• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Vektor DBD

Sejauh ini di Indonesia dikenal dua jenis vektor DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus. Siklus normal infeksi DBD terjadi antara manusia – nyamuk Aedes – manusia. Dari darah penderita yang dihisap, nyamuk betina dapat menularkan virus DBD setelah melewati masa inkubasi 8-10 hari yang membuat virus mengalami replikasi (perbanyakan) dan penyebaran yang berakhir pada infeksi saluran kelenjar ludah sehingga nyamuk menjadi tertular selama hidupnya.

Sekali nyamuk tertular virus seumur hidupnya akan menjadi nyamuk yang infektif dan mampu menyebarkan virus ke inang lain ketika menghisap darah berikutnya. Nyamuk infektif ini juga dapat menularkan virus ke generasi berikutnya secara transovarial melalui telur, tetapi peranannya dalam melanjutkan transmisi virus pada manusia belum diketahui (Hadi 2011).

Nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus tersebar di seluruh pelosok tanah air, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Keduanya bisa dibedakan dengan mudah pada stadium dewasa dan larva. Tanda pada bagian dorsal mesonotum sangat jelas bisa dilihat dengan mata telanjang,

pada Ae. aegypti terdapat garis lengkung putih dan 2 garis pendek di bagian tengah, sedang pada Ae. albopictus terdapat garis putih di medial dorsal toraks. Selain itu Ae. albopictus secara umum berwarna lebih gelap daripada Ae. aegypti. Adapun untuk melihat perbedaan larva/jentik diperlukan diseccting microscope. Bagian yang paling jelas adalah perbedaan bentuk sisik sikat (comb scales) dan gigi pekten (pecten teeth), dan sikat ventral yang terdiri atas empat pasang rambut pada Ae. albopictus dan lima pasang pada Ae. aegypti.

Selama ini stadium pradewasa Ae. aegypti dikenal mempunyai kebiasaan hidup pada genangan air jernih pada bejana buatan manusia yang berada di dalam dan luar rumah, nyamuk dewasanya beristirahat dan aktif menggigit di siang hari di dalam rumah (endofilik-endofagik). Umumnya Ae. aegypti dan Ae. albopictus betina mempunyai daya terbang sejauh 50-100 meter. Nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus berbiak di dalam wadah (container breeding) dengan penyebaran di seluruh daerah tropis maupun subtropis. Tempat perkembangbiakan larva nyamuk Ae. aegypti adalah tempat-tempat yang digunakan oleh manusia sehari-hari seperti bak mandi, drum air, kaleng-kaleng bekas, ketiak daun dan lubang-lubang batu. Tipe-tipe kontainer baik yang kecil maupun yang besar yang mengandung air merupakan tempat perkembangbiakan yang baik bagi stadium pradewasa nyamuk Ae. aegypti. Hasil-hasil pengamatan entomologi menunjukkan bahwa Ae. aegypti menempati habitat domestik terutama penampungan air di dalam rumah, sedangkan Ae. albopictus berkembang biak di lubang-lubang pohon, drum, ban bekas yang terdapat di luar (peridomestik) (Wahid 2011).

Bahari (2011) menyatakan hasil penelitiannya mengenai kepadatan nyamuk yang menjadi vektor DBD di desa Babakan kabupaten Bogor, menunjukkan bahwa kepadatan nyamuk Ae. aegypti lebih tinggi di dalam rumah, sedangkan Ae. albopictus di luar rumah. Begitu juga dengan perilaku menggigitnya, Ae. aegypti menghisap darah di dalam rumah (endophagic), sedangkan Ae. albopictus lebih banyak menghisap di luar rumah. Adapun untuk aktivitas istirahat nyamuk Ae. aegypti berada di dalam rumah dan tidak dijumpainya nyamuk Ae. albopictus di dalam maupun di luar rumah.

2.4 Pengendalian Vektor DBD

Menurut Suroso dan Umar (1999) pemberantasan nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor penular DBD dapat dilakukan dengan cara: a) fogging, yaitu pengasapan untuk membunuh nyamuk dewasa; b) abatisasi, yaitu penaburan abate dengan dosis 10 gr untuk 100 liter air pada tampungan air yang ditemukan jentik nyamuk; c) penyuluhan dan penggerakan masyarakat dalam PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dengan 3 M, yaitu menguras, menutup tampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang nyamuk.

Fogging (pengasapan nyamuk dewasa) dilakukan di dalam dan di luar rumah penduduk. Oleh karena itu perlu persiapan yang matang, sosialisasi, dan kerjasama dengan penduduk. Ketika dilakukan fogging seluruh peralatan yang ada di dalam rumah harus diamankan, dan orang-orangnya harus keluar rumah. Seluruh penampungan air yang ada di dalam rumah juga harus disikat, dikuras, dibersihkan, dan ditutup rapat agar tidak menjadi sasaran nyamuk dewasa bertelur dan berkembang biak (Hadi 2011).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi terjadinya peningkatan kasus, salah satu diantaranya dan yang paling utama adalah dengan memberdayakan masyarakat dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui gerakan 3M ( Menguras-Menutup-Mengubur). Kegiatan ini telah diintensifkan sejak tahun 1992 dan pada tahun 2000 dikembangkan menjadi 3M Plus yaitu dengan cara menggunakan larvasida, memelihara ikan dan mencegah gigitan nyamuk. Sampai saat ini upaya tersebut belum menampakkan hasil yang diinginkan karena setiap tahun masih terjadi peningkatan angka kematian.

Selama ini berbagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam PSN-DBD sudah banyak dilakukan tetapi hasilnya belum optimal dapat merubah perilaku masyarakat untuk secara terus menerus melakukan PSN-DBD di tatanan dan lingkungan masing-masing. Untuk mengoptimalkan upaya pemberdayaan masyarakat dalam PSN DBD, pada tahun 2004 WHO memperkenalkan suatu pendekatan baru yaitu Komunikasi. Perubahan Perilaku/KPP (Communications for Behavioral Impact /COMBI), tetapi beberapa negara di dunia seperti negara Asean ( Malaysia, Laos, Vietnam), Amerika Latin (Nikaragua, Brazil, Cuba) telah menerapkan pendekatan ini dengan hasil yang baik. Di Indonesia sudah

diterapkan daerah uji coba yaitu di Jakarta Timur dan memberikan hasil yang baik (DEPKES 2008).

2.5 Pengetahuan dan perilaku masyarakat

Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan adalah hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni: (1) Tahu (know), (2) Memahami (Comprehension), (3) Aplikasi (Application), (4) Analisis (Analysis), (5) Sintesis (Synthesis), (6) Evaluasi (Evaluation).

Slamet (1998) mengemukakan bahwa perilaku terdiri dari tiga dasar yang meliputi: pertama, perilaku pengetahuan (knowing behaviour), kedua, perilaku sikap (feeling behaviour) dan ketiga, perilaku keterampilan (doing behaviour). Apabila pengertian perilaku ini lebih disederhanakan maka perilaku dapat dibagi menjadi 2 unsur yang saling berhubungan satu sama lain yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Proses perubahan perilaku atau penerimaan ide baru adalah hasil dari suatu proses yang kompleks yang biasanya memerlukan waktu yang lama. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan dari 3 faktor yaitu : (1) Faktor-faktor predisposisi, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya, (2) Faktor-faktor

pendukung, yang terwujud dalam lingkungan fisik (tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan (misalnya puskesmas dan obat-obatan) (3) Faktor-faktor pendorong, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Dengan demikian perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

Glanz et al. (1997) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain: (1) Perilaku kesehatan (health behaviour), yakni hal-hal yang berhubungan dengan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Dalam hal ini termasuk juga tindakan untuk mencegah penyakit dan kebersihan perorangan. (2) Perilaku sakit (illness behaviour) yaitu segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu yang merasa dirinya sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau merasa dan mengenal rasa sakit yang ada pada diri-nya. Termasuk disini juga kemampuan atau pengetahuan individu tersebut untuk mengidentifikasi penyakitnya, penyebab penyakit serta usaha-usaha pencegahan penyakit.

Notoatmodjo (2007) mengemukakan bahwa perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respon dan stimulus. Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau praktis). Adapun stimulus atau rangsangan disini terdiri 4 unsur pokok, yakni: sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan. Dengan demikian secara lebih terinci perilaku kesehatan itu mencakup : (1) Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, dengan tingkat pencegahan penyakit, yakni : Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan. misalnya: (makan makanan yang bergizi dan olahraga), pencegahan penyakit. misalnya: (Tidur memakai kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk malaria dan imunisasi), pencarian pengobatan seperti halnya berusaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas moderen seperti puskesmas, mantri, dokter praktek dan sebagainya, dan pemulihan kesehatan (2) perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan (3) perilaku terhadap makanan dan (4) perilaku terhadap lingkungan kesehatan.

Perilaku kesehatan mencakup beberapa aspek di antaranya: perilaku kesehatan sehubungan dengan air bersih, pembuangan air kotor, limbah, rumah

yang sehat (meliputi ventilasi, pencahayaan, lantai) dan pembersihan sarang-sarang nyamuk (vektor).

2.6 Pengetahuan Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Penyakit

Manalu & Rahmalina (2010) menyatakan pengetahuan masyarakat di Kabupaten Tangerang terhadap penyakit tuberculosis (TB) paru belum cukup baik, hal ini tercermin masyarakat belum mengetahui secara benar tanda-tanda TB paru. Adapun perilaku mencari pengobatan sudah cukup baik, umumnya penderita berobat ke fasilitas kesehatan (Puskesmas), hanya saja perilaku pencegahan penularan dan kepatuhan minum obat masih kurang.

Santoso & Budiyanto (2008) mengemukakan mengenai pengetahuan sikap dan perilaku masyarakat terhadap DBD di Kota Palembang, dari 6 kelurahan dengan jumlah responden keseluruhan 606 orang, sebanyak 51,7% responden mempunyai pengetahuan yang baik, sisanya (48,3%) pengetahuannya kurang. Sebanyak 50,2% responden mempunyai sikap yang masih buruk terhadap penyakit DBD. Adapun perilaku masyarakat terhadap pencegahan dan pengendalian vektor penyakit DBD tergolong baik (54,3%). Jika diuji statistik terhadap pengetahuan dan sikap serta pengetahuan dan perilaku, ternyata diketahui adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap serta pengetahuan dan perilaku. Pengetahuan yang rendah, akan membentuk masyarakat kepada sikap dan perilaku yang kurang baik terhadap penyakit DBD.

Sauri (2011) melakukan penelitian kepada 239 mahasiswa yang terdiri atas semester tiga, lima, tujuh dan PPDH Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap mahasiswa terhadap Foodborne Disease. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan responden terhadap foodborne disease dalam kategori cukup (59,4%) sampai baik (15,5%) dan sisanya (25,1%) memiliki tingkat pengetahuan yang buruk sampai sangat buruk. Adapun hasil analisis sikap menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa FKH IPB bersikap baik terhadap foodborne disease (84,5%) dan sisanya (15,5%) memiliki sikap sedang, dan tidak ada (0,0%) responden bersikap buruk. Setelah dianalisis lebih lanjut, bahwa tingkat pengetahuan tidak berkaitan dengan sikap mahasiswa.

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di wilayah permukiman padat penduduk lingkar kampus IPB Desa Babakan Darmaga Bogor Jawa Barat (Gambar 1) yang terdiri atas empat RW (I,VII,VIII dan IX). RW I dan VII (RT 01,02,03,04), RW VIII (RT 02), RW IX (01). Penelitian ini dilaksanakan pada Februari-Oktober 2010.

Gambar 1 Wilayah penelitian Desa Babakan.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diambil secara acak dari 287 responden menggunakan kuesioner dengan metode wawancara langsung. Peneliti mendatangi dari rumah ke rumah, mengemukakan maksud penelitian kepada warga yang bertempat tinggal di rumah tersebut. Peneliti meminta kesediaan kepada penghuni rumah untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Setelah adanya persetujuan di antara peneliti dan responden, data primer dapat diambil. Masing-masing pertanyaan yang terdapat pada kuesioner dibacakan oleh peneliti dan langsung dijawab oleh responden. Peneliti mengarahkan responden apabila jawaban

u

s

B T

1: 20.000

responden kurang sesuai dengan maksud pertanyaan yang diinginkan. Kuesioner penelitian (Lampiran 1) ini bersifat tertutup dan tidak diperlihatkan kepada responden.

Kuesioner penelitian terbagi atas empat bagian yaitu data umum, pengetahuan terhadap vektor dan penyakit DBD, perilaku terhadap vektor dan penyakit DBD serta bentuk penyuluhan yang diharapkan responden. Data umum adalah data karakteristik responden yang meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan serta hubungan responden dengan kepala keluarga. Adapun data sekunder mengenai kasus demam berdarah selama tahun 2010 diambil dari dua pelayanan kesehatan yang tersedia di daerah penelitian yaitu Puskesmas Cangkurawok dan Klinik Farfa, serta data curah hujan diambil dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kabupaten Bogor.

3.3 Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan cara menghitung persentase masing- masing kelompok pertanyaan seperti karakteristik umum, pengetahuan dan perilaku responden terhadap vektor dan penyakit DBD, serta bentuk penyuluhan yang diharapkan oleh responden. Selanjutnya data tersebut ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat terhadap masalah vektor dan penyakit DBD dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu baik, sedang dan kurang. Pengelompokkan kategori tersebut berdasarkan hasil persentase jawaban yang benar. Kategori berpengetahuan dan berperilaku baik apabila mempunyai skor jawaban >70%, sedang 40-70%, dan kurang <40%.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Masyarakan Desa Babakan

Desa Babakan terdiri atas 4 Dusun, 9 RW (Rukun Warga) dan 35 RT (Rukun Tetangga), dengan jumlah keluarga miskin (Gakin) mencapai 398 KK yang merupakan 25% dari jumlah keluarga yang ada di Desa Babakan. Jumlah penduduk desa ini ±10.902 jiwa yang terdiri atas 5.196 jiwa laki-laki dan 5.706 jiwa perempuan, dengan keseluruhan 2.439 kepala keluarga. Data lengkap penduduk pada November 2009 dapat dilihat pada Lampiran 2.

Lebih dari 70% penduduk Desa Babakan menggantungkan hidupnya dari sektor perdagangan dan wirausaha, karena Desa Babakan ini terletak di sekitar tempat tinggal mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB).

4.2 Kondisi Sosial Masyarakat Desa Babakan

Sebagian besar penduduk Desa Babakan terdiri dari penduduk usia muda yang berusia kurang dari 27 tahun. Desa Babakan termasuk memiliki sarana pendidikan yang cukup banyak, yang terdiri atas 6 bangunan Taman Kanak-Kanak, 4 bangunan Sekolah Dasar, 2 bangunan SLTP/MTS dan 4 bangunan SLTA/SMK dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

4.3 Karakteristik Umum Responden (Mayarakat Desa Babakan)

Karakteristik adalah ciri-ciri individu yang terdiri atas demografi seperti jenis kelamin, umur, status sosial, tingkat pendidikan, pekerjaan, ras dan status ekonomi (Notoatmodjo 2003). Responden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Babakan Kabupaten Bogor. Data karakteristik responden disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik umum responden (Masyarakat Desa Babakan) No Variabel Jumlah (n=287) Persentase (%) 1. Umur : < 20 th 20 7 20-40 th 182 63.4 > 40 th 85 29.6 2. Jenis kelamin : perempuan 221 77

laki-laki 66 23 3. Pendidikan : Tidak Pernah Sekolah 8 2.8 SD sederajat 60 21 SMP sederajat 30 10.4 SMA sederajat 62 21.6 Akademi/Diploma 3 1 Perguruan Tinggi 124 43.2 4. Pekerjaan : PNS/TNI 12 4.2 Pegawai Swasta 10 3.5 Wiraswasta 28 9.8 Buruh 5 1.7 Mahasiswa 95 33.1 Ibu Rumah Tangga 81 28.2 Tidak bekerja 33 11.5 Lainnya 23 8 5. Hubungan dengan KK : Kepala Keluarga 55 19.2

Istri 92 32

Anak 28 9.8

Kost 106 37

Lainnya 6 2

Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 287 responden, sebanyak 7% responden berusia kurang dari 20 tahun, 63,4% berusia 20-40 tahun dan 29,6% berusia lebih dari 40 tahun. Dilihat dari penggolongan usia ini responden mayoritas masih berada pada masa produktif. Responden banyak ditemui berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 77% dibandingkan dengan responden laki-laki sebanyak 23%. Hal ini dimungkinkan pada saat melakukan wawancara pada pukul 08.00-11.00 lebih banyak perempuan yang tinggal di rumah terutama wanita, sedangkan laki-laki sudah tidak berada di rumah karena sudah berangkat kerja.

Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas pendidikan masyarakat Desa Babakan adalah tingkat perguruan tinggi (43%), selanjutnya tingkat SLTA sederajat 22%, SD sederajat 21%, SLTP sederajat 10%, akademi/diploma 1% dan tidak pernah sekolah 3%. Hal ini dapat menunjukkan bahwasannya tingkat pendidikan responden cukup tinggi, sehingga diharapkan pendidikan responden

berkorelasi positif terhadap pengetahuan dan perilakunya terhadap kesehatan individu dan kebersihan lingkungan disekitarnya.

Pekerjaan responden dalam penelitian ini, 33% responden berstatus sebagai mahasiswa, 28% sebagai ibu rumah tangga, 12% tidak bekerja, 4% PNS/TNI, 3% pegawai swasta, 10% wiraswasta, 2% buruh dan lain-lain sebanyak 8% yang terdiri dari guru, pensiunan, pelajar, pengajar dan tukang ojek.

Berdasarkan hubungan responden dengan kepala keluarga, 19% responden sebagai kepala keluarga, 32% sebagai istri, 10% sebagai anak, 37% sebagai anak kost dan 2% lain-lain yang terdiri sebagai cucu, pembantu maupun mertua. Sebagian besar hubungan responden dan kepala keluarga sebagai anak kost karena daerah penelitian ini banyak dibangun sebagai tempat kost.

4.4 Kasus DBD di Desa Babakan

Kasus DBD yang tercatat pada fasilitas kesehatan di sekitar daerah penelitian, berasal dari Puskesmas Cangkurawok dan Klinik Farfa (Swasta), disajikan pada Tabel 2, sedangkan data kaitan curah hujan dan banyaknya kasus DBD disajikan pada Gambar 2.

Tabel 2 Kasus DBD di Puskesmas Cangkurawok dan Klinik Farfa pada Desember 2010 Bulan Puskesmas Cangkurawok (Orang) Klinik Farfa (Orang) Jumlah kasus DBD Januari 4 14 18 Februari 3 9 12 Maret 1 20 21 April 2 8 10 Mei 0 11 11 Juni 0 12 12 Juli 0 4 4 Agustus 1 16 17 September 0 17 17 Oktober 0 10 10 November 0 30 30 Desember 2 3 5 Jumlah 13 154 167

Puskesmas Cangkurawok dan Klinik Farfa merupakan fasilitas kesehatan terdekat di sekitar daerah penelitian. Tabel 2 menunjukkan jumlah kasus DBD yang diperoleh dari kedua fasilitas kesehatan selama tahun 2010. Jumlah kasus selama tahun 2010 di Puskesmas Cangkurawok berjumlah 13 kasus, sedangkan di Klinik Farfa sebanyak 154 kasus. Faktor yang menyebabkan sedikitnya jumlah kasus DBD yang tercatat di Puskesmas Cangkurawok dibandingkan Klinik Farfa kemungkinan karena fasilitas puskesmas kurang lengkap, jam kerja yang lebih sedikit, serta lokasi yang kurang strategis. Ditemukannya kasus DBD sepanjang tahun, dapat dipengaruhi karena pemberantasan vektor yang kurang tepat atau perilaku masyarakat terhadap kebersihan lingkungan yang masih buruk.

Hubungan curah hujan dan kasus DBD pada tahun 2010 di Desa Babakan, secara garis besar terlihat bahwa, curah hujan dapat mempengaruhi kasus DBD (Gambar 2). Semakin tinggi curah hujan, maka jumlah kasus DBD yang ditemukan juga bertambah banyak. Hal ini dikarenakan telur dari nyamuk Ae. aegypti mampu bertahan dalam keadaan kering, sehingga ketika curah hujan tinggi, telur tersebut dapat menetas. Namun demikian, korelasi antara curah hujan dan jumlah kasus DBD di Desa Babakan lemah (r=0,277). Hal tersebut dapat dipengaruhi pencatatan data pada dua pelayanan kesehatan (Puskesmas Cangkurawok dan Klinik Farfa) kurang lengkap.

.

Tabel 3 Data hasil pemeriksaan darah penderita DBD di Klinik Farfa pada Januari- Desember 2010

Angka Rata-rata dari Kelompok Usia

(tahun) Hemoglobin (g/dL)

Leukosit (sel/mm3) Trombosit (ribu) Hematokrit (%) 1-≤4 11.5 6484.62 176.9 34.5 (5.02-13.2) (3 900-12 545) (35-268) (15-39) 5-≤14 12.4 6055.16 184 37.74 (9.8-17.10) (3 200-11 245) (25-269) (30-53) 15-≤18 14.68 5285 148.57 47 (11.2-18.02) (3 770-7 020) (23-238) (43-52) 19-≤40 13.62 5424.91 178.72 40.58 (9.06-15.48) (3 250-7 540) (28-268) (34-51) >40 12.77 5609.5 158.33 39.5 (5.02-16.2) (2 665-10 010) (18-271) (15-48)

Diagnosis yang menunjang kepastian DBD adalah pemeriksaan darah penderita. Berdasarkan data Tabel 3, Kadar hemoglobin pada penderita DBD tidak menjauhi kisaran normal (rata-rata 16 g/dL pada pria dan 14 g/dL pada wanita). Namun, ada beberapa penderita yang kadar hemoglobinnya rendah, hal ini mungkin dipengaruhinya volume darah yang sedikit. Kandungan leukosit pada penderita juga masih dalam kisaran normal (4.000-11.000 sel per mikroliter darah). Sel leukosit ini memberikan badan pertahanan yang kuat terhadap tumor serta infeksi virus, bakteri dan parasit (Ganong 1995). Kadar leukosit dari beberapa penderita DBD masih di bawah normal, hal ini dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pada masing-masing individu. Secara garis besar, kandungan trombosit penderita DBD sangat rendah (kadar normal trombosit 300.000 per mikroliter darah). Rendahnya trombosit pada pasien yang datang ke Klinik Farfa ini menunjukkan bahwa orang tersebut positif terjangkit penyakit DBD. Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbat mekanik selama respon hemostasis normal jika terjadi cedera pada vaskular. Jika tidak ada trombosit, dapat terjadi kebocoran darah spontan dari pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan gejala mimisan, muntah darah, berak darah bahkan bisa timbul syok pada penderita DBD. Hematokrit (ht) adalah volume eritrosit yang dipisahkan dari plasma di dalam tabung khusus yang nilainya dinyatakan dalam persen. Nilai hematokrit normal pada pria 40-48% dan wanita 37-43%. Perubahan nilai hematokrit yang cepat tanpa adanya perubahan volume plasma yang nyata,

biasanya ada pendarahanatau hemolisis. Rata-rata nilai hematokrit pada penderita DBD, tidak jauh dari kisaran normal, namun masih ada penderita DBD yang nilai hematokritnya rendah (15%). Hal ini disebabkan keadaan individu yang anemis, karena kandungan eritrosit yang rendah nilai hematrokritnya juga rendah.

Adapun jumlah kasus DBD yang tercatat di Desa Babakan (Klinik Farfa) terbanyak diderita pada kelompok usia 19-40 tahun (Tabel 3). Kemungkinan hal ini disebabkan oleh aktifitas di luar yang tinggi sehingga potensi kontak dengan vektor lebih besar.

Tabel 4 Jumlah kasus DBD berdasarkan kelompok usia pada Klinik Farfa pada Januari- Desember 2010

Kelompok usia (tahun) Jumlah kasus DBD (orang)

0-4 41

5-≤14 34

15-≤18 7

19-40 57

4.5 Profil pengetahuan responden di Desa Babakan

Karakteristik individu yang relatif tidak berubah adalah umur, jenis kelamin, suku bangsa, pendidikan dan pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, proporsi tindakan terhadap pencegahan penyakit diharapkan cukup baik. Berdasarkan data yang diperoleh dari 287 responden, sebanyak 98% responden pernah mendengar penyakit DBD dan hanya 2% yang tidak mengetahuinya dan tidak pernah mendengarnya (Gambar 3).

.

Gambar 3 Pengetahuan masyarakat mengenal penyakit DBD.

Gambar di atas menjelaskan 98% responden yang pernah mendengar informasi tentang DBD, informasi terbanyak diperoleh dari media elektronik (televisi, radio dan film), kemudian orang dekat (Keluarga, teman, tetangga), media cetak (Surat kabar, majalah, brosur), pamong (Camat, Lurah, RW, RT), petugas kesehatan dan yang terakhir adalah kader (Posyandu, dasawisma) (Gambar 4).

Gambar 4 Media pemberi informasi yang diperoleh responden mengenai penyakit DBD.

Selain dari sumber-sumber informasi di atas adanya pengalaman responden maupun orang-orang terdekat responden yang pernah menderita

penyakit DBD, dapat menambah sedikit banyak pengetahuan responden terhadap DBD. Enam puluh lima persen responden mempunyai pengalaman adanya anggota keluarga, sanak saudara, teman, tetangga, atau bahkan responden itu sendiri, pernah menderita demam berdarah dan sisanya (35%) responden tidak mempunyai pengalaman terjangkit penyakit DBD (Gambar 5).

Gambar 5 Pengalaman responden terkena DBD.

Pengetahuan responden terhadap penyakit DBD dibagi menjadi beberapa kategori yaitu pengetahuan responden tentang penyebab, penular, perilaku nyamuk yang dapat menyebabkan penyakit DBD. Mengenai penyebab penyakit DBD, sebagian besar responden sebanyak 75% masih menjawab penyebab penyakit DBD adalah nyamuk. Seharusnya penyebab dari penyakit DBD adalah

Dokumen terkait