sekaligus. Secara hukum perempuan yang bediri sendiri itu telah dirampas dari anak dan hartabendanya, keringat, jerih dan payahnya. Ia tak punya kekuatan hukum. Ia tak pergi ke tempat di mana Nederland memanggil. Dan ia hanya didampingi oleh seorang plonco bernama Minke dan seorang Darsam yang telah kehilangan kehebatannya dalam bermain parang. Kekuatan apa lagi yang masih tercadang dari tiga orang ini dalam menghadapi Ir.Maurits Mellema yang sedang diurap kejayaan?
500
Denotasi
Di Wonokromo sebuah kabupaten di Jawa Timur satu orang perempuan, tidak dengan yang lain, wajib bertanding dengan tandingan orang yang sangat dipuja proses membangun dan yang sangat dipuja berhasil pada saat yang sama. Menurut peraturan resmi perempuan yang tegak bertumpu pada kaki sendiri itu sudah diambil dengan paksa dari anak dan kekayaannnya, usahanya, kelelahan dan penatnya. Ia tidak memiliki kekukuhan peraturan resmi. Ia tidak berangkat ke tempat di mana Nederland meminta datang. Dan ia cuma ditemani dengan satu orang
calon mahasiswa yang sedang mengikuti acara kegiatan pengenalan kampus mempunyai nama Minke dan satu orang Darsam yang sudah menderita sesuatu karena hilang kedahsyatannya dalam memainkan parrang untuk bersenang-senang. Keteguhan apa lagi yang masih tersimpan dari tiga orang ini dalam melawan Ir. Maurits Mellema yang baru saja dilumasi kemegahan?
Konotasi
Belanda adalah pusatnya segala kemajuan dan kemewahan. Kemajuan dalam segala bentuk, baik ilmu pengetahuan juga manusianya. Kekuasaan atas jajahan yang tidak sedikit, membawa Belanda menjadi Kerajaan yang dihujani kekayaan yang melimpah. Sebagai seorang perempuan pribumi dan khususnya seorang gundik, Nyai Ontosoroh tidak sebanding dengan kebesaran yang dimiliki Kerajaan Belanda. Apa yang ia miliki telah dirampas secara paksa atas nama hukum Hindia Belanda. Ia bukan hanya kehilangan darah daging yang ia lahirkan dan rawat sejak kecil namun juga perusahaan dan harta benda yang ia bangun dengan usahanya sendiri. Sebagai individu yang tidak diakui hukum Hindia Belanda, tentu tidak ada kekuatan yang ia miliki untuk merebut haknya kembali. Ia tidak seperti Ir. Maurits Mellema, anak sah dari tuannya, yang menjadikan Belanda semakin besar atas keberhasilan menguasai daerah yang diinginkan Belanda. Ia melakukan banyak pekerjaan atas nama dan permintaan Belanda. Nyai tidak sebanding dengan nama besar yang diperoleh dengan menjadi pesuruh Belanda. Ia hanya seorang Nyai yang berjuang untuk haknya dengan sisa kekuatan terakhir meski sadar hukum Hindia Belanda bukanlah tandingannya. Seorang calon mahasiswa dan pendekar pribumi menjadi teman perjuangannya. Tiga
orang pribumi yang berusaha menghadapi kekuatan Hindia Belanda. Ir. Maurits Mellema menjadi simbol apa yang diagungkan dan dipuja oleh Eropa khususnya Belanda. Menjadi wakil kerajaan Belanda yang membanggakan dengan prestasinya di mata dunia.
12 “orang rakus harta-benda selamanya tak pernah membaca cerita, orang tak berperadaban. Dia takkan pernah perhatikan nasib orang. Apalagi orang yang hanya dalam cerita tertulis.”
512
Denotasi
“manusia tamak barang kekayaan selalu tidak pernah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya sesuatu hal, manusia tidak mempunyai kecerdasan lahir batin. Dia tidak akan pernah mengamati takdir manusia. Lebih-lebih manusia yang cuma dalam tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya sesuatu hal sudah ditulis.”
Konotasi
Orang yang sibuk mengumpulkan harta dan menimbun kekayaan tidak akan membuang waktunya untuk membaca berita. Orang yang menerapkan prinsip waktu adalah uang dalam kehidupannya. Sehingga menghabiskan waktu mereka untuk mencari dan mengumpulkan uang. Orang seperti itu tidak akan menaruh perhatian pada nasib orang lain.
Seorang perempuan yang memiliki sifat keibuan telah menjadi model ideal perempuan sejak lama, bukan hanya model ideal perempuan modern. Namun perempuan keibuan yang terdidik memiliki nilai lebih. Masuknya pendidikan tinggi sebagai salah satu kriterium perempuan modern, menunjukkan bahwa idealisasi perempuan Jawa ternyata tidak bersifat menutup pada watak keibuan semata (Permanadeli, 2015 : 239). Namun dalam penelitian ini, peniliti lebih memilih untuk menggunakan pengkategorian ‘terdidik’ dibandingkan
‘berpendidikan tinggi’. Untuk membedakan orang yang berpendidikan dengan orang yang mengenyam pendidikan formal hingga tingkat yang lebih tinggi.
Orang yang terdidik bukan hanya mereka yang mampu mengenyam pendidikan formal hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Melainkan mereka yang memiliki prinsip, memahami dinamika antar manusia, berani menyuarakan pendapatnya, menghargai kebenaran lebih dari materi dan terbuka pada pendapat orang dan ide-ide baru. Masih banyak bahasa dan kategori yang bisa menjelaskan bagaimana ciri orang terdidik lainnya. Namun hal yang disebutkan di atas merupakan ciri terdidik yang dimiliki Nyai Ontosoroh.
Sebelum menjadi seorang nyai, Sanikem (nama gadis Nyai Ontosoroh) adalah anak dari petugas kasir pada pabrik gula di Tulangan. Sama seperti anak perempuan Jawa lainnya, ia tidak diperbolehkan untuk bersekolah. Namun setelah diangkat menjadi gundik oleh Herman Mellema, Sanikem dididik oleh tuannya menjadi perempuan yang tidak lebih rendah pendidikannya dengan perempuan Eropa. Ia tidak hanya mendapatkan pendidikan seperti apa yang diajarkan di sekolah formal namun juga bagaimana bersikap dan bertindak sebagai manusia yang patut dihormati.
Pengetahuan Nyai tentang kekuasaan dan ekonomi menjadikannya menentang penjajahan dan segala tindakan kolonial yang merugikan dan tidak adil. Di tengah kemeriahan menyambut zaman modern di Hindia Belanda, Nyai tetap tegak dengan prinsip-prinsipnya yang bahkan lebih maju dari pemikiran modern yang mulai merambah Hindia Belanda kala itu.
Sebagai orang yang terdidik, Nyai mendasarkan segala penilaiannya pada kebenaran yang berdasarkan pada kebenaran sesungguhnya. Bukan pada kebenaran buatan manusia. Tidak heran jika ia benar-benar memperhatikan persoalan keadilan, hak dan kebebasan. Meski untuk mempertahankannya yang harus dilawan adalah hukum Hindia Belanda. Bahkan saat itu hukum Hindia Belanda tetap bukan hukum yang adil bagi pribumi. Pengadilan dan hukum Hindia Belanda didirikan untuk kepentingan Hindia Belanda dan orang-orang Eropa, maka tidak ada kesempatan bagi pribumi untuk memenangkan proses peradilan dengan jalan yang adil.
Nyai terdidik secara moral untuk menerima kekalahan yang diartikan sebagai sikap terbuka atas pendapat lain juga taat pada azas dan aturan yang mengikat. Meski sadar pula kekalahannya tidak diakibatkan atas kebenaran, melainkan intrik kepentingan pemerintah dan pihak-pihak yang pro pemerintahan Hindia Belanda. Pendidikan moral tidak diajarkan melalui teori di bangku sekolahan. Pengalaman dan ajaran tuannya menjadikan Nyai Ontosoroh bahkan lebih bermoral dibanding pemerintahan Hindia Belanda.
Meski darah Jawa mengalir dalam darahnya, namun ia seringnya tidak sepaham dengan kebiasaan-kebiasaan dan budaya masyarakat Jawa. Seperti halnya nilai nama bagi masyarakat Jawa. Meski sampai saat ini, nama masih tetap dianggap sebagai doa yang akan terus melekat pada si pemilik nama, namun bagi Nyai nama hanya sebutan yang melekat untuk membedakan setiap orang tanpa memiliki arti tersendiri. Nama dengan arti yang sangat mulia tidak akan mempengaruhi pribadi seorang yang keras kepala dan keji.
Seseorang dikenali lewat kepribadian dan pencapaiannya, keberhasilan seseorang adalah buah dari kerja keras yang dilakukan, bukan karena nama yang ia gunakan. Seperti halnya Eropa yang membesarkan diri lewat ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki. Dengan sendirinya nama ‘Eropa’ menjadi lekat akan kehebatan peradabannya. Bukan pengaruh nama yang menjadikan mereka disegani, melainkan lewat kehebatan mereka memanfaatkan ilmu pengetahuan dala membangun bangsanya.
Di sisi lain, ilmu pengetahuan sendiri bisa menjadi sangat berbahaya ditangan orang-orang tamak. Seperti pada Eropa selain menjadikan dirinya dianggap oleh bangsa lain berkat kemajuan teknologinya, Eropa juga memanfaatkan ilmu pengetahuan mereka untuk mendapatkan keuntugan bagi bangsanya dengan cara menjajah bangsa lain. Orang tidak mendapatkan pendidikan formal tapi bermoral lebih layak dihormati dibanding terpelajar yang menggunakan ilmu pengetahuan nya untuk keuntungan pribadi yang merugikan pihak lain.
Lewat pandangan Nyai, didapati pengetahuan bagaimana Eropa memanfaatkan Ilmu pengetahuan yang mereka miliki untuk menguasai Hindia Belanda tidak hanya sebatas wilayahnya saja namun juga mencakup pada penguasaan sistem politik, ekonomi bahkan kehidupan sosial warganya. Terlihat
dari bagaimana ajaran-ajaran Eropa selalu menuntut pemujaan atas kehebatan yang telah mereka raih. Juga hukum yang mengisyaratkan tidak adanya hak bagi kaum pribumi atas apa yang dimilikinya. Segala yang ada di atas bumi Hindia Belanda adalah milik pemeritah Hindia Belanda. Tugas pribumi adalah mengolahnya untuk keuntungan pemerintah.
Seperti yang disebutkan di atas, penguasaan kolonial tidak berbatas pada wilayah, tapi juga berbagai aspek kehidupan jajahannya. Bahkan kolonial juga menguasai pengendalian pandangan jajahannya. Lewat pemberitaan yang dikemas sedemikian rupa untuk menghindari timbulnya pemberontakan dari warga jajahan. Jelas hal tersebut telah melanggar hak warga untuk mendapatkan berita yang didasarkan pada fakta yang berimbang, tidak hanya menitik beratkan pada pandangan kolonial yang memihak.
Ajaran filsuf Yunani juga menjadi ilmu yang dipelajari dan dipahami Nyai. Nyai paham betul bagaimana hukum serigala berlaku bagi segala yang hidup. Pihak yang kuat yang akan bertahan, sedangkan yang lemah akan kalah dan lenyap. Karena itu semua pihak harus bertahan hidup dengan melakukan perlawanan maupun sikap bertahan. Sebagai kepentingan kolektif pribumi, perlawanan terhadap Belanda yang ideal menurut Nyai adalah lewat kata-kata dan tulisan. Berisikan gagasan dan pendapat yang menyajikan kebenaran. Lalu disebarkan untuk membangunkan pribumi dari kesadaran palsu bentukan Belanda. Kekuatan ide dan gagasan yang ditularkan lebih ampuh dibandingkan senjata tajam.
Ciri perempuan terdidik yang ditunjukkan Nyai Ontosoroh menggambarkan tindakan dan pemikiran yang terhormat dengan mempercayai dan berpegangan pada kebenaran dalam semua aspeknya. Cakupan pengetahuan yang ia miliki menunjukkan seberapa terdidiknya ia sebagai seorang pribumi dengan status gundik. Perempuan pribumi dengan kasta rendah yang tidak memiliki hak untuk bersekolah.
Pada masa lampau, ntuk dapat menempuh pendidikan seorang perempuan harus berhadapan dengan dua hal, yaitu tradisi masyarakat yang masih menjalankan pingitan dan terbatasnya sekolah yang dapat menerima perempuan untuk belajar. Pingitan adalah sebuah tradisi yang ada di beberapa masyarat di
Indonesia yang mengharuskan seorang anak perempuan berumur 12 tahun harus tinggal di rumah, sampai mendapatkan jodohnya. Di samping harus berhadapan dengan tradisi pingitan yang berlaku tidak hanya di Jawa, tetapi juga daerah lain di luar Jawa, para perempuan yang akan belajar di sekolah juga terkendala oleh jumlah sekolah yang masih terbatas, yang tidak semuanya dapat dimasuki oleh perempuan. Sesuai dengan konteks sosial historis saat itu, jumlah sekolah dan orang Indonesia yang menempuh pendidikan masih sangat sedikit, terlebih kaum perempuan (Wiyatmi, 2010 : 7).
Mengutip dari Jurnal Wiyatmi (2010), berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahlenfeld yang dimuat di harian de Locomotief pada awal abad XX di Pulau Jawa rata-rata dari 1000 orang hanya 15 orang saja yang dapat membaca dan menulis. Bila perempuan dihitung, jumlahnya menjadi 16. Sementara itu, berdasarkan penelitian Groeneboer, Gouda mengemukakan data bahwa pada tahun 1915 jumlah murid Indonesia yang sekolah di HIS Negeri adalah 18.970 (laki-laki) dan 3.490 (perempuan); 1925: 28.722 (laki-laki) dan 10.195 (perempuan); 1929-1930: 29.984 (laki- laki) dan 11.917 (perempuan); 1934-1935: 31.231 (laki-laki) dan 15.492 (perempuan); 1939-1940: 34.307 (laki-laki) dan 19.605 (perempuan). Data- data tersebut menunjukkan masih rendahnya partisipasi pendidikan pada masyarakat Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan.
Kebiasaan atau tradisi duduk di bangku sekolah baru ditularkan oleh orang Belanda pada tahun 1849. Pada mulanya sekolah hanya khusus untuk orang Belanda dan juga bagi bangsawan pribumi yang kemudian diangkatuntuk menjadi pegawai administrasi kolonial. Pembatasan akses ke sekolah itu secara mental memberikan makna bagi sekolah dalam struktur sosial Jawa. Pergi ke sekolah sama dengan hak untuk emnggapai impian dan hak istimewa yaitu menjadi bagian dari sebuah kekuasaan penjajah (Permanadeli, 2015 : 205-206).
Perempuan baru boleh masuk sekolah pada awal abad ke-20. Harus dikatakan bahwa pada mulanya sekolah dikhususkan bagi perempuan bangsawan dan bahwa pendidikan yang memperluas cakrawala pandang perempuan memang tidak bergeser untuk memajukan perempuan sebagaimana pengertian pendidikan di Barat, akan tetapi selalu berada dalam kerangka struktur dan organisasi Jawa. Artinya sekolah perempuan tidak difungsikan secara sosial sebagai alat yang membuat perempuan bisa duduk pada meja yang sama dengan laki-laki –bekerja sebagai pegawai-, melainkan sekolah semata-mata dipahami sebagai suatu ruang lain yang berbeda dari rumah tangga (Permanadeli, 2015 : 206). Perempuan boleh
sekolah semata-mata hanya karena perempuan Belanda boleh sekolah, jadi tujuan diperbolehkannya perempuan pribumi sekolah secara politis adalah bentuk representasi kesetaraan orang Belanda dan orang pribumi. Sekolah yang dimasuki perempuan pribumi tidak pernah bertentangan dengan rumah tangga. perbedaannya hanya mereka mampu membaca dan berhitung.
Tokoh Nyai Ontosoroh menunjukkan bagaimana seorang perempuan terdidik tanpa mengenyam bangku sekolah mampu bersikap dengan moral yang lebih tinggi dari mereka yang bersekolah, bahkan lebih dari laki-laki. Terdidik bukan hanya sekedar sampai seberapa tinggi jenjang pendidikan seseorang, melainkan bagaimana ia bersikap dan memperlakukan orang lain dengan adil. Situasi Hindia Belanda yang ia hadapi setiap harinya mengajarkan dia bagaiman adil itu seharusnya. Adil yang berpegang pada kebenaran yang dipercayainya.
Berkaitan dengan kategori sebelumnya. Seseorang, tidak hanya tertutup pada perempuan, haruslah terlebih dahulu terdidik untuk bisa mendidik dengan tepat. Bukan hanya benar yang merupakan hasil kesepakatan manusia. Sama halnya dengan status sosial yang juga bentukan manusia seperti yang diungkapkan Nyai.
4.1.3. Peran Ganda
Dalam pengelompokan ini, terdapat empat kutipan yang dibahas
Tabel IV.4
Makna Denotasi dan Konotasi Peran Ganda
No Kutipan Halaman
1 Memang sekali ia pernah bilang: tak ada guna menyewa