Otonomi Khusus (OTSUS) untuk Tanah Papua yang meliputi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mulai berlaku sejak ditetapkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Papua. Salah satu dampak OTSUS bagi Papua ialah adanya perubahan paradigma pembangunan, yaitu kampung sebagai pusat pembangunan masyarakat dan daerah (Suebu, 2007). Bagian ini sesungguhnya ingin mengungkapkan sikap pro-kontra masyarakat terhadap kebijakan dan program-program pemerintah yang dialami di tingkat kampung, khususnya di Workwana.
Sumber: Foto SKP KJ, 2008
Gambar 6.3 Rincian Kegiatan PNPM Mandiri Respek Tahun 2008/2009 di Kampung Workwana
Gambar 6.3 di atas merupakan salah satu bentuk publikasi program pemerintah kepada masyarakat kampung tentang kegiatan
pembangunan kampung melalui Program Nasional Pemberdayaan Kampung (PNPM) Mandiri Respek Tahun 2008/2009. Orientasi awal kegiatan Respek adalah untuk mengembangkan infrastruktur kampung sebagaimana diuraikan pada gambar di atas. Pembangunan infrastruktur terdiri dari kegiatan pengerasan jalan Rp 64.400.000,-, pembuatan pagar jalan poros Rp 20. 600.000,- dan pembuatan kebun gizi Rp 15.000.000,- Keseluruhan dana tersebut berjumlah Rp 100.000.000,-, yang diatur sesuai dengan kebijakan dan keputusan Gubernur Provinsi Papua. Dari informasi yang diperoleh melalui petugas lapangan pendamping PNPM Mandiri Respek, dana respek sejak tahun 2007 sampai 2009 diterima semua kampung sebesar Rp 100.000.000,-. Tapi sejak tahun 2010 pemberian dana Respek ke kampung-kampung jumlahnya bervariasi, sesuai dengan jumlah penduduk kampung tersebut. Ada kampung yang memperoleh Rp 117.456,-, ada juga yang menerima Rp 119.000.000,- dan ada yang menerima Rp 122.000.000,- dan sebagainya. Di Kabupaten Keerom pada tahun 2011 dana Respek berjumlah Rp 30 miliar untuk 61 kampung dan tahun 2012 naik menjadi Rp 61 miliar. Namun tahun 2013, 6 kampung gagal menerima bantuan sebesar Rp 500.000.000,-. 6 kampung yang gagal menerima bantuan disebabkan karena tidak menyerahkan laporan keuangan tahun sebelumnya. Dana Rp 500.0000.000,- ini hanya diterima oleh 55 kampung. Pada tahun 2014 dana pembangunan kampung naik menjadi Rp 1 miliar per kampung. Pencairannya dilakukan 4 kali, setiap tahap pencairan sebesar Rp 250.000.000,- Dijelaskan oleh salah satu pendamping Respek sebagai anggota Tim Monitoring BK3 di Workwana bahwa tahun anggaran 2014 tahap 1, direncanakan untuk, pekerjaan fisik dan belanja aparatur; tahap 2 dan 3 untuk belanja aparatur sebesar Rp 150.000.000,- dan bantuan tahap 4 untuk program fisik belum dicairkan saat penelitian ini dilakukan. Sebagaimana dijelaskan, penggunaan dana belanja aparatur dari anggaran Respek ini digunakan untuk honor aparatur kampung, tokoh adat, tokoh agama, pemuda dan keperluan operasional kantor kampung serta perjalanan dinas aparat kampung. Aparat kampung terdiri dari Kepala Kampung, Sekretaris Kampung, Kepala urusan (4 orang Kaur), Ketua Bamuskam, Wakil Ketua Bamuskam,
Sekretaris Bamuskam, anggota Bamuskam (2 orang), termasuk tokoh pemuda, tokoh perempuan, Ketua RT dan RW. Selain itu terdapat juga insentif khusus untuk pengurus PKK dan Hansip. Sedangkan pendamping BK3 dibayar langsung dari Sekretariat Daerah setiap 3 bulan, sebesar Rp 1.800.000,- per bulan. Selanjutnya informan tersebut menyatakan dengan sistem ini kampung-kampung penduduk asli sekarang menggantungkan hidup pada dana BK3 karena melalui BK3 dibentuk kelompok-kelompok kerja. Dari pengamatan seorang warga kampung Workwana, dikatakan kehidupan orang muda semakin sulit karena tidak ada lapangan kerja dan tidak mempunyai keterampilan. Akibatnya banyak orang muda banyak mengkonsumsi miras, mabuk-mabukan dan sering membuat keamanan terganggu di jalan raya. Namun menurut Bapak Moses Fatagur, keadaan orang muda yang demikian dapat ditekan dan agak berkurang karena orang muda selalu diajak melakukan sesuatu yang berguna untuk banyak orang di kampung. Pada tahun 2013, keluar SK Gubernur Provinsi Papua No. 63 Tahun 2013 tentang Penetapan Besaran Alokasi Dana RESPEK Tahun Anggaran 2013 Distrik Arso untuk Kampung Arsokota dan Kampung Wokrwana, masing-masing sebesar Rp 112.383.000,-. Dijelaskan oleh Bapak Lukas Yonggom, berasal dari Boven Digoel, dan sejak tahun 1983 tinggal di Workwana bahwa memang ada bantuan pemerintah untuk kampung. Ketika Bapak Lukas Yonggom yang bertugas sebagai Kepala Urusan (Kaur) Kesejahteraan rakyat Kampung Workwana pada waktu itu, dari dana Respek Otonomi Khusus Tahun 2103, dibeli anakan babi dan membagi kepada setiap kepala keluarga di Kampung Workwana. Dikatakannya juga selain usaha ternak babi, masyarakat yang ingin membuat usaha kios, dibantu dengan dana bantuan usaha kecil sebesar Rp 500.000 per KK. Hasilnya ada kios yang berjalan, ada yang macet karena banyak warga berutang dan tidak membayar, sebagaimana yang juga dikeluhkan Ibu Bernadeta Mousonggua, istri Bapak Julius Fatagur dalam pertemuan di Susteran KSFL Workwana pada 28 Oktober 2014.
Terdapat berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat di Workwana sebagai hasil dana Otsus melalui program Respek sebagaimana dijelaskan oleh Bapak Moses Fatagur berikut ini. Beberapa
kegiatan masyarakat kampung yang dibiayai oleh anggaran PNPM Mandiri Respek21. Sejak tahun 2011 sudah dibangun 6 (enam) unit rumah penduduk, yang dilakukan berdasarkan musyawarah kampung. Di dalam Kampung Workwana terdapat beberapa kelompok kerja (Pokja). Pokja perumahan, mengerjakan rumah dengan dana Rp16.000.000,-. Dana ini dirinci untuk Pokja sebagai berikut: Ketua Pokja mendapat Rp 2.000.000,- per tahap kegiatan; sekretaris mendapat Rp 1.000.000,- dan anggota Pokja Rp 800.000,-. Satu unit rumah ditargetkan selesai dikerjakan 2 (dua) minggu, 1 (satu) bulan diharapkan 2 (dua) rumah selesai dikerjakan. Tenaga teknis yang mengerjakan bangunan rumah tersebut semuanya berasal dari Kampung Workwana (kepala tukang, 1 orang pembantu dan buruh kasar). Pokja ini antara lain melakukan pekerjaan rehab rumah-rumah bantuan Departemen Sosial tahun 1984/1985. Rumah-rumah bantuan pemerintah tersebut pada umumnya berupa rumah papan, yang sekarang tidak layak huni lagi. Salah satu rumah yang peresmiannya dilakukan Menteri Sosial tahun 1985 ialah rumah yang ditempati oleh Bapak Lamber Welip.
Ketika Kabupaten Kerom merayakan hari jadinya yang ke 11, tanggal 12 April 2014, Bupati Keerom, Yusuf Wally menjelaskan bahwa pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Keerom dilaksanakan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sejak 2010-2015 melalui 7 (tujuh) program pokok pembangunan yang meliputi, bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi, pembinaan lembaga adat, program bantuan keuangan kepada kampung (BK3) dan pembinaan kawasan perbatasan, sudah berjalan selama 4 (empat) tahun. Jadi sistem pembangunan yang dikembangkan ialah pembangunan 2 (dua) arah, pertama, pendekatan dari atas melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan kedua, pendekatan dari bawah melalui BK3. Tujuan pendekatan ini untuk mempercepat pembangunan dan pemerataan pembangunan dari kota
21 Respek adalah Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Program pembangunan Kampung semasa Gubernur Barnabas Suebu). Kemudian muncul istilah lain, Prospek yaitu Program Strategi Pembangunan Ekonomi Kampung (masa pemerintahan Gubernur Lukas Enembe dan Wakil Gubernur KlemensTinal).
sampai ke kampung-kampung (Cenderawasih Pos, Sabtu 12 April 2014).
Penjelasan serupa juga dibuat oleh Bupati Keerom Yusuf Wally ketika melakukan dialog interaktif melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Jayapura Sabtu 5 September 2015. Sebagai narasumber Bupati Keerom, Yusuf Waly menjelaskan beberapa hal terkait pembangunan Kabupaten Keerom. Menurutnya, sejak tahun 2011 digulirkan dana pembangunan desa atau pemberdayaan kampung sebesar Rp 1 miliar per kampung. Dana pemberdayaan kampung diselenggarakan melalui BK3 Kabupaten Keerom. Dana pemberdayaan kampung asli Orang Keerom didapat dari dana Otsus sedangkan dana bagi kampung-kampung eks transmigrasi dikucurkan dari dana alokasi umum (DAU) berjumlah Rp 1 miliar per kampung. Hal ini diatur sedemikian untuk memberi rasa keadilan kepada seluruh masyarakat di Keerom sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial di kalangan warga masyarakat. Selain itu Yusuf Wally juga menjelaskan, sudah ada kebijakan tentang pendampingan masyarakat kampung dalam menggunakan anggaran pemberdayaan kampung. Dikatakannya bahwa apatarur pengelola dana pemberdayaan kampung perlu didampingi terus sehingga dapat menjadi aparat yang produktif dalam mengelola dana Otsus dan dana DAU sebagaimana untuk pemberdayaan kampung. Menurut Yusuf Wally, sistem ini mendorong masyarakat belajar berpartisipasi membangun kampungnya. Berkaitan dengan pendampingan aparat dan masyarakat kampung, sebenarnya sudah ada Badan Pemberdayaan Kampung. Tugas badan ini adalah melakukan monitoring dan evaluasi penggunaan dana kampung. Dana pemberdayaan kampung digunakan untuk kepentingan pembangunan 7 (tujuh) program pokok pembangunan yang disalurkan langsung ke rekening kampung. Jadi program ini sesungguhnya mempunyai nilai edukasi bagi masyarakat karena pendekatan pemberdayaan kampung merupakan proses pembelajaran bagi masyarakat dalam mengelola dana pemberdayaan kampung dalam rangka masyarakat membangun kampungnya sendiri.
Sumber: Foto B. Renwarin 2014
Gambar 6.4 Salah Satu Rumah Proyek yang Diresmikan Menteri Sosial Tahun 1985
Rumah ini terletak tepat di jalan masuk Kampung Workwana di samping monumen peresmian proyek perumahan sosial yang dilakukan Menteri Sosial RI tahun 1985. Menurut Sekretaris Kampung, rumah-rumah panggung yang dibuat dari papan bantuan Menteri Sosial tersebut semuanya sudah direncanakan akan direhab menggunakan anggaran perumahan dari program pembangunan kampung.
Dari dana Respek beberapa tahun silam dibangun jalan dalam kampung, melakukan pembelian 250 buah tangki air berukuran 5.000 liter yang dapat dilihat di rumah-rumah penduduk. Dari dana Respek dibangun pula 1 unit rumah Pustu dan Posyandu, kemudian dibangun satu bangunan perpustakaan kampung. Program-program pembangunan kampung dibuat berdasarkan usulan masyarakaat kepada Bupati Kabupaten Keerom. Pada tahun 2012/2013, pemberian dana tahap pertama sebesar Rp 250.000.000,- telah dicairkan. Dalam Juknis Pemerintah Kabupaten Keerom tentang penggunaan dana, diatur 70% dari dana tersebut atau Rp 175.000.000,- digunakan untuk pembangunan kampung dan 30% untuk honor aparat kampung. Dijelaskan bahwa pembangunan kampung meliputi bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan rakyat.
Anggaran pembangunan kampung ternyata mengalami kenaikan yang signifikan sejak tahun 2013. Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya setiap kampung hanya mendapat kucuran dana sebesar Rp 100.000.000,- dari pemerintah kabupaten dan dana Respek Rp 100.000.000 dari pemerintah Provinsi Papua. Maka mulai tahun 2013 setiap kampung mendapat dana sebesar Rp 1 miliar. Dana sebesar itu digunakan untuk pembangunan kampung sebesar Rp 750.000.000,- dan Rp 250.000.000,- untuk honor aparat kampung. Dengan dana Otsus yang besar turun ke kampung, menurut sejumlah responden warga Kampung Workwana, dana tersebut hanya dinikmati oleh aparat kampung sementara warga tidak mendapat apa-apa. Jadi Otsus memang tidak mensejahterahkan rakyat tetapi mensejahterahkan pejabat, demikian disuarakan para informan dari Kampung Workwana. Beberapa warga kampung berpendapat bahwa program-program pemerintah melalui Respek yang dikoordinir oleh BK3 Kabupaten Keerom, baik bagi masyarakat tetapi tidak bisa menjawab berbagai permasalahan masyarakat. Para informan tersebut berharap ada pendekatan dan pola lain pelayanan masyarakat yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan di masyarakat. Dikatakan oleh warga tersebut, dari segi jumlah terdengar angkanya besar tetapi hasil yang berkualitas yang dinikmati masyarakat di kampung tidak ada.
Sementara itu Bupati Keerom Yusuf Wally menyatakan sebagaimana dikutip di Harian Cendrawasih Pos, Jayapura (Sabtu 12 April 2014) bahwa, pembangunan daerah Keerom dilakukan berdasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2010-2015 dengan 7 (tujuh) program pokok pembangunan. Ke tujuh program tersebut ialah: pertama, peningkatan dan percepatan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan gratis dan berkualitas di setiap jenjang; kedua, mewujudkan sistem pelayanan kesehatan yang tanggap, cepat, murah dan berkualitas; ketiga, perbaikan dan percepatan pembangunan jaringan inftrastruktur baik secara kualitas maupun kuantitas guna menunjang pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sesuai dengan fungsi penataan ruang; keempat, peningkatan pertumbuhan sektor produksi
bidang pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan untuk memperkuat perekonomian masyarakat maupun pendapatan asli daerah (PAD); kelima, percepatan pertumbuhan iklim investasi di daerah dengan memberikan kemudahan dan penyertaan modal masyarakat; keenam, peningkatan kapasitas kelembagaan adat dan kearifan lokal dalam rangka menjaga esksistensi orang Keerom dan mitra pembangunan; ketujuh, penataan kembali tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa dalam rangka optimalisasi pelayanan birokrasi dan pelayanan publik yang cepat dan tepat kepada masyarakat. Bila dilihat dari sisi perencanaan dapat dikatakan bidang perhatian pembangunan sudah meliputi berbagai aspek yang diharapkan mendapat perhatian dan penanganan tercacat di dalamnya. Namun bila dilihat dari sisi Otonomi Khusus Papua, perencanaan ini belum menampakan kebijakan afirmatif yang sungguh-sungguh berpihak pada Orang Asli Papua yang berasal dari Kabupaten Keerom sebagai priortas perhatian pembangunan. Bahkan kesan yang diperoleh di masyarakat menunjukkan bahwa program-program pembangunan yang bersifat pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan kapabilitas dan serta kemampuan kehidupan ekonomi masyarakat setempat jauh dari apa yang diharapkan. Di bidang pendidikan misalnya, ditemukan ada sekolah dasar (SD) Inpres yang selama tiga tahun tidak beroperasi di Kabupaten Keerom, tepatnya di Kampung Kibai, tetapi dana bantuan opersional sekolah tetap mengalir. Di Distrik Waris Kabupaten Keerom juga ditemukan anak-anak yang tamat dari 5 (lima) SD di distrik ini belum mampu membaca dan menulis (Jubi, 9 Oktober 2014). Pengalaman seperti ini dapat dikatakan merupakan pengalaman yang umum bisa ditemukan di berbagai daerah khususnya di daerah pedalaman Papua. Salah satu hal yang menjadi penyebab ketertinggalan dalam bidang pendidikan di kampung-kampung ialah terkonsentrasinya guru-guru di daerah perkotaan dan terbatasnya sarana prasarana pendidikan dan kurangnya motivasi sebagai pendidik yang siap mengabdi di daerah pedalaman (Bdk. Dale & Djonga, 2011). Di bidang kesehatan pun juga memperlihatkan keadaan masyarakat khususnya penduduk asli yang memprihatinkan. Selain itu jika dilihat dari indikator pembangunan
berkelanjutan (Friend 2000, dalam Rustiadi dkk, 2011, 158-162), yang mempunyai tiga sisi pembangunan yaitu culture-ecology interface (sisi ekologi-budaya), culture-economy interface (sisi ekonomi-budaya) dan economy-ecology interface (sisi ekonomi-ekologi). Apa yang dilakukan selama ini di daerah Keerom dapat dikatakan justru bertentangan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan karena aspek ekologi, ekonomi dan budaya sebagai satu kesatuan integral pembangunan berkelanjutan terabaikan dalam pelaksanaannya.
Tapi menurut Yusuf Walli ketika ia berada di Harvard University, menyatakan peta pembangunan Indonesia yang diperlihatkan menunjukkan bahwa Kabupaten Keerom merupakan salah satu daerah yang berkembang luar biasa dengan tingkat kesehatan masuk kategori menengah di Indonesia. Ironisnya, kenyataan di lapangan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur, akses-akses dan berbagai modal hidup yang diperlukan penduduk asli, jauh berbeda dari apa yang digambarkan oleh Harvard University tersebut (Cendrawasih Pos 12 April 2014).
Terlepas dari segala bentuk kebijakan dan pendekatan yang digunakan dalam membangun Papua, Otonomi Khusus (OTSUS) Papua dinilai tak berpengaruh. Alasannya ialah selama 12 (duabelas) tahun dana triliunan dikelola, Papua tetap miskin. Hal ini disebabkan karena Papua masih dijerat oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah. Menurut salah seorang anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Rizal Djalil di Jayapura, IPM Papua tahun tahun 1996, sebesar 60,2 dan pada tahun 1999 hanya sebesar 58,8. Sedangkan tahun 2012, berada di kisaran 65, 86 sementara provinsi lain IPM naik menjadi 72, 29. Nampaknya IPM tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan sumber daya manusia yang dinilai rendah dan hal ini diakui pula oleh Gubernur Papua Lukas Enembe. Unsur lain yang tidak kalah penting sebagai penghambat pembangunan ialah korupsi masih dibiarkan berlangsung di Papua dan belum ditangani secara serius, demikian ulasan di harian Kompas. Anggota BPK tersebut juga mengatakan selain dana OSTUS, selama 12 tahun ini pemerintah daerah Papua masih menerima Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 165,9 triliun,
Dana Akolasi Khusus (DAK) Rp 21,6 triliun, Dana Bagi Hasil Pajak dan Non Pajak Rp 34, 7 triliun. Total dana yang dikelola di Papua berjumlah Rp 280 triliun (Kompas, 8 Maret 2014). Namun menurut penulis, persoalan pembangunan di Papua selain diakibatkan oleh IPM yang rendah dan korupsi, juga dipengaruhi kemauan politik (politic will) semua pihak yang mewarnai paradigma dan implementasi pembangunan. Artinya, sejauh mana politic will pembangunan di Papua berorientasi pada pembangunan yang berkelanjutan, meliputi lingkungan hidup berkelanjutan, sumber daya manusia berkelanjutan dan kesejahteraan manusia (kehidupan ekonomi) berkelanjutan.