• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variabel-variabel penelitian yang digunakan terbagi menjadi 2 yaitu variabel respon atau dependen (Y) dan variabel prediktor atau independen (X), dengan unit yang diteliti adalah tiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2018.

Penjelasan masing-masing variabel adalah sebagai berikut :

1. Jumlah kasus TBC ditiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2018 (Y)

2. Persentase rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) (X1)

3. Kepadatan penduduk (X2)

4. Persentase rumah tangga miskin (X3)

5. Persentase imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG) (X4) 6. Persentase rumah tangga yang memiliki rumah sehat (X5) 7. Penderita HIV (X6)

8. Jumlah tenaga medis (X7) 3.3 Metode Analisis

Langkah analisis yang dilakukan penulis untuk menganalisis faktor-faktor risiko yang mempengaruhi jumlah kasus TBC di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 Menggunakan Pendekatan GWNBR, adalah sebagai berikut :

19 1. Mendeskripsikan Data

a. Karakteristik jumlah kasus TBC di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2018 dan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi.

b. Pengujian Multikolinearitas dengan melihat koefisien korelasi pearson dan nilai VIF dengan menggunakan persamaan (2.1)

2. Pemodelan Regresi Poisson

a. Estimasi Parameter Model Regresi Poisson

Mengestimasi parameter model regresi Poisson dengan menyusunnya dalam persamaan model (2.2)

b. Pengujian Parameter Model Regresi Poisson

Menguji parameter model regresi Poisson dengan uji signifikan terhadap model yaitu uji serentak menggunakan persamaan (2.3) dan uji parsial menggunakan persamaan (2.4)

3. Pengujian Overdispersi

4. Pemodelan Regresi Binomial Negatif

a. Estimasi Parameter Model Regresi Binomial Negatif

Mengestimasi parameter model regresi Binomial Negatif dengan menyusunnya dalam persamaan model (2.5)

b. Pengujian Parameter Model Regresi Binomial Negatif

Menguji parameter model regresi Binomial Negatif dengan uji signifikan terhadap model yaitu uji serentak menggunakan persamaan (2.6) dan uji parsial menggunakan persamaan (2.7)

5. Heterogenitas Spasial

Uji Breusch-Pagan untuk melihat heterogenitas spasial menggunakan persamaan (2.8)

6. Pemodelan GWNBR

a. Menghitung Jarak Euclidean, bandwidth dan Pembobot

Menghitung Jarak Euclidean dengan persamaan (2.14), bandwidth dengan persamaan (2.12) dan Pembobot yang digunakan adalah kernel adaptive bisquare dengan persamaan (2.13)

20 b. Pengujian Parameter Model GWNBR

Menguji parameter model GWNBR dengan uji signifikan terhadap model yaitu uji serentak menggunakan persamaan (2.10) dan uji parsial menggunakan persamaan (2.11)

c. Interpretasi model GWNBR

Pengujian parameter model GWNBR pada lokasi penelitian dan menyusunnya dengan persamaan model (2.9)

21 3.4 Alur Penelitian

Gambar 3. 1 Alur Penelitian

22 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Jumlah Kasus Tuberkulosis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018

Jawa Barat merupakan provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus TBC tertinggi bersama dengan Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, ketiga provinsi tersebut termasuk provinsi dengan jumlah penduduk yang besar. Jawa Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terdiri dari 27 kabupaten/kota. Kasus TBC di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2018 dilaporkan sebanyak 76546 kasus dengan rata-rata sebanyak 2835 kasus. Jumlah kasus TBC memiliki nilai minimum sebesar 380 kasus, maksimum sebesar 13277 kasus dan dengan standar deviasi sebesar 2619,027 karena terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah kasus TBC tiap kabupaten/kota. Pemetaan persebaran jumlah kasus TBC di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Gambar 4.1.

Gambar 4. 1 Persebaran Jumlah Kasus TBC di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018

Pada Gambar 4.1 jumlah kasus TBC tertinggi terdapat di Kabupaten Bogor dengan jumlah kasus sebanyak 13277 kasus sedangkan jumlah kasus TBC terendah terdapat di Kabupaten Pangandaran dengan jumlah kasus sebanyak 380 kasus.

23 4.1.1 Persentase Rumah Tangga yang Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat

(PHBS)

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah semua perilaku yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat. PHBS merupakan cerminan pola hidup keluarga yang senantiasa memperhatikan dan menjaga kesehatan seluruh anggota keluarga. PHBS di rumah tangga dengan penderita TBC bertujuan untuk mencapai Rumah Tangga Ber-PHBS, yaitu antara lain dengan melakukan sebagai berikut: menjemur peralatan tidur, membuka pintu dan jendela setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk, makan-makanan bergizi, tidak merokok dan tidak minum-minuman keras, olahraga secara teratur, mencuci pakaian hingga bersih, mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, menggunakan jamban sehat, istirahat cukup dan tidak tukar menukar peralatan mandi. Rata-rata persentase rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat di Jawa Barat adalah sebesar 59,21% dengan standar deviasi sebesar 2359,698%. Nilai minimum untuk persentase rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat yaitu sebesar 40,25% dan nilai maksimum sebesar 80,11%. Pemetaan persebaran rumah tangga ber-PHBS di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Gambar 4.2.

Gambar 4. 2 Persebaran Rumah Tangga ber-PHBS di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018

Pada Gambar 4.2 diketahui persentase rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang tertinggi terdapat di Kota Depok, Kota Banjar dan

24 Kota Cirebon dengan persentase sebesar 80,11%, 78,36% dan 75,22% sedangkan persentase rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang terendah terdapat di Kota Tasikmalaya, Kota Sukabumi dan Kabupaten Ciamis dengan persentase sebesar 40,25%, 40,95% dan 47,55%.

4.1.2 Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk adalah perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah per-km2. Kepadatan penduduk yang tidak seimbang dengan luas wilayah menyebabkan area yang tidak beraturan dan kumuh dengan segala masalah kesehatan masyarakat. TBC mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan sanitasi rendah. Sehingga semakin besar kepadatan penduduk suatu daerah maka semakin besar peluang tersebarnya kasus TBC. Rata-rata kepadatan penduduk di Jawa Barat adalah sebesar 3993,7 jiwa/km2 dengan standar deviasi sebesar 4897,377 jiwa/km2. Nilai minimum untuk kepadatan penduduk di Jawa Barat sebesar 393 jiwa/km2 dan nilai maksimum sebesar 15478 jiwa/km2. Pemetaan persebaran kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Gambar 4.3.

Gambar 4. 3 Persebaran Kepadatan Penduduk di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018

Pada Gambar 4.3 dapat diketahui bahwa Kota Cimahi, Kota Bandung dan Kota Bekasi merupakan kota dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Jawa Barat dengan kepadatan masing-masing sebesar 15478 jiwa/km2, 14932 jiwa/km2, dan 14190 jiwa/km2, sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat di Kabupaten Pangandaran dengan kepadatan sebesar 393 jiwa/km2.

25 4.1.3 Persentase Rumah Tangga Miskin

Kemiskinan adalah suatu situasi dimana seseorang atau rumah tangga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum. Kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan barang dan uang dalam menjamin kelangsungan hidup. Kemampuan pendapatan yang rendah tidak hanya berakibat pada tidak tercukupinya kebutuhan dasar melainkan juga berdampak pada ketidakmampuan memenuhi standar hidup rata-rata seperti standar kesehatan masyarakat dan standar pendidikan. Penderita TBC di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin, kemiskinan disini berhubungan dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan dan sanitasi yang buruk yang mengakibatkan mudahnya penularan TBC. Rata-rata persentase rumah tangga miskin di Jawa Barat sebesar 7,942% dengan standar deviasi sebesar 2,7294%. Nilai minimum untuk persentase rumah tangga miskin yaitu sebesar 2,14% dan nilai maksimum sebesar 12,71%. Pemetaan persebaran persentase rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Gambar 4.4.

Gambar 4. 4 Persebaran Rumah Tangga Miskin di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018

Pada Gambar 4.4 diketahui persentase rumah tangga miskin yang tertinggi terdapat di Kota Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Cirebon dengan persentase sebesar 12,71%, 12,22%, 11,89%, 10,79% dan 10,70%, sedangkan persentase rumah tangga miskin yang terendah terdapat di Kota Depok, Kota Bandung dan Kota Bekasi dengan persentase sebesar 2,14%, 3,57% dan 4,11%.

26 4.1.4 Persentase Imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG)

Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah [30]. Imunisasi BCG merupakan salah satu upaya preventif pemerintah dalam mencegah kejadian TBC [31]. Manfaat imunisasi BCG yaitu untuk mencegah bayi atau anak terserang dari penyakit TBC yang berat, seperti:

meningitis TBC dan TBC milier, dikarenakan bayi atau anak masih rentan terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis, akibat adanya kontak dengan penderita TBC yang ada di sekitarnya, seperti: orang tua, keluarga, pengasuh dan lain sebagainya. Vaksin BCG merupakan bagian dari pemberian imunisasi dasar pada bayi [30]. Rata-rata persentase imunisasi BCG di Jawa Barat adalah sebesar 98,86%

dengan standar deviasi sebesar 6,0133%. Nilai minimum untuk persentase imunisasi BCG yaitu sebesar 75,25% dan nilai maksimum sebesar 107,43%.

Pemetaan persebaran Imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG) di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Gambar 4.5.

Gambar 4. 5 Persebaran Imunisasi BCG di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 Pada Gambar 4.5 diketahui persentase Imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG) yang tertinggi terdapat di Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Banjar dan Kabupaten Tasikmalaya dengan persentase sebesar 107,43%, 106,49%, 104,90%

dan 104,00% sedangkan persentase Imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG) yang terendah terdapat di Kabupaten Cianjur dengan persentase sebesar 75,25%.

27 4.1.5 Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Rumah Sehat

Rumah sehat merupakan cerminan lingkungan yang sehat dengan syarat kesehatan, yaitu rumah yang memiliki jamban yang sehat, sarana air bersih, tempat pembuangan sampah, ventilasi rumah yang baik, kepadatan hunian rumah yang sesuai dan sarana pembuangan air limbah. Rumah sehat adalah salah satu faktor penting bagi kesehatan, lingkungan yang tidak bersih dan sanitasi buruk merupakan sarana penyebaran kuman, termasuk Mycobacterium Tuberculosis. Jika semakin banyak terdapat rumah yang memiliki syarat kesehatan sebagai rumah sehat diharapkan jumlah kasus TBC akan semakin menurun. Rata-rata persentase rumah tangga yang memiliki rumah sehat adalah sebesar 73,27% dengan standar deviasi sebesar 14,063%. Nilai minimum untuk persentase rumah tangga yang memiliki rumah sehat yaitu sebesar 39,15% dan nilai maksimum sebesar 93,93%. Pemetaan persebaran persentase rumah tangga yang memiliki rumah sehat di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Gambar 4.6.

Gambar 4. 6 Persebaran Rumah Sehat di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 Pada Gambar 4.6 diketahui persentase rumah tangga yang memiliki rumah sehat yang tertinggi terdapat di Kabupaten Ciamis, Kota Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bandung, Kota Depok, dan Kabupaten Cirebon dengan persentase sebesar 93,93%, 93,63%, 91,06%, 85,91%, 84,83% dan 84,18%, sedangkan persentase rumah tangga yang memiliki rumah sehat yang terendah terdapat di Kota Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur dan Kota Sukabumi dengan persentase sebesar 39,15%, 46,02% dan 48,23%.

28 4.1.6 Penderita HIV

HIV adalah penyakit yang disebabkan oleh virus, dimana virus ini menyerang sistem imunitas atau kekebalan tubuh. Faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi pasien TBC yaitu daya tahan tubuh yang rendah. Jadi, hubungan antara HIV dengan TBC berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh atau imun yang bertugas untuk melawan infeksi. Saat terkena HIV, sistem kekebalan tubuh akan melemah sehingga bakteri penyebab TBC yang masuk ke dalam tubuh menjadi aktif yang menyebabkan tubuh kesulitan untuk menyerang bakteri TBC. Jadi, serangan TBC bisa jadi adalah salah satu gejala infeksi HIV yang terselubung. Rata-rata penderita HIV di Jawa Barat adalah sebesar 195,4 kasus dengan standar deviasi sebesar 207,7616 kasus. Nilai minimum untuk penderita HIV adalah sebesar 7 kasus dan nilai maksimum sebesar 1054 kasus. Pemetaan persebaran penderita HIV di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Gambar 4.7.

Gambar 4. 7 Persebaran Penderita HIV di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 Pada Gambar 4.7 diketahui penderita HIV yang tertinggi terdapat di Kota Bandung dengan jumlah kasus sebanyak 1054 kasus sedangkan penderita HIV yang terendah terdapat di Kota Banjar dengan jumlah kasus sebanyak 7 kasus.

4.1.7 Jumlah tenaga Medis

Pelayanan kesehatan yang memadai merupakan tumpuan kesehatan masyarakat. Keberadaan tenaga medis dalam jumlah dan jenis yang diperlukan dengan mutu terbaik sangat diperlukan guna mendukung menurunkan angka jumlah kasus TBC. Setiap tenaga medis harus mampu melaksanakan pelayanan yang prima

29 yaitu memberikan apa yang dibutuhkan oleh pasien. Pelayanan prima dapat dicapai dengan pelaksanaan yang mencakup komponen praktik yang bersifat disiplin, inisiatif, respons, komunikasi dan kerja sama yang baik dengan pasien [32]. Rata-rata tenaga medis di Jawa Barat adalah sebesar 522,2 dengan standar deviasi sebesar 644,7616. Nilai minimum untuk tenaga medis yaitu sebesar 36 kasus dan nilai maksimum sebesar 2366 kasus. Pemetaan persebaran jumlah tenaga medis di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Gambar 4.8.

Gambar 4. 8 Persebaran Tenaga Medis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 Pada Gambar 4.8 diketahui jumlah tenaga medis yang tertinggi terdapat di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung dengan jumlah tenaga medis sebanyak 2366 jiwa dan 2317 jiwa sedangkan jumlah tenaga medis yang terendah terdapat di Kabupaten Pangandaran dan Kabupaten Indramayu dengan jumlah tenaga medis sebanyak 36 jiwa dan 47 jiwa.

4.2 Multikolinearitas

Ada beberapa cara untuk mendeteksi adanya kasus multikolinearitas, yaitu dengan melihat koefisien korelasi Pearson (𝑟𝑖𝑗) dan nilai VIF (Variance Inflation Factor). Berikut adalah nilai koefisien korelasi antar variabel prediktor.

30 Tabel 4. 1 Koefisien Korelasi antar Variabel Prediktor

𝑋1 𝑋2 𝑋3 𝑋4 𝑋5 𝑋6

𝑋2 0,18

𝑋3 -0,33 -0,65

𝑋4 0,11 0,26 -0,31

𝑋5 0,41 0,20 -0,40 0,38

𝑋6 0,11 0,54 -0,38 0,24 0,25

𝑋7 0,20 0,40 -0,54 0,28 0,20 0,66

Jika koefisien korelasi pearson (𝑟𝑖𝑗) antar variabel prediktor lebih dari 0,95 maka diduga terdapat kasus multikolinearitas. Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui semua variabel prediktor memiliki nilai koefisien korelasi Pearson kurang dari 0,95 yang berarti tidak terdapat kasus multikolinearitas.

Tabel 4. 2 Nilai VIF dari Variabel Prediktor Variabel Prediktor VIF

𝑋1 1,677125

𝑋2 2,315136

𝑋3 2,646493

𝑋4 1,453352

𝑋5 1,959930

𝑋6 2,445806

𝑋7 3,315015

Jika nilai VIF lebih besar dari 10 maka menunjukkan adanya multikolinearitas. Berdasarkan Tabel 4.2 nilai VIF dari masing-masing variabel prediktor memiliki nilai kurang dari 10, maka dapat disimpulkan tidak terdapat kasus multikolinearitas. Sehingga dapat dilanjutkan ke pemodelan regresi Poisson.

31 4.3 Pemodelan Regresi Poisson

Setelah dilakukan pemeriksaan kasus multikolinearitas antar variabel prediktor maka dilanjutkan pada pemodelan regresi Poisson. Data jumlah kasus TBC diasumsikan berdistribusi Poisson karena merupakan data diskrit (count).

4.3.1 Estimasi Parameter Model Regresi Poisson

Berikut ini merupakan hasil estimasi parameter model regresi Poisson:

Tabel 4. 3 Estimasi Parameter Model Regresi Poisson

Estimasi Std.Error Z Value P Value

Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan model regresi Poisson sebagai berikut:

𝜇𝑖 = exp (12,13 − 0,03451𝑥1𝑖+ 0,00001343𝑥2𝑖+ 0,01293𝑥3𝑖− 0,04578𝑥4𝑖 + 0,02485𝑥5𝑖− 0,0007324𝑥6𝑖+ 0,0007845𝑥7𝑖)

4.3.2 Pengujian Parameter Model Regresi Poisson

Pengujian secara serentak bertujuan untuk mengetahui signifikansi variabel prediktor apakah memberikan pengaruh terhadap variabel respon secara serentak atau bersama-sama. Berdasarkan hasil pengujian dengan taraf signifikansi 5%

didapatkan nilai 𝜒2(7;0,05) = 14,067 karena nilai 𝜒2(7;0,05) lebih kecil dari nilai 𝐷(𝛽̂) = 25791, sehingga tolak H0 yang berarti paling sedikit ada satu variabel prediktor yang berpengaruh signifikan terhadap variabel respon. Sehingga perlu dilanjutkan pada pengujian secara parsial yang bertujuan untuk mengetahui

32 signifikansi masing-masing variabel prediktor apakah memberikan pengaruh terhadap variabel respon. Berdasarkan hasil pengujian secara parsial atau individu dengan taraf signifikansi 5% didapatkan nilai 𝑍(0,05

2 )= 1,96. Dengan melihat dari nilai |𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔| yang dibandingkan dengan 𝑍(0,05

2 ) maka diperoleh 𝑍(0,05

2 ) lebih kecil dari nilai |𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔| yang berarti bahwa semua variabel prediktor dalam model secara individu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah kasus TBC di Provinsi Jawa Barat.

4.4 Pemeriksaan Overdispersi

Untuk mendeteksi kasus overdispersi yaitu dengan nilai deviance pada model regresi Poisson dibagi dengan derajat bebasnya. Nilai deviance regresi Poisson sebesar 20513 dengan derajat bebas sebesar 19 sehingga rasio nilai deviance dengan derajat bebasnya bernilai 1079,6316. Nilai tersebut lebih besar dari 1 sehingga dapat disimpulkan bahwa data jumlah kasus TBC di Jawa Barat tahun 2018 mengalami kasus overdispersi. Regresi Poisson tidak sesuai untuk kasus overdispersi karena akan menghasilkan estimasi parameter yang bias dan tidak efisien.

Salah satu metode untuk mengatasi kasus overdispersi pada regresi Poisson adalah menggunakan regresi Binomial Negatif. Langkah awal dalam penentuan regresi Binomial Negatif adalah penentuan nilai initial 𝜃, yang bertujuan untuk meminimumkan parameter dispersi sehingga dapat mengatasi kasus overdispersi.

Initial 𝜃 didapatkan melalui hasil trial-error sehingga didapatkan rasio nilai deviance dengan derajat bebasnya bernilai 1 yang artinya tidak terdapat kasus overdispersi. Berikut merupakan hasil trial-error initial 𝜃.

Tabel 4. 4 Nilai initial 𝜽

Initial 𝜽 Deviance DF Deviance/DF

1 10,539 19 0,5547

1,5 15,127 19 0,7962

1,9 18,549 19 0,9763

1,92 18,715 19 0,985

33

1,94 18,880 19 0,9937

1,95 18,963 19 0,9981

1,954 18,996 19 0,9998

1,9545 19 19 1

1,955 19,004 19 1,0002

1,96 19,045 19 1,0024

2 19,374 19 1,0197

Berdasarkan hasil trial-error initial 𝜃 didapatkan initial 𝜃 yang memiliki rasio nilai deviance dengan derajat bebasnya bernilai 1 adalah sebesar 1,9545 sehingga dilakukan pemodelan regresi Binomial Negatif dengan initial 𝜃 sebesar 1,9545.

4.5 Pemodelan Regresi Binomial Negatif

Langkah selanjutnya setelah initial 𝜃 didapatkan maka dilakukan pemodelan regresi Binomial Negatif.

4.5.1 Estimasi Parameter Model Regresi Binomial Negatif

Berikut ini merupakan hasil estimasi parameter model regresi Binomial Negatif:

Tabel 4. 5 Estimasi Parameter Model Regresi Binomial Negatif

Estimasi Std.Error t Value P Value

(Intercept) 2,815629 0,134973 20,861 1,48 × 10−14

𝑋1 −0,411746 0,156915 −2,624 0,0167

𝑋2 0,076425 0,166697 0,458 0,6518

𝑋3 −0,009038 0,145122 −0,062 0,9510

𝑋4 −0,307418 0,155509 −1,977 0,0628

𝑋5 0,397439 0,163739 2,427 0,0253

𝑋6 −0,106507 0,200138 −0,532 0,6008

𝑋7 0,481519 0,184272 2,613 0,0171

Deviance : 19,000 AIC : 214,37 DF : 19

34 Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan model regresi Binomial Negatif sebagai berikut:

𝜇𝑖 = exp (2,815629 − 0,411746𝑥1𝑖+ 0,076425𝑥2𝑖− 0,009038𝑥3𝑖

− 0,307418𝑥4𝑖+ 0,397439𝑥5𝑖− 0,106507𝑥6𝑖+ 0,481519𝑥7𝑖) 4.5.2 Pengujian Parameter Model Regresi Binomial Negatif

Pengujian secara serentak bertujuan untuk mengetahui signifikansi variabel prediktor apakah memberikan pengaruh terhadap variabel respon secara serentak atau bersama-sama. Berdasarkan hasil pengujian dengan taraf signifikansi 5%

didapatkan nilai 𝜒2(7;0,05) = 14,067, karena nilai 𝜒2(7;0,05) lebih kecil dari nilai 𝐷(𝛽̂) = 16,651 sehingga tolak H0 yang berarti paling sedikit ada satu variabel prediktor yang berpengaruh signifikan terhadap variabel respon. Sehingga perlu dilanjutkan pada pengujian secara parsial yang bertujuan untuk mengetahui signifikansi masing-masing variabel prediktor apakah memberikan pengaruh terhadap variabel respon. Berdasarkan hasil pengujian secara parsial atau individu dengan taraf signifikansi 5% didapatkan nilai 𝑍(0,05

2 ) = 1,96. Nilai ini dibandingkan dengan nilai |𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔| masing-masing variabel prediktor. Apabila nilai |𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔| lebih besar dari 1,96 maka variabel prediktor tersebut signifikan terhadap variabel respon. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa variabel prediktor yang memiliki |𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔| lebih besar dari 1,96 adalah variabel 𝑋1(Persentase rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)), 𝑋4(Persentase Imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG)), 𝑋5(Persentase rumah tangga yang memiliki rumah sehat) dan 𝑋7(Jumlah tenaga medis). Dari nilai AIC dan nilai deviance kedua model dapat disimpulkan bahwa model regresi Binomial Negatif lebih baik daripada model regresi Poisson karena menghasilkan nilai AIC dan nilai deviance yang lebih kecil.

4.6 Heterogenitas Spasial

Heterogenitas spasial merupakan kondisi dimana terdapat perbedaan karakteristik pada lokasi satu dengan yang lainnya. Adanya perbedaan karakteristik antara satu titik pengamatan dengan titik pengamatan lainnya dapat dilihat dengan

35 pengujian Breusch-Pagan. Diperoleh nilai Breusch-Pagan = 17,475 dengan P-Value = 0,01458. Dengan jumlah parameter 7 dan digunakan α sebesar 5% maka didapatkan nilai 𝜒2(7;0,05) = 14,067. Sehingga berdasarkan kedua kriteria (P-Value dan Breusch-Pagan) dimana nilai BP = 17,475 > 𝜒2(7;0,05) = 14,067 dan P-Value = 0,01458 < α = 5%, sehingga didapatkan kesimpulan bahwa variansi antarlokasi tidak sama atau terdapat perbedaan karakteristik antara satu titik pengamatan dengan titik pengamatan lainnya. Maka analisis dapat dilanjutkan pemodelan dengan menggunakan metode GWNBR.

4.7 Pemodelan GWNBR

4.7.1 Menghitung Jarak, Bandwidth dan Pembobot

Dalam pemodelan GWBNR dibutuhkan matriks pembobot lokasi. Matriks pembobot tersebut dihitung dengan menggunakan fungsi kernel dengan bandwidth tertentu berdasarkan jarak antar kabupaten/kota yang satu dengan yang lainnya.

Sehingga Langkah awalnya adalah menghitung jarak antar lokasi dan disusun ke dalam bentuk matriks. Jarak ini dihitung dengan rumus jarak euclidean berdasarkan pada koordinat lintang dan bujur (lampiran 9).

Perhitungan jarak dilakukan dengan rumus Euclidean dengan menggunakan persamaan (2.16) dengan 𝑑𝑖𝑗 adalah jarak kota i dengan kota j, u adalah koordinat lintang dan v adalah koordinat bujur. Sebagai contoh perhitungan jarak antara Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Sukabumi. Koordinat Kabupaten Bogor adalah (6,33; 106,60) dan Kabupaten Sukabumi adalah (6,91; 106,75) maka jarak Euclidean keduanya adalah:

𝑑12 = √(𝑢1− 𝑢2)2+ (𝑣1− 𝑣2)2 = √(6,33 − 6,91)2+ (106,60 − 106,75)2

= 0,5991

Hasil perhitungan jarak (d) masih dalam satuan decimal degree (sesuai dengan format latitude-longitude yang dipakai) sehingga untuk menyesuaikannya perlu dikalikan dengan 111,319 km (1 derajat bumi = 111,319 km) [33]. Diperoleh jarak antara Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Sukabumi adalah 0,5991 derajat, kita ubah ke satuan km sehingga 0,5991 × 111,319 = 66,691 km. Sehingga jarak

36 Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Sukabumi yaitu 66,691 km. Untuk nilai jarak antar lokasi secara lengkap disajikan dalam lampiran 14. Setelah mendapatkan jarak antar lokasi maka selanjutnya adalah menentukan bandwidth pada program R dan hasil dari bandwidth disajikan dalam lampiran 15. Nilai bandwidth ini digunakan untuk perhitungan matriks pembobot. Perhitungan matriks pembobot dilakukan dengan menggunakan fungsi kernel adaptive bisquare dengan menggunakan persamaan (2.15). Misalkan akan dihitung bobot yang diberikan pada Kabupaten Sukabumi untuk estimasi model di Kabupaten Bogor maka i = 2 (Sukabumi) dan j

= 1 (Bogor). Berdasarkan lampiran 14 jarak Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Sukabumi adalah 0,5991 dan nilai bandwidth untuk Kabupaten Bogor adalah 1,8605. Sehingga bobot dihitung dengan:

𝑤1(𝑢2, 𝑣2) = {(1 − (

karena 0,5991 < 1,8605 maka

𝑤1(𝑢2, 𝑣2) = (1 − (0,5991

1,8605)2)

2

= 0,8034

Matriks pembobot disajikan dalam lampiran 16 di mana nomor baris adalah j dan nomor kolom adalah i.

4.7.2 Uji Signifikansi Parameter Model GWNBR

Pengujian signifikansi parameter model GWNBR terdiri dari uji serentak dan parsial. Pengujian signifikansi model GWNBR secara serentak bertujuan untuk mengetahui apakah secara serentak variabel prediktor memberikan pengaruh terhadap model. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut. Nilai devians model GWNBR = 49,8621. Dengan taraf nyata 5% didapatkan nilai 𝜒2(7;0,05) = 14,0671. Karena nilai devians lebih besar dari 𝜒2(7;0,05) maka tolak 𝐻0 yang artinya bahwa paling sedikit ada satu parameter model GWNBR yang signifikan berpengaruh terhadap model maka perlu dilanjutkan dengan pengujian parsial.

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai Zhit yang berbeda-beda tiap lokasi.

Dengan digunakan nilai taraf signifikansi 𝛼 = 5% diperoleh nilai 𝑍0,975= 1,96.

Parameter model dikatakan signifikan jika | Zhit | > 1,96. Berikut ini merupakan variabel-variabel yang signifikan di setiap lokasi.

37 Tabel 4. 6 Hasil Signifikansi Parameter

Kabupaten/Kota Variabel signifikan

Berdasarkan Tabel 4.6 didapatkan hasil pengelompokkan sebanyak 11 kelompok berdasarkan variabel yang signifikan. Variabel yang signifikan memberi pengaruh signifikan terhadap jumlah kasus TBC di semua kabupaten/kota adalah variabel 𝑋1 (Persentase rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)). Berikut ini merupakan tabel pengelompokkan kabupaten/kota berdasarkan variabel yang signifikan.

38 Tabel 4. 7 Pengelompokkan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

Kota Bekasi 𝑋1 Kota Sukabumi dan Kota Depok

𝑋1, 𝑋2, dan 𝑋7 Bandung Barat, dan Kota Banjar

𝑋1, 𝑋2, 𝑋5, dan 𝑋7 Kabupaten Cianjur 𝑋1, 𝑋2, 𝑋5, 𝑋6, dan 𝑋7

𝑋1, 𝑋2, 𝑋5, dan 𝑋7 Kabupaten Cianjur 𝑋1, 𝑋2, 𝑋5, 𝑋6, dan 𝑋7

Dokumen terkait