentang perlunya jaminan konstitusional terhadap Hak-Hak Asasi Manusia mendapatkan momentumnya dalam proses perubahan UUD Negara RI 1945 yang dimulai sejak tahun 1999 hingga tahun 2002. MPR berhasil merumuskan sejumlah pasal hak asasi manusia dalam UUD Negara RI 1945.

Namun demikian, penempatan pasal-pasal Hak-Hak Asasi Manusia itu, atau sistematika dari konstitusi kita mesti disusun ulang. Pasal-pasal yang mengatur mengenai jaminan perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia semestinya diletakkan di bagian awal sebab secara konseptual warga merupakan pembentuk negara. Sejarah historis, pengakuan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia pula yang mendahului atau membuka pintu bagi terciptanya Republik, sebagaimana yang terjadi di Perancis pada tahun 1789, juga yang terjadi sebelumnya di Inggris pada tahun 1688 dan Amerika pada tahun 1776.

d. Check and Balances

Anggota MPR yang mengubah UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan perhatian besar pada pelembagaan prinsip-prinsip check and

balances ke dalam konstitusi. Hal ini sangatlah wajar karena pemahaman

perkembangannya banyak dipengaruhi oleh kurangnya kontrol terhadap kekuasaan dan tidak berjalannya sistem check and balances.

Presiden memang tidak lagi memegang kekuasaan membentuk Undang-undang, karena kekuasaan ini telah diletakkan atau dialihkan menjadi hak DPR. Tetapi DPR tidak dapat menggunakan kekuasaan ini tanpa keikutsertaan Presiden. Presiden dapat menolak untuk tidak ikut dalam pembahasan satu Undang-Undang yang diajukan atau diprakarsai pembentukannya oleh DPR.

Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dalam mengangkat duta besar; membuat perjanjian dengan negara lain; juga memegang kekuasaan untuk menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain. Namun kekuasaan Presiden itu harus melalui pertimbangan dan persetujuan dari DPR.

Perubahan-perubahan di atas di satu sisi hendak mengurangi kekuasaan eksekutif agar penyelewang sebagaimana yang terjadi di masa pemerintahan sebelumnya dapat diminimalisir. Namun demikian, yang terjadi adalah suatu kekacauan sistemik. Peran eksekutif menjadi sangat lemah dan terjadi pergeseran kekuasaan pada legislatif (legislative heavy) yang berpotensi eksesif.

Tidak hanya itu, juga terdapat kelemahan dalam konstruksi organ Legislatif. Konstruksi hukum atas status organ dari MPR, DPR, dan DPD seperti pada saat ini menunjukan bahwa bentuk organik kekuasaan legislatif Indonesia dapat disebut trikameral. Masalahnya bukan terletak pada penamaannya, melainkan pada skema dan sifat hubungan hukum antarfungsi dari ketiga organ tersebut. Fungsi legislasi DPD terbatas pada

“memberikan pertimbangan” kepada DPR, pada saat DPR membahas

sejumlah UU yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengawasan DPD kepada pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah pun masih harus disampaikan pada DPR. DPR leluasa untuk mengabaikan pertimbangan DPD. Dengan demikian, DPR

menjadi organ yang memonopoli kekuasaan legislatif dan DPD menjadi organ subordinasi dari DPR. Ketidakseimbangan ini melemahkan, sekaligus memperlihatkan kekacauan konstruksi mekanisme check and balances dalam internal organ pembentuk undang-undang. Ke depan, mekanisme

check and balances ini perlu ditinjau ulang dan dibenahi.

e. Sistem Pemerintahan

Menjelang dilakukannya perubahan UUD Negara RI Tahun 1945 telah disepakati untuk tetap mempertahankan dan bahkan memperkuat sistem presidensialisme. Alasan utama dari hal itu adalah ketakutan akan penerapan sistem parlementarisme yang dipercayai tidak akan mampu menghasilkan pemerintahan yang kuat dan stabil.

Mitos presidensialisme itu sedemikian kuat bahkan membutakan dari pertimbangan konseptual maupun praktis mengenai inkompatibilitas sistem pemerintahan Presidensial yang bersanding dengan sistem multipartai. Hal ini menjadi semakin parah ketika Presiden yang menang dalam pemilihan secara langsung ternyata tidak memiliki dukungan yang kuat di legislatif. Kenyataan itu terbukti menghambat penyelenggaraan pemerintahan sehingga menjadi semakin tidak efektif dan efisien. Padahal, sedari awal dipilihnya sistem presidensial adalah demi penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien.

Oleh karena itu, jika sistem multipartai tetap tidak bisa disederhanakan secara alamiah, maka perlu dipikirkan adanya suatu terobosan/penyesuaian dalam hal sistem pemerintahan. Model semi presidensial sebagaimana halnya di Prancis, yang terdiri dari Presiden dan Perdana Menteri dapat menjadi suatu alternatif.

Harus diakui bahwa UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah diubah oleh MPR sebanyak empat kali secara berturut-turut sejak tahun 1999-2002, jauh lebih baik dibandingkan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 Asli. Walaupun

demikian, harus diakui bahwa terdapat beberapa kelemahan yang dimasa datang memerlukan penyempurnaan.

Salah satu kelemahan yang tidak kalah pentingnya, adalah kekacauan konstruksi pengorganisasian kedudukan DPD, yang kewenangannya begitu terbatas, sehingga memunculkan kesan seolah-olah lembaga ini sebagai subordinat DPR. Oleh karena itu penyempurnaan UUD Negara RI Tahun 1945 ke depan salah satunya adalah untuk memberdayakan lembaga DPD.

Namun demikian, pemberdayaan DPD semestinya tidak menjadi satu-satunya agenda dari perubahan UUD Negara RI Tahun 1945 yang Kelima. Perubahan konstitusi harus dilakukan secara komprehensif, tidak dilakukan secara tambal sulam. Meminjam istilah Prof Sadjipto Rahardjo, kita harus menciptakan suatu "konstitusi yang visioner", yang dapat menjawab problem-problem bangsa dan negara ini di masa kini dan masa yang akan datang.

Dalam dokumen ADNAN BUYUNG NASUTION (Halaman 49-55)