• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.3. Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Realitas

Wartawan adalah profesi yang dituntut untuk mengungkapkan kebenaran dan menginformasikan publik seluas mungkin tentang temuan dari fakta-fakta yang berhasil digalinya, apa adanya, tanpa rekayasa dan tanpa tujuan subyektif tertentu, semata-mata demi pembangunan kehidupan dan peradaban kemanusiaan yang lebih baik (Djatmika, 2004:25). Sedangkan Walter Lipman, menganggap bahwa kerja jurnalistik (tugas wartawan) hanyalah mengumpulkan fakta yang tampak dipermukaan yang konkret. (Panuju, 2005:27)

Sebagai seorang agen, wartawan telah menjalin transaksi dan hubungan dengan obyek yang diliputnya, sehingga berita merupakan produk dari transaksi antara wartawan dengan fakta yang diliputnya. (Eriyanto, 2007:31). Menurut filsafat Common Sense Realisme, adanya suatu obyek tida tergantung pada diri kita dan menempati posisi tertentu dalam ruang. Suatu obyek mencirikan sebagaimana orang mempersepsikannya. Sesungguhnya, relasi antara realitas empiris dengan fakta yang dibangun oleh seorang jurnalis, sangat tergantung pada kemampuan mengorganisasikan elemen-elemen realitas menjadi sederetan makna.

Dengan demikian, fakta dalam jurnalis menjadi sangat dinamis, tergantung pada persepsi yang dimiliki dan perspektif (sudut pandang) yang dihadirkan, dan satu lagi tergantung pada pencarian atau penemuan fakta. (Panuju,2005:27)

Setelah proses penyeleksian tersebut maka peristiwa itu akan dibingkai sedimikian rupa oleh wartawan. Pembingkaian akan dilakukan oleh wartawan tentunya melalui proses konstruksi. Proses konstruksi atas suatu realitas ini dapat berupa penonjolan dan penekanan pada aspek tertentu atau dapat juga berita tersebut ada bagian yang dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2007:vi). Kata penonjolan (Salience) didefenisikan sebagai alat untuk membuat informasi agar lebih diperhatikan, bermakna, dan berkesan. (Siahaan, Purnomo, Imawan, Jacky, 2001:78)

Wartawan sebagai individu, memiliki cara berfikir (frame of thinking) yang khas atau spesifik dan sangat dipengaruhi oleh acuan yang dipakai dan pengalaman yang dimiliki. Selain itu, juga sangat ditentukan oleh kebiasaan menggunakan sudut pandang. Setiap individu juga memiliki konteks dalam “membingkai” sesuatu sehingga menghasilkan makna yang unik. Konteks yang dimaksud, misalnya senang-tidak senang, menganggap bagian tertentu lebih penting daripada bagian lain, dapat juga konteks sesuai bidang (sosial, politik, ekonomi, keagamaan, agama, dll), juga konteks masa lalu atau masa depan, dan seterusnya (Panuju, 2005:3)

Jadi meskipun wartawan mempunyai ukuran tentang “nilai sebuah berita” (news value), tetapi wartawan juga punya keterbatasan visi, kepentingan

ideologis, dan sudut pandang yang berbeda, dan bahkan latar belakang budaya dan etnis. Peristiwa itu baru disebut memiliki nilai berita dan karenanya layak diberitakan kalau peristiwa tersebut berhubungan dengan elite atau orang yang terkenal, mempunyai nilai dramatis, terdapat unsur humor, human interest, dapat memancing kesedihan, keharuan, dan sebagainya. Secara sederhana, semakin besar peristiwa, maka semakin besar pula dampak yang ditimbulkannya, lebih memungkinkan dihitung sebagai berita. (Eriyanto, 2007:104)

Dengan semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan informasi, maka makin meningkat pula tingkat harga berita. Hipotesis inilah yang melahirkan paradigma 5W+1H (what, who, when, where, why, how); bahwa berita tidak sekedar apa, siapa,kapan,melainkan juga mengapa dan bagaimana. “Mengapa” adalah latar belakang dari suatu peristiwa, sedangkan “Bagaimana” adalah deskripsi tentang jalannya peristiwa. Jadi, semakin mendalam penjelasan atas why dan how, maka semakin tinggi nilai suatu berita dan tentu saja semakin mahal harga berita tersebut. (Pareno, 2005:3)

Oleh karena itu, untuk mengetahui mengapa suatu berita cenderung seperti itu atau mengapa peristiwa tertentu dimaknai dan dipahami dalam pengertian tertentu, dibutuhkan analisis kognisi sosial untuk menemukan struktur mental wartawan ketika memahami suatu peristiwa. Menurut Van Dijk, analisis kognisi sosial yang memusatkan pada struktur mental, proses produksi berita. Analisis kognisi sosial menekankan bagaimana peristiwa dipahami, didefinisikan, dianalisis dan ditafsirkan kemudian ditampilkan dalam suatu model dalam memori.

Menurut Berger dan Luckman, realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Menurut Barger dan Luckman, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan.

Realitas sosial yang dimaksud oleh Berger dan Luckman ini terdiri dari realitas obyektif, realitas simbolik, dan realitas subyektif. Realitas obyektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia obyektif yang berada di luar diri indovidu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subyektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolik ke dalam individu, melalui proses internalisasi. (Bungin, 2001:13)

Wartawan menggunakan model atau skema pemahaman atas suatu peristiwa. Pertama, model ini menentukan bagaimana peristiwa tersebut dilihat. Model ini dalam taraf tertentu menggambarkan posisi wartawan. Wartawan yang berada dalam posisi mahasiswa memiliki pemahaman dan pandangan yang berbeda dengan wartawan yang telah memiliki pengalaman. Kedua, model ini secara spesifik menunjukkan opini personal dan emosi yang dibawa tentang mahasiswa, polisi, atau objek lain. Hasil dari penafsiran dan persepsi ini, kemudian dipakai oleh wartawan ketika melihat suatu peristiwa. Tentu saja wartawan yang berbeda dalam hal fokus, titik perhatian, dan kemenarikan

dibandingkan dengan wartawan lain, yang ditentukan diantaranya untuk perbedaan model yang dimilikinya. Disinilah model adalah proses yang dapat digunakan sebagai dasar dalam memproduksi berita. (Eriyanto, 2006:268)

2.4 Pengertian Kebudayaan dan Hukum Media

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia

dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Pengertian_kebudayaan)

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

a. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:

1. alat-alat teknologi 2. sistem ekonomi 3. keluarga

4. kekuasaan politik

b. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:

1. sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya

2. organisasi ekonomi

3. alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)

4. organisasi kekuatan (politik)

Berikut beberapa difinisi kebudayaan menurut para pakar :

a. Ki Hajar Dewantara

Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

b. Sutan Takdir Alisyahbana

Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas. Sebab, semua laku dan perbuatan tercakup di dalamnya dan dapat diungkapkan pada basis dan cara berpikir termasuk di dalamnya perasaan karena perasaan juga merupakan maksud dari pikiran.

Koentjaraningrat mengatakan, bahwa kebudayaan antara lain ber¬arti keseluruhan gagasan dan karya .manusia yang harus dibiasakan nya dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi pekertinya.

d. A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn

A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn dalam bukunya “Culture, a critical review of concepts and definisitions” (1952) mengatakan, bahwa kebudayaan adalah manifestasi atau penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya.

e. Malinowski

Malinowski menyebutkan, bahwa kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan atas berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap tingkat kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya, guna memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatannya, maka timbul kebudayaan yang berupa perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu, seperti lembaga kemasyarakatan.

f. C.A. van Peursen

C.A. van Peursen mengatakan bahwa dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan kehidupan setiap kelompok orang dapat berlainan dengan hewan. Maka, manusia tidak dapat hidup begitu saja di tengah alam. Oleh karena itu, untuk dapat hidup, manusia harus mengubah segala sesuatu yang telah disediakan oleh alam. Misalnya, beras agar dapat dimakan harus diubah dulu menjadi nasi. Terwujudnya suatu kebudayaan dipengaruhi oleh

sejumlah faktor, yaitu hal-hal yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan kebudayaan sehingga dalam hal ini kebudayaan merupakan produk kekuatan jiwa manusia sebagai makhluk Tuhan yang tertinggi.

Menurut Dr. H. Th. Fischer dalam bukunya Pengantar Antropologi ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kebudayaan, dan secara garis besar disebutkan berikut ini.

a. Faktor Kitaran Geografis (lingkungan hidup, geografisch milieu)

Faktor lingkungan fisik lokasi geografis merupakan sesuatu corak budaya sekelompok masyarakat. Dengan kata lain, faktor kitaran geografis merupakan determinisme yang berperan besar dalam pem-bentukan suatu kebudayaan

b. Faktor Induk Bangsa

Ada dua pandangan yang berbeda mengenai faktor induk bangsa ini, yaitu pandangan Barat dan pandangan Timur. Pandangan barat ber-pendapat bahwa perbedaan induk bangsa dari beberapa kelompok masyarakat mempunyai pengaruh terhadap suatu corak kebudayaan. Berdasarkan pandangan Barat, umumnya tingkat peradaban didasar-kan atas ras. Oleh karena itu, bangsa-bangsa yang berasal dari ras Caucasoid dianggap lebih tinggi daripada ras lain, yaitu Mongoloid dan Negroid yang lebih rendah dari ras Mongoloid yang memiliki ras khusus seperti Bushman (Afrika Selatan), Vedoid (Sri Langka), dan Australoid (Australia). Tetapi, pandangan Timur berpendapat, bahwa peranan induk bangsa bukanlah sebagai faktor yang mem-pengaruhi kebudayaan. Karena, kenyataannya dalam sejarah budaya Timur sudah lebih dulu lahir dan cukup tinggi justru pada

saat bangsa Barat masih “tidur dalam kegelapan”. Hal tersebut semakin jelas ketika dalam abad XX, bangsa Jepang yang termasuk ras Mongoloid mampu membuktikan bahwa mereka bangsa-bangsa timur tidak J dapat dikatakan lebih rendah daripada bangsa barat.

c. Faktor Saling Kontak antarbangsa

Hubungan yang makin mudah antarbangsa akibat sarana perhubungan yang makin sempurna menyebabkan satu bangsa mudah berhubungan dengan bangsa lain. Akibat adanya hubungan antarbangsa ini, dapat atau tidaknya suatu bangsa mempertahankan kebudayaannya tergantung dari pengaruh kebudayaan mana yang lebih kuat. Apabila kebudayaan asli lebih kuat daripada kebudayaan asing maka kebudayaan asli dapat bertahan. Tetapi, apabila kebudayaan asli lebih lemah daripada kebudayaan asing maka lenyaplah kebudayaan asing dan terjadilah budaya jajahan yang sifatnya tiruan (colonial and imitative culture). Tetapi, dalam kontak antarbangsa ini, yang banyak terjadi adalah adanya keseimbangan yang melahirkan budaya campuran (acculturation). Indonesia yang terletak dalam posisi silang (cross position) dunia, kebudayaannya memiliki konsekuensi yang besar dari pengaruh luar.

Dalam hal ini, sejarah telah menggambarkannya dengan nyata. Selain pengaruh luar, masalah waktu sebenarnya juga ikut berperan dalam pembentukan suatu kebudayaan. Misalnya, dalam fase pertama, Indonenia mendapat pengaruh Hindu-Budha (abad V – X), dalam fase ke dua, Indonesia mendapat pengaruh

Islam (abad XI – XVI), dan dalam fase ke tiga mendapat pengaruh dari kebudayaan barat (abad XVI – XX).

Unsur-unsur kebudayaan manusia menurut (Alo Liliweri 2003:117), antara lain: 1. sejarah kebudayaan 2. identitas sosial 3. budaya material 4. peranan relasi 5. kesenian

6. bahasa dan interaksi

7. stabilitas kebudayaan

8. kepercayaan atas kebudayaan & nilai

9. etnosentrisme

10. perilaku non verbal

11. hubungan antarruang

12. konsep tentang waktu

13. pengakuan dan ganjaran

15. aturan-aturan budaya

Dalam hal ini, kesenian Indonesia termasuk dalam perebutan kekuasaan oleh Malaysia. Berikut ini adalah daftar artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun negara lain:

1. Batik :

a. Berasal dari Jawa oleh Adidas

b. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia

2. Naskah Kuno :

a. Berasal dari Riau oleh Pemerintah Malaysia

b. Berasal dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia

c. Berasal dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia

d. Berasal dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia

3. Makanan dan Minuman :

a. Rendang :

Berasal dari Sumatera Barat oleh Oknum WN Malaysia

a) Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Belanda

b) Sambal Petai dari Riau oleh Oknum WN Belanda

c) Sambal Nanas dari Riau oleh Oknum WN Belanda

c. Tempe :

Berasal dari Jawa oleh Beberapa Perusahaan Asin

d. Kopi :

a) Kopi Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda

b) Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang

4. Lagu :

a. Lagu Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia

b. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia

c. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia

d. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia

e. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia

f. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia

g. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia

a. Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia

b. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia

c. Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia

d. Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia

6. Alat Musik :

a. Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia

b. Angklung oleh Pemerintah Malaysia

7. Ukiran :

a. Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Perancis

b. Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris

8. Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti dari Bali oleh Oknum WN Amerika

9. Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd

10. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia

(http://budaya-indonesia.org/iaci/Data_Klaim_Negara_Lain_Atas_Budaya_Indonesia)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, pada Pasal 10 dan pasal 12 disebutkan, bahwa :

Pasal 10

a. Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.

b. Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. c. Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2),

orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.

d. Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan kewenangan itu, pemerintah bisa melakukan publikasi multimedia secara internasional secara besar-besaran, baik melalui televisi, internet, media luar ruang maupun buku-buku mengenai seni budaya.

(1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:

a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain

b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu

c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan

d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks

e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim

f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan

g. arsitektur

h. peta

i. seni batik

j. fotografi

k. sinematografi

l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.

(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.

(http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002)

2.5 Analisis Framing

Dalam ranah komunikasi, analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis fenomena atau aktivitas komunikasi. Konsep tentang framing atau frame sendiri bukan murni komsep ilmu komunikasi, akan tetapi dipinjam dari ilmu kognitif (psikologis). Dalam praktiknya, analisis framing juga membuka peluang bagi implementasi konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultural untuk menganalisis fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat diapresiasi dan dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politis, atau kultural yang melingkupinya. (Sudibyo dalam Sobur, 2001:162)

Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. (Sobur, 2001:162)

Framing menurut Robert E.Entman merupakan proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Entman juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi lain. (Eriyanto, 2007:67)

G.J.Aditjondro mendefinisikan framing sebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan menggunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya (Sudibyo dalam Sobur, 2006:165).

Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta atau realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih

fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Kedua, penulisan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penemoatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar, dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas.

Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek lain. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas (Eriyanto, 2007:69-70).

2.6 Perangkat Framing Robert N.Entman

Dalam pendekatannya, Entman membagi perangkat framing ke dalam empat struktur besar, yaitu pendefinisian masalah (define problems),

memperkirakan penyebab masalah (diagnose causes), membuat keputusan moral (make moral judgement) dan menekankan penyelesaian (treatment recommendation). Konsepsi mengenai framing tersebut menggambarkan secara luas bagaimana peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh wartawan.

Define problems (pendefisian masalah) merupakan elemen bingkai yang paling utama (master frame) yang menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda.

Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah) merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula.

Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberi argumentasi pada pendefinisian masalah yang dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak.

Treatment recommendation (menekankan penyelesaian). Elemen ini dipakai untuk menillai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah.

Skema Framing Robert N.Entman

Define problems (pendefinisan masalah)

Bagaimana suatu peristiwa atau isu dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa?

Diagnose causes

(memperkirakan masalah atau

Dokumen terkait