• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu tunggu merupakan suatu keadaan dimana seseorang menanti sesuatu yang akan terjadi pada dirinya atau atas kehidupannya, seperti halnya seorang terpidana mati yang sedang menunggu kapan ajal akan menjemput dirinya. Masalah pidana mati khususnya di Indonesia selalu menjadi topik yang tidak pernah ada akhirnya. Bukan penerapan pidana mati saja yang dipermasalahkan, lebih lanjut mengenai lamanya eksekusi mati itu sendiri juga menurut penulis merupakan salah satu masalah serius yang juga harus dicari solusinya. Hal ini karena berdampak buruk pada sistem pemidanaan dan juga tentunya untuk narapidana itu sendiri dimana beberapa terpidana sudah

32

http://icjr.or.id/data/wp/content/uploads/2016/09/Update_Kondisi_Hukuman_Mat i_di_Indonesia_2016.pdf, diakses 22 Sep 2016

105

dijatuhi pidana mati dan segala upaya hukumnya sudah dilakukan namun masih menunggu lagi masa eksekusinya yang begitu lama bahkan ada juga yang sampai bertahun-tahun lamanya seperti dalam beberapa kasus yang sudah penulis paparkan dalam Tabel III dimana sebagian besar dari terpidana mati masih menunggu putusan upaya hukum terakhir berupa grasi setelah upaya hukum peninjauan kembalinya ditolak.

Dalam tabel tersebut juga terdapat beberapa terpidana yang mengajukan PK lebih dari sekali. Kemudian dalam Tabel II masih banyak terpidana mati yang belum dieksekusi sampai tahun 2015 yang berhasil penulis rangkum sebanyak 123 terpidana dengan waktu tunggu yang berbeda. Dari sini juga bisa menjadi permasalahan karena hukum positif mengenai pidana mati tidak ada perbedaan tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai aturan yang ada. Pelaksanaan pidana mati jilid 3 ternyata terjadi juga pelanggaran hak asasi manusia dalam proses eksekusinya. Dimana diketahui terpidana mati Seck Osmane, Hunprey Ejike dan Freddy Budimana sedang mengajukan upaya hukum grasi saat eksekusi tersebut, hal tersebut justru melanggar Pasal 3 UU Grasi sebab dalam hal pidana mati, seseorang tidak akan dieksekusi sebelum adanya surat penolakan presiden kepada si

106

pemohon. Putusannya sendiri belum ada apakah permohonan grasi diterima atau ditolak oleh presiden tetapi eksekusi telah dilaksanakan.

Waktu tunggu eksekusi mati ini merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia terhadap Pasal 33 ayat (1) UU

No. 39/1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa : Setiap

orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Terkait dengan pasal diatas, menurut penulis hak yang dilanggar tersebut menyangkut hak kebebasan, kebebasan yang dimaksud yaitu bebas dari “penyiksaaan, penghukuman, dan….”.

Selama masa tunggu eksekusi pidana mati, terpidana

mengalami hukuman ganda (double Punishment). Dalam proses

eksekusinya terpidana yang sudah dijatuhi pidana mati harus menjalani dua pidana pokok sekaligus yaitu pidana penjara dan juga eksekusi dari pidana mati itu sendiri. Hal tersebut justru tidak sesuai dengan sistem pemidanaan karena seolah negara memberikan pidana tambahan berupa hukuman penjara sebelum merealisasikan eksekusi mati itu sendiri. Terlebih lagi jika dalam masa tunggu tersebut menghabiskan waktu yang sangat lama

107

bahkan sampai bertahun-tahun justru hal tersebut masuk dalam pelanggaran hak asasi manusia.

Terhitung sampai tahun 2015, ada 6 (enam) orang terpidana mati kasus pembunuhan yang sudah menghabiskan waktu lebih dari 20 tahun tetapi belum dieksekusi sampai saat ini, diantaranya terpidana mati Bursam bin Boher sudah menunggu 25 tahun atas kasus pembunuhan. Ia melakukan banding sebagai upaya hukum terakhir ke pengadilan tinggi pada tahun 1990. Terpidana lain adalah Koh Kim Chea, WN Malaysia ini tersangkut kasus narkotika dan sudah menunggu eksekusi mati 23 tahun. Ia menempuh upaya hukum terakhir tahun 1992. Terpidana mati kasus narkotika Tham Tuck Yin sudah menunggu 20 tahun usai menempuh upaya hukum kasasi di MA pada tahun 1995 dan terpidana lainnya yaitu Sokikin bin abubakar, Koptu Soedjono, La aja bin La feely dan Burhan bin Gingan yang masih menunggu eksekusi. Selain itu masih banyak terpidana mati lainnya yang masih menunggu eksekusi dengan waktu yang bervariasi tanpa adanya kepastian yang telah penulis lampirkan dalam tabel sebelumnya.

Kemudian dilain sisi, waktu tunggu eksekusi

108

terpidana dimana mereka dihadapkan dengan kondisi penantian kematian yang tidak pasti dan hal ini justru memberikan tekanan psikologi tersendiri bagi mereka (terpidana mati). Dalam kasus “Rodrigo Gularte dan Marco Archer Cardoso Moreira dieksekusi dalam kondisi gangguan jiwa dan mental yang tidak stabil. Mary Jane, yang sampai saat ini masih masuk dalam masa tunggu terpidana mati, mendapatkan trauma mental dan stress yang mengakibatkan dirinya sering membenturkan kepala ke tembok. Kemudian kondisi terpidana Zainal Abidin yang dipindahkan ke ruang isolasi dalam kondisi stress saat permohonan Peninjauan Kembalinya masih diperiksa di Mahkamah Agung setelah 10

tahun tertunda tanpa penjelasan jelas.(*mengutip Wakil Ketua

Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap perempuan, Yuniyanti Chufaizah, di berita harian terpenting bergeloran.com, tanggal 26 Juni 2016).

Hal lain yang sering dilupakan adalah mereka yang turut serta merasakan dampak dari eksekusi pidana mati tersebut yaitu

keluarga. Dalam bukunya Professor Susan Sharp “The Effects of

The Death Penalty on Families of The Accused”, dikatakan bahwa dampak dari eksekusi pidana mati tersebut tidak hanya dirasakan oleh terpidana mati saja namun juga turut dirasakan

109

oleh keluarga terpidana mati (istri, orangtua, anak-anak dan saudara kandung). Misalnya, kasus yang menimpa Bruno Richard Hauptmann, Ia dituduh melakukan pembunuhan terhadap bayi dari seorang pilot bernama Charles Linberg dan dieksekusi pada tahun 1936. Banyak yang mempercayai jika Hauptmann tidak bersalah. Selanjutnya dikatakan bahwa setelah hukuman mati tersebut dilakukan, terpidana mati tidak akan lagi menjalani hukuman panjang atau hidup dengan stigma atau kenangannya tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi keluarganya. Misalnya, Istri dari Hauptmann dalam enam dekade selalu mengingat setiap hal

tersebut sampai pada kematiannya tahun 1994.33

Penungguan eksekusi berkepanjangan tersebut selain membawa siksaan dan perlakuan yang sewenang-wenang terhadap terpidana mati juga membawa dampak buruk terhadap keluarga dari terpidana mati itu sendiri karena mereka harus kehilangan anggota keluarganya. Dengan vonis yang diberikan sudah membuat mereka menderita belum lagi ditambah dengan lamanya waktu tunggu eksekusi tersebut. Memang awalnya waktu tunggu tersebut setidaknya memberikan sedikit “harapan” bagi keluarga terpidana, mereka berharap setidaknya dari waktu

33

Bagian kata pengantar dalam bukunya Professor Susah Sharp “The Effects of The Death Penalty on Families of The Accused .

110

tunggu ini ada mujizat yang terjadi untuk meringankan hukuman anggota keluarga mereka tetapi itu seperti “harapan palsu” yang pada akhirnya akan mendatangkan kematian juga. Dari lamanya waktu tunggu ini juga lama kelamaan berdampak buruk kepada keturunan dari si terpidana mati tersebut, yang mana pada awalnya yang merasakan hanya satu atau dua pihak saja lama kelamaan malah semakin banyak pihak yang akan turut merasakan dampak dari penungguan tersebut.

Dalam pelaksanaan eksekusi mati, setiap terdakwa masih diberi hak untuk mengajukan upaya hukum, baik berupa upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) maupun diluar

KUHAP. 34 Upaya hukum biasa yang berupa banding dan kasasi

adalah upaya hukum yang ditempuh terdakwa ketika putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila putusan sudah

berkekuatan hukum tetap, terpidana masih mempunyai

kesempatan mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali. Dalam sistem hukum pidana Indonesia, terpidana masih mempunyai hak untuk

34 Niken Subekti Budi Utami, Problematika permohonan grasi menurut UU No. 22 Tahun 2002, Vol.20, No. 1, 2008, hal 1.

111

mengajukan upaya hukum selain upaya-upaya hukum diatas, yaitu Grasi 35.

Dalam Pasal 3 UU No 22 Tahun 2002 disebutkan bahwa

“Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan

pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati” karena itu pelaksanaan pidana mati tidak dapat dilakukan sampai adanya salinan putusan presiden terkait dengan permohonan grasi. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi oleh presiden paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 11) dan disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan

Presiden ( Pasal 12 ayat(1)) 36. Dengan demikian bagi terpidana

mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana (Pasal 13 UU No.22 Tahun 2002).

35 ibid

112

2. Putusan MK tentang PK Potensial Memperpanjang Waktu

Dokumen terkait