• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian

D. Operasional Variabel

1. Variabel Dependen (Y)

Variabel dependen sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010: 4).

Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu risiko sistematik. Risiko sisitematik dalam penelitian ini bisa dilambangkan dengan beta saham (β).

Beta saham dihitung dengan menggunakan Model indeks tunggal (Single Index Model). Persamaan regresi yang digunakan untuk mendapatkan koefisien regresi return saham terhadap return pasar (Jogiyanto, 2003) adalah sebagai berikut :

Dimana:

Rit = return saham perusahaan i pada periode ke t

αi = intersep dari regresi untuk masing-masing perusahaan i βit = beta untuk masing-masing perusahaan i

Rmt = return indeks pasar pada periode t

e = kesalahan residu untuk persamaan regresi perusahaan i pada periode ke t.

Model ini berasumsi bahwa return saham berkorelasi dengan perubahan

return pasar, dan untuk mengukur korelasi tersebut bisa dilakukan dengan menghubungkan return saham individual (Rit) dengan return indeks pasar (Rmt). Tingkat return saham ini dihitung dengan rumus berikut:

Di mana:

Rt = Return saham pada akhir bulan ke t

Pt = Clossing price pada akhir bulan ke t

Pt-1 = Clossing price pada akhir bulan sebelumnya (t-1)

Risiko sistematis sebagai bagian dari risiko pasar sangat tergantung pada investor dalam mendefinisikan kondisi pasar dan ini berpengaruh

R

it

= αi + β

it

R

mt

+ e

Ri

t

=

(P

t

– P

t-1

)

P

t-1

dalam perubahan harga saham yang umumnya dikaitkan dengan perubahan dalam pengharapan investor terhadap prospek perusahaan.

Untuk menghitung return pasar (market return) pada periode ke-t sebagai berikut:

Dimana:

Rmt = Return pasar pada akhir bulan ke t

Pmt = Clossing price pasar pada akhir bulan ke t

Pmt-1 = Clossing price pasarpada akhir bulan sebelumnya (t-1)

Sehingga dapat disimpulkan rumus mencari beta dengan metode indeks tunggal adalah sebagai berikut:

Dimana:

β = Beta

n = Periode / Jumlah data

Rmt = Return Pasar

Rit = Return Sekuritas

R

mt

= P

mt

– P

mt-1

P

mt-1

β = [n. Σ(R

mt

. R

it

)] – (ΣR

mt

. ΣR

it

)

[n. Σ(R

mt2

)] – (ΣR

mt

)

2

% Perubahan Sales 2. Variabel Independen

Variabel independen sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (Sugiyono, 2010: 4).

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Operating Leverage (X1)

Operating leverage merupakan penggunaan aktiva dimana untuk penggunaan tersebut perusahaan harus menutup biaya tetap. Untuk mengukur operating leverage digunakan degree of operating leverage

(DOL). Degree of operating leverage (DOL) merupakan perubahan persentase dalam laba operasional perusahaan (EBIT) akibat adanya perubahan satu persen dalam penjualan (Ahmad Rodoni dam Herni Ali, 2010).

b) Financial Leverage (X2)

Financial leverage adalah penggunaan modal pinjaman disamping modal sendiri dan untuk itu perusahaan harus membayar beban tetap berupa bunga. Untuk mengukur financial leverage digunakan degree of financial leverage (DFL). Degree of financial leverage (DFL) merupakan persentase perubahan EPS perusahaan dihubungkan dengan besarnya

DOL =

% Perubahan EBIT

persentase perubahan laba operasional (EBIT) (Ahmad Rodoni dam Herni Ali, 2010).

c) Compound Leverage (Leverage Total) (X3)

Compound leverage (Leverage total atau leverage gabungan) dapat dilambangkan dengan degree of compoun leverage (DCL). Degree of compoun leverage (DCL) merupakan pengaruh perubahan penjualan terhadap perubahan laba setelah pajak ataupun pendapatan per lembar saham (EPS). Leverage gabungan terjadi apabila perusahaan memiliki baik operating leverage maupun financial leverage dalam usahanya untuk meningkatkan keuntungan bagi pemegang saham biasa (Ahmad Rodoni dam Herni Ali, 2010).

E. Metode Analisis Data 1. Uji Asumsi Klasik

Untuk mengetahui apakah model yang digunakan dalam regresi benar-benar menunjukkan hubungan yang signifikan dan representatif, maka model yang digunakan tersebut harus memenuhi uji asumsi klasik regresi. Berikut ini merupakan pengujian asumsi klasik, yaitu :

DFL =

% Perubahan EPS % Perubahan EBIT

DCL = DOL x DFL

a) Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan mengetahui apakah model regresi memenuhi asumsi normalitas yang dilakukan dengan melihat penyebaran data atau titik pada sumbu diagonal dari grafik pengujian normalitas (Normal Probability Plot). Apabila data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas (Ghozali, 2006).

Uji normalitas data dapat juga menggunakan uji kolmogorov-smirnov untuk mengetahui signifikansi data yang terdistribusi normal. Dengan pedoman pengambilan keputusan :

1) Nilai sig atau signifikansi atau nilai probabilitas < 0,05, distribusi adalah tidak normal.

2) Nilai sig atau signifikansi atau nilai probabilitas > 0,05, distribusi adalah normal (Ghozali, 2006).

Maka untuk mendeteksi normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov Test (K-S) dilakukan dengan membuat hipotesis :

Ho : data residual berdistribusi normal Ha : data residual tidak berdistribusi normal

1) Apabila probabilitas nilai Z uji K-S signifikan secara statistik maka Ho ditolak, yang berarti data tersebut terdistribusi tidak normal.

2) Apabila probabilitas nilai Z uji K-S tidak signifikan secara statistik maka Ho diterima, yang berarti data tersebut terdistribusi normal.

b) Uji Heteroskedastisitas

Menurut Imam Ghozali (2006) uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas.

Cara menguji ada tidaknya heteroskedastisitas, yaitu dengan menggunakan analisis grafik scatterplot. Pengujian scatterplot, model regresi yang tidak terjadi heteroskedastisitas harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1) Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.

2) Jika tidak ada pola yang jelas serta titik-titik menyebar diatas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

Uji heteroskedastisitas dapat juga menggunakan uji Glejser untuk mengetahui apakah sebuah model regresi memiliki indikasi

heteroskedastisitas dengan cara meregresi absolut residual (UbsUt). Dengan pedoman pengambilan keputusan (Ghazali, 2011):

1) Nilai sig atau signifikansi atau nilai probabilitas < 0,05, tejadi masalah heteroskedastisitas.

2) Nilai sig atau signifikansi atau nilai probabilitas > 0,05, tidak terjadi masalah heteroskedastisitas(Ghozali, 2011).

c) Uji Multikolinieritas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antar variabel bebas dalam model regresi. Dasar pengambilan keputusannya adalah apabila nilai VIF (Variance Inflation Factor)

disekitar angka satu. Nilai tolerance mendekati satu, daan korelasi antar variabel adalah lemah (dibawah 0,5), maka dalam model regresi tidak terdapat masalah multikolinearritas (Ghozali, 2006).

Pengujian multikolinearitas dilakukan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel bebas

(independent). Menganalisis nilai tolerance dan variance inflation factor

(VIF) yang sifatnya saling berlawanan. Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Nilai cutoff yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolonieritas adalah nilai tolerance <0.10 atau sama dengan nilai VIF > 10 (Ghozali, 2006).

d) Uji Autokorelasi

Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada korelasi antar kesalahan pengganggu pada periode t dengan periode t-1 (sebelumnya). Model regresi yang baik adalah yang bebas dari autokorelasi. Cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi adalah dengan uji Durbin Watson (DW). Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi (Ghozali, 2006) :

1) Bahwa nilai DW terletak diantara batas atas atau upper bound

(du) dan (4-du), maka koefisien autokorelasi sama dengan nol berarti tidak ada autokorelasi positif.

2) Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah atau lower bound (dl), maka koefisien autokorelasi lebih besar dari nol berarti ada autokorelasi positif.

3) Bila nilai DW lebih besar daripada batas bawah atau lower bound

(4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil dari nol berarti ada autokorelasi negatif.

4) Bila nilai DW terletak antara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.

Tabel 3.2

Keputusan Ada Tidaknya Autokorelasi Hipotesis nol Keputusan Jika Tidak ada autokorelasi

positif

Tolak 0 < dw < dl Tidak ada autokorelasi

positif

Tidak dapat disimpulkan

dl ≤ dw ≤ du

Tidak ada korelasi negative

Tolak 4-dl < dw < 4 Tidak ada korelasi

negative

Tidak dapat disimpulkan

4-du ≤ dw ≤ 4-dl Tidak ada autokorelasi Tidak ditolak du ≤ dw ≤ 4-du Sumber : Ghozali, 2006

Jika nilai Durbin-Watson tidak dapat memberikan kesimpulan apakah data yang digunakan terbebas dari autokorelasi atau tidak, maka perlu dilakukan Run-Test. Pengambilan keputusan didasarkan pada acak atau tidaknya data, apabila bersifat acak maka dapat diambil kesimpulan bahwa data tidak terkena autokorelasi.

Menurut Ghozali (2006) acak atau tidaknya data didasarkan pada batasan sebagai berikut :

1) Apabila nilai probabilitas ≥ α = 0,05 maka observasi terjadi secar

acak.

2) Apabila nilai probabilitas ≤ α = 0,05 maka observasi terjadi secara

tidak acak.

Dokumen terkait