• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 6

RESISTENSI MASYARAKAT DI WORKWANA

Konflik berkaitan dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Distrik Arso meliputi Kampung Arsokota, Workwana, Wambes dan beberapa kampung lain di wilayah Distrik Arso. Konflik berkepanjangan ini berujung pada munculnya sikap resistensi penduduk. Konflik tersebut ternyata berlangsung terus hingga saat ini tanpa penyelesaian yang berarti sesuai dengan harapan penduduk setempat. Untuk menjelaskan fenomena tersebut, bahan yang disajikan di sini diangkat berdasarkan informasi orang-orang Workwana, termasuk tokoh-tokoh adat dan masyarakat di wilayah Arso Kabupaten Keerom.

Konflik tentang Lahan Perkebunan Kelapa Sawit

Dari berbagai informasi dan ceritera penduduk setempat

yang dihimpun terkait perihal tanah ulayat yang menimbulkan

masalah berujung pada konflik dan resistensi penduduk terhadap

perusahaan PTPN II di Arsokota dan Workwana. Berikut akan

dibahas latar belakang konflik dan dampaknya bagi kehidupan

penduduk setempat.

(2)
(3)

penjualan dusun sagu milik orang Enggros di daerah pasar Abepura, oleh seorang tokoh adat saat itu dengan satu karton bir, satu karung beras dan uang tunai Rp 40.000,- (KDK. No. 1-2, Th I. April 1983, 26-27). KDK dalam laporannya menjelaskan, permasalahan tanah yang dijual begitu rendah harganya sangat disesalkan oleh penduduk Enggros, khususnya kaum muda, sehingga mereka bersikeras mempertahankan dusun sagunya. Pengalaman ini menunjukkan bahwa hak-hak masyarakat adat sangat tidak dihargai oleh pemerintah dan pemilik modal, yang dapat dikatakan masih sering terjadi hingga saat ini di seluruh Tanah Papua. Artinya ketidakadilan terus berlangsung terhadap masyarakat lokal atas nama pembangunan dan kepentingan negara. Ironisnya, bila keinginan pemerintah ditolak, stigma-stigma diberlakukan kepada masyarakat tapi bila dijual, dibeli dengan harga di bawah standar oleh pemodal, akibatnya masyarakat dirugikan dan kehilangan hak atas tanah ulayatnya secara turun-temurun tanpa imbalan yang setimpal.

Hubertus Kwambre menyatakan pada tahun 2010 sesungguh-nya akan dilakukan peremajaan kelapa sawit di PIR I, II dan PIR III, tetapi ternyata petani plasma di tempat ini tidak mempunyai bukti pelepasan tanah adat dari masyarakat adat di Arso dan Workwana sehingga rencana tersebut tidak dilaksanakan. Menurut Kwambre, bila ingin melakukan peremajaan kelapa sawit harus dibicarakan kembali dengan masyarakat adat tentang status tanah tersebut.

(4)
(5)

didasarkan atas musyawarah. Karena itu rekognisi lahan seluas 12.000 hektare untuk masyarakat Arso dan Workwana disiapkan dalam bentuk barang, yakni mobil truk 2 buah, mobil “Toyota Kijang” bak terbuka 5 buah, mesin jahit 4 buah, Chain-saw 2 buah. Ketujuh, pada 12 Desember 1992, keluar lagi surat pernyataan pelepasan hak atas tanah adat seluas 1.310 hektare untuk areal kebun inti kelapa sawit PTPN II, yang ditandatangani oleh Kepala Kampung Workwana dan Arsokota, Mikael Wabyager dan Yakobus Gusbager, disaksikan Camat Ikram Baasalem, Danramil Kapten TNI Subandi R dan Kapolsek Arso Letda Pol. Dwi Karyanto.

(6)

penduduk tidak hanya berkaitan dengan pemalsuan tanda tangan tetapi juga berkaitan dengan luas lahan yang dimanipulasi. Dikatakannya semula ada perjanjian hanya 5.000 hektare yang diserahkan kepada perusahaan akan tetapi kemudian dalam surat tersebut tertulis penyerahan tanah-tanah di daerah tersebut seluas 50.000 hektare. Menurut Servo, hal ini diketahui dari sebuah arsip surat yang didapat oleh seorang staf kecamatan yang berasal dari Kampung Arsokota di Kantor Kecamatan Arso pada waktu itu.

Menurut informasi lain yang disampaikan penduduk ketika penelitian di Workwana ialah pelepasan tanah ulayat penduduk dilakukan perusahaan dan pemerintah dengan kompensasi yang tidak seimbang dengan luasnya lahan yang diserahkan masyarakat baik di Workwana maupun di Arsokota, Kwimi dan lain-lain. Apalagi pelepasan tanah-tanah tersebut dikatakan telah berdampak menimbulkan korban nyawa penduduk setempat karena penyerahan tanah-tanah warga masyarakat dilakukan di depan laras senjata aparat keamanan.

Relasi-relasi yang berdampak pada konflik penduduk dengan perusahaan juga dilatarbelakangi oleh adanya janji-janji perusahaan kelapa sawit yang tidak pernah dipenuhi. Dikatakan para informan, janji-janji yang dibuat adalah pembangunan rumah beton, pembuatan jalan, pemberian mobil, penyediaan air bersih dan pemberian beasiswa bagi anak-anak kampung dan lain-lain. Berikut, disampaikan data tentang luas tanah-tanah yang telah dilepas penduduk kepada perusahaan di Distrik Arso (Ansaka, dkk, 2009, 336).

Tabel 6.1

Jumlah Pelepasan Tanah Di Distrik Arso untuk Kelapa Sawit

No. Waktu pelepasan Luas (ha) Lokasi kampung

1.

(7)

Berdasarkan data Tabel 6.1 di atas dapat dikatakan tanah ulayat yang telah dilepas penduduk untuk kepentingan perkebunan kepala sawit baik untuk perkebunan inti, plasma dan pemukiman transmigrasi PIR berjumlah 92.410 hektare. Menurut Servo, kampung-kampung yang kehilangan tanah adat yang begitu luas di Distrik Arso karena diserahkan kepada perusahaan, meliputi Arsokota, Workwana, Wambes, Kmiwi, Bagia dan Sawyetami ada, termasuk Yeti dan Kriku di Distrik Arso Timur. Menurutnya, hingga saat ini tidak diketahui berapa luas tanah yang sudah dipakai dan berapa yang belum dipakai, supaya dikembalikan kepada masyarakat.

Selain itu keluhan penduduk setempat muncul terkait dengan pengaturan sistem kepemilikan lahan kebun kelapa sawit di PIR, melalui sistem afdeling. Menurut pandangan salah tokoh adat Masyarakat Arso ketika ditemui di rumahnya di kampung Arsokota, pada 16 Januari 2007 dikatakan sistem afdeling dapat menimbulkan masalah bagi masyarakat karena sistem tersebut dapat membuat perpecahan antarmarga. Menurutnya dengan sistem afdeling, marga A bisa memiliki lahan sawit di wilayah milik marga B, demikian pula sebaliknya. Hal seperti ini bisa memicu masalah antarmarga dan antarwarga, karena sebelum ada sistem afdeling masing-masing warga masyarakat setempat mencari nafkah di wilayah adatnya masing-masing.

Dari informasi lain yang diberikan oleh Benny Montolalu, sistem afdeling diatur demikian. Setiap afdeling terdiri dari 20 kelompok, dan 1 kelompok terdiri dari 20 sampai 25 KK. Hanya saja warga masyarakat yang ada di dalam suatu afdeling dan kelompok pada umumnya bukan berasal dari wilayah atau tempat kepemilikan tanah adat yang sama tetapi terdiri dari warga yang berbeda wilayah adat bahkan berbeda pula daerah asal.

(8)

di wilayah Distrik Arso secara turun-temurun dihidupi warga setempat. Menurut Gusbager (2001, 8) dan para informan di Workwana sistem pengelompokkan dan pemanfaatan hutan serta tanah diatur sebagai berikut. Na Numui atau dusun sagu, merupakan tempat untuk menokok sagu sebagai makanan pokok masyarakat; Ma Disih, merupakan tempat untuk berburu hewan liar yang berada di hutan; Ma Mandap, merupakan hutan tempat untuk berkebun atau yang disebut juga kebun-hutan; Ubyagey, merupakan sungai atau telaga, tempat untuk mencari dan menangkap ikan. Pengabaian sistem tenurial setempat seperti terjadi di Workwana dan sekitarnya berdampak menimbulkan konflik yang bermuara pada resistensi masyarakat yang berkepanjangan terhadap perusahaan hingga saat ini.

Resistensi Penduduk Terhadap Perusahaan PTPN II

Pokok ini berbicara tentang latar belakang sikap resistensi penduduk terhadap PTPN II berkaitan dengan pelepasan tanah adat untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit dan berbagai dampak yang ditimbulkan oleh hadirnya perkebunan kelapa sawit di daerah ini. Kemudian juga akan dibahas bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan penduduk terhadap PTPN II.

Latar Belakang Resistensi Penduduk

(9)
(10)
(11)

penolakan yang diangkat pada waktu pertemuan tersebut. Satu, pelepasan tanah pada 12 Desember 1992 tersebut tidak melibatkan pemilik tanah yang sesungguhnya. Dua, menolak edaran pemerintah tentang pemotongan hasil kelapa sawit, yang dibuat pada 29 November 1997 (Rosariyanto, dkk., 2008 & Ansaka, dkk, 2009). Kesembilan, terjadi manipulasi, alih fungsi, alih kepemilikan. Keadaan ini dinilai penduduk menjadikan mereka terpinggirkan, termarjinalisasi dan menimbulkan disorientasi dan dislokasi penduduk.

Bentuk-bentuk Resistensi Penduduk

Menurut penduduk setempat bentuk resistensi ini bukan merupakan gerakan politik melawan pemerintah tetapi merupakan gerakan moral sosial masyarakat menutut keadilan atas hak-hak hidup mereka. Menurut para informan bentuk-bentuk resistensi masyarakat adat setempat diwujudkan melalui tindakan-tindakan berikut.

Pertama, diwujudkan dalam bentuk protes melalui surat-menyurat masyarakat adat kepada pemerintah. Resistensi masyarakat dimulai dengan melakukan surat-menyurat kepada pemerintah daerah. Pada tanggal 15 April 1988 tokoh-tokoh masyarakat adat membuat surat kepada Gubernur Propinsi Irian Jaya, menuntut ganti rugi tanah dan tanaman budidaya di atas tanah hak ulayat seluas 50.000 hektare untuk pengembangan proyek PIR di Kecamatan Arso. Penolakan ini merupakan kelanjutan dari reaksi-reaksi masyarakat terhadap keputusan Bupati Kabupaten Jayapura tahun 1983 tentang penetapan areal Transmigrasi. Kemudian pada tanggal 19 April 1997 masyarakat Arso19 membuat surat kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jayapura yang isinya sepakat untuk mengambil uang penghargaan dari Pemerintah Daerah Tingkat II Jayapura dan pada tanggal 17 Mei 1997 uang sebesar Rp 54.000.000 diambil dari bendahara Setwilda Tingkat II Jayapura. Uang tersebut dipakai untuk pembayaran biaya rekognisi

19Penggunaan istilah masyarakat Arso di kalangan masyarakat luas sesungguh nya tidak

(12)

kepada masyarakat adat Arso atas penyerahan tanah adat untuk lokasi PIR20. Pada tanggal 24 Mei 1997 dikirim surat lagi kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jayapura yang isinya masyarakat adat Arso menolak penyerahan uang Rp 54.000.000 sebagai ganti rugi tanah PIR Arso seluas 50.000 hektare. Dalam surat tersebut disertakan alasan-alasan sebagai latar belakang penolakan transaksi antara pemerintah dan masyarakat. Alasan-alasan tersebut adalah, satu, pemilik hak ulayat belum mengakui pelepasan tanah seluas 50.000 hektare pada 19 Desember 1981; dua, uang sebasar Rp. 54.000.000,- tidak seimbang dengan luas lahan yang digunakan PTPN II; tiga, uang Rp. 54.000.000,- tidak sesuai dengan banyaknya nyawa yang melayang akibat urusan tanah; empat, dengan menerima uang tersebut dikhawatirkan status hak tanah akan hilang selamanya.

Kedua, penduduk menolak kompensasi ganti rugi tanah. Berkaitan dengan urusan tanah di wilayah Workwana dan Arso ketika perkebunan kelapa sawit dibuka, masyarakat adat melalui 52 tokoh adat masyarakat Keerom menolak pemberian uang sebesar Rp 54. 000.000,- Ada beberapa alasan penolakan yang dibuat masyarakat, antara lain karena menurut masyarakat adat, uang tersebut tidak sesuai dengan banyaknya nyawa yang melayang akibat urusan tanah dengan berbagai pihak dan dengan uang tersebut dikhawatirkan status hak atas tanah akan hilang untuk selamanya (Ansaka, 2009). Kekhawatiran masyarakat mengenai status tanah yang dikuasai oleh perusahaan ternyata sesuai dengan ungkapan salah satu manajer PTPN II Kebun Arso, Bapak J. Worengga. Dalam pertemuan dengan masyarakat pada tanggal 24 Mei 2008 di Kampung PIR V Yamara,Worengga mengungkapkan bahwa kontrak PTPN II Kebun Arso berlangsung selama 60 tahun. Pernyataan ini menunjukkan bahwa hak masyarakat terhadap tanah ulayatnya baru dapat dikembalikan oleh perusahaan sekitar tahun 2042 (didasarkan pada waktu masuknya PTPN II di Arso

20Dalam dokumen salah satu tokoh adat Kampung Workwana, Bapak Herman Fatagur,

(13)

tahun 1982). Memang dalam sebuah surat pernyataan pelepasan yang dibuat di Arso, pada tanggal 8 Desember 1982 yang ditandatangani oleh Administrator PTP II Proyek Arso, Ir .D Simandjuntak dan Mikael Wabyager Ondoafi di Workwana Kecamanatn Arso berisikan pernyataan, areal 1.310 hektare yang dipergunakan untuk Kebun Kelapa Sawit Inti. Apabila areal 1.310 hektare tidak dimanfaatkan lagi oleh PTP II maka kepada masyarakat akan diberikan hak atas tanah tersebut. Surat pernyataan pelepasan tersebut ditandatangani dan diketahui oleh USPIKA Kecamatan Arso, Camat Arso, Drs. Ikram Baasalem, Kapolsek Arso dan Danramil Arso. Namun pemakaian tanah oleh PTPN II Kebun Arso selama 60 tahun dapat mengakibatkan dampak yang semakin berat dalam pelbagai aspek seperti lingkungan hidup, ekonomi, sosial budaya, hak ulayat dan kondisi keamanan bagi masyarakat bukan hanya 1.310 hektare tetapi seluas 92.410 hektare yang dikuasai perusahaan. Dengan demikian harus dikatakan posisi masyarakat adat sangat lemah ketika menghadapi permasalahan-permasalahan hak ulayat terkait dengan pengelolaan sumber daya alam yang dikelola baik oleh pemerintah maupun korporasi pemilik modal.

(14)

Namun sampai saat ini belum ada titik terang penyelesaian sengketa tersebut.

Gambar 6.1 di bawah ini memperlihatkan Bapak Herman Fatagur salah satu perwakilan masyarakat adat Arso dari Kampung Workwana menyalami Presiden SBY pada acara silahturahmi di Istani Negara. Gambar ini diambil di rumah Bapak Herman Fatagur ketika penulis menemuinya saat melakukan penelitian di Workwana.

Sumber: Dokumentasi Herman Fatagur

Gambar 6.1. Bapak Herman Fatagur Bersalaman dengan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono

(15)
(16)

Kelima, resistensi penduduk berikutnya diwujudkan dengan melakukan pemalangan. Pemalangan pertama dilakukan di pabrik pengolahan kelapa sawit di Arso 7 beberapa tahun silam. Sebagaimana diceriterakan warga dan juga diberitakan oleh Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP) melalui jurnalnya bahwa masyarakat adat Arso memalang Pabrik Kelapa Sawit PTPN II di Arso 7, terjadi pada pada 24 Mei 2012. Alasan pemalangan ialah karena permintaan masyarakat untuk ganti rugi lahan yang digunakan perusahaan selama 30 tahun tidak dipenuhi pemerintah. Menurut salah satu tokoh adat Arso Servo Tuamis, seperti dikutip AIDP, menyatakan:

“benar, kami sudah palang pabriknya, aktivitas semua petani sawit kita hentikan. Karena selama 30 tahun kami menderita. Kayu palang akan dibuka kalau gubernur tiba di lokasi, tapi kalau gubernur tidak datang dan mendengar apa yang kami minta, palang tidak akan dibuka”.

(17)

sawit dan lokasi pemukiman petani PIR luasnya jauh lebih besar dari data yang disebutkan. Kemudian pemalangan kedua, dilakukan pada tanggal 3 Mei 2016, di wilayah Kebun Inti milik perusahaan oleh masyakarat adat di Kampung Mur Dua. Dalam aksi pemalangan tersebut muncul pernyataan-pernyataan yang berbunyi:

Baliho 1: Kami Minta kembalikan Tanah kami! Dan Kami Tolak PTPN II. Selama 30 Tahun kami Anak2 Adat Tertipu Dengan Kasus Penipuan oleh PTPN II Arso.

Baliho 2: Solidaritas Masyarakat Adat Arso Kami Tidak Butuh Sawit Kami Hanya Butuh Hutan Save Hutan Papua Save Hutan Keerom Demi Anak Cucu

Sumber: Foto Harun Rumbarar (Wartawan SuaraPapua, 2016)

Gambar 6.2. Pemalangan Kebun Inti PTPN II oleh Masyarakat Adat Arso

(18)

buah-buah kelapa sawit yang ada membusuk dan petani atau buruh tani tidak bisa memanen lagi kelapa sawit, mengakibatkan banyak pihak merugi. Peristiwa ini terjadi sejak 3 Mei 2016 sampai 6 Juni 2016 saat informasi ini dihimpun.

(19)

merupakan tempat pelaksanaan ritus-ritus inisiasi adat masyarakat setempat. Menurut Gusbager (2001), proses pendidikan sosio-kultural dan pendewasaan anggota masyarakat sebenarnya berlangsung melalui ritus inisiasi, sosialisasi peran dan fungsi sebagai laki-laki dewasa mulai diperkenalkan melalui inisiasi di tempat ini. Karena itu dikatakan juga, tempat ini secara kultural mempunyai fungsi religius karena di dalamnya berdiam roh-roh leluhur masyarakat setempat bersama dengan Kwembo, tokoh yang dipuja sebagai Pencipta dan Penguasa alam semesta, dalam kepercayaan masyarakat setempat. Dari sisi lingkungan hidup, di sini terdapat jenis-jenis flora dan fauna yang sewaktu-waktu masih dapat dinikmati penduduk sesuai kebutuhan dan keperluannya. Misalnya, untuk keperluan pembuatan rumah, kayu dan bahan-bahan lain masih dapat diperoleh di tempat ini. Demikian juga binatang buruan masih bisa di dapat di sini walaupun dari segi jumlah dan jenis dari waktu ke waktu terus berkurang.

(20)

adat. Dikatakan juga oleh salah seorang tokoh masyarakat adat di Arso, keberadaan segitiga emas sekarang ini makin terancam juga karena status hutan kampung Arsokota, Workwana, dan beberapa tempat lain masuk dalam golongan Areal Penggunaan Lain (APL), yang mana izin pemanfaatannya hanya dikeluarkan oleh bupati setempat. Artinya, sewaktu-waktu bila pemerintah daerah membutuhkan, tanah-tanah APL tersebut, bisa diambil dan digunakan oleh pemerintah atas nama kepentingan pembangunan. Selain itu dikatakan juga oleh para informan bahwa pengelolaan hutan yang lebih dikenal sebagai hak penguasaan hutan (HPH) yang izinnya diatur dari pusat, kini diganti dengan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Adat (IPHHKMA).Tokoh masyarakat setempat menyatakan, pengelolaan hutan melalui HPH ditetapkan dengan izin pemanfaatan kayu (IPK) seluas 30 (tigapuluh) hektare per tahun, namun dalam setahun bisa dikerjakan 60 (enampuluh) hektare hutan. Dengan demikian dapat dikatakan pola pemanfaatan hutan memang diubah yakni dari pemegang HPH ke masyarakat adat tapi sejatinya pengelolaannya tetap sama, yaitu pemilik modal yang dikenal sebagai pemegang HPH. Menurut tokoh masyarakat adat Arso trsebut, hal ini bisa terjadi demikian karena adanya kelemahan masyarakat yakni masyarakat tidak mempunyai modal yang diperlukan sedangkan yang mempunyai modal adalah pengusaha-pengusaha besar. Tokoh masyarakat adat tersebut,mengatakan, nama penggunaan hutan memang berubah tapi sistemnya tetap sama dengan HPH. Dikatakannya, demikian pula untuk IPHHKMA tidak ditentukan berapa besar luas hutan yang dapat ditebang. Yang penting masing-masing orang mengambil dan mengelola kayu di daerah yang menjadi hak ulayatnya.

(21)
(22)

Borotian, Nouyagir, Kiayambe, Girbes, Giryar, Kyawot dan Tafor. Kesembilan marga tersebut menyerahkan penanganan kasus mereka kepada YTHP dan AlDP yang didukung oleh tim kerja dari masing-masing marga.

Ketujuh, resistensi penduduk dilakukan dengan mengadakan upacara adat di perkebunan kelapa sawit. Infromasi yang penulis terima berkaitan dengan resistensi penduduk terjadi pada akhir tahun 2016. Pada saat diadakan upacara adat yang mana secara simbolis bibit kelapa sawit diserahkan kembali kepada perusahaan dan segumpal tanah diambil kembali penduduk. Menurut Servo Tuamis, uparaca tersebut mengandung arti bahwa tanah masyarakat secara adat diambil kembali dan kelapa sawit dikembalikan kepada perusahaan. Dikatakan juga dalam upacara tersebut ada ancaman, tidak boleh ada lagi yang memanen kelapa sawit di seluruh wilayah kebun Arso. Bila ada yang melanggar kesepakatan tersebut, resiko ditanggung sendiri oleh pelaku yang memanen kelapa sawit. Peristiwa ini kemudian disikapi oleh anggota DPRD Keerom yang diwakili oleh Kondrat Gusbager anggota Komisi B yang membidangi masalah kelapa sawit. Kondrat mengusulkan membentuk tim khusus untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan menyatakan, Pemda Kabupaten Keerom dan Pemda Provinsi Papua harus segera menyelesaikan persoalan masyarakat adat ini karena sudah bertahun-tahun masalah kebun kelapa sawit PPTPN II tidak diselesaikan (Cepos, 26 Mei 2016).

(23)
(24)

Peternakan Provinsi Papua, Abdurrahman Abd. Karim SP dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Keerom, Gideon Fonataba B.Sc dari Kantor Pertanahan Kabupaten Keerom, Ir. Robert Purba MBA dari PTPN II Kebun Arso, J. Hutapea SH dari DPW Akpindo Provinsi Papua, Serfinus Tuamis Ketua Pokja Adat Dewan Adat Keerom, Sarifudin Ketua Koperasi Ngkawa Afdeling II, Nixon Sraum Ketua Koperasi Aryatmi Afdeling I.

Hambatan dan Peluang Penyelesaian Sengketa Tanah

Hambatan Regulasi

Ada berbagai hambatan yang dialami masyarakat Kampung Workwana dan Arsokota dalam menyelesaikan sengketa kepemilikan lahan dengan pemerintah dan perusahaan PTPN II, baik terkait dengan saksi kunci pejabat pemerintah ketika itu, termasuk warga masyarakat setempat yang terlibat dan regulasi-regulasi yang secara nasional digunakan di bidang pertanahan, perkebunan dan lain-lain.

(25)

Presiden (Perpres) No. 36 Tahun 2005, tentang Pembebasan Lahan Implementasi Pembangunan untuk Kepentingan Publik. Peraturan ini dikatakan mengubah definsi kepentingan umum dengan memasukkan pernyataan, proyek yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta maupun transnasional untuk diklasifikasikan sebagai kepentingan umum serta meningkatkan hak negara untuk mencabut kepemilikan lahan dan mengabaikan hak-hak masyarakat untuk menolak proyek pembangunan tertentu; keempat, Undang-undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007. Undang-undang ini menempatkan hak-hak investor di atas hak-hak masyarakat. Misalnya, undang-undang ini memperpanjang HGU awal 60 tahun dan dapat diperpanjang selama 35 tahun. Regulasi ini juga tidak menjelaskan mengenai proses pembatalan HGU jika muncul permasalahan tertentu. Menurut Marti, aturan ini berlaku untuk konsesi penambangan, perkebunan, industri bubur kertas dan penebangan kayu.

Jadi menurut penulis, aturan-aturan atau regulasi seperti disebutkan di atas membatasi akses masyarakat mencari keadilan berkaitan dengan hak-hak dasarnya, karena regulasi-regulasi yang ada sejatinya tidak pro rakyat dan lebih pro penguasa serta korporasi besar swasta sebagai pemilik modal. Dengan demikian atas nama keadilan dan hak-hak dasar masyarakat di bidang sosial-udaya dan ekonomi seharusnya dikaji ulang atau diajukan proses judicial review terhadap berbagai regulasi yang pro penguasa atau korporasi pemodal dan tidak pro rakyat. Dalam situasi sosial politik dan pembangunan di Papua, kekuatan Otonomi Khusus untuk Papua (UU 21/2001) seharusnya memberikan perlindungan dan prioritas kepada masyarakat Asli Papua melalui program-program afirmatif. Namun keberpihakan tersebut belum terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat seperti yang dialami masyarakat Arsokota dan Workwana selama ini dalam perjuangannya berkaitan dengan tuntutan hak-hak dasar di aspek pertanahan (Dale & Djonga, 2011).

(26)

dipengaruhi oleh pendekatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari penjelasan Sumitro Djojohadikusomo (1994,1-57), bahwa pertumbuhan diartikan sebagai aktivitas ekonomi. Artinya, pertumbuhan ekonomi merupakan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat, yang diukur dengan peningkatan hasi produksi dan pendapatan. Dengan demikian menurut Malak Stepanus (2006, XI) kapitalisasi tanah adat merupakan alih fungsi tanah adat yang semula berfungsi sosial, berbasis pada kepentingan masyarakat setempat, ke fungsi ekonomi yang berbasis pada kepentingan kaum pemodal. Artinya tanah dilihat sebagai aset atau komoditi yang bila dimanfaatkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dampaknya ialah alih fungsi tanah adat ini menimbulkan amarah masyarakat bahkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah karena masyarakat disingkirkan dan diabaikan. Kedua, Malak juga menyebut beberapa kepentingan muncul dalam konflik tanah seperti ini. Ia mengutip Gibb & Bromley (1989) yang membedakan tiga jenis klaim terjadi atas tanah yakni, a) Klaim negara sebagai pemilik tanah. Dicontohkannya, UUD 1945 pasal 33 dan UUPA 1960. b) Klaim pribadi, sebagai pemilik tanah. Seperti, UU No.11/1967 tentang Pertambangan dan UU No 14/1998 tentang Pengolahan Hutan. c) Klaim komunal sebagai pemilik tanah, misalnya masyarakat adat.

(27)

peduli dan mengabaikan kedaulatan rakyat hanya menunjukkan kekuatan negara yang menindas dan memasung rakyat di era demokrasi ini. Setelah melihat latar belakang dan motivasi sikap penolakan masyarakat terhadap PTPN II Marowa, berikut diuraikan hambatan-hambatan regulasi berkaitan dengan gugatan masyarakat terhadap badan usaha milik negara tersebut dan pemerintah setempat.

Peluang-peluang Masyarakat Adat

Sesudah melihat hambatan-hambatan dari segi regulasi terkait penyelesesaian sengketa hutan dan lahan, berikut ini penulis ingin menjelaskan juga peluang yang dimiliki masyarakat adat sebagai penduduk pemilik hak ulayat atas hutan dan tanah.

(28)

menyelesaikan permasalahan hutan dan lahan yang selama ini dinilai dikuasai secara tidak adil oleh negara melalui PTPN II untuk perkebunan kelapa sawit. Ketiga, secara politik-pemerintahan Provinsi Papua merupakan wilayah Otonmi Khusus, dengan sejumlah kewenangan yang ada di daerah, dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan sengketa hutan dan lahan tersebut sehingga masyarakat adat memperoleh pengakuan negara dan kepastian hukum atas hak-haknya.

Workwana dan Otonomi Khusus Papua

Otonomi Khusus (OTSUS) untuk Tanah Papua yang meliputi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mulai berlaku sejak ditetapkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Papua. Salah satu dampak OTSUS bagi Papua ialah adanya perubahan paradigma pembangunan, yaitu kampung sebagai pusat pembangunan masyarakat dan daerah (Suebu, 2007). Bagian ini sesungguhnya ingin mengungkapkan sikap pro-kontra masyarakat terhadap kebijakan dan program-program pemerintah yang dialami di tingkat kampung, khususnya di Workwana.

Sumber: Foto SKP KJ, 2008

Gambar 6.3 Rincian Kegiatan PNPM Mandiri Respek Tahun 2008/2009 di Kampung Workwana

(29)
(30)

Sekretaris Bamuskam, anggota Bamuskam (2 orang), termasuk tokoh pemuda, tokoh perempuan, Ketua RT dan RW. Selain itu terdapat juga insentif khusus untuk pengurus PKK dan Hansip. Sedangkan pendamping BK3 dibayar langsung dari Sekretariat Daerah setiap 3 bulan, sebesar Rp 1.800.000,- per bulan. Selanjutnya informan tersebut menyatakan dengan sistem ini kampung-kampung penduduk asli sekarang menggantungkan hidup pada dana BK3 karena melalui BK3 dibentuk kelompok-kelompok kerja. Dari pengamatan seorang warga kampung Workwana, dikatakan kehidupan orang muda semakin sulit karena tidak ada lapangan kerja dan tidak mempunyai keterampilan. Akibatnya banyak orang muda banyak mengkonsumsi miras, mabuk-mabukan dan sering membuat keamanan terganggu di jalan raya. Namun menurut Bapak Moses Fatagur, keadaan orang muda yang demikian dapat ditekan dan agak berkurang karena orang muda selalu diajak melakukan sesuatu yang berguna untuk banyak orang di kampung. Pada tahun 2013, keluar SK Gubernur Provinsi Papua No. 63 Tahun 2013 tentang Penetapan Besaran Alokasi Dana RESPEK Tahun Anggaran 2013 Distrik Arso untuk Kampung Arsokota dan Kampung Wokrwana, masing-masing sebesar Rp 112.383.000,-. Dijelaskan oleh Bapak Lukas Yonggom, berasal dari Boven Digoel, dan sejak tahun 1983 tinggal di Workwana bahwa memang ada bantuan pemerintah untuk kampung. Ketika Bapak Lukas Yonggom yang bertugas sebagai Kepala Urusan (Kaur) Kesejahteraan rakyat Kampung Workwana pada waktu itu, dari dana Respek Otonomi Khusus Tahun 2103, dibeli anakan babi dan membagi kepada setiap kepala keluarga di Kampung Workwana. Dikatakannya juga selain usaha ternak babi, masyarakat yang ingin membuat usaha kios, dibantu dengan dana bantuan usaha kecil sebesar Rp 500.000 per KK. Hasilnya ada kios yang berjalan, ada yang macet karena banyak warga berutang dan tidak membayar, sebagaimana yang juga dikeluhkan Ibu Bernadeta Mousonggua, istri Bapak Julius Fatagur dalam pertemuan di Susteran KSFL Workwana pada 28 Oktober 2014.

(31)

kegiatan masyarakat kampung yang dibiayai oleh anggaran PNPM Mandiri Respek21. Sejak tahun 2011 sudah dibangun 6 (enam) unit rumah penduduk, yang dilakukan berdasarkan musyawarah kampung. Di dalam Kampung Workwana terdapat beberapa kelompok kerja (Pokja). Pokja perumahan, mengerjakan rumah dengan dana Rp16.000.000,-. Dana ini dirinci untuk Pokja sebagai berikut: Ketua Pokja mendapat Rp 2.000.000,- per tahap kegiatan; sekretaris mendapat Rp 1.000.000,- dan anggota Pokja Rp 800.000,-. Satu unit rumah ditargetkan selesai dikerjakan 2 (dua) minggu, 1 (satu) bulan diharapkan 2 (dua) rumah selesai dikerjakan. Tenaga teknis yang mengerjakan bangunan rumah tersebut semuanya berasal dari Kampung Workwana (kepala tukang, 1 orang pembantu dan buruh kasar). Pokja ini antara lain melakukan pekerjaan rehab rumah-rumah bantuan Departemen Sosial tahun 1984/1985. Rumah-rumah bantuan pemerintah tersebut pada umumnya berupa rumah papan, yang sekarang tidak layak huni lagi. Salah satu rumah yang peresmiannya dilakukan Menteri Sosial tahun 1985 ialah rumah yang ditempati oleh Bapak Lamber Welip.

Ketika Kabupaten Kerom merayakan hari jadinya yang ke 11, tanggal 12 April 2014, Bupati Keerom, Yusuf Wally menjelaskan bahwa pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Keerom dilaksanakan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sejak 2010-2015 melalui 7 (tujuh) program pokok pembangunan yang meliputi, bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi, pembinaan lembaga adat, program bantuan keuangan kepada kampung (BK3) dan pembinaan kawasan perbatasan, sudah berjalan selama 4 (empat) tahun. Jadi sistem pembangunan yang dikembangkan ialah pembangunan 2 (dua) arah, pertama, pendekatan dari atas melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan kedua, pendekatan dari bawah melalui BK3. Tujuan pendekatan ini untuk mempercepat pembangunan dan pemerataan pembangunan dari kota

21 Respek adalah Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Program pembangunan

(32)

sampai ke kampung-kampung (Cenderawasih Pos, Sabtu 12 April 2014).

(33)

Sumber: Foto B. Renwarin 2014

Gambar 6.4 Salah Satu Rumah Proyek yang Diresmikan Menteri Sosial Tahun 1985

Rumah ini terletak tepat di jalan masuk Kampung Workwana di samping monumen peresmian proyek perumahan sosial yang dilakukan Menteri Sosial RI tahun 1985. Menurut Sekretaris Kampung, rumah-rumah panggung yang dibuat dari papan bantuan Menteri Sosial tersebut semuanya sudah direncanakan akan direhab menggunakan anggaran perumahan dari program pembangunan kampung.

(34)

Anggaran pembangunan kampung ternyata mengalami kenaikan yang signifikan sejak tahun 2013. Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya setiap kampung hanya mendapat kucuran dana sebesar Rp 100.000.000,- dari pemerintah kabupaten dan dana Respek Rp 100.000.000 dari pemerintah Provinsi Papua. Maka mulai tahun 2013 setiap kampung mendapat dana sebesar Rp 1 miliar. Dana sebesar itu digunakan untuk pembangunan kampung sebesar Rp 750.000.000,- dan Rp 250.000.000,- untuk honor aparat kampung. Dengan dana Otsus yang besar turun ke kampung, menurut sejumlah responden warga Kampung Workwana, dana tersebut hanya dinikmati oleh aparat kampung sementara warga tidak mendapat apa-apa. Jadi Otsus memang tidak mensejahterahkan rakyat tetapi mensejahterahkan pejabat, demikian disuarakan para informan dari Kampung Workwana. Beberapa warga kampung berpendapat bahwa program-program pemerintah melalui Respek yang dikoordinir oleh BK3 Kabupaten Keerom, baik bagi masyarakat tetapi tidak bisa menjawab berbagai permasalahan masyarakat. Para informan tersebut berharap ada pendekatan dan pola lain pelayanan masyarakat yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan di masyarakat. Dikatakan oleh warga tersebut, dari segi jumlah terdengar angkanya besar tetapi hasil yang berkualitas yang dinikmati masyarakat di kampung tidak ada.

(35)
(36)

berkelanjutan (Friend 2000, dalam Rustiadi dkk, 2011, 158-162), yang mempunyai tiga sisi pembangunan yaitu culture-ecology interface (sisi ekologi-budaya), culture-economy interface (sisi ekonomi-budaya) dan economy-ecology interface (sisi ekonomi-ekologi). Apa yang dilakukan selama ini di daerah Keerom dapat dikatakan justru bertentangan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan karena aspek ekologi, ekonomi dan budaya sebagai satu kesatuan integral pembangunan berkelanjutan terabaikan dalam pelaksanaannya.

Tapi menurut Yusuf Walli ketika ia berada di Harvard University, menyatakan peta pembangunan Indonesia yang diperlihatkan menunjukkan bahwa Kabupaten Keerom merupakan salah satu daerah yang berkembang luar biasa dengan tingkat kesehatan masuk kategori menengah di Indonesia. Ironisnya, kenyataan di lapangan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur, akses-akses dan berbagai modal hidup yang diperlukan penduduk asli, jauh berbeda dari apa yang digambarkan oleh Harvard University tersebut (Cendrawasih Pos 12 April 2014).

(37)

Gambar

Tabel 6.1 Jumlah Pelepasan Tanah Di Distrik Arso untuk Kelapa Sawit
Gambar 6.1. Bapak Herman Fatagur Bersalaman dengan Presiden
Gambar 6.2. Pemalangan Kebun Inti PTPN II oleh Masyarakat Adat Arso
Gambar 6.3 Rincian Kegiatan PNPM Mandiri Respek Tahun 2008/2009
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian memerlihatkan bahwa kinerja akademik sebelumnya, motivasi, dan ekspektasi memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kinerja akademik keseluruhan,

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat dilakukan di lahan tadah hujan dengan musim hujan yang

Keputusan moral yang diajukan oleh Kompas.Com dan Detik.Com adalah bahwa Alasan caleg perempuan menjadi anggota legislatif peneliti kelompokkan menjadi alasan ekonomis karena ingin

Consequently, This research aims to analysis the effect of deposit, such as special obligatory deposit, financing deposit and financing simultaneously and partially towards net

In this study, position uncertainty is computed theoretically without GCPs, and examined every orientation parameters effect on position accuracy with the

Uang yang berasal dari dana desa maupun alokasi dana desa (ADD) harus menjadi modal awal untuk menemukan, menumbuhkan, dan mengembangkan aset lain di desa agar bisa bermanfaat bagi

The relationship between the GGRS and AGD local coordinates is the similar transformation, as the relationship is comprised of a translation and a rotation. A scale factor is

Makin meluasnya ruang publik dan berhasil dijangkau oleh hampir semua lapis sosial masyarakat telah memantik peningkatan inisiatif warga, yang dalam beberapa hal, merupakan cara