• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Waktu Tunggu Eksekusi Pidana Mati dalam Perspektif Hak Asasi Manusia T2 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T2__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Waktu Tunggu Eksekusi Pidana Mati dalam Perspektif Hak Asasi Manusia T2 BAB III"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

78

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A.

Perkembangan Eksekusi Pidana Mati di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negara yang masih

mempertahankan pidana mati dalam sistem pemidanaan. Hal ini

tertuang dalam Pasal 10 KUHP dimana pidana mati masih

merupakan pidana pokok yang tetap digunakan sampai saat ini.

Hukuman mati adalah hukuman terberat yang bisa dijatuhkan. Terpidana yang sudah dieksekusi mati, tak mungkin dihidupkan lagi meskipun belakangan terungkap, misalnya, telah terjadi kesalahan dalam proses peradilan1. Pemerintah Indonesia sendiri melakukan eksekusi pidana mati pertama kali pada tahun 1979. Sampai saat ini

terhitung sudah 79 orang terpidana yang telah dieksekusi mati dan

ada beberapa terpidana yang telah dijatuhi hukuman mati namun

meninggal sebelum diekseksusi. Berikut ini merupakan daftar nama

narapidana yang telah dieksekusi mati sampai tahun 2015 :

1

(2)

79

TABEL I

Daftar Terpidana Mati yang telah dieksekusi dari tahun 1979 s/d 2015

Sumber : Data Olahan KontraS 2 dan Dokumen Press Release Akhir

Tahun 2015 3

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa terpidana mati

yang telah dieksekusi sampai tahun 2015 berjumlah 79 orang, yang

terdiri dari 25 kasus kejahatan politik, 26 kasus pembunuhan

berencana, 6 kasus terorisme dan 22 kasus narkoba. Disamping itu

ada juga dua terpidana yang telah divonis pidana mati namun

meninggal saat menanti eksekusi, yaitu Bahar bin Matar dan Robot

Gedek alias Siswanto.

Mengenai eksekusi pidana mati itu sendiri masih menjadi

permasalahan dan masih terus berlanjut terlebih berkaitan dengan

proses pelaksanaannya yang terkadang tidak sesuai prosedur bahkan

sampai mendatangkan kritikan dari berbagai kalangan. Indonesia

2

https://www.kontras.org/data/hukuman%20mati.pdf, diakses 31 Agustus 2016

3

(3)

80

memiliki daftar tunggu eksekusi pidana mati yang sewaktu-waktu bisa dieksekusi. Sampai tahun 2015 masih banyak terpidana yang sudah diputus pidana mati tetapi belum dieksekusi diantaranya

terpidana kasus narkoba, pembunuhan dan terorisme 4 yang penulis

telah rangkum beserta waktu tunggu eksekusinya dalam tabel

dibawah ini.

TABEL II

Daftar Terpidana Mati Yang Belum Dieksekusi s/d Tahun 2015

Dengan Melihat tabel diatas dapat dijelaskan bahwa sampai

tahun 2015 masih banyak terpidana mati yang belum dieksekusi

sebanyak 123 orang, yang terdiri dari 63 kasus pembunuhan

berencana, 57 kasus narkotika dan 3 kasus terorisme. Dalam tabel

4 DEATH PENALTY LOG IN INDONESIA UPDATED 2015, dilihat di

(4)

81

diatas juga menunjukkan bahwa sampai tahun 2015 terpidana mati

telah menghabiskan waktu yang cukup lama dalam menanti eksekusi,

durasi waktu tunggunya pun bervariasi yaitu minimum antara 1-5

Tahun dan maksimum 20 sampai lebih dari 20 tahun.

Banyaknya terpidana yang belum dieksekusi tersebut justru

menimbulkan ketidakpastian hukum dalam hukum positif di

Indonesia. Padahal dalam hukum positif di Indonesia, jika suatu

putusan sudah berkekuatan hukum tetap maka eksekusi itu harus

tetap dilaksanakan sesuai prosedur. Tetapi dalam kenyataannya tidak

sama sekali sehingga berangsur-angsur penundaan itu mengakibatkan

juga proses penantian yang sangat lama bahkan sampai

bertahun-tahun tanpa kepastian. Selanjutnya pada bertahun-tahun 2016 mengenai

eksekusi mati ini juga terus mengalami perkembangan yaitu nampak

dari kejaksaan yang akan kembali melakukan ekseksusi pidana mati

terhadap 14 terpidana mati kasus narkoba yang telah masuk dalam

daftar tunggu eksekusi mati jilid III yang telah penulis rangkum

(5)

82 TABEL III

Terpidana Mati Yang Menunggu Waktu Eksekusi Mati Jilid III Tahun 2016

(6)

83

Sumber : Portal Hukuman Mati Di Indonesia dan Direktori Putusan MA Republik Indonesia (*sudah dieksekusi tanggal 29 Juli 2016).

Dalam tabel diatas, terdapat 14 terpidana mati yang masuk

dalam daftar eksekusi mati jilid III tahun 2016 dan semuanya

merupakan terpidana mati kasus narkoba. Terpidana tersebut sudah

berada dalam masa tunggu minimum 1 (satu) tahun dan maksimum

paling lama 12 tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum

(7)

84

para terpidana mati masih diberikan kesempatan untuk mengajukan

upaya hukum lainnya baik berupa peninjauan kembali dan grasi.

Sebanyak 14 terpidana mati diatas merupakan terpidana yang sudah

siap dieksekusi pada tanggal 29 juli 2016 tetapi di menit-menit

terakhir eksekusi hanya 4 (empat) terpidana mati saja yang

dieksekusi, diantaranya; Freddy Budiman, Michael Titus Igweh,

Humphrey Ejike, dan Seck Osmane. Sedangkan 10 terpidana mati

tiba-tiba ditunda eksekusinya.

Mengenai hal tersebut tidak diketahui secara persis apa yang

menyebabkan penundaan tersebut, namun dalam keterangan pers

Kejaksaan Agung pada jumat pasca eksekusi, Jaksa Agung Prasetyo

mengatakan, bahwa penangguhan eksekusi bisa saja diputuskan pada

detik-detik terakhir jika terdapat pertimbangan lain, baik bersifat

yuridis dan non yuridis.5 Namun, Prasetyo tidak menyebutkan secara

rinci persoalan yuridis dan non yuridis tersebut yang menjadi dasar

penangguhan.

Eksekusi pidana mati yang sudah dilakukan tersebut juga

diketahui telah terjadi pelanggaran hukum dimana terpidana mati

Humprey Ejike dan Seck Osmane sedang mengajukan grasi saat

5 Kristian Erdianto, Ini Alasan Kejaksaan Agung Tangguhkan Eksekusi 10

Terpidana Mati, dilihat di:

(8)

85

mereka dieksekusi, untuk diketahui pula Humprey Ejike mengajukan

grasi pada tanggal 25 Juli 2016 melalui PN Jakarta Pusat sedangkan

Seck Osmane mengajukan grasi pada tanggal 27 Juli 2016 melalui

PN Jakarta Selatan.6 sedangkan dari informasi yang didapat, bahkan

Freddy Budiman juga telah mengajukan grasi pada Kamis 28 Juli

2016. Namun akhirnya eksekusi tetap dijalankan pada Jumat, 29 Juli

2016 dini hari. 7

Pelaksanaan hukuman mati tersebut dilakukan dengan tanpa menunggu dikeluarkannya Surat Keputusan Penolakan Grasi dari Presiden. Hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 3 UU No 22

Tahun 2002 tentang Grasi yang menyatakan bahwa : “Bagi terpidana

mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan

permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum

Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima

oleh terpidana”.

Pelaksanaan hukuman mati menjadi keharusan dalam mewujudkan kepastian hukum. Namun pada pelaksanaannya, Kejaksaan Agung kerap dihadapkan dengan berbagai hambatan. Menurut Jaksa Agung Prasetyo, kendala yang berpotensi

6

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57a4581715002/ternyata-eksekusi-dua-terpidana-mati-tak-tunggu-grasi, diakses 25 Okt 2016

7

(9)

86

menghambat eksekusi terpidana mati tak saja di jilid I tetapi juga pada jilid II dan III. Setidaknya ada 4 (empat) kendala dalam pelaksanaan pidana mati tersebut 8 diantaranya:

a. terpidana seringkali memanfaatkan ketentuan dalam Pasal 264 ayat (3) KUHAP. Pada ayat (3) mengatur tidak membatasi jangka waktu permintaan Peninjauan Kembali. Yakni, dengan cara tidak segera mengajukan upaya PK. Hal itu berdampak terpidana memanfaatkan dengan mengulur waktu.

b. terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013. Yang intinya, menyatakan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan lebih dari satu kali. putusan tersebut berpotensi menghambat eksekusi terhadap terpidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap di tingkat kasasi.

c. terdapat upaya hukum yang tidak lazim. Misalnya, kata Prasetyo, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan tersebut menguji keputusan presiden terkait grasi. Seperti halnya yang terjadi pada terpidana mati yang

8

(10)

87

mengajukan gugatan ke PTUN sebelum pelaksanaan eksekusi mati jilid II.

d. terbitnya putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015, yang isi amar putusannya yaitu :

a) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk

seluruhnya;

b) Menyatakan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2002 tentang Grasi berbunyi: “Permohonan grasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan

memperoleh kekuatan hukum tetap” bertentangan dengan UUD 1945;

c) Menyatakan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2002 tentang Grasi berbunyi: “Permohonan grasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetaptidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;

d) Menyatakan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dinyatakan dihapuskan secara keseluruhan;

e) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita

Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

(11)

88

disalahgunakan para terpidana dengan cara mengajukan grasi sesaat sebelum pelaksanaan eksekusi pidana mati.

B. Waktu Tunggu Eksekusi Pidana Mati Berkaitan Dengan

Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat didalam

diri pribadi individu. Hak ini merupakan yang paling mendasar bagi

setiap individu untuk berdiri dan hidup secara merdeka dalam

komunitas masyarakat.9 Sifat hakiki dan kodrati HAM yang melekat

pada diri setiap orang tidak dapat dicabut atau dihapuskan oleh

siapapun termasuk negara. Menghapus dan mencabut HAM sama

artinya menghilangkan eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan

Yang Maha Esa.10

Dalam sistem pemidanaan di Indonesia, setelah

tersangka/terdakwa dijatuhi suatu jenis pidana maka

tersangka/terdakwa pun dalam proses hukumnya harus menjalani

penahanan sesuai prosedur yang berlaku. Jenis-jenis penahanannya

dapat berupa 11:

 Penahanan rumah tahanan negara (Rutan);

 penahanan rumah; dan

9 Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana , Edisi Revisi, cet.ke-1, kencana,

Jakarta, 2014, hal 1

10 Ibid

(12)

89

 penahanan kota.

Dalam pelaksanaan pidana mati juga seringkali terpidana mati

setelah diputus pidana mati maka dalam proses pengajuan upaya

hukum lainnya terpidana harus tetap menjalani penahanan sampai

tahap eksekusi dilaksanakan. Seperti dalam salah satu terpidana mati

kasus narkotika Michael Titus Igweh yang sudah diputus dan tetap

menjalani penahanan, amar lengkapnnya adalah sebagai berikut:

Putusan Pengadilan Negeri Tengerang Nomor 425/Pid.B/

2003/PN.TNG, tanggal 23 Oktober 2003 12 ;

1. Menyatakan Terdakwa MICHAEL TITUS IGWEH secara

sah dan meyakinkan terbukti bersalah melakukan tindak pidana kejahatan “secara tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual bell Narkotika

2. Memidana Terdakwa Michael Titus Igweh oleh karena itu

dengan pidana mati dan denda Rp500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah) Subsidair 3 (tiga) bulan kurungan

3. Menetapkan barang bukti berupa : Heroin seberat 5.859

(13)

90

berat netto 170 (seratus tujuh puluh) gram, 1 (satu) bungkus kertas berisi Heroin berat netto 27 (dua puluh tujuh) gram, 1 (satu) bungkus kertas berisi Heroin berat netto 130 (seratus tiga puluh) gram tetap dalam status penyitaan untuk dipergunakan dalam perkara Terdakwa Hillary K. Chimezie;

4. Memerintahkan Terdakwa untuk tetap ditahan;

5. Menyatakan biaya perkara dibebankan kepada Negara;

Berkaitan dengan amar putusan diatas walaupun sudah

diputus pidana mati tetap saja terpidana harus menjalani tahanan

sementara waktu. Mengenai penahanan tersebut juga sudah diatur

secara jelas dalam Pasal 24-Pasal 29 KUHAP, dimana jangka waktu

penahanan dari tahap penyidikan sampai proses kasasi total selama

400 hari. Untuk keadaan tertentu atau tindak pidana dengan ancaman

pidana yang berat, perpanjangan penahanan pada masing-masing

tahapan dapat diperpanjang lagi selama 300 hari (Pasal 29 KUHAP)

berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan sebagaimana

diatur dalam Pasal 29 ayat (1) KUHAP, Sehingga dari semua tahapan

yang ada total jangka waktu penahanan bagi terpidana adalah 700

hari.

Penahanan tersebut harus limitatif atau terbatas, terutama

yang berkaitan dengan hal jangka waktunya. Pasal 30 KUHAP

menyatakan bahwa : “Apabila tenggang waktu penahanan

sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27,

(14)

91

Pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta

ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal

95 dan Pasal 96

Kemudian berkaitan dengan penahanan terhadap terpidana

mati juga diatur secara jelas dalam Pasal 5 UU No. 2/PNPS/ Tahun

1964, yang berbunyi : Menunggu pelaksanaan pidana mati,

terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang

khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.

Tetapi, jika melihat ketentuan Pasal 5 diatas, terbuka peluang

terpidana mati menjalankan penahanan sampai betahun-tahun tanpa

adanya kejelasan kapan ia akan dieksekusi, karena dalam Pasal 5

diatas tidak diatur secara jelas mengenai batasan waktu penahanan

terhadap terpidana mati.13

Dalam Prakteknya beberapa kasus baik pidana umum maupun

pidana khusus, terpidana mati selalu ditahan dalam penjara setelah

vonis mati dijatuhkan sampai eksekusi dijalankan oleh kejaksaan

terhadapnya dan terpidana mati bisa ditahan dalam penjara sampai

bertahun- tahun guna menunggu eksekusi mati.14 seperti beberapa

kasus diantaranya yaitu Bahar bin Matar yang harus menjalani

13

HF.Riadi (2015), Penahanan Terhadap Terpidana Mati Oleh Jaksa Ditinjau Dari Jangka Waktu Eksekusi, dilihat di http://scholar.unand.ac.id/3281/ diakses 08-12-2016

(15)

92

hukuman penjara selama 38 Tahun. Bahar bin Matar merupakan

terpidana mati atas kasus tindak pidana perampokan, pembunuhan,

perkosaan, dan penculikan pada 1970. Tahun 1971, Bahar

mengajukan permohonan grasi kepada Presiden, pada tahun 1973,

melalui Keputusan Presiden Nomor 23/G/ TH tanggal 13 Juni 1973,

permohonannya itu ditolak. Kemudian pada bulan September 1995,

Bahar kembali mengajukan grasi dan ditolak oleh presiden, namun

belum dieksekusi. Bahar yang menjalani hukuman di Lembaga

Pemasyarakatan Nusakambangan, meninggal dunia pada tanggal 12

Agustus 2012 di RSUD Cilacap karena menderita penyakit

tuberculosic (TBC)15. Sama halnya dalam kasus terpidana mati

sumiarsih dan sugeng, keduanya dijatuhi pidana mati oleh PN

Surabaya pada 20 Februari 1989 dan menunggu lebih dari 20 tahun.

Putusan grasinya keluar pada tahun 2003 melalui Keputusan Presiden

Nomor 21/G/2003 yang isinya ditolak dan baru dieksekusi 5 (lima)

tahun kemudian tepatnya pada 19 Juli 2008 16.

Polemik lanjutan yang juga menjadi perhatian adalah

lambatnya eksekusi terhadap terpidana mati di Indonesia.

Keterlambatan eksekusi tersebut sering menjadi sorotan masyarakat

15

http://www.antaranews.com/print/115341/38-tahun-menanti-kematian-di-lp-nusakambangan, diakses 30-11-2016

16http://icjr.or.id/data/wpcontent/uploads/2016/09/Update_Kondisi_Hukuman_Mati

(16)

93

karena memerlukan waktu bertahun-tahun mulai dari terpidana

dijatuhi vonis mati oleh pengadilan sampai pelaksanaan eksekusi.

Dengan tidak adanya kepastian hukum bagi terpidana mati selama

menunggu eksekusi mengakibatkan terampasnya hak-hak tepidana

mati. Terpidana mati harus menjalani penahanan didalam penjara

selama bertahun- tahun tanpa adanya kepastian.

Dalam beberapa kasus mengenai waktu penantian juga

ternyata masih terdapat kesalahan dalam vonis, misalnya, seperti di

China, seorang terdakwa atas nama Chen Man divonis mati oleh

pengadilan china pada tahun 1992 atas kasus pembakaran yang

menewaskan seorang pria dan menunggu 23 tahun sebelum akhirnya

diyatakan bebas pada tahun 2015.17 Hal serupa juga terjadi di

Indonesia dalam kasus pembunuhan yang didakwakan kepada Ruben

Pata Sambo dan Martinus Pata Sambo. Mereka divonis mati pada

tahun 2006 oleh PN Tanah Toraja dan mendekam selama 8 tahun

dipenjara sampai pada akhirnya dibebaskan karena terbukti tidak

bersalah.18

17

http://www.lensaindonesia.com/2016/02/02/setelah-dipenjara-23-tahun-pria-ini-dibaskan-karena-tak-bersalah.html diakses 17-12-2016

18

(17)

94

Lebih lanjut UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, dalam

Pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa : “setiap orang bebas dari

penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak

manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention Against Torture

And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment

(CAT) atau Konvensi Anti Penyiksaan (KAP) pada tanggal 28

Oktober 1998 melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Konvensi

Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang

Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.

Dalam hukum internasional, larangan melakukan penyiksaan

merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional. Bukan saja

karena KIHSP (Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik) maupun

KAP (Konvensi Anti Penyiksaan) telah banyak diratifikasi namun

juga penyiksaan telah dilarang pada berbagai peraturan/perjanjian

internasional. Praktis, tidak ada lagi negara yang berani

membenarkan penyiksaan sebagai perbuatan sah. Justru tindak

penyiksaan dianggap sebagai „hostic humanis generis‟ musuh umat

manusia. 19 Dari norma dan instrumen hukum HAM internasional,

Kontras berupaya sedekat mungkin untuk melakukan analisa dan

(18)

95

memberikan dukungan serta kontribusi kepada pemerintah dalam

menggunakan standar-standar internasional yang juga digunakan oleh

banyak pemerintahan demokratik lainnya.

Norma dan instrumen ini diambil dari beberapa konvensi

internasional yang sifatnya mengikat negara-negara pihak yang telah

meratifikasi instrumen-instrumen HAM internasional terkait.

Rujukan pertama Kontras adalah Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia (1948) yang menegaskan di Pasal 5: “Tidak seorang pun

boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau

dihukum secara tidak manusiawi atau dihina”.20 Kemudian dalam

Pasal 7 di Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik juga

menegaskan 21 bahwa : “Tidak seorang pun yang dapat dikenakan

penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak

manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak

seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah

tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas”.

Oleh sebab itu maka mengingat lamanya penahanan yang

sudah diatur secara terperinci dalam Pasal 24-29 KUHAP dan dengan

adanya beberapa fakta terpidana yang ditahan lebih dari waktu yang

20 kontras.org/buku/isi_laporan_praktik_penyiksaan_2014_2015.pdf , diakses 7

Juni 2016

21

(19)

96

ditentukan maka seharusnya harus dibatalkan demi hukum. Tetapi

jika hal tersebut tidak dilakukan maka pemerintah sudah melakukan

pelanggaran HAM berupa perampasan hak kebebasan dan

kemerdekaan dari si terpidana tersebut.

C.

Putusan MK No.34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan

Kembali berkaitan dengan Waktu Tunggu Eksekusi

Pidana Mati

Paska Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah

mengabulkan uji materiil UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dengan Putusan MK No. 34/

PUU-XI/ 2013 maka pengaturan mengenai PK dalam Pasal 268 ayat (3)

KUHAP mengalami perubahan. Putusan ini menyatakan Pasal 268

ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan yang diputuskan

dalam Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi pada tanggal 22 Juli

2013 dikeluarkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada

tanggal 6 Maret 2014.22

22

(20)

97

Menurut Mahkamah Konstitusi, kebenaran materiil

mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara

mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan

asas keadilan. Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa untuk alasan

keadilan dalam perkara pidana, manakala ditemukan adanya keadaan

baru (novum), maka pembatasan peninjauan kembali bertentangan

dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan

kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan.23

Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) tidak lagi dibatasi hanya satu

kali telah mengguncang dunia hukum. Perbedaan pendapat masih

mencuat dan harus segera diselesaikan dan diperjelas maksud PK

boleh dari sekali itu. Apakah cukup dua kali atau boleh diajukan

tanpa batas demi keadilan.

Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 merupakan hasil dari

permohonan yang diajukan oleh Mantan Ketua KPK Antasari Azhar.

Mahkamah Konstitusi mendasarkan pertimbangannya pada keadilan,

perlindungan HAM dan hakikat KUHAP yang bertujuan untuk

melindungi HAM dari kesewenang-wenangan negara.24

23http://icjr.or.id/data/wp/content/uploads/2016/09/Update_Kondisi_Hukuman_Mat

i_di_Indonesia_2016.pdf, diakses 20 Sep 2016

24 GresNews, Referensi penting hukum dan politik , lihat di

(21)

98

Pertimbangan Majelis Hakim MK dalam Putusan MK

No.34/PUU-XI/2013 tersebut ada 2 hal,25 yaitu:

a. Bahwa keadilan merupakan hak konstitusional atau hak asasi

manusia yang tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan

formal seperti yang diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP,

karena ada kemungkinan setelah PK diajukan dan diputus

oleh MA, ditemukan bukti baru (novum) yang substansial dan

belum ditemukan saat mengajukan PK;

b. Bahwa penerapan asas litis finiri oportet ( yang artinya setiap

perkara harus ada akhirnya sebagai jaminan kepastian hukum)

tidaklah rigid atau kaku, namun tetap memperhatikan ada

tidaknya pertentangan dengan asas keadilan.

Putusan MK No.34/PUU-XI/2013 juga menimbulkan

perbedaan pendapat diberbagai kalangan. Menurut Sudjito, Guru

Besar Fakultas Hukum UGM, Putusan MK tersebut menunjukkan

penghargaan terhadap hak asasi manusia, namun disisi lain

berdampak serius bagi proses peradilan di Indonesia karena

berpengaruh bagi kepastian hukum di negeri ini. Guru Besar Hukum

Universitas Diponegoro, Nyoman Serikat Putra Jaya, juga menilai

(22)

99

putusan MK tersebut memunculkan ketidakpastian hukum karena

pemberian kesempatan PK berkali-kali dan tidak terbatas dapat

digunakan oleh pihak yang berperkara sebagai permainan. Guru besar

ini juga tidak menyangkal pertimbangan hukum MK mengenai

pemberian rasa keadilan bagi seorang terpidana, namun perlu juga

mempertimbangkan kepastian hukum. Oleh karena itu setiap pihak

yang berperkara baik jaksa maupun terpidana hanya mempunyai satu

kali kesempatan mengajukan PK.26 Hal senada juga disampaikan oleh

Mantan Ketua MK, Mahfud MD yang menilai putusan mahkamah

konstitusi terkait peninjauan kembali yang boleh dilakukan lebih dari

satu kali dapat mengacaukan dunia hukum.

Dalam beberapa kasus juga terdapat beberapa terpidana yang

memanfaatkan putusan peninjauan lebih dari sekali seperti terpidana

mati asal filipina Mary Jane yang telah mengajukan peninjauan

kembali sebanyak dua kali dan semua ditolak. Alasan pengajuan PK

lebih dari satu kali ini mengacu pada keputusan Mahkamah

Konstitusi yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang

membatasi pengajuan PK hanya satu kali 27 Kemudian terpidana

mati Okonkwo Nongso kingsley, Pada tanggal 24 November 2014,

26

Shandy Dwi Kartika, Loc. Cit 27

(23)

100

MA menolak PK pertama Okonkwo yang diajukan kuasa hukumnya,

Pramudya Eka W Tarigan. Okonkwo tak patah arang. Dia

mengajukan PK yang kedua. PK itu pun lagi-lagi dimentahkan. MA

menolak mentah-mentah PK itu pada 11 Mei 2015 28.

Kepastian hukum yang dibangun dalam paradigma hukum

progresif memang harus diletakkan dibawah keadilan, namun

kepastian hukum tidak selalu tidak adil sebab keadilan bisa

ditemukan pada kepastian hukum. Pendapat serupa juga

dikemukakan oleh Marzuki Ali, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia (DPR RI), bahwa pengajuan PK lebih dari satu

kali akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena akan membuat

eksekusi atas pidana yang telah dijatuhkan tidak kunjung terwujud,

meskipun Putusan MK tersebut melegakan bagi pencari keadilan.29

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Mudzakir,

pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, yang

menilai putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan menciptakan

keadilan berdasarkan kepastian hukum, karena PK yang bisa diajukan

lebih dari satu kali akan bisa mengoreksi putusan yang sebelumnya

memunculkan rasa ketidakadilan. Putusan MK tersebut mendapat

28

http://m.metrotvnews.com/sumatera/peristiwa/0KvVGg9K-2-kali-pk-ditolak-okonkwo-tetap-dihukum-mati, diakses 9/12/2016

(24)

101

tanggapan dari Mahkamah Agung (MA). Ketua Mahkamah Agung,

Hatta Ali, menyatakan Mahkamah Agung tetap akan membatasi

upaya hukum peninjauan kembali sebanyak satu kali. Hal ini untuk

menghindari lahirnya ketidakpastian hukum akibat PK yang diajukan

berkali-kali sebagai implikasi dari pembatalan Pasal 268 ayat (3)

KUHAP.30 Sebagai jalan keluar untuk mengatasi polemik yang ada

maka Mahkamah Agung akhirnya mengelurkan surat edaran berupa

SEMA No.7 Tahun 2014 31 yang pada intinya menegaskan bahwa

permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya

1 (satu) kali.

Lahirnya SEMA No 7 Tahun 2014 ternyata telah

menimbulkan masalah yang jauh lebih rumit. SEMA No 7 Tahun

2014 dianggap sebagai suatu bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan

Mahkamah Konstitusi, bahkan Mahkamah Konstitusi sendiri

menganggap bahwa kejadian ini merupakan suatu bentuk

pembangkangan dari konstitusi. Mahkamah Agung sendiri tetap pada

keyakinannya bahwa SEMA No 7 Tahun 2014 diterbitkan untuk

memberikan kepastian hukum, disamping ketentuan mengenai

pembatasan pengajuan permohonan kembali yang hanya dapat

30

ibid

31 Lihat SEMA No. 7 Tahun 2014, di

(25)

102

dilakukan satu kali masih berlaku berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UU

No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan

bahwa : “ Terhadap putusan peninjauan kembali tidak da pat

dilakukan peninjauan kembali”. Kemudian Pasal 66 ayat (1) UU

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah

diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua

dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, yang menyatakan

bahwa : “ Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1

(satu) kali”.

Disini dapat dilihat perbedaan mengenai permintaan

peninjauan kembali antara Lembaga Mahkamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung antara lain :

 Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 mengenai Peninjauan

Kembali yang diajukan oleh Antasari Azhar lebih

mengutamakan asas keadilan. Menurut MK karena ada

kemungkinan setelah PK diajukan dan diputus oleh MA,

ditemukan bukti baru (novum) yang belum ditemukan saat

mengajukan PK sebelumnya.

 Putusan MA mengenai PK melalui SEMA No. 7 Tahun 2014

lebih mengutamakan asas kepastian hukum sehingga dibatasi

(26)

103

berpendirian jika PK boleh diajukan berkali-kali

dikhawatirkan instrumen hukum itu dijadikan „senjata‟ bagi

para gembong narkoba menghindari eksekusi mati karena

mengajukan PK yang kedua setelah grasinya ditolak oleh

presiden.

Sampai dengan Tahun 2016, Mahkamah Konstitusi telah

menerima beberapa permohonan pengujian atas pembatasan PK

tersebut dengan dikeluarkannya dua putusan yaitu Putusan MK No.

66/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No. 45/PUU-XIII/2015. Maka

kedua putusan terbaru ini telah mengukuhkan kembali putusan MK

No. 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 dan menggugurkan dasar

hukum Pembatasan SEMA No 7 Tahun 2014 yang pada intinya

menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar

ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali.

Menurut ICJR pengaturan pembatasan PK melalui SEMA

sudah tidak tepat, selain pada dasarnya SEMA 7 Tahun 2014 ini

merupakan bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi, ternyata MA

juga telah menggunakan pertimbangan dengan pasal dalam

undang-undang yang telah dinyatakan tidak belaku sepanjang terkait dengan

pembatasan PK lebih dari satu kali dalam kasus Pidana melalui

(27)

104

No. 45/PUU-XIII/2015). Atas dasar itu, maka menururt Institute For

Criminal Justice Reform (ICJR), MA harus segera mencabut SEMA

7 Tahun 2014. Namun sampai saat ini mahkamah Agung masih

bersikukuh menolak keputusan MK tersebut, ini yang menurut ICJR

sebagai pembangkangan putusan MK oleh MA.32

D. ANALISIS

1. Waktu Tunggu Eksekusi Mati Merupakan Pelanggaran Hak

Asasi Manusia

Waktu tunggu merupakan suatu keadaan dimana

seseorang menanti sesuatu yang akan terjadi pada dirinya atau

atas kehidupannya, seperti halnya seorang terpidana mati yang

sedang menunggu kapan ajal akan menjemput dirinya. Masalah

pidana mati khususnya di Indonesia selalu menjadi topik yang

tidak pernah ada akhirnya. Bukan penerapan pidana mati saja

yang dipermasalahkan, lebih lanjut mengenai lamanya eksekusi

mati itu sendiri juga menurut penulis merupakan salah satu

masalah serius yang juga harus dicari solusinya. Hal ini karena

berdampak buruk pada sistem pemidanaan dan juga tentunya

untuk narapidana itu sendiri dimana beberapa terpidana sudah

32

(28)

105

dijatuhi pidana mati dan segala upaya hukumnya sudah dilakukan

namun masih menunggu lagi masa eksekusinya yang begitu lama

bahkan ada juga yang sampai bertahun-tahun lamanya seperti

dalam beberapa kasus yang sudah penulis paparkan dalam Tabel

III dimana sebagian besar dari terpidana mati masih menunggu

putusan upaya hukum terakhir berupa grasi setelah upaya hukum

peninjauan kembalinya ditolak.

Dalam tabel tersebut juga terdapat beberapa terpidana

yang mengajukan PK lebih dari sekali. Kemudian dalam Tabel II

masih banyak terpidana mati yang belum dieksekusi sampai tahun

2015 yang berhasil penulis rangkum sebanyak 123 terpidana

dengan waktu tunggu yang berbeda. Dari sini juga bisa menjadi

permasalahan karena hukum positif mengenai pidana mati tidak

ada perbedaan tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai aturan

yang ada. Pelaksanaan pidana mati jilid 3 ternyata terjadi juga

pelanggaran hak asasi manusia dalam proses eksekusinya.

Dimana diketahui terpidana mati Seck Osmane, Hunprey Ejike

dan Freddy Budimana sedang mengajukan upaya hukum grasi

saat eksekusi tersebut, hal tersebut justru melanggar Pasal 3 UU

Grasi sebab dalam hal pidana mati, seseorang tidak akan

(29)

106

pemohon. Putusannya sendiri belum ada apakah permohonan

grasi diterima atau ditolak oleh presiden tetapi eksekusi telah

dilaksanakan.

Waktu tunggu eksekusi mati ini merupakan suatu

pelanggaran hak asasi manusia terhadap Pasal 33 ayat (1) UU

No. 39/1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa : Setiap

orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau

perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat

dan martabat kemanusiaannya. Terkait dengan pasal diatas,

menurut penulis hak yang dilanggar tersebut menyangkut hak

kebebasan, kebebasan yang dimaksud yaitu bebas dari

“penyiksaaan, penghukuman, dan….”.

Selama masa tunggu eksekusi pidana mati, terpidana

mengalami hukuman ganda (double Punishment). Dalam proses

eksekusinya terpidana yang sudah dijatuhi pidana mati harus

menjalani dua pidana pokok sekaligus yaitu pidana penjara dan

juga eksekusi dari pidana mati itu sendiri. Hal tersebut justru

tidak sesuai dengan sistem pemidanaan karena seolah negara

memberikan pidana tambahan berupa hukuman penjara sebelum

merealisasikan eksekusi mati itu sendiri. Terlebih lagi jika dalam

(30)

107

bahkan sampai bertahun-tahun justru hal tersebut masuk dalam

pelanggaran hak asasi manusia.

Terhitung sampai tahun 2015, ada 6 (enam) orang

terpidana mati kasus pembunuhan yang sudah menghabiskan

waktu lebih dari 20 tahun tetapi belum dieksekusi sampai saat ini,

diantaranya terpidana mati Bursam bin Boher sudah menunggu

25 tahun atas kasus pembunuhan. Ia melakukan banding sebagai

upaya hukum terakhir ke pengadilan tinggi pada tahun 1990.

Terpidana lain adalah Koh Kim Chea, WN Malaysia ini

tersangkut kasus narkotika dan sudah menunggu eksekusi mati 23

tahun. Ia menempuh upaya hukum terakhir tahun 1992. Terpidana

mati kasus narkotika Tham Tuck Yin sudah menunggu 20 tahun

usai menempuh upaya hukum kasasi di MA pada tahun 1995 dan

terpidana lainnya yaitu Sokikin bin abubakar, Koptu Soedjono,

La aja bin La feely dan Burhan bin Gingan yang masih menunggu

eksekusi. Selain itu masih banyak terpidana mati lainnya yang

masih menunggu eksekusi dengan waktu yang bervariasi tanpa

adanya kepastian yang telah penulis lampirkan dalam tabel

sebelumnya.

Kemudian dilain sisi, waktu tunggu eksekusi

(31)

108

terpidana dimana mereka dihadapkan dengan kondisi penantian

kematian yang tidak pasti dan hal ini justru memberikan tekanan

psikologi tersendiri bagi mereka (terpidana mati). Dalam kasus

“Rodrigo Gularte dan Marco Archer Cardoso Moreira dieksekusi

dalam kondisi gangguan jiwa dan mental yang tidak stabil. Mary

Jane, yang sampai saat ini masih masuk dalam masa tunggu

terpidana mati, mendapatkan trauma mental dan stress yang

mengakibatkan dirinya sering membenturkan kepala ke tembok.

Kemudian kondisi terpidana Zainal Abidin yang dipindahkan ke

ruang isolasi dalam kondisi stress saat permohonan Peninjauan

Kembalinya masih diperiksa di Mahkamah Agung setelah 10

tahun tertunda tanpa penjelasan jelas.(*mengutip Wakil Ketua

Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap perempuan, Yuniyanti

Chufaizah, di berita harian terpenting bergeloran.com, tanggal

26 Juni 2016).

Hal lain yang sering dilupakan adalah mereka yang turut

serta merasakan dampak dari eksekusi pidana mati tersebut yaitu

keluarga. Dalam bukunya Professor Susan Sharp “The Effects of

The Death Penalty on Families of The Accused”, dikatakan

bahwa dampak dari eksekusi pidana mati tersebut tidak hanya

(32)

109

oleh keluarga terpidana mati (istri, orangtua, anak-anak dan

saudara kandung). Misalnya, kasus yang menimpa Bruno Richard

Hauptmann, Ia dituduh melakukan pembunuhan terhadap bayi

dari seorang pilot bernama Charles Linberg dan dieksekusi pada

tahun 1936. Banyak yang mempercayai jika Hauptmann tidak

bersalah. Selanjutnya dikatakan bahwa setelah hukuman mati

tersebut dilakukan, terpidana mati tidak akan lagi menjalani

hukuman panjang atau hidup dengan stigma atau kenangannya

tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi keluarganya. Misalnya, Istri

dari Hauptmann dalam enam dekade selalu mengingat setiap hal

tersebut sampai pada kematiannya tahun 1994.33

Penungguan eksekusi berkepanjangan tersebut selain

membawa siksaan dan perlakuan yang sewenang-wenang

terhadap terpidana mati juga membawa dampak buruk terhadap

keluarga dari terpidana mati itu sendiri karena mereka harus

kehilangan anggota keluarganya. Dengan vonis yang diberikan

sudah membuat mereka menderita belum lagi ditambah dengan

lamanya waktu tunggu eksekusi tersebut. Memang awalnya

waktu tunggu tersebut setidaknya memberikan sedikit “harapan”

bagi keluarga terpidana, mereka berharap setidaknya dari waktu

33

(33)

110

tunggu ini ada mujizat yang terjadi untuk meringankan hukuman

anggota keluarga mereka tetapi itu seperti “harapan palsu” yang

pada akhirnya akan mendatangkan kematian juga. Dari lamanya

waktu tunggu ini juga lama kelamaan berdampak buruk kepada

keturunan dari si terpidana mati tersebut, yang mana pada

awalnya yang merasakan hanya satu atau dua pihak saja lama

kelamaan malah semakin banyak pihak yang akan turut

merasakan dampak dari penungguan tersebut.

Dalam pelaksanaan eksekusi mati, setiap terdakwa masih

diberi hak untuk mengajukan upaya hukum, baik berupa upaya

hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa yang diatur dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) maupun diluar

KUHAP. 34 Upaya hukum biasa yang berupa banding dan kasasi

adalah upaya hukum yang ditempuh terdakwa ketika putusan

belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila putusan sudah

berkekuatan hukum tetap, terpidana masih mempunyai

kesempatan mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu kasasi

demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali. Dalam sistem

hukum pidana Indonesia, terpidana masih mempunyai hak untuk

34 Niken Subekti Budi Utami, Problematika permohonan grasi menurut UU No. 22

(34)

111

mengajukan upaya hukum selain upaya-upaya hukum diatas,

yaitu Grasi 35.

Dalam Pasal 3 UU No 22 Tahun 2002 disebutkan bahwa

“Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan

pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana

mati” karena itu pelaksanaan pidana mati tidak dapat dilakukan

sampai adanya salinan putusan presiden terkait dengan

permohonan grasi. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi

oleh presiden paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak

diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 11) dan

disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat

14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan

Presiden ( Pasal 12 ayat(1)) 36. Dengan demikian bagi terpidana

mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan

permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum

Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi

diterima oleh terpidana (Pasal 13 UU No.22 Tahun 2002).

35 ibid

(35)

112

2. Putusan MK tentang PK Potensial Memperpanjang Waktu

Tunggu Ekseksusi Pidana Mati

Mahkamah konstitusi adalah lembaga negara yang

berfungsi untuk menangani perkara yang terkait dengan masalah

konstitusi dan ketatanegaraan. Sering disebut juga sebagai

Peradilan Konstitusi atau Tata Negara. Keberadaan MK

dimaksudkan untuk melindungi hak konstitusional warga negara

dengan mengoreksi kinerja lembaga negara. Fungsi dan

wewenang Mahkamah Konstitusi diatur secara detail dalam Pasal

10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, salah satu wewenangnya yaitu menguji UU terhadap

UUD 1945 (Pasal 10 ayat (1) huruf a) dan putusan yang

dikeluarkan oleh MK bersifat final.

Berkaitan dengan wewenang tersebut maka salah satu

Pasal yang dicabut oleh MK adalah Pasal 268 ayat (3) KUHAP

terkait batas pengajuan PK yang sebelumnya dibatasi satu kali

dibatalkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No

34/PUU-XI/2013 karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pembatalan Pasal 268

ayat (3) oleh MK dengan alasan keadilan, yang dimaksud disini

(36)

113

Mahkamah Agung dan dalam perkembangannya ditemukan

novum yang sebelumnya tidak ditemukan dalam proses

pemeriksaan maka hal ini justru merugikan terpidana itu sendiri

karena tidak mempunyai hak untuk mengajukan PK kedua.

Sehingga dengan adanya Putusan MK tersebut memberikan

kesempatan bagi si terpidana untuk dapat mengajukan PK lebih

dari sekali jika ditemukan novum.

Namun yang menjadi permasalahan menurut penulis

adalah Putusan MK tersebut justru melanggar Asas Kepastian

Hukum. Para terpidana akan menggunakan kesempatan tersebut

untuk mengajukkan PK lebih dari satu kali, jika PK pertama

ditolak setelah itu terpidana akan mengajukan PK kedua apabila

ditemukannya novum dan seterusnya. Kemudian berkaitan

dengan Pihak yang berhak mengajukan Peninjauan kembali

dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP disebutkan Ahli waris dari si

terpidana juga berhak mengajukan PK, berarti setelah PK

pertama, kedua, dan seterusnya yang diajukan oleh terpidana

ditolak maka ahli waris juga masih bisa mengajukan lagi PK

dalam perkara yang sama.

Kemudian mengenai waktu penerimaan putusan

(37)

114

perundang-undangan. Seperti dalam kasus terpidana mati Eugene

Ape, dimana yang bersangkutan mengajukan peninjauan kembali

pada tahun 2008 tetapi jawaban peninjauan kembalinya baru

keluar dua tahun kemudian yaitu pada tanggal 1 Juni 2010, sama

halnya dengan PK pertamanya terpidana mati Michael Titus

Igweh yang diajukan tahun 2011 tetapi hasilnya baru keluar

setahun kemudian yaitu pada tanggal 10 Oktober 2012 (lihat tabel

III). Hal ini justru malah semakin memperpanjang masa tunggu

eksekusi pidana mati yang terus menerus berlanjut tanpa adanya

kepastian, belum lagi setelah upaya hukum PK ditolak terpidana

masih mengajukan Grasi yang membuat bertambah panjangnya

daftar tunggu eksekusi mati.

Dalam perkembangannya untuk menyikapi masalah

peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung pada tahun 2014

telah mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan

Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang

mengatur bahwa PK hanya bisa dilakukan satu kali. SEMA ini

sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi

(MK). Artinya, MA telah mengukuhkan bahwa PK hanya dapat

(38)

115

Berbicara mengenai MK dan MA maka menurut tata

urutan kelembagaan negara dalam sistem ketatanegaraan UUD

1945, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga

(tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi

kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Mengenai

kewenangan masing-masing lembaga tersebut juga diatur secara

jelas dalam UUD Tahun 1945, dalam Pasal 24 A ayat (1)

disebutkan bahwa :

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat

kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai

wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.

Sedangkan wewenang Mahkamah Konstitusi diatur dalam

Pasal 24C ayat (1) bahwa :

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dengan melihat kewenangan antara dua lembaga diatas

maka seharusnya Mahkamah Agung secara yuridis tidak boleh

menerbitkan SEMA yang bertentangan dengan putusan

Mahkamah Konstitusi sebab konstitusi sudah menempatkan MA

(39)

116

Gambar

TABEL I Daftar Terpidana Mati yang telah dieksekusi dari tahun 1979
TABEL III Terpidana Mati  Yang Menunggu Waktu Eksekusi Mati Jilid III Tahun

Referensi

Dokumen terkait

The results of this experiment using real decision makers showed that the knowledgeable group tended to use the unique information given to them to measure performance and

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana percobaan terhadap pelaku tindak pidana menyiarkan lagu tanpa izin pemegang hak cipta dalam Putusan Nomor:

Dalam penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa pada 20 tahun terakhir resiko kardiovaskuler meningkat dikarenakan penurunan gaya hidup pada.. sekelompok orang yang

Eventually, the results of the study conclude that efforts to maintain the consistency of planning and budgeting interpreted by TAPD of Probolinggo as guidance in realizing the

Jadi perawat merupakan seseoarang yang telah lulus pendidikan perawat dan memiliki kemampuan serta kewenangan melakukan tindakan kerpawatan berdasarkan bidang keilmuan yang dimiliki

Karna jasa review dan kompilasi menyediakan keyakinan lebih rendah dari audit,akuntan harus membentuk pemahaman dengan klien mengenai jasa yang akan disediakan

Terdapat dua hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam pada kedua entitas budaya tersebut, yaitu (1) pola pewarisan budaya melalui proses pembelajaran bertukar pengalaman

Implikasinya dalam penelitian ini adalah bagimana tindakan yang dilakukan oleh ibu hamil dalam melakukan pencegahan agar tidak terjadi anemia pada ibu baik sebelum