• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. LANDASAN TEORI MENGENAI EFISIENSI BIAYA

2.4. Value Engineering

Bagian ini terdiri dari sejarah munculnya value engineering (VE), defenisi tentang VE, defenisi nilai, tahapan-tahapan dalam melakukan VE, serta perkembangan VE di Indonesia.

2.4.1.Sejarah dan Filosofi VE

Value Enineering (VE) dikembangkan pertama kali oleh Lawrence D. Miles pada ahun 1940-an di perusahaan General Electric, guna menyelesaikan masalah kurangnya material penting dari produk yang akan mereka produksi selama perang dunia kedua. Pada awalnya, VE bernama analisis nilai (Value Analysis/ VA) dengan pondasi kunci adalah fungsi. Pada mulanya fungsi ini mengkaji setiap komponen bagian dari perubahan/ bagian dari produk eksistin. Pada perkembangannya, metode analisis ini mengalami perubahan konteks, yaitu dari pengkajian terhadap bagian produk eksisting ke peningkatan rancangan konsep, oleh karena itu nama value engineering (VE) muncul sebagai bentuk penyesuaian terhadap perubahan konteks tersebut (Priyanto, 2010). Selama perkembangannya banyak pengetahuan dan inovasi yang dihasilkan oleh para praktisi VE. Guna berbagai pengetahuan dan inovasi, pada tahun 1959, para praktisi membentuk asosiasi pembelajaran di Washington, DC dengan nama „Society of American Value Engineers (SAVE)‟ (Priyanto, 2010). Dalam waktu yang relatif singkat, metode ini telah tersebar luas diseluruh dunia dan banyak tools, teknik, dan proses

lain yang dikembangkan dalam metode ini. Untuk menarik para pengembang dan praktisi dari tools, teknik dan proses lain menjadi anggota SAVE, maka pada tahun 1996, nama asosiasi ini diubah menjadi „SAVE International.

Dalam uraian singkat mengenai perkembangan VE yang dimuat dalam buku standar SAVE International (2007), tersirat adanya filosofi VE yang memberi kemudahan bagi upaya memahami konsep VE. Filosofi VE tersebut adalh menyediakan cara pengelolaan nilai (value) dan upaya peningkatan inovasi yang sistematik guna memberikan keunggulan daya asing bagi sebuah produk yang akan dirakit, karena produk-produk dibeli untuk apa yang dapat mereka lakukan (fungsi dari produk), baik melalui pekerjaan yang mereka dapat lakukan atau kualitas estetika yang mereka sediakan. Untuk dapat fokus pada pemahaman fungsi, maka fungsi di definisikan dengan menggunakan gabungan kata aktif (active verb) dan kata benda yang diukur (measure noun) yang dapat memberikan karakteristik manfaat dari fungsi yang dimaksud. Oleh karena itu, metode ini menempatkan analisis fungsi sebagai pondasi kunci. Analisis fungsi terus dikembangkan dan menjadi tool untuk membantu individu dan tim memahami sebuah konsep melaui fungsi-fungsinya guna memutuskan apakah desain dapat ditingkatkan atau diadakan material atau konsep lain yang dapat memenuhi fungsi tersebut.

2.4.2.Defenisi dan Konsep Nilai (Value)

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa nilai (value) merupakan sesuatu yang dikelola dalam pengelolaan nilai. Nilai (value) dari sebuah subyek tidak dapat digeneralisir dan tidak dapat dideefinisikan secara

akurat karena nilai merupakan fungsi waktu, orang, subyek dan kondisi. Menurut Snogdgrass dan Kasi (1986), sebuah nilai tidak bisa ditetapkan hanya dengan mempertimbangkan subyek itu sendiri, oleh karena itu tim harus menetapkan terlebih dahulu alat ukur nilai (value). Masing-masing komponen seharusnya diukur kinerjanya dengan alat ukur ini.

2.4.3.Defenisi VE

Defenisi VE perlu dipahami untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai VE. Defenisi VE tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Value Engineering (VE) adalah aplikasi metodologi nilai (value methodology) pada sebuah proyek atau layan yang telah direncanakan atau dikonsepkan untuk mencapai peningkatan nilai (value). Metodologi nilai adalah sebuah proses sistematis yang digunakan oleh disiplin untuk meningkatkan nilai (value) dari sebuah proyek melalui analisa terhadap fungsi-fungsinya. (standar SAVE, 2007).

2. Value Engineering (VE) adalah sebuah upaya terorganisir diarahkan pada analisa fungsi-fungsi dari sistem, perlengkapan, fasilitas, jasa layanan dan jasa penyediaan untuk mencapai tujuan significan pada siklus hidup (life-cycle cost) yang paling rendah, konsisten dengan persyaratan kinerja (perfomance), kepercayaan (reliability), mutu (quality) dan keamanan (safety) (PBS-PQ250. 1992, PBS-PQ251, 1993).

3. Value Engineering (VE) adalah suatu sistem pemecahan masalah yang dilaksanakan dengan menggunakan kumpulan teknik tertentu, ilmu

untuk mendefinisikan dan menghilangkan biaya-biaya yang tidak diperlukan seperti biaya yang tidak memberikan konstribusi bagi mutu, kegunaan, umur dan penampilan produk serta daya tarik konsumen (Miles, 1972).

2.4.4.Alasan – Alasan Untuk Unnecessary Cost

Pelaksanaan proyek konstruksi sering terjadi overbuget, hal ini terjadi karena adanya biaya-biaya yang tidak perlu (Unnecessery Cost).

Dell‟ Isola (1997) menguraikan mengenai alasan-alasan biaya yang tidak perlu antara lain (p.xxii) :

1. Kurangnya informasi,

Data yang tidak cukup mengenai fungsi owner/ pengguna inginkan/ butuhkan dan informasi material baru, produk, yang dapat mempertemukan kebutuhan ini.

2. Kekurangan ide,

Kegagalan untuk mengembangkan solusi aternatif, dibeberapa kasus, pembuat keputusan menerima solusi pertama yang terlintas dipikirannya. Kecenderungan ini selalu mendatangkan unnecessery cost, yang dapat dieliminasi dengan menuntut keputusan yang didasarkan pada ekonomi dan prestasi.

3. Keadaan sementar,

Desain, jadwal dan pengiriman yang mendesak dapat memaksa pembuat keputusan mencapai kesimpulan cepat untuk memenuhi persyaratan waktu tanpa memperhatikan nilai yang baik.

Uncessery cost juga sering disebabkan oleh keputusan yang didasarkan pada apa yang pembuat keputusan percaya sebagai keputusan yang benar, daripada mempertimbangkan pada kondisi nyata. Hal ini dapat menghalangi ide bagus.

5. Kebiasaan dan perilaku,

Manusia menciptakan kebiasaan. Sebuah kebiasaan adalah bentuk dari respon, melakukan hal yang sama, cara yang sama, pada kondisi yang sama. Kebiasaan adalah reaksi dan respon yang orang pelajari secara otomatis, tanpa berpikir atau memutuskan. Kebiasaan adalah bagian yang penting dari kehidupan, tetapi ada satu hal yang harus dipertanyakan, “Apakah saya melakukan cara ini karena ini adalah cara yang terbaik, karena saya merasa nyaman dengan metode ini, atau karena saya selalu melakukan cara ini!” 6. Perubahan kebutuhan owner,

Sering, kebutuhan baru owner memaksa perubahan selama desain atau konstruksi yang meningkatkan biaya dan merubah jadwal. Pada banyak kasus owner tidak mempertimbangkan dampak dari perusahaan ini.

7. Kurangnya komunikasi dan koordinasi,

Kurangnya komunikasi dan informasi adalah alasan utama untuk unnecessery cost. VE membuka saluran komunikasi bahwa alat diskusi persoalan dan mengijinkan mengepresikan pendapat.

8. Standar dan spesifikasi yang kuno,

Beberapa standar dan spefikasi yang digunakan dalam konstruksi berumur kurang dari sepuluh tahun. Sebagai teknologi yang baru, pembaharuan berkelanjutan terhadap data diperlukan, tetapi ini sering kali tidak sempurna.

VE membantu untuk mengisolasi dan fokus pada teknologi dan standar baru dimana biaya tinggi dan nilai jelek mungkin terjadi.

Setiap alasan untuk nilai jelek ini menyediakan sebuah kesempatan untuk memperbaiki keputusan yang dibuat dan sebuah area dimana upaya value engineering adalah tindakan yang tepat.

2.4.5.Elemen – Elemen penting Dalam VE

Elemen-elemen VE ini digunakan untuk membantu dalam analisis VE, elemen ini terdiri dari :

1. Pemilihan komponen proyek untuk studi VE 2. Pembiayaan untuk nilai

3. Pemodelan biaya 4. Pendekaan fungsional

5. Teknik sistem analisa fungsi (Functional Analysis System Technique – FAST)

6. Rencana kerja VE 7. Kreativitas

8. Penentuan dan pembiayaan program VE 9. Kedinamisan manusia, dan

10.Pengaturan hubungan antara pemilik, perancang dan konsultan VE

Setiap elemen tersebut diatas harus digunakan dalam studi VE untuk sebuah proyek.

2.4.6.Perkembangan Value Engineering Di Indonesia

Value engineering (VE) mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1986 oleh bapak DR. Ir. Suriana Chandra melaui seminar-seminar diberbagai kota. Pada tahun itu juga, metode ini digunakan pada Proyek Pembangunan Jalan Layang Cawang. Selanjutnya pada tahun 1987, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Departemen Keuangan, dan Direktorat Jenderal Cipta Karya mengajukan pemakaian VE di Indonesia untuk seluruh pembangunan rumah dinas dan gedung negara di atas satu milyar rupiah.

Periode sejak berikutnya tahun 1990-an sampai awal tahun 2003, perkembangan VE di Indonesia tidak banyak diketahui. Jika ditinjau dari regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan konstruksi pada periode tersebut adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Perumahan Dan Pemukiman Nomor 24 tahun 1992;

2. Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999;

3. Undang-Undang Tentang Bangunan Gedung Nomor 28 tahun 2002; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 28, 29, 30 tahun 2000;

5. Keputusan Menteri (Kepmen) Pemukiman dan Prasarana Wilayah

(Kimpraswi) Nomor 332/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis

Pembangunan Gedung Negara.

Maka tampaknya anjuran Bappenas tahun 1987 untuk menerapkan value engineering pada pembangunan rumah dinas dan gedung negara, tidak dilanjuti dengan penyusunan regulasi yang lebih tinggi tingkatan hukumnya, karena tidak ada satu klausaul pada regulasi periode tersebut yang menyinggung mengenai

penerapan VE. Bbeberapa praktisi memperkirakan bahwa perkembangan VE pada periode ini telah terhenti.

Pada periode berikutnya mulai tahun 2003 sejak dikeluarkannya Kepres 80 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah sampai awal tahun 2007, VE di Indonesia masih belum menunjukkan tanda-tanda perkembangan yang berarti. Pada periode ini kewajiban menerapkan Kepres 80 dianggap menghambat perkembangan penerapan VE khususnya pada proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah. Kepres 80, disatu sisi menyatakan bahwa pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyediaan jasa dan barang harus menghindari terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan, disisi lain tidak menyediakan ruang bagi penyedia untuk berkreasi mengupayakan penghematan dengan metode-metode dan inovasi-inovasi baru yang lebih baik.

Value engineering yang dalam aplikasinya memerlukan keleluasaan untuk berkreasi dan inovasi terhadap desain awal seringkali tidak terakomodasi atau tidak dipahami oleh owner (panitian pengadaan) dan aparat penegak hukum. Keterlambatan pemahaman aparat penegak hukum terkait dengan pelaksanaan konstruksi menyebabkan mereka berpegang pada aturan-aturan kaku yang sebenarnya masih harus disempurnakan. Hal ini menyebabkan value engineering masih jarang digunakan di Indonesia.

2.4.7.Value Engineering Pada Rancang Bangun Konstruksi

Dari tahun ke tahun, industri konstruksi di Indonesia terus mengalami perkembangan yang signifikan. Dalam pembangunan suatu proyek konstruksi pengendalian biaya proyek merupakan hal yang penting dalam proses pengelolaan

biaya proyek. dalam kegiatan suatu proyek akan banyak didapati masalah seperti panggunaan material yang boros, tenaga kerja yang kurang terampil dan waktu penyelesaian proyek yang tidak tepat waktu sehingga menyebalkan pemborosan biaya yang tidak sesuai perencanaan.

Dalam manajemen rekayasa konstruksi (MRK) terdapat suatu disiplin ilmu teknil listrik yang digunakan untuk mengefisiensikan biaya. Ilmu tersebut dikenal dengan nama Rekayasa Nilai (Value Enginering). Rekayasa Nilai (Value engineering) adalah suatu cara pendekatan yang kreatif dan terencana dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan mengefisiensikan biaya-biaya yang tidak perlu.

Dokumen terkait