• Tidak ada hasil yang ditemukan

VARIABEL KATEGORI FREKUENSI SKOR RANGE KORELASI PARSIAL

HASIL DAN PEMBAHASAN

VARIABEL KATEGORI FREKUENSI SKOR RANGE KORELASI PARSIAL

2. Berdasar atas nilai korelasi parsial dengan selang kepercayaan 99% produktivitas lahan pertanian padi sawah tidak mempunyai hubungan yang nyata dengan Indeks Penanaman (IP), namun jika selang kepercayaan diturunkan menjadi 95 % diperoleh batas nilai absolut (r) = 0,2558 maka produktivitas lahan pertanian padi sawah mempunyai hubungan dengan Indeks Penanaman (IP). Hal ini menunjukkan bahwa keterkaitan hubungan antara produktivitas dengan IP tidak terlalu nyata. Sedangkan dari nilai Skor kategori diperlihatkan bahwa produktivitas hanya mempunyai hubungan yang selaras pada lahan yang mempunyai IP > 250. Sedangkan pada lahan dengan IP < 250 mempunyai hubungan yang tidak selaras (terbalik) untuk menggambarkan produktivitas. Hal ini berarti bahwa IP kurang dapat untuk menggambarkan produktivitas lahan padi sawah.

3. Kelas kesesuaian lahan yang merupakan parameter sesuai secara fisik mempunyai hubungan yang tidak selaras dengan produktivitas. Hal ini sangat dimungkinkan karena wilayah penelitian sebagian besar mempunyai kelas kesesuaian lahan hampir seragam (S2), dimana faktor pembatasnya umumnya berupa media perakaran (r), retensi hara (f) dan hara tersedia (n). Semasa faktor pembatasnya ini dapat dipenuhi maka secara potensial lahan di daerah ini mempunyai kesesuaian lahan yang relatif sama, yang membedakan hanyalah Sistem Usaha Tani dalam mengoptimalkan dalam produktivitas lahan. Dengan adanya kesesuaian lahan yang seragam ini maka pengaruh kesesuaian lahan pada produktivitas pada penelitian ini tidak dapat dilihat. Dengan demikian faktor kesesuaian lahan pada wilayah penelitian ini tidak dapat digunakan untuk melihat pengaruhnya terhadap produktivitas.

4. Sistem irigasi mempunyai hubungan nyata dengan produktivitas pada lahan sawah beririgasi sederhana (tadah hujan). Dimana justru lahan sawah dengan irigasi sederhana umumnya mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan irigasi teknis. Perlu diingat bahwa pada wilayah penelitian mempunyai sistem irigasi yang sudah bagus dan mapan. Sebenarnya pada sawah beririgasi teknis ketersediaan air cenderung melimpah. Pada sawah irigasi sederhana (tadah hujan) penggunaan air irigasinya hanya sesuai kebutuhan (sangat optimal), selain itu pola tanam pada lahan ini umumnya

berpola Padi-Padi-Bera atau Padi-Padi-Palawija, pada kondisi demikian akan memberikan kesempatan terjadinya konservasi tanah dan air. Tanah akan mempunyai unsur hara dan bahan organik yang terpelihara, PH tanah terjaga, tidak terjadi akumulasi senyawa tertentu pada perakaran yang merugikan tanaman, tidak terjadi kejenuhan tanah oleh air dan pemanfaatan sumberdaya air lebih efisien.

5. Kelas dan fungsi jalan mempunyai hubungan yang selaras dengan produktivitas yaitu pada kategori jalan lainnya (jalan lahan usaha tani) dan jalan arteri. Dengan dipenuhinya jalan asses utama (arteri) dan adanya jalan lahan usaha tani akan mendorong produktifitas lahan padi sawah. Justru dengan pembukaan asses jalan lainnya (kolektor dan lingkungan) akan dimungkinkan adanya fragmentasi lahan atau backwash effect.

6. Produktivitas mempunyai hubungan nyata dengan Luasan Kesatuan Hamparan Lahan (LKHL) pada luasan agak luas (20 -50 ha) dan sedang hingga sempit (10-20 ha), sedangkan pada LKHL > 50 ha justru mempunyai hubungan yang terbalik dengan produktivitas, artinya semakin luas LKHL maka semakin rendah produktivitasnya. Hal ini bisa dimungkinkan karena pada lahan yang sangat luas akan rawan adanya hama, rawan kelangsungan ketersediaan air terutama dalam masa awal tanam atau masa produksi.

7. Arahan Kebijakan Pemerintah daerah lewat RTRWK untuk lahan pertanian dan pengembangan kota kecamatan mempunyai hubungan nyata dengan produktivitas. Hal ini berarti dukungan pemerintah daerah dalam arahan untuk lahan pertanian akan dapat memacu produktivitas lahan pertanian padi sawah. Namun untuk arahan berupa non pertanian (permukiman, zona industri, dan lain-lain) memperburuk produktivitas lahan pertanian padi sawah.

Dari uraian di atas dapat ditarik suatu simpulan bahwa produktivitas lahan pertanian padi sawah tinggi jika mempunyai BCR > 2, sistem irigasi tadah hujan (optimal), didukung dengan jalan lahan usaha tani dan arteri, luasan kesatuan hamparan lahan 10 - 50 ha dan mempunyai arahan RTRWK sebagai lahan pertanian (basah dan kering) dan sebagai pengembangan kota kecamatan.

Korelasi Antar Parameter

Keterkaitan antar variabel diketahui dari matriks korelasi antar variabel hasil analisis Hayashi. Korelasi ini digunakan untuk mengukur taraf nyata masing- masing variabel (parameter). Dari analisis ini diperoleh matrik korelasi sebagai berikut :

Tabel 17. Matriks Korelasi antar Variabel yang telah Dikwalifikasi

Dari informasi tabel ini dapat digambarkan skala kuantitatif struktur hubungan antar variabel sebagai berikut bahwa :

1. Produktivitas mempunyai korelasi positif terhadap semua variabel, namun mempunyai hubungan yang nyata terhadap Sistem Irigasi, Luasan Kesatuan Hamparan Lahan (LKHL) dan BCR. Hal ini mempunyai arti bahwa dengan sistem irigasi yang baik akan mendapatkan produktivitas yang tinggi, sebaliknya jika sistem irigasinya buruk akan memperoleh produktivitas padi sawah yang rendah. Begitu juga dengan LKHL, semakin luas LKHL maka akan memperoleh produktivitas yang tinggi. Jika pernyataan ini dihubungkan dengan hasil korelasi antar variabel penjelas dengan vaiabel tujuan maka akan diperoleh hasil bahwa Sistem Irigasi yang baik adalah irigasi yang optimal, artinya irigasi yang menggunakan air yang dapat memberikan kesempatan adanya kegiatan konservasi tanah dan air. Kondisi ini dapat dicapai dengan sistem pola tanam Padi-Padi-Palawija dan Sistem Usaha Tani yang ramah lingkungan. Sedangkan untuk areal LKHL yang dapat mengoptimalkan produktivitas padi sawah adalah lahan-lahan yang mempunyai areal LKHL antara 10 – 50 ha. BCR mempunyai korelasi nilai nyata pada taraf 0,05. Hal

Produktivi tas BC Ratio Indeks Penanama n Kesesuaia n Lahan Sistem Irigasi Jaringan Jalan LKHL Arahan RTRW y x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 Produktivitas y 1,0000 BC Ratio x1 * 0,3190 1,0000 Indeks Penanaman x2 0,1550 -0,1100 1,0000 Kesesuaian Lahan x3 0,2030 0,0520 0,1910 1,0000 Sistem Irigasi x4 **0,3700 0,0080 -0,1490 0,0710 1,0000 Jaringan Jalan x5 0,2520 0,0860 -0,1570 0,0840 0,0250 1,0000 LKHL x6 **0,3640 0,1430 * 0,2770 0,0920 **0,3560 -0,0450 1,0000 Arahan RTRW x7 0,2410 -0,0460 -0,2170 -0,0980 -0,0130 -0,0150 **-0,3720 1,0000

* Batas Nilai Absolut "r" yang nyata pada taraf 0,05 = 0,2558

ini menunjukkan bahwa walaupun lebih kecil nialai koerelasinya dari yang lain, masih terdapat korelasi positif antara BCR dengan produktivitas padi sawah, artinya dengan nilai BCR yang tinggi akan mendapatkan produktivitas yang tinggi juga, begitu juga dengan produktivitas yang tinggi akan menghasilkan nilai BCR yang tinggi juga.

2. Sistem irigasi mempunyai korelasi positif dengan LKHL. Hal ini mempunyai arti bahwa dengan adanya sistem irigasi yang baik akan membuka kesempatan masyarakat untuk mengusahakan lahan padi sawah, sehingga LKHL semakin luas. Sebaliknya jika sistem irigasinya kurang (tidak baik) maka masyarakat enggan untuk mengusahakan lahan padi sawah, dan LKHL akan lebih sempit. Jika pernyataan ini dihubungkan dengan hasil korelasi antar variabel penjelas dengan vaiabel tujuan maka akan diperoleh hasil bahwa lahan yang mempunyai produktivitas optimal adalah lahan-lahan yang mempunyai LKHL antara 10 – 50 ha. Jadi untuk memperoleh hasil maksimum sebaiknya setiap tali air dari sistem irigasi yang ada harus dapat diatur sedemikian rupa dapat mengairi lahan padi sawah maksimal 50 ha.

3. LKHL mempunyai hubungan nyata terbalik dengan Arahan RTRW, artinya semakin luas LKHL maka semakin tidak sesuai dengan arahan RTRW, atau semakin sempit LKHL maka semakin sesuai dengan arahan RTRW. Hal ini berarti Pemerintah Daerah menghendaki adanya pengaturan adanya LKHL ini. Jika pernyataan ini dihubungkan dengan hasil korelasi antar variabel penjelas dengan vaiabel tujuan maka dapat dikatakan bahwa arahan kebijakan Pemda ini akan positif terhadap produktivitas padi sawah jika peruntukan lahan untuk pertanian dan pengembangan kota kecamatan.

4. Terdapat hubungan antara Indeks Penanaman dengan LKHL, walaupun pada korelasi nilai nyata pada taraf 0,05. Korelasi positif ini lebih rendah dari korelasi-korelasi lainnya. Hal ini berarti semakin tinggi IP semakin luas juga LKHL, begitu sebaliknya. Namun variabel IP bukan merupakan parameter yang mempunyai korelasi nyata langsung dengan produktivitas.

Dari uraian di atas dapatlah ditarik beberapa pernyataan bahwa dari ke 9 (sembilan) parameter yang digunakan untuk pemilihan LPPB ini, hanya 4 (empat) parameter yang mempunyai keterkaitan langsung satu dengan yang lainnya, yaitu

Produktivitas, Sistem Irigasi, LKHL dan BCR. Sedangkan arahan RTRW tidak berhubungan langsung, hanya sebagai penentu akhir (aspek kebijakan) dalam pemilihan LPPB.

Mengenali Parameter Lahan Pertanian Padi Sawah Berkelanjutan

Dari hasil analisis tersebut di atas terdapat hal yang dapat dikemukakan berkaitan dengan LPPB ini, antara lain bahwa:

1. Produktivitas padi sawah merupakan gambaran hasil interaksi dari hasil kombinasi antara kondisi fisik lahan dan sistem usaha tani. Variabel ini merupakan parameter yang mempunyai pengaruh terhadap penentuan LPPB. Data produktivitas padi sawah dinyatakan dalam ukuran ton/ha/musim. Data Produktivitas dapat diperoleh dari hasil ekstraksi citra MODIS Terra-Aqua yang diakusisi secara series.

2. Sistem Irigasi merupakan variabel penopang apakah lahan dapat digunakan menjadi lahan padi sawah atau tidak, karena setiap usaha lahan padi sawah memerlukan air irigasi untuk menggarap lahan padi sawah. Pada penelitian ini sistem irigasi dibedakan menjadi Irigasi Teknis (IT), Irigasi Semi Teknis (IST), Irigasi Sederhana (Tadah Hujan/TH) dan Irigasi Pasang Surut (IPS). Namun berdasarkan hasil analisis, sistem irigasi hanya dapat dibedakan menjadi Beririgasi dan Tidak beririgasi. Yang disebut lahan beririgasi adalah IT, IST dan TH, sedangkan disebut lahan tidak beririgasi adalah wilayah Pasut (IPS) dan Lebak. Data Sistem Irigasi dapat dikenali dari citra ALOS AVNIR-2.

3. BC Ratio merupakan penentu kelayakan LPPB secara ekonomi. BCR diukur dari cost dari produksi dan benefit yang diperoleh dari volume produksi lahan. Guna mengukur BCR diperlukan data produktivitas, indeks penanaman dan data cost dari suatu pengusahan lahan padi sawah. Data produktivitas dan indeks penanaman dapat diperoleh dari hasil ekstraksi dari MODIS Terra-Aqua yang diakusisi secara series, sedangkan data cost pengusahan lahan padi sawah diperoleh dari data lapangan.

4. Suatu lahan dapat diupayakan masyarakat untuk padi sawah jika lahan tersebut secara fisik sesuai dan secara ekonomi dikatakan layak. Gejala bahwa masyarakat dapat menerima dalam pengupayaan lahan padi sawah ini dapat dicerminkan dengan luasan kesatuan hamparan lahan (LKHL). Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa LKHL merupakan indikasi pengusahan lahan padi sawah diterima secara sosial. Data LKHL dapat diekstraksi dan dideliansi dari citra ALOS AVNIR-2.

Karakteristik LPPB

Berdasar pada hasil analisis yang dilaksanakan, serta mengacu pada pengertian LPPB yaitu sebagai suatu kawasan budidaya yang merupakan lahan yang sesuai secara fisik untuk pertanian padi sawah, layak secara ekonomi untuk diusahakan untuk pertanian padi sawah dan diterima secara sosial untuk dijadikan sebagai lahan pertanian padi sawah. Dengan demikian dapat dikatakan kawasan lahan pertanian padi sawah bisa dikatakan berkelanjutan jika memenuhi kriteria sesuai secara fisik, yang bisa dicerminkan dari produktivitas di atas 4,5 ton/ha (standar produktivitas P. Jawa, BBSDLP 2006), tidak pernah mengalami penurunan yang sigificant selama 5 tahun terakhir. Dengan tidak adanya penurunan produktivitas yang drastis berarti lahan tersebut belum mengalami adanya penurunan potensi atau degradasi lahan. Sesuai secara fisik didukung juga dengan sistem irigasi yang optimal. Sistem Irigasi yang optimal adalah sistem irigasi yang menggunakan air yang dapat memberikan kesempatan adanya kegiatan konservasi tanah dan air. Hal ini dapat dicapai dengan sistem pola tanam Padi-Padi-Palawija dan Sistem Usaha Tani yang ramah lingkungan. Kelayakan secara ekonomi dapat dilihat dari nilai BCR di atas BEP yaitu pada lahan-lahan yang mempunyai BCR > 1,497. Pada lahan yang mempunyai hasil demikian berarti petani dengan lahan 1 ha telah dapat hidup cukup layak di daerah penelitian. Sedangkan kriteria diterima sosial dapat diindikasikan dari LKHL. LKHL merupakan cerminan dari masyarakat mau menerima pengusahaan lahan tersebut untuk padi sawah. Pengusahaan lahan padi sawah akan dapat dilaksanakan jika kondisi geofisik dan secara ekonomi dianggap memenuhi kriteria yang dipahami oleh masyarakat. Semakin luas LKHL berarti masyarakat semakin menerima akan pengusahaan lahan padi sawah tersebut.

Kriteria Penentu Pemilihan LPPB

Dari pengertian bahwa LPPB adalah suatu lahan pertanian padi sawah beririgasi teknis, semi teknis, sederhana (tadah hujan), yang mempunyai

produktivitas diatas 4,5 ton/ha, mempunyai BCR > 1,497 dan mempunyai LKHL > 10 ha maka disusun kriteria untuk memilih LPPB sebagaimana tabel berikut :

Tabel 18. Kriteria Penentu LPPB

Berdasarkan dari kriteria tersebut kawasan lahan pertanian sawah dibedakan menjadi 7 (tujuh) kelas sebagaimana uraian berikut :

1. LPPB 1 merupakan bidang lahan pertanian beririgasi, mempunyai produktivitas > 4,5 ton/ha, BCR > 1,497 dan dengan LKHL > 10 ha. Kawasan ini merupakan wilayah lahan pertanian padi sawah berkelanjutan yang sempurrna. Kawasan ini menempati sebagian besar wilayah penelitian, sangat potensial dan wajib untuk dilindungi dari alih fungsi lahan.

2. LPPB 2 merupakan bidang lahan pertanian beririgasi, mempunyai produktivitas > 4,5 ton/ha, BCR > 1,497 dan LKHL < 10 ha. Pada dasarnya kawasan ini sama dengan LPPB 1, hanya saja kelas ini menempati wilayah yang sempit dan tersebar dengan luasan yang kecil di antara penggunaan lahan yang lainnya. Dengan luasan kawasan yang kecil, kelas ini rawan adanya alih fungsi lahan, sehingga perlu perhatian khusus untuk perlindungan dalam alih fungsi lahan.

3. LPPB 3 pada dasarnya hampir sama dengan LPPB 1, bedanya pada LPPB 3 tidak beririgasi. Dengan potensi lahan yang cukup memadahi, apalagi kalau wilayah ini diupayakan jaringan irigasinya, wilayah ini akan bertambah baik potensinya. Kawasan ini umumnya tersebar di daerah lebak.

4. LPPB 4 merupakan bidang lahan pertanian padi sawah yang beririgasi, mempunyai produktivitas > 4 ton/ha, LKHL > 10 ha, hanya saja BCR < 1,497. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pengolahan lahan di wilayah ini

Produktivitas LKHL (ton/ha) (ha) 1 > 4,5 > 1,497 > 10 KLPPB 1 2 > 4,5 > 1,497 < 10 KLPPB 2 3 > 4,5 < 1,497 > 10 KLPPB 4 4 < 4,5 >1,497 > 10 KLPPB 5 5 < 4,5 <1,497 > 10 Cad. KLPPB 6 < 4,5 <1,497 < 10 Cad. KLPPB 7 > 4,5 > 1,497 > 10 KLPPB 3 8 < 4,5 > 1,497 > 10 Bukan KLPPB

9 Selain kombinasi di atas Bukan KLPPB

MODEL

BCR

Sistem Irigasi KLASIFIKASI

Tidak Berigasi (Lebak, Pasut)

Beririgasi (IT, IST, TH)

membutuhkan cost produksi yang lebih besar (tidak seimbang) dengan hasil panennya. Kondisi ini diakibatkan oleh beberapa sebab diantaranya kondisi potensi fisik lahan, sistem usaha tani yang tidak sesuai, bisa juga karena sering terkena hama penyakit padi.

5. LPPB 5 merupakan bidang lahan pertanian padi sawah yang beririgasi, mempunyai produktivitas < 4 ton/ha, BCR > 1,497 dan LKHL > 10 ha. Kawasan lahan pertanian padi sawah seperti ini di wilayah penelitian tidak ada. 6. Cadangan LPPB merupakan bidang lahan pertanian padi sawah yang

potensial (beririgasi), mempunyai pembatas produktivitas dan BCR di bawah nilai syarat LPPB. Namun karena sudah mempunyai modal sistem irigasi maka perlu diupayakan keberlanjutannya dengan pengolahan lahan yang optimal melalui sistem usaha tani yang efisien.

7. Bukan LPPB merupakan bidang lahan pertanian padi sawah yang tidak beririgasi, mempunyai produktivitas, BCR dan LKHL di bawah nilai syarat LPPB. Kawasan lahan seperti ini disarankan untuk dapat dialih-fungsikan menjadi penggunaan lain agar lebih optimal, seperti untuk tambak, hutan produksi, atau yang lainnya.

Teknik Pengenalan LPPB Melalui Citra Penginderaan Jauh

Pada tahap awal kegiatan dilaksanakan penyadapan data penggunaan lahan dan sistem irigasi melalui citra satelit yang mempunyai resolusi spasial sedang (± 10 m) seperti ALOS, SPOT, dst. Pada resolusi spasial demikian suatu obyek mempunyai kisaran nilai piksel yang cukup bervariasi, oleh karena itu penyadapan data sebaiknya menggunakan cara interpretasi secara visual dengan pendekatan pola tanggap spektral dan karakteristik dasar penciri obyek berupa rona/warna, tekstur, pola, ukuran, bentuk, bayangan dan situs. Data penggunaan lahan yang diperoleh selanjutnya dibedakan menjadi sawah dan non sawah. Data sawah dibedakan menjadi sawah beririgasi dan sawah tidak beririgasi. Sawah beririgasi dapat dikenali dari adanya kenampakan sawah yang jenuh air dan adanya jaringan irigasi atau sumber air yang terhubung dengan sawah tersebut. Data sawah yang dilengkapi dengan sistem irigasi dan jaringan jalan dari penggunaan lahan digunakan untuk mengkelaskan data luasan kesatuan hamparan lahan (LKHL).

Bersamaan dengan kegiatan ini dilaksanakan juga ekstraksi data EVI melalui citra satelit yang mempunyai resolusi spasial kecil dan resolusi temporal baik (Seperti MODIS). Data EVI dimaksudkan untuk mengetahui produktivitas padi sawah. Data produktivitas padi sawah didekati dengan mengetahui keterkaitan antara besarnya nilai EVI pada posisi picpoint dengan produktivitas padi sawah aktual yang di peroleh dari survei lapangan. Keterkaitan ini diuji dengan uji statistik korelasi. Persamaan yang didapat digunakan untuk menduga produktivitas padi sawah series tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan Indeks Penanaman diketahui dari jumlah picpoint dari undulan parobolik yang dinampakkan pada grafik antara nilai EVI dan periode waktu dari citra yang digunakan. Grafik nilai EVI dengan periode waktu series beberapa tahun juga dapat digunakan untuk membaca gejala yang berkembang pada lahan sawah, seperti perkembangan pertumbuhan padi, adanya gangguan terhadap tanaman padi, perkiraan gagal panen dan adanya degradasi lahan.

Survei lapangan dilaksanakan pada lokasi sampel dengan pendekatan unit lahan. Pengambilan sampel unit lahan secara Stratified Purposive yang disusun dari data Penggunaan Lahan Sawah, Sistem Irigasi dan Jenis Tanah. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain berupa ground cecking data hasil interpertasi citra dan wawancara untuk memperoleh data cost produksi dan data produktivitas aktual.

Sedangkan data BCR diperoleh dari hasil perhitungan dari data Produktivitas dan Indeks Penamanan yang diperoleh dari citra MODIS yang dipadu dengan data Cost produksi dari lahan padi sawah yang diperoleh dari survei lapangan. Dalam menghitung BCR ini diketahui juga nilai BCR pada posisi BEP untuk hidup para petani di wilayah penelitian.

Kegiatan selanjutnya adalah penentuan kriteria yang digunakan untuk klasifikasi LPPB di wilayah penelitian. Lahan sawah yang memenuhi kriteria yang ditentukan digolongkan menjadi LPPB. Pememilihan LPPB juga bisa dilaksanakan dengan analisis spasial dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) menggunakan dasar kriteria yang telah ditetapkan.

Pendekatan Metodologi pelaksanaan Teknik Pemilihan Lahan Pertanian Padi Sawah Berkelanjutan ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 23. Diagram Alir Teknik Pemilihan Lahan Pertanian Padi Sawah Berkelanjutan

Dari proses kegiatan Teknik Pemilihan Lahan Pertanian Padi Sawah Berkelanjutan ini diperoleh Peta hasil sebagaimana Peta Arahan Lahan Pertanian Padi Sawah Berkelanjutan Wilayah Penelitian sebagai berikut.

Citra ALOS Data Sekunder Citra MODIS

Tanah/KL

Ekstraksi Data Ekstraksi Data

Non Sawah Sawah

LKHL Sistem Irigasi Unit Lahan EVI Produk tivitas Indeks Penanaman Survei Lapangan BCR P. Cost P. Aktual Analisis Spasial LPPB

Gambar 24. Peta Arahan Lahan Pertanian Padi Sawah Berkelanjutan Wilayah Penelitian

Dokumen terkait